F JASA RUSIA (PEWARIS UTAMA UNISOVIET) KEPADA INDONESIA ~ PEGAWAI JALANAN

Senin, 07 Maret 2022

JASA RUSIA (PEWARIS UTAMA UNISOVIET) KEPADA INDONESIA

 

 

Konflik Rusia dan Ukraina masih terus terjadi hingga saat ini. Bahkan resolusi PBB telah dilakukan atas konflik tersebut dengan melalukan pemungutan suara pada negara-negara anggota PBB. Hasil Resolusi tersebut adalah sebanyak 141 negara sepakat agar Rusia menghentikan operasi militernya, 35 negara abstain, dan 5 negara menolak resolusi tersebut. Posisi Indonesia saat melakukan voting memilih untuk setuju dengan resolusi tersebut untuk meminta Rusia menghentikan operasi militernya. Dari pilihan tersebut apakah akan merusak hubungan baik Indonesia dengan Rusia yang telah lama terjalin. Pasalnya Indonesia telah berhubungan baik sejak Rusia masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Rusia juga pernah membantu Indonesia dalam bidang perekonomian, pembangunan, dan militer. Rusia saat masih menjadi bagian dari Uni Soviet, dan Uni Soviet adalah Negara yang menyambut baik lahirnya bangsa Indonesia.

Periode 1945-1950 merupakan periode perjuangan diplomasi bangsa Indonesia untuk mencari pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan bangsa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peranan Uni Soviet dalam perjuangan bangsa Indonesia ini besar. Uni Soviet merupakan salah satu negara yang menyambut baik lahirnya Indonesia sebagai negara merdeka dan Uni Soviet mengecam segala bentuk kolonialisme. Tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan RI mengharapkan dukungan dan bantuan dari Uni Soviet. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Uni Soviet berkali-kali mengangkat masalah Indonesia dan menuntut PBB untuk menghentikan agresi militer Belanda, serta menghimbau dunia internasional untuk mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Uni Soviet membela Indonesia dalam pertemuan-pertemuan di organisasi PBB serta organisasi internasional lainnya. Misalnya, pada tahun 1947-1948 dalam sidang ECOSOC diajukan sejumlah usulan untuk diakuinya kedaulatan Indonesia dan dalam konferensi Delhi, Januari 1949 Uni Soviet mengecam Agresi Militer terhadap Indonesia dan menghimbau dunia internasional untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Mei 1948 dilakukan perundingan antara Duta Besar Uni Soviet untuk Czechoslovakia, M. Silin dengan Suripno dan disepakati untuk menjalin hubungan kedua negara pada tingkat konsul. Persetujuan Konsuler ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Haji Agus Salim. Ini menunjukan adanya hubungan antara Indonesia dengan Uni Soviet pada masa revolusi di Indonesia

Hubungan harmonis kedua negara mulai berkembang ketika usai Perang Dunia II. Pada tanggal 25 Januari 1950, Menteri Luar Negeri Uni Soviet, A. Vyshinsky menyampaikan secara tertulis kepada Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Moch. Hatta bahwa Uni Soviet mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Indonesia dan Uni Soviet mulai menjalin hubungan diplomatik pada tahun ini. Alasannya adalah karena Uni Soviet membutuhkan sekutu setelah perang, sedangkan Indonesia berupaya mencari dukungan untuk menghilangkan bekas-bekas penjajahan Belanda. Pada bulan Mei 1950 Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh N. Palar berkunjung ke Moskow untuk melakukan perundingan dan hasil dari perundingan tersebut disampaikan pada Sidang Kabinet yang dihadiri Presiden Soekarno, 16 Mei 1950, yaitu kesepakatan untuk saling membuka Kedutaan Besar dan tanggapan positif Uni Soviet mengenai masuknya Indonesia menjadi anggota PBB.

