F Pemberontakan Komunis Di Semenanjung Malaya | Pegawai Jalanan ~ PEGAWAI JALANAN

Kamis, 09 April 2020

Pemberontakan Komunis Di Semenanjung Malaya | Pegawai Jalanan


Partai Komunis Malaya

Malaysia adalah nama yang pastinya tidak asing bagi orang Indonesia apalagi bagi subscriber Pegawai jalanan. Malaysia adalah nama dari negara tetangga terdekat Indonesia di sebelah utara. Ada 2 wilayah utama yang menyusun Malaysia, yaitu Semenanjung Malaya & Kalimantan bagian utara. Dalam perjalanan sejarahnya, ternyata Malaya nyaris menjadi negara komunis kalau saja Darurat Malaya berakhir dengan kemenangan pihak pemberontak yang berhaluan komunis. Ternyata kurang lebih dengan sejarah perpolitikan negara kita, sama-sama tidak cocok dengan idiologi kiri tersebut. Apa itu Darurat Malaya & mengapa Darurat Malaya berpotensi melahirkan negara komunis di Semenanjung Malaya? 

Darurat Malaya / Darurat Tanah Melayu (Malayan Emergency) adalah konflik bersenjata di Malaya yang terjadi antara kelompok pemberontak Parti Komunis Malaya (PKM) melawan militer Inggris yang dibantu oleh militer daerah-daerah Persemakmurannya. Konflik tersebut berlangsung pada tahun 1948 hingga 1960 di mana asal-muasal konfliknya bermula dari perbedaan pendapat mengenai sistem pemerintahan di Malaya. Pasca berakhirnya konflik, Malaya sempat memasuki periode damai sebelum kemudian pemberontakan komunis meletus kembali pada tahun 1968.


LATAR BELAKANG

Malaya adalah sebutan untuk daerah di Semenanjung Malaka yang hampir seluruh penduduknya berasal dari etnis Melayu. Sejak abad ke-19, wilayah Malaya berada di bawah kendali Inggris. Untuk memudahkan kontrol Inggris atas Malaya, Inggris membiarkan sultan-sultan Melayu berkuasa selama mereka mau bekerja sama dengan Inggris. Tujuan Inggris menguasai Malaya sendiri adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alamnya, terutama karet & timah.  
Supaya Inggris bisa memiliki jumlah tenaga kerja yang cukup untuk menggarap perkebunan karet & pertambangan timahnya, Inggris lalu mengimpor orang-orang beretnis Cina & India ke wilayah Malaya. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan komposisi kependudukan yang signifikan di Malaya. Jika pada tahun 1800 etnis Melayu menyusun 90% dari total penduduk Malaya, maka pada tahun 1911 persentasenya menurun menjadi tinggal 60%. Masing-masing etnis cenderung hidup terkotak-kotak sehingga muncullah benih-benih fanatisme etnis sekaligus rasa antipati kepada etnis lainnya. 

Tahun 1941, Malaya diserbu & dikuasai oleh Jepang. Sebagai respon atas gaya penjajahan Jepang yang terkesan brutal, perlawanan pun muncul dari penduduk setempat. Salah satu kelompok perlawanan tersebut adalah Malayan Peoples' Anti-Japanese Army (MPAJA; Tentara Anti-Jepang Rakyat Melaya) yang memiliki hubungan dekat dengan Parti Komunis Malaya (PKM), organisasi politik berhaluan sayap kiri yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Cina.

Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang & Malaya pun kembali dikuasai oleh Inggris. Inggris lalu mengubah sistem pemerintahan Malaya menjadi daerah serikat (union) sekaligus mengebiri status politik dari kesultanan-kesultanan lokal. Inggris juga memberikan status kewarganegaraan & hak politik yang setara untuk semua orang kelahiran Malaya tanpa memandang latar belakang etnisnya.

Pendirian Serikat Malaya lantas mengundang rasa tidak suka dari komunitas Melayu setempat yang merasa hak-hak istimewanya diusik & khawatir akan berada di bawah bayang-bayang etnis Cina serta India di tanah airnya sendiri. Maka, pada tahun 1946 komunitas Melayu setempat lalu mendirikan organisasi politik bernama United Malays National Organization (UMNO; Organisasi Nasional Melayu Bersatu) sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan mereka.  Berkat lobi & tekanan yang dilancarkan oleh UMNO, pada tahun 1948 Inggris pun mengubah Serikat Malaya menjadi Federasi Malaya di mana etnis Melayu - khususnya para sultan - diberikan hak-hak istimewa dalam federasi. Tindakan Inggris tersebut ganti menuai rasa tidak suka dari PKM yang menginginkan negara merdeka dengan hak politik setara untuk semua penghuninya. Dengan bermodalkan sisa-sisa anggota MPAJA, PKM pun memulai perlawanan bersenjatanya. Tindakan yang direspon Inggris dengan memberlakukan status darurat militer atas Malaya pada tanggal 18 Juni 1948.

BERJALANNYA PERANG

PKM memiliki 3 fase utama dalam perjuangan bersenjatanya : menyerang sektor ekonomi di daerah terpencil untuk memaksa para penghuninya melarikan diri ke kota, menjadikan daerah terpencil tersebut sebagai markas sekaligus arena perekrutan anggota baru, & melakukan serangan ke kawasan padat penduduk serta jalur rel kereta api. Pemimpin utama perlawanan PKM adalah Chin Peng, bekas anggota MPAJA yang sempat menerima pelatihan militer dari Inggris.

