F Penjarahan Brutal Penjajah Inggris Terhadap Kesultanan Jojakarta ~ PEGAWAI JALANAN

Jumat, 23 Juli 2021

Penjarahan Brutal Penjajah Inggris Terhadap Kesultanan Jojakarta

 

Geger sepehi merupakan salah satu peristiwa yang membuat keraton Yogyakarta kehilangan banyak manuskrip. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 s/d 20 juni tahun 1812, geger sepehi adalah pertempuran antara inggris dan keraton Yogyakarta. Pada bulan Mei 1811, Daendels digantikan posisinya sebagai Gubernur Jendral oleh Jan Willem Jansens. Pada tanggal 4 Agustus 1811, balatentara Inggris menyerbu Batavia dan membuat Jawa akhirnya jatuh ke tangan Inggris.

Dikutip dari Anak Bangsawan Bertukar Jalan (2006) karya Budiawan, Belanda yang saat itu menjadi taklukan Perancis menyerah kepada Inggris dan harus menyerahkan wilayah kekuasaannya. Lewat Perjanjian Tuntang, Hindia (Indonesia) pun diambil alih Inggris. Karena Inggris telah mengalahkan Belanda, maka Inggris membuat kebijakan terkait pertanahan dan pengelolaan keuangan. Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak berkenan. Sikap penentangan mulai muncul, bahkan ia menghimpun kekuatan secara terang-terangan. Bagi sultan, Belanda maupun Inggris sama-sama bangsa asing yang ingin menginjak-injak dan menguasai bumi Mataram. Terlebih lagi, sikap orang-orang Inggris cenderung arogan dan kurang bisa menghargai tradisi keraton saat menemui HB II di Keraton Yogyakarta.

Secara diam-diam, Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta memberikan dukungan kepada Hamengkubuwana II untuk menghadapi Inggris. Di sisi lain, Inggris mendapatkan bantuan dari keluarga dinasti Mataram lainnya, yakni Kadipaten Mangkunegaran, yang merupakan pecahan Kasunanan Surakarta. Selain itu, Inggris juga didukung Pangeran Natakusuma. Orang ini adalah putra HB I atau paman HB II. Pangeran Natakusuma sudah sejak lama sering berselisih dengan keponakannya itu.

Menurut Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), sebagai “musuh” dari HB II, Pangeran Natakusuma berusaha sekuat tenaga agar memperoleh status merdeka dari istana. Itulah alasan mengapa Natakusuma bersedia membantu Inggris.
Inggris mengerahkan tidak kurang dari 1.200 orang prajurit berkebangsaan Eropa, ditambah serdadu Sepoy dari India. Selain itu, bantuan juga datang dari Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Adipati Mangkunegara II memerintahkan Pangeran Prangwedana memimpin 800 orang prajurit menuju Yogyakarta.

Pada tanggal 17 Juni 1812 malam, pasukan Inggris memasuki Yogyakarta. Namun pasukan Yogyakarta berhasil melukai dan menghalau bala tentara Inggris. Keesokan harinya Inggris mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II, namun utusan tersebut ditolak. Sekembalinya utusan tersebut ke pasukan Inggris, api peperangan pun mulai berkobar. Tembakan meriam terdengar dari arah Keraton Yogyakarta, menandakan sikap tidak mau kompromi dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.


Situasi keraton kala itu digambarkan oleh Mayor William Thorn, seorang prajurit yang tergabung dalam pasukan Inggris, sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Di sekeliling kraton terdapat parit-parit lebar dan dalam, dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu akses masuknya. Terdapat pula beberapa bastions tebal yang dilengkapi dengan meriam. Tembok-tembok tebal yang mengelilingi halaman-halaman istana dilengkapi dengan prajurit bersenjata. Pintu utama menuju kraton juga dilengkapi dengan dua baris meriam. William Thorn mencatat setidaknya ada 17.000 prajurit dan ratusan warga bersenjata tersebar di kampung-kampung, mempertahankan wilayah Yogyakarta.

Serangan-serangan kecil terus berlangsung hingga tanggal 19 Juni 1812 pukul 9 malam. Setelah itu, kondisi Yogyakarta kembali senyap. Tanpa ampun, pasukan gabungan Inggris menghujani istana dengan meriam dan peluru. Angkatan perang Kesultanan Yogyakarta telah kehabisan amunisi dan energi. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”Bantuan yang diharapkan dari Kasunanan Surakarta tidak kunjung datang. Pakubuwana IV ternyata tidak berbuat apa-apa kecuali hanya menempatkan pasukannya di seberang jalur-jalur komunikasi Inggris.

Dini hari tanggal 20 Juni 1812, meriam-meriam Inggris kembali ditembakan. Serangan meriam ini mengarah ke Alun-alun Utara, tepat ke arah pintu masuk keraton. Serangan besar-besaran kemudian menyusul pada pukul 5 pagi. Pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan pasukan Sepoy (India), dibantu pasukan dari Legiun Mangkunegaran, menyerang Keraton Yogyakarta. Kekuatan utama serangan pasukan Inggris diarahkan ke sisi timur laut benteng. Dalam Babad Sepehi disebutkan bahwa bagian ini tidaklah terjaga kuat. Serangan tidak berjalan terlalu lama, hanya beberapa jam saja sudut benteng ini runtuh dengan diawali meledaknya meriam dan gudang mesiu. Sekitar jam 8 pagi, benteng benar-benar jatuh ke tangan pasukan Inggris.