Pemerintah Soviet mulai membicarakan Indonesia di tingkat Komite Pusat (Partai Komunis Uni Soviet) pada tahun 1955, ketika penandatanganan Dasasila Bandung (sepuluh poin hasil pertemuan Konferensi Asia-Afrika), peristiwa itu menarik seluruh perhatian dunia. Sejak itu, nama presiden Indonesia, Soekarno, mulai sering muncul di surat-surat kabar Uni Soviet. Secara perlahan, Indonesia mulai menarik perhatian Uni Soviet. Hubungan diplomatik kedua negara semakin kuat. Di tengah gencarnya Perang Dingin, Indonesia tetap bersikukuh tak memihak dan mempertahankan sikap nonbloknya. Bahkan, Indonesia mempelopori Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia. Inilah yang membuat PM Nikita Khrushchev membawa Uni Soviet semakin dekat dengan Indonesia.

Pada tanggal 28 Agustus-12 September 1956 Presiden Soekarno berkunjung ke Moskow. Dalam kunjungan tersebut, pada tanggal 11 September 1956 dihadapan Presiden Soekarno dan petinggi-petinggi Uni Soviet seperti Mikoyan, Voroshilov, Kaganovich dan Malenkov, Menteri Luar Negeri Indonesia Ruslan Abdulgani dan Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet Gromyko menandatangani Kesepakatan Bersama (Joint Statement). Pada Februari 1960, Perdana Menteri Nikita Khuschev berkunjung ke Indonesia dan mencapai kesepakatan dari hasil kunjungan ini. Kesepakatan-kesepakatan yang dicapai adalah peningkatan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, maupun militer. Dalam bidang militer, Pengucuran bantuan dana digunakan untuk  pembangunan berbagai proyek dan pemasokan peralatan militer dari Uni Soviet untuk Indonesia. Proyek-proyek pembangunan dari Uni Soviet juga diberikan untuk Indonesia seperti pembangunan Rumah Sakit “Persahabatan”, Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, pembangunan jalan, jembatan dan lapangan terbang di sejumlah daerah di Indonesia, pembangunan pabrik baja dan fasilitas-fasiltas lainnya.

        Masalah Irian Barat juga  menjadi salah satu dasar kedekatan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet. Pemerintahan Presiden Soekarno berupaya untuk mengakhiri secara tuntas sisa-sisa kolonialisme Belanda di bumi Pertiwi, terutama di Irian Barat. Pada tahun 1952 Belanda secara sepihak memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaannya, sedangkan Indonesia menganggap bahwa Irian Barat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk menjaga terjadinya perang terbuka dengan Belanda, Indonesia memerlukan Angkatan Bersenjata dengan peralatan militer yang kuat. Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu melakukan pendekatan kepada Amerika Serikat atau Uni Soviet untuk pengadaan peralatan militer. Di antara kedua negara tersebut sedang terjadi Perang Dingin dan saling berebut pengaruh terhadap negara-negara lain yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Indonesia dengan prinsip politik luar negeri “bebas aktif” tidak memihak pada salah satu blok. Sebelumnya Indonesia melakukan penjajakan pengadaan peralatan militer dari Amerika Serikat. Namun, tidak berhasil mengingat Belanda adalah sekutu Amerika Serikat. Kemudian Indonesia mencoba melakukan penjajakan ke Uni Soviet dan mendapat sambutan yang baik dari Pemerintah Uni Soviet.

Dalam pertemuan dengan Jenderal TNI A.H. Nasution di Moskow, Perdana Menteri Nikita Khruschev menyampaikan bahwa Indonesia dapat memperoleh semua peralatan militer di Uni Soviet. Pada tanggal 28 Desember 1960, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan peralatan militer dan pada awal tahun 1962 peralatan militer mulai dikirim secara berkesinambungan ke Indonesia. Dalam kurun waktu yang singkat Angkatan Bersenjata Indonesia menjadi kuat yang dilengkapi dengan sejumlah kapal selam, pesawat tempur dan peralatan militer lainnya.



