F ALASAN CERDAS HABIBIE MELEPASKAN TIMOR LESTE!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Rabu, 20 April 2022

ALASAN CERDAS HABIBIE MELEPASKAN TIMOR LESTE!!!

 


Entah benar ataupun tidak terdengar Isu soal desakan warga Timor Leste ingin kembali bergabung dengan Republik Indonesia semakin mencuat. Pasalnya, warga Timor Leste diduga tengah dihantam krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Seperti yang kita ketahui, timur leste pernah menjadi bagian dari negara indoneisa. Pada tanggal 30 november 1975 masyarakat timor leste menegaskan posisi TimTim sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Timor Leste kemudian merdeka pada tahun 1999 dan resmi menjadi negara pada tahun 2002 Pada masa pemerintahan Habibie.

Sebelum menjadi bagian dari Indonesia dan negara merdeka, Timor Leste/Timor timur (Timtim) Tidak seperti Indonesia yang dijajah Belanda, negara yang menjajah TimTim adalah Portugal. Pada tahun 1974, Revolusi Bunga terjadi di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri. Portugal semakin kewalahan menghadapi pemberontakan di negara-negara jajahan di Afrika.

Masyarakat TimTim memanfaatkan momen tersebut, untuk memproklamirkan berdirinya suatu bangsa yang merdeka melalui pembentukan partai politik. Oleh karena itulah wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal. Berbeda dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda atau yang nantinya menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, proses kemerdekaan tidak semudah yang dibayangkan.

Ketegangan politik hingga fisik terjadi antara partai pro-kemerdekaan, dengan partai yang menginginkan TimTim menjadi bagian dari Indonesia. Di tengah pertumpahan darah, masyarakat TimTim pada 30 November 1975 menggelar Deklarasi Balibo yang menegaskan posisi TimTim sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung integrasi Timtim. Sampai pada tahun 1991, terjadi apa yang disebut pembantaian Santa Cruz.

Pembantaian Santa Cruz (atau Pembantaian Dili) adalah peristiwa penembakan kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada tanggal 12 November 1991, di tengah pendudukan Indonesia di Timor Leste. Peristiwa ini diakui sebagai bagian dari genosida timor timur.

Pada bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari anggota parlemen Portugal dan 12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi Timor Timur. Para mahasiswa telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini. Namun rencana ini dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Kekecewaan ini menyebabkan situasi memanas antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa. Puncaknya pada tanggal 28 Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili. Pada akhirnya, Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomes yang ditembak mati oleh tentara Indonesia.

Saat tentara Indonesia berhadap-hadapan dengan pengunjuk rasa, beberapa demonstran dan seorang mayor, Geerhan Lantara, ditusuk. Stahl mengklaim Lantara menyerang pengunjuk rasa, termasuk seorang anak perempuan yang mengibarkan bendera Timor Leste. Aktivis Fretilin, Constancio Pinto, mengatakan beberapa orang mengaku dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia. Di dalam TPU, tentara melepaskan tembakan ke arah ratusan warga sipil tak bersenjata sebagai upaya perlindungan diri. Sedikitnya 250 warga Timor Timur tewas dalam peristiwa ini. Salah satu korban jiwa adalah warga negara Selandia BaruKamal Bamadhaj, seorang mahasiswa ilmu politik dan aktivis hak asasi manusia yang kuliah di Australia.

Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika SerikatAmy Goodman dan Allan Nairn, dan direkam oleh Max Stahl yang diam-diam membuat liputan untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada Saskia Kouwenberg, wartawan Belanda, untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia. Video ini kemudian ditayangkan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor di ITV di Britania pada Januari 1992.  Rekaman Stahl, ditambah kesaksian Nairn, Goodman, dan rekan-rekan sejawatnya,memicu respons keras di seluruh dunia.

Pemerintah Indonesia mengklaim insiden ini reaksi spontan atas kekerasan oleh pengunjuk rasa atau "kesalahpahaman" semata. Sejumlah pihak membantahnya dengan dua alasan utama: tentara Indonesia berkali-kali terbukti melakukan kekerasan massal di berbagai tempat seperti Quelicai, Lacluta, dan Kraras, lalu politikus dan perwira Indonesia selalu mengeluarkan pernyataan yang membenarkan tindak kekerasan ABRI. Rekaman pembantaian ini kemudian ditayangkan di seluruh dunia sehingga membuat pemerintah Indonesia dipermalukan.  

