F CARA JITU PKI MENCARI PENGIKUT Dengan Jualan Isu Kemiskinan dan Sentimen Anti-Asing ~ PEGAWAI JALANAN

Sabtu, 10 April 2021

CARA JITU PKI MENCARI PENGIKUT Dengan Jualan Isu Kemiskinan dan Sentimen Anti-Asing



Di luar citra buruk yang telah kita ketahui tentang sepak terjang PKI, PKI tergolong sebagai partai yang sukses sebelum diberangus pada tahun 1965. Kejayaan PKI terjadi sejak Pemilu 1955. Ketika itu PKI menempati urutan keempat dalam pemilu setelah PNI, Masyumi, PNU dan PKI sukses menempatkan 39 wakil di kursi DPR dan 80 wakil di Konstituante.

Muncul Pertanyaan, mengapa banyak yang memilih PKI di tahun 1955?

Salah satu kunci pentingnya adalah kampanye PKI soal isu kemiskinan. Meski PKI dibenci setengah hidup oleh kelompok-kelompok politik mayoritas di Indonesia, tapi jurus jualan kemiskinannya diamalkan dengan baik. Tak hanya kemiskinan di kota, tapi juga kemiskinan di desa. Di kota ada buruh, di desa ada tani. Karena kemiskinan mereka, dua golongan itu potensial jadi pemilih PKI dalam pemilu. PKI sendiri punya lambang palu dan arit. Palu merepresentasikan buruh, arit mewakili petani.

Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), dengan mengutip Everett Hawkins di artikel "Labour in Developing Economics" (1962), kaum buruh adalah golongan miskin di Jakarta. Upah mereka sangat rendah.

Sementara itu pada 1953 terjadi kenaikan harga bahan pokok. Tak heran jika pada era 1950-an Tunjangan Hari Raya (THR) sudah mulai diperjuangkan kaum buruh.


Jualan Isu Kemiskinan


Soal desa, Hasim Adnan dalam tulisannya, "Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi Parahiyangan" yang dimuat dalam buku Sisi Senyap Politik Bising (2007) menyebut, “[...] biasanya PKI hanya akan berkembang di kawasan pedesaan yang mengalami kemiskinan endemik” (hlm. 44).

Subang dan Indramayu, misalnya, adalah daerah miskin yang diincar PKI. Tapi tentu saja PKI tak cuma mengincar daerah miskin di Jawa Barat.

“Kaum tani Indonesia yang merupakan 70 % daripada penduduk masih tetap berada dalam kedudukan budak, hidup melarat dan terbelakang di bawah tindasan tuan tanah dan lintah darat,” kata Ahmad alias Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, dalam pidatonya yang berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia.

“Kewajiban kaum Komunis yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke dalam front persatuan nasional,” tambah Aidit.



Lebih lanjut Aidit menjelaskan bahwa kaum komunis harus mengikis sumber-sumber penderitaan petani. “Kewajiban yang terdekat daripada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme, mengembangkan revolusi agraria antifeodal, menyita tanah tuan tanah dan memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik perseorangan mereka,” katanya pula.

Dari sini terlihat PKI hendak melakukan bagi-bagi tanah kepada para petani di desa-desa. Harap diingat, tidak semua petani punya sawah. Banyak juga yang jadi petani penggarap bagi lahan-lahan petani kaya atau tuan tanah. Sudah pasti kemiskinan semacam ini adalah lahan basah pagi PKI. “Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu perjuangan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan tuntutan bagian kaum tani,” seru Aidit.

Seperti dicatat Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 119), ada jargon “Tanah untuk kaum tani” dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam Kongres Nasional V 1954. Semua tahu BTI terkait dengan PKI.

Aidit tak lupa memberi patokan. Menurutnya, selama belum banyak kaum tani (terutama yang miskin dan tak bertanah) masuk ke partai dan jadi kader partai, maka itu artinya PKI belum bekerja sungguh-sungguh.

Tak hanya di tahun 1955, pada 1965 PKI juga konsisten dengan isu kemiskinan meski tidak ada rencana pemilu di periode itu. Mereka gemar mengulang program partai yang dirumuskan pada 1955.

“Semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma,” demikian salah satu program PKI pada 1965.

Tentu saja tak semua orang setuju dengan ide PKI yang tak pernah terwujud ini. Tapi gagasan merangkul orang susah masih diterapkan hingga kini.


Kampanye Anti-Asing


PKI, lewat mulut Aidit dalam pidato Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia, menyebut: “Salah satu bentuk pertentangan dan permusuhan antara negara-negara imperialis ialah perang imperialis yang membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian berjuta-juta manusia.”

Negara imperalis era 1950-an yang dianggap mengganggu bagi PKI adalah Amerika Serikat. Menurut PKI, seperti ditulis Aidit dalam Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis (PKI dan AURI) II, modal asing (dari Amerika) yang masuk ke Indonesia pada 1952 ditaksir mencapai 350 juta dolar.

PKI sendiri alergi pada perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan Caltex. Bagi PKI, itu adalah bentuk neokolonialisme Amerika di bidang ekonomi. PKI rupanya juga ingin terlihat anti-asing di masa itu. Semangat anti-asing dan menuduh pihak asing sebagai salah satu biang kerok masalah ekonomi masih terpelihara dan masih lumayan untuk jadi isu politik hingga kini.

Seperti umumnya partai jelang pemilu, PKI juga memberi janji-janji manis. Ideologi bukan jaminan utama kemenangan dalam pemilu. Lewat koran andalannya, Harian Rakjat (28 September 1955), sehari sebelum pemilu DPR pada 29 September 1955, PKI melempar banyak janji. Tak tanggung-tanggung, PKI memaparkan 19 janji.

Janji yang banyak itu ditujukan tak hanya ditujukan kepada kaum buruh dan tani, tapi juga nelayan, pengusaha kecil, kaum perempuan, seniman, bahkan kelompok agama. Hal terakhir terasa janggal bagi orang-orang Orde Baru, karena PKI sudah terlanjur diberi citra anti-agama.

“Bagi kaum agama, memilih PKI berarti djaminan kebebasan beragama,” demikian janji PKI nomor 10 di Harian Rakjat.




Janji yang paling krusial tentu janji soal kesejahteraan ekonomi. Seperti janji nomor 3: “Bagi kaum tani, memilih PKI berarti turunnja sewa tanah tuan-tanah, perbaikan upah buruh-tani, pentjegahan perampasan tanah kaum tani, hapusnja pologoro dan hapusnja rodi.”

Sementara bagi kaum nelayan, dalam janji No. 12 disebutkan, “memilih PKI berarti perlindungan terhadap saingan modal monopoli.”

Tak hanya kepada kaum-kaum tadi yang hingga kini masih sengsara hidupnya, para abdi negara pun tak luput diberi janji. “Bagi para pradjurit, polisi dan pegawai negeri lainnja, memilih PKI berarti djaminan hak-haknja dan perbaikan gadji,” begitu bunyi janji nomor 4.

Jurus berjanji ala PKI macam ini masih diterapkan hingga sekarang. Siapa yang tak suka gajinya diperbaiki agar besar, apalagi kalau ditambah tunjangan-tunjangan? Bukan tidak mungkin banyak PNS yang akan memilih PKI jika macam ini janjinya.

Penulis: Petrik Matanasi
Media : Tirto.id


0 komentar:

Posting Komentar