F NASIB PEMERKOSA DAN PEMBUNUH KELUARGA KESULTANAN MELAYU SUMATRA ~ PEGAWAI JALANAN

Senin, 07 Maret 2022

NASIB PEMERKOSA DAN PEMBUNUH KELUARGA KESULTANAN MELAYU SUMATRA

 


Gerakan pembantaian yang direncanakan oleh kelompok masyarakat yang menamakan dirinya pro-Repulik berjalan sesuai dengan Grand Design PKI yakni menghancurkan kekuasaan Raja-Raja dan Kesultanan Sumatera Timur. Kota Binjai adalah ibukota administrasi asisten residen (kabupaten) Langkat sedangkan Tanjung Pura, dimana Sultan angkat juga ada istana adalah ibukota kesultanan yang disebut “Darul Aman”. Para pelaku dan antek-antek pembantaian akhirnya harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Berikut ini adalah beberapa nama-nama pemimpin pemberontakan yang diketahui terlibat dalam pembantaian yang berdalih revolusi sosial.

1.          Usman Parinduri dan Marwan

Di Kesultanan Langkat Aksi pembantaian dilakukan di Binjai dan Tg. Pura yang dipimpin oleh oknum dari Pesindo dan PKI dimana terjadi serangkaian pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan, terutama dalangnya pimpinan komunis Marwan dan Usman Parinduri. Pada tanggal 7 Maret tepat jam 12.00 tengah malam, opas istana memukul loncen didepan, tiba-tiba seluruhnya lampu-lampu listrik di kota Tanjung Pura serentak gelap. Disaat pukulan yang ke 12 kalinya, berdentumlah tembakan serentak dan kedua opas itupun rubuh terkapar. Kemudian tembakan-tembakan gencar ditujukan ke arah dalam istana tiada terkira bahananya lagi. Berbarengan dengan itu terdengar suara riuh rendah, gegap gempita gerombolan laskar buka baju dengan senjata api dan bambu runcing melewati pintu pagar istana dan menghancurkan segala pintu, memasuki istana. 

Semua penghuni istana dikumpulkan dan segala senjata tajam sampai pisau-pisau dapurpun harus diserahkan. Menjelang subuh hari semua isi istana, keluarga sultan dan orang-orang besar yang ada dibariskan dan dengan sehelai sepinggang dipaksa berjalan kaki menuju perkebunan Sawit Seberang. Rombongan ini selanjutnya dipecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama di bawa ke dekat sungai disekitar Sawit seberang dan langsung dipenggal kepalanya satu persatu. Sementara kelompok Sultan dengan anak istrinya tiba diperkebunan Sawit Seberang.

Disini, kepala gerombolan komunis : Marwan dan Usman Parinduri menanya 3 orang putri Sultan yang masih remaja, apakah mereka bersedia menebus nyawa ayah mereka? Bersedia. Jawab mereka serentak. Bagaimana? Jika kalian mau bersetubuh dengan kami, maka nyawa ayah kalian akan diselamatkan. Dua orang putri Sultan dengan lemah lunglai maju kedepan dan bermohon kepada kedua orang sadis itu agar adik mereka yang masih dibawah umur janganlah turut diperkosa. Mereka mengabulkan, Kemudian kedua orang putri itu digiringlah ke kamar sebelah dan digolekkan diatas 2 buah meja. Kemudian Marwan dan usman parinduri dengan nafsu sadis kebinatangannya yang tak terkendalikan lagi mulailah mengoyak-ngoyak baju dan celana-celana kedua puteri itu dan menerkam lalu memperkosa mereka. Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, Sang Sultan Langkat, kedua putri Sultan Langkat terpaksa bersedia melayani nafsu berahi “binatang” yang bernama Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “… kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengar ….”

Para tawanan kesultanan Langkat sebagian ditawan di kamp umum di kampung Merdeka (Berastagi), kamp yang terkenal ganas. Sebagian diantaranya, termasuk puteri Sultan diselamatkan pasukan TKR dan dibawa ke Medan. Belakangan, setelah ditangkap laskar rakyat Hizbullah (kelompok yang bersimpati terhadap kesultanan langkat), dua pimpinan lascar yaitu Marwan dan Usman Parinduri yang juga pemerkosa puteri Sultan itu mengakui perbuatannya dan ada 13 orang yang dibunuh disekitar Sawit Seberang. berita pemerkosaan itu tersebar luas setelah beberapa bulan peristiwa itu terjadi sehingga muncul protes keras dari organisasi-organisasi Islam. Kejadian-kejadian di Langkat itu membuat rakyat ragu terhadap revolusi sosial yang dianggap telah melenceng jauh. Marwan dan Usman Parinduri yang jelas bersalah ditangkap dan dihukum mati oleh organisasi pemuda Islam.