Segera setelah benteng ini direbut, pasukan Sepoy mengarahkan seluruh meriam ke arah Keraton Yogyakarta. Serangan ini kemudian disusul dengan masuknya pasukan dari arah Gerbang/Plengkung Nirbaya yang berhasil dikuasai. Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian menyerah ketika pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti dan akhirnya Yogyakarta menyerah. HB II dipaksa menyepakati perjanjian yang disodorkan Inggris. Salah satu isinya adalah Kesultanan Yogyakarta wajib menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Natakusuma. Inilah yang kemudian menjadi Kadipaten Pakualaman.

Setelah menduduki Keraton Yogyakarta pada pertengahan 1812, Inggris dan pasukannya menjarah isi istana. Sejumlah besar uang dan harta diambil. Perpustakaan yang menyimpan berbagai koleksi manuskrip, kitab-kitab lama, foto-foto langka, karya-karya pujangga, serta bermacam arsip dan buku-buku berharga turut dirampas.

Tak hanya itu, Sultan HB II dimakzulkan dari takhtanya, lantas diasingkan ke Penang (kini wilayah Malaysia). Inggris kemudian menaikkan putra HB II, Raden Mas Surojo, sebagai raja baru dengan gelar Hamengkubuwana III. Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Kadipaten Pakualaman (1985) menyebutkan, Inggris melantik Pangeran Natakusuma dengan gelar Pakualam I pada 29 Juni 1813. Inggris kemudian mengakui Pakualam I sebagai pangeran merdeka, diberikan tanah, tunjangan, pasukan, hak memungut pajak, serta hak takhta turun-temurun.

Pada 1 Agustus 1812, pemerintah Inggris memaksa Keraton Yogyakarta dan Surakarta untuk menandatangani perjanjian yang sangat merugikan bagi bangsawan-bangsawan Jawa. Perjanjian tersebut memangkas kekuatan militer kerajaan sampai sebatas yang diizinkan Inggris. Beberapa wilayah mancanegara dan negaragung, seperti Japan (Mojokerto), Jipang, dan Grobogan, diambil paksa sehingga membuat para pejabat yang memerintah di sana kehilangan jabatan dan penghasilan. Pengelolaan gerbang-gerbang cukai jalan dan pasar juga diserahkan kepada Inggris, ini tidak hanya menghilangkan pendapatan dari pungutan tapi juga membuat perdagangan dikuasai oleh pihak asing.

Selain itu, Inggris juga menetapkan bahwa semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar wilayah kerajaan berada dalam hukum kolonial. Mereka tidak lagi dapat diadili di bawah hukum Jawa-Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pergolakan besar dalam masyarakat Jawa. Ketidakpuasan dan rasa kekecewaaan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu Perang Jawa (1825-1830). Geger Sepehi tidak hanya sebuah sejarah kekalahan yang meruntuhkan kewibawaan, namun juga menjadi tonggak lahirnya tata dunia baru di tanah Mataram yang akibat-akibatnya masih dapat terus dirasakan hingga kini.

Menurut Peter Carey, tentara Inggris-Sepoy menjarah keraton besar-besaran. Peti berisi harta benda dari keraton hilir mudik diangkut dengan gerobak melalui alun-alun sampai empat hari lamanya. Barang jarahan diangkut ke kepatihan. Lalu semua yang berharga seperti manuskrip dibawa ke Rustenburg (keresidenan). Hasil jarahan dibagikan di antara para perwira. Peter Carey pun menyebut Inggris sebagai pencuri aset Indonesia nomor wahid. Bahkan, penjarahan dilakukan pada korban yang dihabisi secara brutal sebagaimana terungkap dalam babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir.

Dalam babad itu disebutkan bahwa Pangeran Sumodiningrat, keturunan sultan pertama dan panglima pasukan Yogyakarta, dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti dan badannya dimutilasi. "Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan perhiasan yang dipakai Sumodiningrat," kata Peter Carey.

Itulah peristiwa geger sepehi yang sangat merugikan keraton Yogyakarta karena banyak manuskrip dan barang-barang penting di keraton yang dibawa oleh Inggris. Hingga kini pihak keraton masih berusaha untuk mengambil kembali manuskrip yang masih tersimpan di British Library, London, Inggris. Hingga kini pihak Inggris telah mengembalikan beberapa manuskrip yang telah berbentuk digital. Pengembalian barang-barang bersejarah itu dipicu oleh dekolonisasi yang dicetuskan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pidatonya di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017.

 

Penyusun            : Riskiryto

Penyunting        : Argha Sena

Referensi          

  1. nationalgeographic.grid.id
  2. historia.id
  3. kompas.com
  4. kratonjogja.id
  5. tirto.id

0 komentar:

Posting Komentar