F Legenda Aji Saka Pencipta Pradaban Jawa ~ PEGAWAI JALANAN

Sabtu, 08 Mei 2021

Legenda Aji Saka Pencipta Pradaban Jawa

 


Sebelum teknologi secanggih sekarang, anak-anak zaman dulu banyak membaca melalui buku-buku sebagai pengisi waktu luang. Buku-buku yang menjadi favorit kala itu adalah tentang legenda-legenda yang ada di Indonesia. kisah-kisah legenda itu menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak kala itu. Orang-orang tua dulu juga masih mempercayai legenda-legenda, sehingga menambah rasa keingintahuan karena kesaktian-kesaktian dari kisah itu. Banyak kisah-kisah legenda berasal dari pulau jawa yang tentunya memiliki pesan moral di dalamnya. Salah satu kisah legenda yang cukup terkenal kala itu adalah tentang Aji Saka. Berikut adalah kisah legenda tentang aji saka yang mengalahkan Prabu Dewatacengkar.

Ajisaka, seorang pemuda sakti dari Majethi bersama dua orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora dan Sembada. Kedua abdi ini sama-sama setia dan sakti. Satu saat Ajisaka ingin pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia menunjuk Dora untuk menemaninya mengembara. Sedangkan Sembada, disuruh tetap tinggal di pulau Majethi. Ajisaka menitipkan pusaka andalannya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.

Di suatu daerah, ada kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh seorang raja bernama Prabu Dewatacengkar. kerajaan yang sangat makmur sejahtera yaitu kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup sejahtera. Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bernama Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya.

Pada suatu hari, juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas membuat makanan untuk prabu Dewatacengkar mengalami kecelakaan saat memasak. Salah satu jarinya terkena pisau hingga putus dan masuk ke dalam masakannya tanpa dia ketahui. Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia merasakan rasa yang enak pada masakan itu. Dia bertanya daging apakah yang dia makan. Juru masak baru sadar bahwa tangannya yang teriris telah disantap Dewatacengkar. Koki itu menjawab bahwa daging yang dimakan adalah jari tangannya yang teriris dan tidak sengaja masuk ke dalam masakannya. Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya memasakkan hidangan daging manusia setiap hari. Dia meminta sang patih kerajaan supaya mengorbankan rakyatnya setiap hari untuk dimakan.

Oleh karena terus menerus makan daging manusia, sifat Dewatacengkar berubah 180 derajat. Dia berubah menjadi raja yang kejam lagi bengis dan pemakan daging manusia. Setiap hari raja memakan seorang pria yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian rakyat takut kepada rajanya dan diam-diam lari ke daerah lain. Resiko dari pelarian ini adalah jika diketahui sang Raja maka orang tersebut akan diberi hukuman mati dengan cara di santap oleh sang raja.

Saat itu juga Ajisaka dan pengawalnya tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka heran dengan keadaan yang sepi dan menyeramkan. Dari seorang rakyat, beliau mendapat cerita kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia. Ajisaka menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan kepada Dewatacengkar agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju dan kasihan. Tetapi Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.

Dewatacengkar keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih ingin menyerahkan diri. Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan asalkan dia diberikan tanah seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu harus Dewatacengkar. Sang prabu menyetujuinya. Kemudian mulailah Dewatacengkar mengukur tanah. Saat digunakan untuk mengukur, tiba-tiba ikat kepala Dewatacengkar terus memanjang sampai menutupi seluruh kerajaan Prabu Dewata Cengkar.

Dewatacengkar marah setelah mengetahui niat Aji Saka untuk mengakhiri tirani Prabu Dewata Cengkar. Ketika Prabu Dewata Cengkar marah, sorban Aji Saka kemudian membungkus tubuh sang Prabu. Ikat kepala itu lalu membungkus seluruh tubuh sang Prabu. Panjang ikat kepala Aji Saka yang digunakan untuk mengukur tanah tadi telah sampai dijurang dekat Pantai Laut Selatan, maka Dewatacengkar terdorong ke jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Sebagai ucapan terima kasih dari rakyat Medang Kamulan, Aji Saka diangkat sebagai Raja Medang Kamulan.

Setelah penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk mengambil pusaka andalannya. Kemudian pergilah Dora ke pulau Majethi. Sesampai di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat akan pesan Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka. Dora yang juga berpegang teguh pada perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa supaya pusaka itu diserahkan. Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Pada awalnya mereka berdua hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan temannya sendiri. Tetapi pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah. Sampai pada titik akhir yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena sama-sama sakti.

Aji Saka kemudian teringat akan perintahnya kepada Sembada, agar senjatanya tidak diberikan kepada orang lain dengan dalih apa pun. Menyadari akan kesetiaan kedua utusan, dengan bergegas ia menyusul ke Gunung Kendeng untuk mencegah perselisihan di antara mereka. Tetapi sesampai di tempat itu, dia mendapati kedua utusannya sudah tergeletak di tanah bermandikan darah. Aji Saka memang dapat mengetahui alasan perselisihan itu, tetapi mereka terlanjur sudah tak bernyawa. 

Aji Saka merasa bersalah karena memberi perintah yang menimbulkan pertentangan pada kedua utusannya. Dalam hatinya ia sedih atas kejadian itu. Untuk mengenang tatanan dan sabda pertamanya sebagai seorang Raja, yang pada akhirnya malah berdampak celaka, ia kemudian memotong kulit pohon, di mana kedua mayat utusannya itu diletakkan untuk sementara waktu, dan menulis sejarah tentang apa yang terjadi, kalimatnya sebagai berikut:

Ha Na Ca Ra Ka = ono wong loro ( ada dua orang )

Da Ta Sa Wa La = podho kerengan ( mereka berdua berantem / berkelahi )

Pa Dha Ja Ya Nya = podho joyone ( sama-sama kuatnya )

Ma Ga Ba Tha Nga = mergo dadi bathang lorone ( maka dari itu jadilah bangkai semuanya / mati dua-duanya karena sama kuatnya)

Aji Saka kemudian membaca ulang tulisannya, namun tulisan itu membuatnya terkejut, karena di dalam empat kalimat itu, semua bunyi vokal terwakili. Untuk meyakinkan dirinya tentang hal itu, ia mengucapkan setiap suku kata dari setiap kalimat secara terpisah sebagai: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Setelah beberapa saat mengheningkan cipta, Aji Saka memutuskan untuk menggunakan suku kata ini sebagai sistem tulisan baru di Jawa, dan sebagai pengingat kedua utusannya yang setia.

Itulah kisah legenda tentang Ajisaka yang dulu sering diceritakan oleh orang tua. Saat ini cerita-cerita legenda di anggap sebagai mitos. Sebuah mitos yang tidak saja bertutur tentang sejarah mulai dikenalnya aksara atau tulisan bagi orang Jawa, melainkan juga menjadi momen penanda penting tentang signifikansi sebuah tradisi literasi dalam kebudayaan Jawa.



Penulis         : Riskyrito

Penyunting    : Argha Sena

Referensi           : bloranews.com, boyolali.go.id, dongengceritarakyat.com




0 komentar:

Posting Komentar