2.          Ijang Widjaja

Ijang Widjaja adalah algojo yang menebas tengkuk Amir Hamzah dengan parang hingga memutuskan lehernya. Ijang Widjaja dulunya adalah ayah angkat Tengku Amir Hamzah dan pernah bekerja sebagai guru silat di istana Langkat. Menurut Pemangku Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Tengku Azwar Aziz, ia hanya tahu Ijang berasal dari Rambung, Binjai. Ijang diketahui bekerja sebagai pelatih silat dan mandor kebun. Mellihat dari namanya, Azwar yakin Ijang bukan orang Sumatera Utara. Kepala Polisi Binjai Tengku Anuah Husny memeriksa Ijang pada awal 1947. "Pemeriksaan itu berdasarkan perintah atasannya," tulis Saidi Husny dalam buku Kenangan Masa: Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah. Upaya mengusut Ijang tak berlangsung mulus. Rupanya, orang-orang "kiri" berusaha menghentikan pemeriksaan itu. Caranya: melobi tokoh-tokoh sosialis di Jakarta.

Menurut Saidi, upaya ini berhasil. Tak berselang lama, muncul perintah baru dari pemerintah pusat. Isinya meminta pemeriksaan terhadap Ijang Widjaja dihentikan. Dua tahun kemudian, berdasarkan instruksi Pemerintah Negara Sumatera Timur, kasus Ijang kembali diusut. Pemeriksanya adalah jaksa Lubis. Berbeda dengan sebelumnya, kasus Ijang dilimpahkan ke Pengadilan Binjai. Dalam persidangan yang dipimpin hakim W.C. Soatarduga, Ijang mengaku membunuh Philips di Kwala Begumit. Yang membuat banyak orang terperenyak, ia juga mengaku mengeksekusi Amir Hamzah.

Berbekal informasi itu, Soatarduga memerintahkan lokasi tempat eksekusi yang ditunjuk Ijang dibongkar. Selama persidangan, Ijang mengaku bersimpati kepada Amir. Di matanya, Amir tidak pernah berbuat sewenang-wenang dan bersedia mengulurkan tangan menolong sesama. Sang algojo sebenarnya tak kuasa melakukan eksekusi. Namun ia tidak berdaya menolak perintah. Ijang sempat dikabarkan ragu-ragu saat hendak melakukan eksekusi. Orang-orang di belakangnya berteriak: "Cepat, mandor!" Amir sempat meminta tak dieksekusi. "Mohon jangan bunuh saya," katanya. "Nanti Republik yang dipersalahkan." Ijang tak memenuhi permintaan itu. "Saya hanya menjalankan perintah."

Pengadilan Binjai menghukum Ijang Widjaja 20 tahun penjara. Menurut keterangan petugas penjara, Ijang tiap malam meraung-raung dihantui bayangan orang-orang yang dipenggalnya. "Matanya liar seperti orang ketakutan," tulis Tengku M.H. Lah Husny dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah. Jumlah orang yang dieksekusi Ijang tak pernah jelas. Saat lahan yang menjadi tempat pembantaian di Kwala Begumit dibongkar, setidaknya ditemukan 26 kerangka di sana. Dua di antaranya Amir Hamzah dan Philips Simandjuntak.

Di dalam salah satu lubang ditemukan sejumlah barang, termasuk cincin emas berbatu nilam dan jimat timah yang terselip di celana. Barang itu milik Amir. Belum selesai menjalani masa hukuman, Ijang mendapat amnesti dari pemerintah Republik Indonesia Serikat di Jakarta pada 1950. Alasannya, menurut Lah Husny, "…perbuatan Ijang Widjaja akibat dari perjuangan." Tengku Kamaliah sempat mempertanyakan bebasnya Ijang kepada Saidi Husny, yang saat itu bertugas sebagai kepala polisi di Langkat. Menurut Saidi, dalam buku Kenangan Masa, saat datang ke kantornya, wajah Tengku Kamaliah terlihat tidak begitu gembira. "Apakah orang yang telah dihukum pengadilan sampai 20 tahun penjara dapat dikeluarkan begitu saja?" Saidi hanya mendengarkan keluhan Kamaliah dan berjanji menyampaikan pesan itu kepada atasannya.

Meski telah bebas, Ijang tak bisa menghirup udara segar. Di rumahnya di Kampung Rambung Binjai, ia dikurung dalam kamar tertutup karena dianggap gila, terlihat ketakutan, dan seperti berusaha selalu kabur. Menurut Nh. Dini, Tahura pernah bertemu dengan Ijang Widjaja. "Tapi ngomong-nya sudah tidak keruan. Mungkin dia juga stres." Sang mandor mati dalam keadaan gila empat tahun setelah keluar dari penjara.

Itulah beberapa orang yang diketahui bertanggung jawab atas pembantaian di Kesultanan Langkat. Selain itu, Para pemberontak yang ditangkap dipenjarakan, tetapi setelah beberapa hari mereka dibebaskan dan dipulangkan oleh pemerintah dengan membawa uang dan pakaian. Para pemimpin kudeta diadili, dengan dua pemimpin utama masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan hukuman pembebasan bersyarat. Mungkin kita tidak akan setuju jika para pembantai hanya mendapat hukuman tersebut atas Tindakan mereka. Bagaimanapun juga nyawa 1 orang sangatlah berharga bagi keluarganya. Dan sebuah dendam hanya akan melahirkan dendam lain jika tidak dihentikan.


Sumber Referensi : dedipanigoro.blogspot.com

kumparan.com

liramedia.co.id

realitiykenyataan.blogspot.com

1 komentar: