Entah benar ataupun tidak terdengar Isu soal desakan warga Timor Leste ingin kembali
bergabung dengan Republik Indonesia semakin mencuat. Pasalnya, warga Timor
Leste diduga tengah dihantam krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Seperti
yang kita ketahui, timur leste pernah menjadi bagian dari negara indoneisa.
Pada tanggal 30 november 1975 masyarakat timor leste menegaskan
posisi TimTim sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Timor Leste kemudian merdeka pada tahun 1999 dan resmi
menjadi negara pada tahun 2002 Pada masa pemerintahan Habibie.
Sebelum menjadi bagian dari Indonesia dan negara merdeka, Timor
Leste/Timor timur (Timtim) Tidak seperti Indonesia yang dijajah Belanda, negara
yang menjajah TimTim adalah Portugal. Pada tahun 1974, Revolusi Bunga terjadi
di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri. Portugal
semakin kewalahan menghadapi pemberontakan di negara-negara jajahan di Afrika.
Masyarakat TimTim memanfaatkan momen
tersebut, untuk memproklamirkan berdirinya suatu bangsa yang merdeka melalui
pembentukan partai politik. Oleh karena itulah wilayah Timor Timur atau pulau
Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal. Berbeda
dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda atau yang nantinya
menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, proses kemerdekaan tidak
semudah yang dibayangkan.
Ketegangan politik hingga fisik terjadi
antara partai pro-kemerdekaan, dengan partai yang menginginkan TimTim menjadi
bagian dari Indonesia. Di tengah pertumpahan darah, masyarakat TimTim pada 30
November 1975 menggelar Deklarasi Balibo yang menegaskan posisi TimTim sebagai
provinsi ke-27 Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara
pendukung kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung
integrasi Timtim. Sampai pada tahun 1991, terjadi apa yang disebut pembantaian
Santa Cruz.
Pembantaian Santa Cruz (atau Pembantaian Dili)
adalah peristiwa penembakan kurang lebih 250 pengunjuk rasa
pro-kemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada tanggal 12 November 1991, di
tengah pendudukan Indonesia di
Timor Leste. Peristiwa ini diakui
sebagai bagian dari genosida timor timur.
Pada bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari
anggota parlemen Portugal dan
12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi Timor Timur. Para mahasiswa
telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini. Namun rencana ini dibatalkan
setelah pemerintah Indonesia mengajukan
keberatan atas rencana kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu.
Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung
gerakan kemerdekaan Fretilin.
Kekecewaan ini menyebabkan situasi memanas antara pihak
pemerintah Indonesia dan para mahasiswa. Puncaknya pada tanggal 28
Oktober, pecah konfrontasi
antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu
tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili. Pada akhirnya, Afonso Henriques
dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan seorang aktivis
pro-kemerdekaan, Sebastiao
Gomes yang
ditembak mati oleh tentara Indonesia.
Saat tentara Indonesia berhadap-hadapan dengan pengunjuk
rasa, beberapa demonstran dan seorang mayor, Geerhan Lantara, ditusuk. Stahl
mengklaim Lantara menyerang pengunjuk rasa, termasuk seorang anak perempuan
yang mengibarkan bendera Timor Leste. Aktivis Fretilin, Constancio Pinto,
mengatakan beberapa orang mengaku dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia. Di
dalam TPU, tentara melepaskan tembakan ke arah ratusan warga sipil tak
bersenjata sebagai upaya perlindungan diri. Sedikitnya 250 warga Timor Timur
tewas dalam peristiwa ini. Salah satu korban jiwa adalah warga
negara Selandia Baru, Kamal
Bamadhaj, seorang
mahasiswa ilmu politik dan aktivis hak
asasi manusia yang kuliah di
Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika
Serikat, Amy Goodman dan Allan
Nairn, dan direkam oleh Max Stahl yang diam-diam
membuat liputan untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru
kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada Saskia
Kouwenberg, wartawan Belanda, untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak
berwenang Australia. Video ini kemudian ditayangkan dalam dokumenter First
Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor di ITV di Britania pada Januari 1992.
Rekaman Stahl, ditambah kesaksian Nairn, Goodman, dan rekan-rekan
sejawatnya,memicu respons keras di seluruh dunia.
Pemerintah Indonesia mengklaim insiden ini reaksi spontan
atas kekerasan oleh pengunjuk rasa atau "kesalahpahaman"
semata. Sejumlah pihak membantahnya dengan dua alasan utama: tentara
Indonesia berkali-kali terbukti melakukan kekerasan massal di berbagai tempat
seperti Quelicai,
Lacluta, dan Kraras, lalu politikus dan perwira Indonesia selalu
mengeluarkan pernyataan yang membenarkan tindak kekerasan ABRI. Rekaman
pembantaian ini kemudian ditayangkan di seluruh dunia sehingga membuat
pemerintah Indonesia dipermalukan.
Pada masa pasca-Perang
Dingin di dekade 1990-an,
pemerintah Indonesia mulai terus-terusan menjadi bulan-bulanan internasional.
