F Kisah Letkol Untung Pasca Gerakan 30 September 1965 Yang Tidak Seberuntung Namanya | Pegawai Jalanan ~ PEGAWAI JALANAN

Senin, 06 April 2020

Kisah Letkol Untung Pasca Gerakan 30 September 1965 Yang Tidak Seberuntung Namanya | Pegawai Jalanan



Ini adalah kisah perjalanan akhir hidup seorang Letnan Kolonel yang ikut terhasud dalam peristiwa kelam dinegeri tercinta ini. Peristiwa bersejarah yang tercatat sebagai sejarah kelam dalam perjalanan bangsa ini. Dia adalah Letkol Untung yang akhir hidupnya tidak seberuntung namanya, peristiwa-peristiwa dalam masa-masa terakhir hidupnya patut menjadi pelajaran untuk kita semua. Beginilah kisahnya.

Sersan Mayor Bungkus masih ingat apa yang dialaminya pada 30 September 1965. Seperti diakuinya dalam artikel The World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati—yang dimuat di jurnal Indonesia edisi Oktober 2004 volume 78 terbitan Universitas Cornell, “Sore hari tanggal 30 September (1965), saya diberi pengarahan oleh komandan kompi saya.”

Sang komandan kompi C dari Batalyon Kawal Kehormatan (KK) I Cakrabirawa, yang sangat dikenal Bungkus itu, adalah Letnan Satu Dul Arif. Dalam apel malam, Dul Arif hanya bisa memperoleh 60 anggota. Pasukan itu lalu bergerak ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

“Komandan Batalyon kita (Letnan Kolonel Untung) telah menugaskan saya memegang unit Cakra berangkat dalam sebuah misi. Ada kelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno,” kata Dul Arif seperti ditirukan Bungkus.

Tugas Cakrabirawa tak lain melindungi Presiden Sukarno. Dari ucapan Dul Arif itu, para pasukan tentu merasa bahwa para jenderal itu musuh besar mereka. Sehingga tak heran saat dalam penculikan, yang dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pasukan Cakrabirawa tidak ragu menembak jenderal yang mereka bawa.

Pada malam 30 September 1965 itu, Letnan Kolonel Untung sang komandan Batalyon KK I Cakrabirawa ikut mengawal Presiden Sukarno di acara musyawarah nasional ahli teknik di Senayan. Presiden berada di Senayan hingga pukul 23.00 malam. Setelah itu, Untung berangkat ke Lubang Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk melihat pasukan.


Dini hari 1 Oktober 1965, pasukan pun berangkat menculik jenderal-jenderal Angkatan Darat yang dianggap sebagai Dewan Jenderal. Ada enam jenderal dan satu Letnan berhasil ditangkap hingga berakhir di sebuah sumur tua di Lubang Buaya.

Paginya, pada 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung yang pendiam dan dianggap buta politik itu, dalam siaran Radio Republik Indonesia (RRI, tersebut sebagai Ketua Dewan Revolusi. Di mana anggota-anggota Dewan Revolusi itu adalah orang-orang terkemuka yang tak semuanya komunis. Untung menjadi satu-satunya penandatangan dokumen Dewan Revolusi itu. Aksinya tak hanya soal malam jahanam itu, karena sebelumnya Untung menorehkan sejarah soal dirinya.

Letnan Kolonel Untung adalah pemegang Bintang Sakti, seperti juga Benny Moerdani, atas aksinya pada 1962 dalam Operasi Trikora melawan tentara Belanda di Papua Barat. Intinya, Untung sempat punya nama baik sebelum 30 September 1965.



Untung memang tak seberuntung namanya, ia jadi pemimpin gerakan kudeta yang gagal. “Untung bertubuh pendek kekar dan berleher gemuk, memperlihatkan stereotip seorang prajurit,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008).

Ia hanya bisa diandalkan bertempur seperti di Sumatera waktu menghajar PRRI dan di Papua Barat dalam Trikora, tapi tidak untuk berpolitik. Audrey Kahin dalam karyanya Dari Pemberontakan ke Integrasi (2005) menyebut orang-orang di Sumatera Barat, heran mengetahui Untung yang pendiam dan tidak populer memimpin sebuah kudeta G30S itu.

Untung memang dilahirkan untuk menjadi tentara. Laki-laki bernama asli Kusman ini, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010), pernah jadi pembantu tentara Jepang (Heiho) di zaman Jepang, waktu umurnya belum 20 tahun.

Ketika Peristiwa Madiun 1948, ia masih berpangkat Sersan Mayor. Pada 1950-an, ia pernah jadi bawahan Suharto sebagai Letnan dalam Batalyon Sudigdo di Kleco, Solo. Pangkatnya naik bertahap sejalan jam tugasnya sebagai prajurit. Waktu penumpasan PRRI, sekitar 1958, pangkatnya masih Letnan Satu. Ia langsung naik jadi Kapten usai tugas pulang dari Sumatera. Ia kemudian jadi Mayor pada 1962 dan jelang 1965 sudah berpangkat Letnan Kolonel.

Saat bertugas ke Irian Barat, ia memimpin pasukan Banteng Raider dari Batalyon 454 Srondol Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Untung sempat jadi Komandan Batalyon di sana, menggantikan Letnan Kolonel Ali Ebram, yang dianggap pengetik Supersemar. Sebagian pasukan Raider dari Srondol ada yang ditarik sebagai Resimen Cakrabirawa.

Pasukan yang sempat di Banteng Raider masuk dalam Batalyon KK I Cakrabirawa yang dipimpin Untung. Banteng Raider adalah pasukan elit yang didirikan Ahmad Yani yang juga menjadi korban penculikan G30S. Di antara pasukan penculik G30S sebagian berasal dari Banteng Raider.



Bintang kehidupan Untung mulai suram sejak 1 Oktober 1965. Sebagai sosok yang sangar secara militer, Untung tergolong apes terkait peristiwa penangkapannya. Untung yang menghilang setidaknya sejak 2 Oktober 1965. Pada 11 Oktober 1965 berusaha kabur ke sekitar Jawa Tengah dan dia berada dalam sebuah bus. Di Tegal, bus yang ditumpangi rupanya dimasuki tentara yang tak dikenal olehnya.

Namun, ia tak mau kena ciduk oleh tentara yang naik, ia memutuskan melompat dari bus. Sialnya tubuhnya menghantam sebuah tiang listrik. Kesialannya makin bertambah, saat orang-orang di sekitar tempat mengira dirinya adalah copet. Untung sempat digebuki massa. Menurut Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel (2009), Untung tetap mencoba menunjukkan gengsi sebagai perwira. Untung memposisikan diri sebagai orang yang tak takut pada siksaan yang akan menimpanya.

Awal 1966, Untung diadili oleh sebuah pengadilan luar biasa dalam sejarah Indonesia, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Ruang sidangnya pun bukan di gedung pengadilan Kementerian Kehakiman melainkan Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di dekat Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam pengadilan Untung, Gumuljo Wreksoatmodjo SH bertindak sebagai pembela. Ketua Mahmilub yang mengadili Untung adalah Letnan Kolonel CHK Soedjono Wirjohatmodjo SH dengan hakim anggota: Letnan Kolonel Udara Zaidun Bakti; Ajun Komisaris Besar Drs Kemal Mahisa SH; Mayor AL Hasan Basjari SH; Mayor tituler Sugondo Kartanegara. Oditur yang menuntut perkara itu adalah Letnan Kolonel Iskandar SH. Mitzi Tendean, kakak dari Kapten Pierre Tendean hadir dalam persidangan.

Berkas-berkas pengadilan dibukukan dan jadi sebuah karya yang berjudul Gerakan 30 September di hadapan Mahmilub: Perkara Untung (1966). Dalam laporan ini, pekerjaan Untung adalah Letnan Kolonel Infanteri (Angkatan Darat) Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa dan berdasar Keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI/nomor 171/KOTI/1965 per 4 Desember 1965 diberhentikan tidak hormat dari pangkat dan jabatannya dalam dinas ketentaraan terhitung mulai 30 September 1965.

Dalam persidangannya, Untung sempat menyebut: “Kolonel Latief yang menyatakan tentang kesulitan daripada ekonomi prajurit, dan pada umumnya keterangan-keterangan itu dibenarkan oleh yang hadir yakni saya sendiri (Untung), Kapten Wahjudi dan juga Mayor Udara Sujono termasuk Sjam (Kamaruzaman) dan Pono.” Itu yang diingat Untung dalam rapat terkait G30S pada 19 Agustus 1965.

Semula, menurut Subandrio dalam buku Kesaksianku tentang G-30-S (2000), Untung yang sempat ditahan di Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Cimahi, punya keyakinan dia tak bakal dihukum mati. Ia yakin Soeharto bakal membebaskannya.

Namun, pada 6 Maret 1966, Mahmilub memberi vonis: Hukuman Mati kepada Untung. Esoknya dibuat surat keputusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, menyetujui keputusan dan eksekusi mati terhadap Untung. Pembelanya sempat minta grasi agar tak dihukum mati. Grasi tak datang padanya tapi hukuman mati yang menghampirinya.

Menurut Subandrio, “Saat itu dia sudah selesai ditanya permintaan terakhirnya, seperti lazimnya orang-orang yang akan menjalani eksekusi mati. Mungkin karena sedang panik, dia malah tidak minta apa-apa.”


Begitulah nasib Letnal Kolonel Untung yang nasib akhir hidupnya tidak seberuntung namanya karena ikut terlibat dalam gerakan 30 September tahun 1965, bahkan dia sendiri yang menjadi pemimpin gerakan tersebut. Semoga kisah sejarah ini bisa menjadi pelaran berharga bagi kita sebagai ge nerasi penerus bangsa ini.


Penyunting : Argha Sena

Sumber : tirto.id

0 komentar:

Posting Komentar