F MISTERI HILANGNYA WIDJI THUKUL!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Senin, 25 April 2022

MISTERI HILANGNYA WIDJI THUKUL!!!

 


Tahun 1998 adalah tahun penuh gejolak di Indonesia, pada tahun ini terjadi kerusuhan yang menyebabkan berakhirnya masa orde baru dan lahirnya masa reformasi. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia, masyarakat lalu melakukan demonstrasi kepada rezim orde baru. Selain itu, kerusuhan juga dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Dalam peristiwa ini, terdapat 13 orang aktivis yang dinyatakan hilang dan tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Salah satu orang yang hilang dalam peristiwa ini adalah Wiji Thukul, salah seorang aktivis sekaligus penyair. Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu PeringatanSajak Suara, serta Bunga dan Tembok.

Widji Thukul, lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di pinggiran Kota Solo, Jawa Tengah dengan nama asli Widji Widodo. Ia adalah penyair dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Thukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan rezim Orde Baru. Namun Tukul dinyatakan hilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang, kemudian muncul dugaan bahwa Thukul diculik oleh militer bersama beberapa aktivis lainnya pada kerusuhan tahun 1998.

Widji Thukul lahir dari keluarga miskin, Ayahnya adalah tukang becak sedangkan ibunya mengatur urusan rumah tangga. Thukul sempat merasakan bangku Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Jurusan Tari namun hanya sampai kelas dua. Sebagai anak sulung, ia memilih untuk mengalah agar biaya sekolah diberikan kepada adik-adiknya. Setiap sore Thukul menjalani pekerjaan sebagai calo tiket bioskop. Terkadang ia juga ikut menjual mainan anak-anak di acara-acara seperti Sekaten, Malaman Sriwedari, maupun bulan Ramadan.

Seolah mengikut namanya yang berarti "benih yang tumbuh", jiwanya selalu tergugah menyuarakan perlakuan yang tidak adil. Kondisi sosial melahirkan karya Thukul bernada suasana emosional yang kompleks. Campuran antara kebahagiaan dan kegetiran, Rasa haru sekaligus protes kuat, Perlawanan rakyat kecil, Pemberontakan dan keberanian. Thukul menjadi bagian dari masyarakat bawah yang suaranya hanya dibutuhkan saat perayaan Pemilu saja. Ia tumbuh dalam didikan sastra dan budaya secara otodidak dan mandiri.

Hobi membaca buku dan berpuisi, sudah muncul saat duduk di SD Kanisius Sorogenen Solo. Di SMPN III Solo, ia bergabung dalam grup teater, dan aktif menghadiri diskusi dan pergelaran seni. Antara aksi dan puisi, Nama Wiji Thukul mulai populer sebagai penyair dan seniman, seiring munculnya dilema berupa pilihan dan resiko-resiko. Puisi-puisinya mulai menyebar di berbagai majalah dan koran dalam dan luar negeri, diundang ke berbagai kampus di Jawa Tengah dan Yogyakarta, juga ke Australia.

Pertama kali ia sadar bahwa karya sastra bisa membuat cemas pemerintah adalah saat diundang membacakan puisi pada perayaan 17 Agustus 1982. Ia menyindir kemerdekaan yang hanya dinikmati segelintir orang, yang akhirnya mitos belaka. Puisi yang berjudul "Kemerdekaan" ini hanya beberapa kata namun bermakna dalam, puisi itu berbunyi “Kemerdekaan adalah nasi, Dimakan jadi tai.” Keesokan harinya, panitia penyelenggara di salah satu kampung daerah Solo itu dipanggil ke kelurahan. “Itu pertama dia mengalami represi, tapi perlawanannya terus berjalan.

Pada bulan Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya yang bernama Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.

Pada Tahun 1991 ia memperoleh hadiah sastra Wertheim Encourage Award. Thukul adalah seniman pertama bersama Rendra yang memperoleh penghargaan sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosisolog dan ilmuwan Belanda WF Wertheim. Ia Terjun dalam aksi demonstrasi dan solider dengan penderitaan rakyat yang diperlakukan tidak semena-mena, dikatakannya sebagai "panggilan hidupnya".

Beberapa tahun kemudian, Thukul terlibat dalam advokasi kaum miskin dan buruh perkotaan. Ia menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Ini organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat. Pada 22 Juli 1996, Thukul berangkat ke Jakarta. Ia juga menggabungkan Jakker dengan beberapa organisasi lain, embrio Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di struktural PRD, Thukul adalah Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan partai.

Para aktivis PRD dan jaringan pro-demokrasi lebih luas mendesak agar Soeharto menghapuskan paket 5 Undang-undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI. Dalam perumusan deklarasi partai, Thukul beberapa kali menyela rekan kerjanya yang menyampaikan pendapat teoritis. Saat itu mata kanan dan kantung matanya masih terluka dan hampir buta akibat poporan senjata tentara kala memimpin pemogokan buruh PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, akhir tahun 1995.