Salinan rekaman pembantaian Santa Cruz disebarkan kembali ke Indonesia agar
masyarakatnya bisa melihat sendiri tindakan yang ditutup-tutupi oleh
pemerintahnya. Banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan
pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia,
dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang
pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang
Dunia II. Banyak pihak yang
menggunakan isu Timtim sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan
bangsa Indonesia di percaturan internasional.
Sebagai presiden ke-3 Republik Indonesia (RI), BJ Habibie
diwariskan Timtim yang selalu penuh gejolak sejak berintegrasi dengan Indonesia
17 Juli 1976. Tujuh
bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19 Desember
1998, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirim surat kepada Presiden
Habibie. Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksaan referendum bagi rakyat
Timtim. Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum
dengan situasi yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim.
Namun, satu hari setelah referendum
dilaksanakan suasana menjadi tidak menentu, terjadi kerusuhan berbagai tempat.
Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil refrendum kepada Dewan Keamanan PBB pada
3 September 1999. Hasilnya 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21%)
suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid. Hasil
referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September
1999, akhirnya masyarakat Timtim memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Menurut Kofi Annan, hasil itu menunjukkan bahwa penduduk
Timtim menginginkan kemerdekaan. Pada saat bersamaan, pengumuman itu juga
dibacakan Ketua Unamet Ian Martin, di Dili, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa
Indonesia, Portugal, dan Tetum. Dalam pidatonya Annan meminta semua pihak
menghentikan segala tindakan kekerasan yang selama 24 tahun mengakibatkan
penderitaan di Timtim. Meski secara keseluruhan suasana di Timtim mencekam, di
beberapa tempat, sebagian kecil penduduk sempat melontarkan kegembiraannya
dengan berlarian ke jalan dan bersorak sorai. Mereka saling berpelukan dan
bertangisan. Meski saat itu artinya Timor Timur lepas dari Indonesia, namun
mereka masih melalui proses yang panjang hingga diakui dunia dan mengubah
namanya menjadi Timor Leste.
Habibie yang tidak mempertahankan Timtim mengutarakan
alasan dan fakta yang sangat cerdas mengapa melepaskan Timtim dari
Indonesia. Alasan Pertama, "Timtim
dengan populasi sekitar 700.000 rakyat telah menarik minat dunia. Tapi saya
punya 210 juta rakyat. Jika saya biarkan tentara asing mengurus Timtim, secara
implisit saya berarti mengakui bahwa TNI tak bisa menjalankan tugasnya dan ini
bisa berakibat buruk bagi stabilitas negara. Dan saya tak mau ambil risiko
ini." "Masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan sebelum
Presiden ke-4 RI dipilih, sehingga yang bersangkutan dapat mencurahkan
perhatian kepada penyelesaian masalah nasional dan reformasi yang sedang kita
hadapi."
Alasan Kedua, “Saya menganggap Australia sejak lama telah
menjadi 'sahabat' Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 1945. "Saya yakin
bila saya biarkan tentara Australia masuk ke Indonesia, saya tidak hanya akan
menghina dan mempermalukan TNI, tapi juga bila Australia masuk, apa pun keputusannya
nanti, yang kalah akan menyalahkan Australia."
Itulah alasan cerdas Habibie sehingga ia
mendapat respons yang baik dari belahan dunia, karena tidak mengandalkan
kekerasan dan menumpahkan darah ketika melepaskan Timor Leste dari Indonesia. Bahkan
jika dilihat dari segi ekonomi, saat ini Indonesia mendapatkan hal yang baik
dari Timor-Timur. Kini Timor Leste butuh pembangunan di infrastruktur, alhasil
tender pembangunan di sana dimenangkan BUMN Indonesia dengan hal ini Indonesia
diuntungkan, karena sebagai negara merdeka mereka tidak memakan dana dari
Indonesia bahkan mereka mengeluarkan dana untuk keuntungan di pihak BUMN. Dan
apapun yang dikirim ke Timor Leste sekarang menjadi ekspor dan mendapatkan
keuntungan devisa bagi negara.
Saat ini timor Leste yang diperkirakan
berpenduduk 1,4 Juta jiwa dianggap sebagai negara termiskin di kawasan Asia
Tenggara. Negara kecil ini dinilai belum mampu mencapai kesejahteraan, meski
telah lama merdeka dan memiliki ladang minyak berlimpah.
Berdasarkan laporan Index of Economic Freedom 2021
yang dirilis The Heritage Foundation, Timor Leste memiliki skor
terendah di antara negara Asia Tenggara lainnya, yaitu 44,7 poin. Sedangkan
Indonesia memiliki skor indeks kebebasan ekonomi sebesar 66,9 poin. Nilai itu
menempatkan Indonesia berada di posisi keempat di Asia Tenggara.
Sumber
referensi : grid.id
id.wikipedia.org
kompas.com
minews.id
pikiran-rakyat.com
tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar