F LAKSAMANA MAEDA PERWIRA JEPANG PALING BERJASA BAGI INDONESIA TAPI BERAKHIR MENDERITA!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Sabtu, 19 Maret 2022

LAKSAMANA MAEDA PERWIRA JEPANG PALING BERJASA BAGI INDONESIA TAPI BERAKHIR MENDERITA!!!

  


Mungkin banyak dari kita yang tidak mengetahui bahwa ada seorang perwira pasukan Jepang yang membantu kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan ia sampai rela menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan bagi Republik Indonesia. Dia bahkan tidak menghiraukan resiko yang mungkin akan dia terima di kemudian hari dari tindakannya tersebut. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Laksamana Maeda. karena jasanya tersebut, Laksamana Maeda mendapatkan bintang Jasa Naraya dari pemerintah Republik Indonesia, akan tetapi berkebalikan dengan yang ia terima dari Indonesia, ia malah bernasib tragis di negara asalnya sendiri. Walaupun ia adalah mantan dari perwira tinggi Angkatan laut Jepang yang menguasai Indonesia, namun setelah Kembali ke negaranya ia hidup dalam keadaan miskin dan melarat.

Laksamana Muda Tadashi Maeda adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik. Selama pendudukan Indonesia di bawah Jepang, ia menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang. Ia juga pernah menjadi atase militer Jepang di Den Haag, Belanda, dan Jerman pada masa sebelum perang atau sekitar 1930-an.

Laksamana Muda Maeda memiliki peran yang cukup penting dalam kemerdekaan Indonesia dengan mempersilakan kediamannya yang berada di Jl. Imam Bonjol, No.1, Jakarta Pusat sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi oleh SoekarnoMohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, ditambah sang juru ketik Sayuti Melik.

Dalam diri Maeda muncul simpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia sejak dia bertugas di Belanda. Saat itu, Maeda kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia, seperti Nazir Pamuntjak, Ahmad Subardjo, Mohammad Hatta, dan AA Maramis. Setelah bertugas di Den Haag dan Berlin, Maeda dipanggil pulang ke Jepang dan menerima tugas baru di Indonesia pada 1942. Saat berdinas di Jakarta inilah Maeda mendirikan sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka pada Oktober 1944 bagi para pemuda terpilih.

Ahmad Subardjo bersama Wikana menjadi penggerak Asrama Indonesia Merdeka, sedangkan Maeda menjadi sponsor sekolah itu. Maeda juga yang kemudian meresmikan asrama tersebut di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat dan dipindahkan ke Jalan Kebon Sirih 80 pada Oktober 1944. Hampir semua figur nasionalis menjadi pengajar di sekolah ini. Seperti Soekarno yang mengajarkan politik, Hatta mengajarkan ekonomi, Sanoesi Pane mengajarkan Sejarah Indonesia, Sjahrir mengajarkan sosialisme, Iwa Kusuma Sumantri mengajarkan hukum pidana, dan Ahmad Subardjo mengajarkan hukum internasional.

Mohammad Hatta dalam Memoir (2002) sempat menceritakan jasa Maeda, khususnya pada waktu sebelum Proklamasi. Hatta bercerita saat itu pertengahan Agustus 1945, santer berita bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu, tetapi masih simpang siur. Akhirnya Hatta dan Sukarno bersama Soebardjo pada 15 Agustus 1945 mendatangi Maeda untuk mengonfirmasi berita itu.

Sukarno menanyakan kebenaran tentang berita yang terdengar bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Maeda tidak langsung menjawab pertanyaan dari Sukarno. Setelah begitu lama berdiam diri dan wajah muka yang kelihatan sedih, Admiral Mayeda menjawab, bahwa berita itu memang disiarkan oleh Sekutu. Tetapi dia belum memperoleh berita dari Tokyo. Sukarno, Hatta dan Soebardjo lalu meninggalkan kantor Rear-Admiral Mayeda dengan keyakinan, bahwa Jepang sungguh-sungguh menyerah.

Jawaban Maeda itulah yang kemudian memicu munculnya gerakan dan desakan agar Indonesia segera mendeklarasikan kemerdekaan. Jawaban implisit Maeda seolah menjadi sebuah isyarat bagi pemimpin pergerakan bahwa sudah saatnya untuk memerdekakan Indonesia. Keinginan yang kemudian juga difasilitasi oleh Maeda dengan mempersilakan kediamannya dipakai tempat merumuskan naskah Proklamasi. Kesediaan Maeda menyediakan rumahnya sebagai tempat rapat yang juga tempat merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bukti simpati pribadi terhadap kemerdekaan Indonesia.

Sukarno mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kesediaan Maeda meminjamkan rumahnya untuk rapat PPKI malam itu. Maeda sontak menjawab, "Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia merdeka."

Padahal seharusnya, tugas Maeda berdasarkan perintah yang diberikan kepadanya harus menjaga status quo di Indonesia.

