F DUA TOKOH PAHLAWAN DARI KALANGAN KOMUNIS!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Minggu, 10 Oktober 2021

DUA TOKOH PAHLAWAN DARI KALANGAN KOMUNIS!!!

        


        Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata Belanda tidak mengakui kemerdekaan tersebut. Bahkan Belanda ingin kembali menjajah Indonesia pasca kekalahan Jepang karena di jatuhi Bom Atom oleh Amerika Serikat. Pasukan sekutu mendarat di Indonesia untuk mengevakuasi orang Belanda yang menjadi tahanan Jepang, sekaligus meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan senjata-senjata Jepang yang sudah dirampas oleh rakyat Indonesia. Pihak sekutu mengultimatum Indonesia untuk menyerahkan senjata yang sudah dirampas tersebut. Akhirnya ribuan rakyat Indonesia memutuskan melawan pasukan Sekutu yang dituding berpihak kepada Belanda dengan pasukan NICA. Lebih dari belasan ribu penduduk Surabaya dan sekitarnya tewas dalam pertempuran itu.

        Sejak era pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia telah menganugerahi gelar pahlawan bagi sejumlah tokoh-tokoh nasional, baik yang mengangkat senjata, tulisan atau pemikirannya untuk melawan penjajahan.

        Dari sejumlah nama yang dipublikasikan, ada dua tokoh komunis yang pernah menerima gelar tersebut, siapa saja mereka?  Keduanya adalah Alimin dan Tan Malaka. Mereka berdua adalah tokoh perjuangan sekaligus tokoh komunis pertama.

        Alimin bin Prawirodirdjo, dianugerahi sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 163 Tahun 1964 tertanggal 26-6-1964. Sejak remaja, Alimin aktif dalam pergerakan nasional. Dia pernah menjadi anggota Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Insulinde.

            Setelah berpisah dengan Sarekat Islam, Alimin bersama-sama dengan Semaoen dan Darsono mendirikan Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) dan kemudian berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Alimin kemudian dipilih sebagai salah satu pemimpin dalam organisasi tersebut.

        Awal 1926, Alimin berangkat ke Singapura untuk berunding dengan Tan Malaka untuk mempersiapkan pemberontakan melawan Belanda. Belum juga menginjakkan kakinya di Indonesia, ternyata pemberontakan sudah dimulai pada 12 November 1926. Dia dan Musso ditangkap polisi Inggris.

        Setelah keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Di sana dia bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou). Saat itu, ia terlibat secara ilegal mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Prancis.

        Dia kembali ke Indonesia pada 1946 setelah naskah proklamasi dibacakan. Dia kembali bergabung dengan PKI, sebagai tokoh senior. Sempat menjadi anggota konstituante di era Orde Lama.   DN Aidit menghidupkan kembali PKI di awal tahun 1950-an dan menjadi Ketua Komite Sentralnya. Namun Alimin tak diajak bergabung. Alimin lalu meninggal tahun 1964.

        Tan Malaka juga merupakan salah satu tokoh berpengaruh, baik dalam pergerakan Indonesia maupun komunis. Pria bernama asli Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka ini semula bergabung dengan Sarekat Islam (SI), di organisasi inilah dia ditawari untuk bergabung dengan PKI.  Akibat rongrongan Semaoen dan Darsono, SI kemudian pecah menjadi SI Putih dan SI Merah. Di sinilah awal bergabungnya Malaka bersama PKI. Akhir 1921, dia diangkat menjadi ketua PKI menggantikan Semaoen yang meninggalkan Indonesia menuju Moskow, Uni Soviet. Berbeda dengan Semaoen yang berhati-hati, Malaka memiliki pemikiran yang radikal.

        Meski memimpin PKI, dia tetap membangun hubungan baik dengan Sarekat Islam. Malaka beranggapan, komunis dan Islam memiliki tujuan yang sama dan bisa dipakai dalam revolusi Indonesia. Sebuah pemikiran yang bertentangan dengan kelompok komunis di Barat, mereka menganggap agama adalah alat oleh kelas penguasa.  Pemikirannya yang radikal membuatnya ditangkap pemerintah Hindia Belanda, dia lantas ditangkap saat mendatangi sekolah yang didirikannya dan dibuang ke Kupang. Namun, dia meminta agar dibuang ke Belanda.

        Di negeri Kincir Angin itu, dia bergabung dengan Partai Komunis Belanda, dan sempat menjadi kandidat terkuat mengisi kursi kepemimpinan di organisasi itu. Setelah itu, dia pernah mendatangi beberapa negara sebelum kembali ke Indonesia. Silahkan baca buku karya Tan Malaka "Dari Penjara ke Penjara" untuk mengetahui perjalanan hidup Tan Malaka.

        Usai proklamasi dibacakan, dia kembali menggunakan nama aslinya setelah 20 tahun memakai nama palsu. Dia menuju Pulau Jawa dan menyaksikan perjuangan rakyat melawan tentara Inggris. Dia melihat adanya perbedaan cara pandang terhadap bentuk perjuangan antara rakyat dengan pemerintah. Dia menganggap pemerintah terlalu lemah menghadapi bangsa Barat. Tan Malaka terkenal dengan sikapnya yang tidak mau kompromi terhadap Penjajah, Merdeka 100% menjadi tujuan hidupnya untuk menjadikan Rakyat Indonesia benar-benar sejahtera.

        Dia pun mendirikan Persatuan Perjuangan, dan menggabungkan 140 organisasi kecil tanpa mengundang PKI. Dalam sebuah kongres, organisasi bentukannya hanya menginginkan kemerdekaan sebagai satu-satunya solusi, mendesak Soekarno-Hatta memenuhi harapan rakyat dan menasionalisasi perusahaan perkebunan dan industri asing.

        Malaka pernah bertemu dengan Soekarno, tokoh proklamasi Indonesia ini meminta Malaka agar ikut membantunya dalam perjuangan melawan Belanda. Konon, Soekarno pernah memintanya untuk menjadi penggantinya jika ditangkap sekutu.

        Agresi militer yang dilancarkan Belanda membuat Malaka tak mampu membesarkan Partai Murba yang didirikannya. Tujuan utamanya adalah menjadikan Indonesia merdeka 100% tanpa harus beramah tamah terhadap maling yang menjajah dan mengeruk sumber daya alam kita. Dengan alasan tersebut makanya dia tak mau bernegosiasi dengan barat demi kemerdekaan Indonesia.

    Hidupnya berakhir akibat ditembak mati pasukan TNI ketika sedang bertahan saat menghadapi serangan Belanda. Dalam keadaan terluka, dia berjalan ke sebuah pos TNI dan tewas akibat peluru dari saudara sebangsanya sendiri tepatnya pada 21 Februari 1949. Dia ditembak mati oleh Letda Sukotjo dari Batalion Sikatan.

Argha Sena

0 komentar:

Posting Komentar