Berselang lima hari, PRD yang baru tumbuh dibabat oleh kaum loyalis Soeharto. Pada 27 Juli 1996, kelompok pro-Soeharto menyerang kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia di bilangan Diponegoro, Jakarta Pusat. Saat itu Megawati menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Penyerangan ini menghajar para aktivis pro-demokrasi, termasuk para penggiat PRD, yang mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI. Kubu PDI boneka Soeharto berupaya menggagalkan rencana tersebut dan merebut kantor partai. Peristiwa ini dikenal dengan Kudatuli, akronim "Kerusuhan 27 Juli." Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia menyatakan kerusuhan itu mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil mencapai Rp100 miliar.

Pemerintahan Orde Baru kemudian dianggap menjadikan PRD sebagai "kambing hitam", dalang di balik serangan tersebut. Soesilo Soedarman, seorang jenderal yang menjabat Menko Polkam saat itu, menegaskan bahwa PRD sebagai "partai terlarang." Akibatnya, seluruh aktivis PRD diburu aparat keamanan termasuk Thukul. Pada 5 Agustus 1996, rumah keluarga Thukul didatangi oleh kepolisian wilayah Surakarta. Kemewahan dalam rumahnya, perpustakaan pribadi dan koleksi kaset lagu, diobrak-abrik dan dirampas pemerintah. Ada enam berkas yang dirampas, salah satunya kumpulan puisinya Mencari Tanah Lapang.

Widji Thukul kabur usai beberapa anggota kepolisian mendatangi rumahnya. Dalam pelarian, Wiji Thukul harus mencari kesempatan untuk bertemu dengan Sipon (istrinya). Paling sering keduanya bertemu di Pasar Klewer. Setiap bertemu, mereka membuat janji untuk pertemuan selanjutnya. Saat itu pula, Wiji Thukul menceritakan beberapa daerah yang dikunjunginya dan beberapa kali ia meminta uang kepada sang istri untuk membiayai hidup pelarian. Selama pelarian, ia memiliki nama beberapa nama Samaran. Ia juga sering memakai topi supaya tidak mudah dikenali. Selain itu, Wiji Thukul juga sering menggunakan jaket saat keluar rumah untuk menyamarkan badannya yang kerempeng.

Kejaran kaum mata-mata yang menyebar di bawah kekuasaan Soeharto, juga para serdadu Tim Mawar, mengharuskan Thukul berpindah-pindah tempat persembunyian. Setelah disembunyikan Martin, rekannya di Pontianak, Thukul kembali ke Jakarta. Pada tahun 1998, Wiji Thukul menghilang. Hilangnya Wiji Thukul secara resmi diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000. Kontras menyatakan hilangnya Wiji Thukul sekitar tahun 1998 karena diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang dilakukan oleh Wiji Thukul sendiri. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Sejak dinyatakan hilang, sampai saat ini keberadaannya Wiji Thukul masih menjadi misteri apakah ia masih hidup atau sudah tiada.

Sempat terdengar kabar miring bahwa Wiji Tukhul sempat membantu kemerdekaan Timor Leste dengan cara membuat bom sehingga diberikan penghargaan. Dikatakan pula bahwa Wiji Tukhul tewas karena bom. Ikatan Keluarga Orang Hilang atau Ikohi angkat bicara terkait kabar miring atas pemberian penghargaan terhadap Wiji Thukul dari mantan Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao. Thukul, yang hingga kini keberadaannya tak diketahui, mendapat penghargaan karena merupakan bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dahulu mendukung kemerdekaan Timor Leste. Acara penghargaan diberikan di sela seminar "Konferensi Internasional Kedaulatan Laut Timor-Leste adalah Hak yang Tak Terbantahkan" yang digelar pada 16 Maret 2016 di ibu kota Dili.

"Thukul mendapat penghargaan karena bersama PRD mendukung kemerdekaan Timor-Leste dan Jaker (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat), terlibat dalam pembentukan solidaritas perjuangan Maubere (SPRIM). Piagam diberikan Xanana kepada anak perempuan Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani. Terkait dengan isi media sosial yang menyebut Thukul diberi penghargaan karena membuat bom untuk Timor Timur, namun pernyataan tersebut masih belum dapat dibuktikan. Karena Tidak ada satu pun orang di lokasi yang mengatakan Tukhul membuat bom. Tidak ada orang juga yang mengatakan Tukhul mati di perbatasan karena bom. Dalam acara itu, Xanana lebih banyak mengungkapkan tentang perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan atas Laut Timor. Nama Wiji Thukul sama sekali tak disinggung di depan peserta seminar.

Hingga saat ini keberadaan Wiji Tukhul masih belum ditemukan. Entah memang diculik pemerintah soeharto seperti dugaan orang-orang, ataukah tewas saat membantu kemerdekaan Timor Leste, atau mungkin masih hidup dengan nama lain. Namun yang pasti, keluarganya saat ini tidak lagi mendengar kabar tentangnya. Kita saat ini hanya dapat membaca karya-karyanya tanpa mengetahui keberadaannya. Semoga tidak ada lagi kerusuhan yang memecah belah Indonesia seperti peristiwa-peristiwa lampau di Indonesia.

Sumber Referensi :     id.wikipedia.org

liputan6.com

medan.tribunnews.com

nasional.kompas.com

tirto.id

0 komentar:

Posting Komentar