Memasuki 17 Agustus 1945 tengah malam, puluhan tokoh pemuda serta anggota PPKI telah berkumpul di rumah Laksamana Maeda. Proses perumusan naskah proklamasi dilakukan oleh Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo di ruang makan, sedangkan yang lainnya menanti di ruang besar. Seusai merumuskan naskah proklamasi, Sukarno melangkah ke ruang besar di rumah Laksamana Maeda, tempat berkumpul 40 sampai 50-an orang.

Hatta mengusulkan agar mengikuti deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang founding fathers-nya meneken semua. Setelah disepakati siapa yang harus menandatangani apa saja yang harus diubah dan sudah sepakat, Sukarno meminta kepada Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi dengan didampingi wartawan BM Diah.

Namun, masalah baru pun muncul. Laksamana Maeda tidak memiliki mesin ketik dengan huruf Latin, tapi huruf kanji. atas perintah Maeda, Satsuki Mishima berusaha untuk mencari dan meminjam sebuah mesin ketik dari Konsulat Jerman. Di kediaman Mayor Kandelar terdapat mesin ketik Angkatan Laut Jerman yang menggunakan huruf latin. Mesin ketik inilah yang digunakan untuk mengetik naskah Proklamasi

Saat mengetik, Sayuti Melik mengubah tiga kata dari tulisan tangan Sukarno, seperti kata 'tempoh' menjadi hanya 'tempo'. Kemudian 'wakil-wakil bangsa Indonesia' menjadi 'atas nama bangsa Indonesia.' Lalu penulisan tahun. Pada naskah tulisan bung Karno tertulis: 'Jakarta, 17-8-05', oleh Sayuti Melik ditambah menjadi 'hari 17 bulan 8 dan tahun 05'. "Tahun 05 merupakan penanggalan kalender Jepang 2605 itu setara dengan 1945, karena di jaman Jepang, mereka tidak menggunakan tahun Masehi di semua terbitan harus menggunakan tahun Jepang.

Berbekal naskah yang telah ditandanganinya, Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia beberapa jam kemudian di kediamannya yang terpaut hampir dua kilometer dari rumah Laksamana Maeda. Secara keseluruhan rumah Maeda hanya digunakan selama empat jam. Namun, empat jam itu lah yang turut menentukan nasib Indonesia sebagai sebuah negara.

Laksamana Maeda harus menanggung konsekuensi berat setelah mengizinkan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Saat sekutu datang, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima, ditangkap dan dimasukkan ke penjara gang tengah. Maeda ditangkap oleh Sekutu dan dijebloskan ke penjara hingga tahun 1947.

Ia dianggap sebagai pengkhianat karena membantu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang notabene pada saat itu adalah negara yang sedang dijajah oleh Jepang dan merupakan incaran sekutu. Dia dipaksa mengaku oleh Belanda untuk mencap Republik Indonesia merupakan bikinan Jepang. Sebab dalam tanggal naskah proklamasi tertulis '05 berdasarkan tahun Jepang, bukan '45.

Nishijima dalam wawancara dengan Basyral Hamidy Harahap pada 10 Oktober 2000 di Meguroku, Tokyo. menceritakan dengan gamblang kejadian saat Maeda dan dirinya ditahan di Penjara Gang Tengah. Wawancara tersebut termuat dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010) dengan kutipan sebagai berikut:

"Laksamana Muda Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bisa mengatakan RI itu sebagai bikinan Jepang. Biarpun pemeriksa berturut-turut 4 hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. 

Selepas dari penjara dan pulang ke Jepang, Maeda tidak disambut dengan baik oleh penduduk Jepang. Maeda sama sekali tak mendapat penghormatan layaknya pahlawan yang pulang perang. Ia dikecam dan mendapat perlakuan hina di Jepang. Meskipun secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia, namun kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya.

Bahkan Maeda masih harus menerima hukuman. Ia diseret ke Mahkamah Militer oleh pemerintah setempat. Namun ketika berada di persidangan Laksamana Maeda dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Militer Jepang sehingga ia dibebaskan dari hukuman apapun. Selepas dari itu, Laksamana Maeda memutuskan mundur dari dunia politik dan militer dan memilih menjalani hidup sebagai warga negara biasa. Setelah Maeda mengundurkan diri dari angkatan laut Jepang menjadi rakyat biasa, tidak memiliki tunjangan pensiun. semua akses ditutup untuk Maeda dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas dari dinas militer hingga meninggal dunia dalam kondisi melarat.

Atas jasa Maeda tersebut, pada 1973 dia diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus. Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta. Maeda juga merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia. Maeda meninggal dunia pada 13 Desember 1977 pada umur 79 tahun. Mengenang kepergian Maeda, Ahmad Subardjo menulis, "Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana menunjukkan sifat Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia Merdeka".

          Itulah kisah tentang Laksamana Maeda yang membantu kemerdekaan Indonesia. Walau ia harus dihina di negaranya, ia rela melakukannya agar Indonesia dapat merdeka dari penjajahan. Maeda dikucilkan oleh orang-orang dinegaranya karena menyangkut harga diri bangsa mereka. Karena kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya. Walaupun secara hati Nurani orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia.

 

Sumber Refrensi    

bbc.com, 

id.wikipedia.org, i

ntisari.grid.id, 

liputan6.com, 

tempo.co, 99.co

0 komentar:

Posting Komentar