Pada masa pasca-Perang Dingin di dekade 1990-an, pemerintah Indonesia mulai terus-terusan menjadi bulan-bulanan internasional. Salinan rekaman pembantaian Santa Cruz disebarkan kembali ke Indonesia agar masyarakatnya bisa melihat sendiri tindakan yang ditutup-tutupi oleh pemerintahnya. Banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II. Banyak pihak yang menggunakan isu Timtim sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa Indonesia di percaturan internasional.

Sebagai presiden ke-3 Republik Indonesia (RI), BJ Habibie diwariskan Timtim yang selalu penuh gejolak sejak berintegrasi dengan Indonesia 17 Juli 1976. Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirim surat kepada Presiden Habibie. Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksaan referendum bagi rakyat Timtim. Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim.

Namun, satu hari setelah referendum dilaksanakan suasana menjadi tidak menentu, terjadi kerusuhan berbagai tempat. Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil refrendum kepada Dewan Keamanan PBB pada 3 September 1999. Hasilnya 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21%) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid. Hasil referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999, akhirnya masyarakat Timtim memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Menurut Kofi Annan, hasil itu menunjukkan bahwa penduduk Timtim menginginkan kemerdekaan. Pada saat bersamaan, pengumuman itu juga dibacakan Ketua Unamet Ian Martin, di Dili, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, Portugal, dan Tetum. Dalam pidatonya Annan meminta semua pihak menghentikan segala tindakan kekerasan yang selama 24 tahun mengakibatkan penderitaan di Timtim. Meski secara keseluruhan suasana di Timtim mencekam, di beberapa tempat, sebagian kecil penduduk sempat melontarkan kegembiraannya dengan berlarian ke jalan dan bersorak sorai. Mereka saling berpelukan dan bertangisan. Meski saat itu artinya Timor Timur lepas dari Indonesia, namun mereka masih melalui proses yang panjang hingga diakui dunia dan mengubah namanya menjadi Timor Leste.

Habibie yang tidak mempertahankan Timtim mengutarakan alasan dan fakta yang sangat cerdas mengapa melepaskan Timtim dari Indonesia.  Alasan Pertama, "Timtim dengan populasi sekitar 700.000 rakyat telah menarik minat dunia. Tapi saya punya 210 juta rakyat. Jika saya biarkan tentara asing mengurus Timtim, secara implisit saya berarti mengakui bahwa TNI tak bisa menjalankan tugasnya dan ini bisa berakibat buruk bagi stabilitas negara. Dan saya tak mau ambil risiko ini." "Masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan sebelum Presiden ke-4 RI dipilih, sehingga yang bersangkutan dapat mencurahkan perhatian kepada penyelesaian masalah nasional dan reformasi yang sedang kita hadapi."

Alasan Kedua, “Saya menganggap Australia sejak lama telah menjadi 'sahabat' Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 1945. "Saya yakin bila saya biarkan tentara Australia masuk ke Indonesia, saya tidak hanya akan menghina dan mempermalukan TNI, tapi juga bila Australia masuk, apa pun keputusannya nanti, yang kalah akan menyalahkan Australia."

Itulah alasan cerdas Habibie sehingga ia mendapat respons yang baik dari belahan dunia, karena tidak mengandalkan kekerasan dan menumpahkan darah ketika melepaskan Timor Leste dari Indonesia. Bahkan jika dilihat dari segi ekonomi, saat ini Indonesia mendapatkan hal yang baik dari Timor-Timur. Kini Timor Leste butuh pembangunan di infrastruktur, alhasil tender pembangunan di sana dimenangkan BUMN Indonesia dengan hal ini Indonesia diuntungkan, karena sebagai negara merdeka mereka tidak memakan dana dari Indonesia bahkan mereka mengeluarkan dana untuk keuntungan di pihak BUMN. Dan apapun yang dikirim ke Timor Leste sekarang menjadi ekspor dan mendapatkan keuntungan devisa bagi negara.

Saat ini timor Leste yang diperkirakan berpenduduk 1,4 Juta jiwa dianggap sebagai negara termiskin di kawasan Asia Tenggara. Negara kecil ini dinilai belum mampu mencapai kesejahteraan, meski telah lama merdeka dan memiliki ladang minyak berlimpah.

Berdasarkan laporan Index of Economic Freedom 2021 yang dirilis The Heritage Foundation, Timor Leste memiliki skor terendah di antara negara Asia Tenggara lainnya, yaitu 44,7 poin. Sedangkan Indonesia memiliki skor indeks kebebasan ekonomi sebesar 66,9 poin. Nilai itu menempatkan Indonesia berada di posisi keempat di Asia Tenggara.


Sumber referensi        : grid.id

                          id.wikipedia.org

  kompas.com

  minews.id

  pikiran-rakyat.com

  tribunnews.com

0 komentar:

Posting Komentar