Inggris awalnya hanya merespon perlawanan bersenjata dari PKM dengan menambah jumlah polisinya. Namun pasca ditunjuknya Sir Harold Briggs sebagai pemimpin operasi militer di tahun 1949, militer Inggris melakukan perubahan taktik yang signifikan. Briggs sadar kalau PKM menjadikan para petani miskin dari etnis Cina sebagai sasaran utama perekrutan anggota baru & sumber logistik utamanya. Maka, Briggs lalu merelokasi para petani tersebut ke kawasan pedesaan yang dilindungi oleh pagar berduri & pos polisi.  Terobosan Briggs belum sampai di situ. Ia juga memerintahkan pembentukan Komite Eksekutif Perang mulai dari level daerah kecil (distrik) hingga level nasional. Kebijakan yang membuat tingkat komunikasi antara warga sipil, polisi, & militer mengalami peningkatan pesat sehingga ruang gerak para milisi PKM menjadi semakin terbatas. Namun PKM tidak tinggal diam. 
Chin Pheng Pemimpin PKM

Mereka juga ikut melakukan perubahan taktik. Sejak tahun 1941, PKM mengalihkan fokusnya untuk mendukung unit kelompok tempur yang jumlah personil per unitnya lebih sedikit, namun lebih fleksibel pergerakannya.  Tahun 1951, PKM sukses menewaskan Sir Henry Gurney yang menjabat sebagai komisaris tinggi setempat. Posisi Gurney lalu digantikan oleh Sir Gerald Templer. Sebagai sosok yang sangat lihai dalam menjalankan pemerintahan sipil & militer, Templer menelurkan beberapa terobosan baru sebagai bagian dari upaya meredam perlawanan PKM. Penduduk lokal - khususnya yang mendiami kawasan pedalaman - dipikat simpatinya dengan cara diberikan bantuan makanan & pelayanan kesehatan. Patroli di kawasan hutan ditingkatkan. Tentara dari persemakmuran-persemakmuran Inggris seperti Australia & Fiji didatangkan.  

Kebijakan-kebijakan baru militer Inggris tersebut terbukti sukses memojokkan pasukan PKM sehingga mereka terpaksa mengungsi ke delam hutan. Bukan hanya itu, tindakan PKM menyerang desa-desa di kawasan pedalaman untuk mendapatkan suplai logistik juga membuat penduduk setempat menjadi semakin antipati terhadap PKM sehingga PKM kekurangan basis dukungan. Tahun 1955, PKM akhirnya bersedia melakukan perundingan dengan Inggris, namun perundingan tersebut gagal membawa kesepakatan bersama & konflik tetap berlanjut.  Tahun 1957, Inggris memerdekakan Malaya sebagai negara federasi kesultanan. Kemerdekaan Malaya membuat PKM semakin kehilangan momentum karena mereka selama ini mencitrakan perlawanan bersenjatanya sebagai perang kemerdekaan. Tahun 1960, menyusul semakin berkurangnya intensitas kekerasan bersenjata, pemerintah Malaya menyatakan kalau status darurat militer di wilayahnya secara resmi sudah berakhir. Pasukan PKM yang masih tersisa bersembunyi di perbatasan Malaya & Thailand, sementara Chin Peng selaku pemimpin PKM melarikan diri ke Cina.

KONDISI PASCA PERANG

Darurat Malaya membawa kerugian yang tidak sedikit bagi pihak Inggris & Malaya. Tercatat antara tahun 1948 hingga 1955, pemerintah Malaya harus menanggung kerugian sebesar 200 juta dollar per tahun, sementara Inggris harus menanggung kerugian 500 juta dollar setiap tahunnya. Jumlah korban tewas di pihak Malaya & Inggris adalah sekitar 1.346 jiwa. Sementara itu di pihak yang berseberangan, jumlah korban tewas dari kubu PKM mencapai 6.710 jiwa.

Walaupun status darurat militer sudah tidak lagi diberlakukan, hal tersebut tidak lantas menunjukkan kalau PKM sudah kehilangan taji sepenuhnya. Tahun 1968, PKM memulai kembali pemberontakan bersenjatanya dalam skala yang lebih kecil. Periode pemberontakan tersebut dikenal dengan sebutan "Darurat Kedua" & diwarnai dengan perpecahan internal dalam tubuh PKM. Baru pada tahun 1989, pemberontakan PKM berakhir sepenuhnya & kelompok tersebut dibubarkan setelah para anggotanya mendapat pengampunan hukum serta bantuan uang dari pemerintah Malaysia.

Darurat Malaya kerap dibandingkan dengan Perang Vietnam karena kedua konflik tersebut sama-sama diikuti oleh pihak komunis & mengambil tempat di Asia Tenggara, namun dengan hasil akhir yang jauh berbeda. Jika Darurat Malaya berakhir dengan kemenangan pihak anti-komunis, maka Perang Vietnam berakhir dengan kemenangan pihak komunis. Salah satu alasan yang kerap diapungkan mengenai berbedanya hasil akhir dari kedua peperangan tersebut adalah karena kubu anti-komunis terlalu fokus mencoba mengalahkan musuhnya lewat jalur militer tanpa mencoba menarik simpati penduduk lokal. 


Penyunting : Admin PJ

0 komentar:

Posting Komentar