Uni Soviet memberikan sebuah bantuan berupa bidang teknologi kapal perang yaitu kapal dengan proyek 68 bis Ordzhonikidze yang disebut dengan KRI Irian 201. Pada kapal perang ini memiliki kemampuan mengangkut sebuah Meriam dengan kaliber kecil yakni Meriam kaliber engan 150mm dengan sebuah performa yang baik. Pada April 1962 Kapal Ordzhonikidze ini berangkat ke Negara Indonesia, Uni Soviet juga membantu Indonesia dalam menyiapkan militer untuk menghadapi Belanda yang masih menguasai Irian Barat. Usaha yang dilakukan Uni Soviet yaitu berupa pengiriman pesawat tempur dan peralatan lain yang dibutuhkan dalam militer. Tidak hanya itu, para perwira dari Uni Soviet juga melibatkan diri untuk menghadapi Belanda. Bahkan mereka berani berhadapan dengan sekutu dari Belanda, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Kedua Negara itu memberikan kesepakatan kepada Rusia memilih kemerdekaan Indonesia atau perang dingin. Namun pada akhirnya, Inggris dan Amerika memilih tidak memberikan bantuan kepada Belanda, sehingga Irian Barat bisa lepas dari Belanda. Dengan melihat keadaan demikian, masalah Irian Barat dapat diselesaikan melalui jalan damai dan Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Pada tahun 1965 Indonesia dihadapkan pada gejolak sosial dan politik dalam negeri dan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia. Setelah berhasil mengatasi hal tersebut, secara nasional ditandai dengan komitmen pembangunan ekonomi yang sangat membutuhkan investasi, perdagangan luar negeri dan bantuan negara industri maju, khususnya dari Barat yang mendorong berdirinya era Orde Baru. Pada awal Orde Baru hubungan dan kerjasama antara Indonesia dengan Uni Soviet tidak begitu dekat seperti terjadi pada awal tahun 1960-an. Oleh karena itu, Uni Soviet seolah-olah jauh dari “radar” Indonesia. Pada masa saat inilah akhir masa kerja kapal perang Ordzhinikidze ini juga menjadi saksi bisu hancurnya hubungan Indonesia dan Uni Soviet. Soeharto tidak memperbolehkan serikat buruh dan Partai Komunis setelah adanya sebuah upaya kudeta yang dilakukan. Bentuk hubungan persahabatan Indonesia dan Soviet berubah menjadi sebuah penjara untuk orang yang melawan. Pada akhirnya kapal tersebut dilucuti dan tidak jadi dijualkan pada Indonsia pada tahun 1972.

Upaya-upaya untuk mengatasi masalah hubungan bilateral terus dilakukan. Terobosan untuk memajukan kembali hubungan kedua negara dimulai dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Uni Soviet pada tanggal 7-12 September 1989, di mana ditandatangani Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antara Indonesia dengan Uni Republik-republik Soviet Sosialis pada tanggal 11 September 1989. Dokumen tersebut mempunyai arti penting yang menggariskan dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerjasama guna mengembangkan lagi kerjasama di berbagai bidang.

Pada tahun 1990-an terjadi perubahan geopolitik di fora internasional yang ditandai antara lain dengan runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet sebagai tanda berakhirnya “Perang Dingin”. Hal ini berdampak pula pada hubungan Indonesia dan Rusia. Uni Soviet yang dibentuk pada tanggal 30 Desember 1922, dinyatakan bubar pada tanggal 25 Desember 1991. Pada tanggal 28 Desember 1991 melalui surat Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Ali Alatas yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Andrei Vladimirovich Kozyrev, Pemerintah Indonesia mengakui secara resmi Federasi Rusia sebagai “pengganti sah” (legal successor) Uni Soviet. Hubungan kedua negara mulai menunjukan peningkatan baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan perdagangan.

Pada tahun 1997 Menteri Koordinator Bidang Keuangan, Ekonomi dan Industri Ginanjar Kartasasmita dan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie berkunjung ke Rusia. Sementara itu, kerjasama antara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Federasi Rusia semakin erat yang didasarkan pada Protokol Konsultasi Bersama yang ditandatangani pada tahun 1988. Keinginan kedua negara untuk lebih meningkatkan hubungan dan persahabatan tercermin dengan adanya keinginan untuk memperbaharui Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antara Indonesia dengan Uni Republik-republik Soviet Sosialis yang ditandatangani Presiden Soeharto dan Presiden Mikhail Gorbachev pada tanggal 11 September 1989.

Hubungan bilateral Indonesia-Federasi Rusia mengalami perkembangan yang sangat signifikan setelah ditandatanganinya Deklarasi Kerangka Kerjasama Hubungan Persahabatan dan Kemitraan antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia dalam Abad ke-21. Persetujuan-persetujuan yang ditandatangani adalah Persetujuan kerjasama di bidang Teknologi Antariksa dan Pemanfaatannya antara LAPAN dan Badan Penerbangan dan Antariksa Rusia, Persetujuan kerjasama Teknik-Militer antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Rusia, Persetujuan kerjasama dan Pertukaran Informasi antara Bank Indonesia dan Bank Sentral Federasi Rusia, Persetujuan kerjasama antara Vnesheconombank (the Bank for Foreign Economic Affairs of the USSR) dan PT. Bank Mandiri, dan Persetujuan kerjasama antara Vneshtorgbank (Bank of Foreign Trade) dan Bank Mandiri.

Pada saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Rusia, 1 Desember 2006, telah ditandatangani 10 Persetujuan, antara lain Persetujuan kerjasama di bidang nuklir untuk maksud-Maksud damai, Persetujuan bebas visa bagi pemegang paspor diplomatik dan dinas, Persetujuan kerjasama di bidang kedirgantaraan, Persetujuan kerjsama sister city Jakarta-Moskow, Persetujuan kerjasama Kejaksaan Agung, Persetujuan kerjasama di bidang pariwisata dan kerjasama antar KADIN. Bagi Indonesia, kunjungan Presiden Federasi Rusia, 6 September 2007 memiliki arti strategis dan bersejarah karena merupakan kunjungan Presiden Federasi Rusia pertama ke Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, ditandatangani sejumlah Persetujuan bilateral kedua negara di bidang lingkungan hidup, pendidikan, kebudayaan, olahaga dan kepemudaan, investasi, pariwisata, perbankan dan state loan dari pemerintah Rusia kepada pemerintah Indonesia senilai US$1miliar untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan produk Rusia. Peningkatan kerjasama kedua negara tidak hanya terjadi pada bidang politik, ekonomi, perdangan dan investasi, sosial dan budaya, pendidikan, tetapi juga pada bidang lainnya, seperti militer, pariwisata, perhubungan, penanggulangan bencana, pemberantasan terorisme, olahraga, keagamaan hingga masalah pemilihan umum.

Itulah Jasa negara Rusia kepada negara Indonesia, disaat negara-negara lain belum sepenuhnya setuju dengan merdekanya bangsa indonesia, Rusia telah memasang badan melindungi kemerdekaan republik Indonesia. Sangat disayangkan pada saat pemungutan suara yang dilakukan, indonesia memilih agar Rusia menghentikan operasi militernya dengan mengikuti mayoritas yang mengecam tindakan Rusia. saat ini seolah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia dan menentukan tindakan tersebut sebagai salah.

Indonesia yang selalu berada ditengah antara Amerika dan Rusia saat ini mulai mengekor dibelakang Amerika dan sekutunya. Padahal Indonesia yang sejak perang dingin selalu berada diposisi non blok. Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Rusia dan Ukraina. Oleh sebab itu, Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dan sekutu yang cenderung berpihak pada Ukraina dan mengecam Rusia. Indonesia juga seakan melupakan sejarah yang pernah dialami di masa lalu tentang hubungan baik antara Indonesia dan Rusia. Di masa lalu Indonesia pernah pada posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim). Ketika itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timor Timur berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun oleh AS dan kawan-kawan, dihakimi sebagai tindakan aneksasi. Padahal Amerikalah yang awalnya mendukung integrasi tersebut, tetapi di akhir-akhir perjuangan, mereka malah menentang dan menjilat air ludahnya sendiri.


              Referensi : id.wikipedia.org

kemlu.go.id

nasional.kompas.com

yoursay.suara.com

0 komentar:

Posting Komentar