Tahun
1998 adalah tahun penuh gejolak di Indonesia, pada tahun ini terjadi kerusuhan
yang menyebabkan berakhirnya masa orde baru dan lahirnya masa reformasi. Kerusuhan ini
diawali oleh krisis finansial Asia, masyarakat lalu melakukan demonstrasi
kepada rezim orde baru. Selain itu, kerusuhan juga dipicu oleh tragedi
Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak
dan terbunuh dalam demonstrasi. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan jabatan
Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Dalam peristiwa
ini, terdapat 13 orang aktivis yang dinyatakan hilang dan tidak diketahui
keberadaannya hingga saat ini. Salah satu orang yang hilang dalam peristiwa ini
adalah Wiji Thukul, salah seorang aktivis sekaligus penyair. Ada tiga sajak
Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak
Suara, serta Bunga dan Tembok.
Widji Thukul, lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di pinggiran Kota Solo,
Jawa Tengah dengan nama asli Widji
Widodo. Ia adalah penyair dan aktivis hak asasi manusia
berkebangsaan Indonesia. Thukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan
rezim Orde Baru. Namun Tukul dinyatakan hilang dan tidak diketahui
keberadaannya sampai sekarang, kemudian muncul dugaan bahwa Thukul diculik oleh
militer bersama beberapa aktivis lainnya pada kerusuhan tahun 1998.
Widji Thukul lahir dari keluarga miskin, Ayahnya adalah tukang becak
sedangkan ibunya mengatur urusan rumah tangga. Thukul sempat merasakan bangku
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Jurusan Tari namun hanya sampai kelas dua.
Sebagai anak sulung, ia memilih untuk mengalah agar biaya sekolah diberikan
kepada adik-adiknya. Setiap sore Thukul menjalani pekerjaan sebagai calo tiket
bioskop. Terkadang ia juga ikut menjual mainan anak-anak di acara-acara seperti
Sekaten, Malaman Sriwedari, maupun bulan Ramadan.
Seolah
mengikut namanya yang berarti "benih yang tumbuh", jiwanya selalu
tergugah menyuarakan perlakuan yang tidak adil. Kondisi sosial melahirkan karya
Thukul bernada suasana emosional yang kompleks. Campuran antara kebahagiaan dan
kegetiran, Rasa haru sekaligus protes kuat, Perlawanan rakyat kecil,
Pemberontakan dan keberanian. Thukul menjadi bagian dari masyarakat bawah yang
suaranya hanya dibutuhkan saat perayaan Pemilu saja. Ia tumbuh dalam didikan
sastra dan budaya secara otodidak dan mandiri.
Hobi
membaca buku dan berpuisi, sudah muncul saat duduk di SD Kanisius Sorogenen
Solo. Di
SMPN III Solo, ia bergabung dalam grup teater, dan aktif menghadiri diskusi dan
pergelaran seni. Antara aksi dan puisi, Nama Wiji Thukul mulai
populer sebagai penyair dan seniman, seiring munculnya dilema berupa pilihan
dan resiko-resiko. Puisi-puisinya mulai menyebar di berbagai majalah dan koran
dalam dan luar negeri, diundang ke berbagai kampus di Jawa Tengah dan
Yogyakarta, juga ke Australia.
Pertama kali ia sadar
bahwa karya sastra bisa membuat cemas pemerintah adalah saat diundang
membacakan puisi pada perayaan 17 Agustus 1982. Ia menyindir kemerdekaan yang
hanya dinikmati segelintir orang, yang akhirnya mitos belaka. Puisi yang berjudul
"Kemerdekaan" ini hanya beberapa kata namun bermakna dalam, puisi itu
berbunyi “Kemerdekaan adalah nasi, Dimakan jadi tai.” Keesokan harinya, panitia
penyelenggara di salah satu kampung daerah Solo itu dipanggil ke kelurahan.
“Itu pertama dia mengalami represi, tapi perlawanannya terus berjalan.
Pada bulan
Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya yang bernama Siti Dyah
Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Tak
lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama
bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993
anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.
Pada
Tahun 1991 ia memperoleh hadiah sastra Wertheim Encourage Award. Thukul adalah
seniman pertama bersama Rendra yang memperoleh penghargaan sejak yayasan itu
didirikan untuk menghormati sosisolog dan ilmuwan Belanda WF Wertheim. Ia Terjun
dalam aksi demonstrasi dan solider dengan penderitaan rakyat yang diperlakukan
tidak semena-mena, dikatakannya sebagai "panggilan hidupnya".
Beberapa tahun kemudian,
Thukul terlibat dalam advokasi kaum miskin dan buruh perkotaan. Ia menjadi
pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Ini organisasi yang bergerak
melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat. Pada 22
Juli 1996, Thukul berangkat ke Jakarta. Ia juga menggabungkan Jakker dengan
beberapa organisasi lain, embrio Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di struktural
PRD, Thukul adalah Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan,
suplemen kebudayaan partai.
Para aktivis PRD dan
jaringan pro-demokrasi lebih luas mendesak agar Soeharto menghapuskan paket 5
Undang-undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI.
Dalam perumusan deklarasi partai, Thukul beberapa kali menyela rekan kerjanya yang
menyampaikan pendapat teoritis. Saat itu mata kanan dan kantung matanya masih
terluka dan hampir buta akibat poporan senjata tentara kala memimpin pemogokan
buruh PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, akhir tahun 1995.
Berselang lima hari, PRD
yang baru tumbuh dibabat oleh kaum loyalis Soeharto. Pada 27 Juli 1996,
kelompok pro-Soeharto menyerang kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia di
bilangan Diponegoro, Jakarta Pusat. Saat itu Megawati menjadi simbol perlawanan
terhadap Orde Baru. Penyerangan ini menghajar para aktivis pro-demokrasi,
termasuk para penggiat PRD, yang mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI.
Kubu PDI boneka Soeharto berupaya menggagalkan rencana tersebut dan merebut
kantor partai. Peristiwa ini dikenal dengan Kudatuli, akronim "Kerusuhan 27
Juli." Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia menyatakan kerusuhan itu
mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian
materiil mencapai Rp100 miliar.
Pemerintahan Orde Baru kemudian
dianggap menjadikan PRD sebagai "kambing hitam", dalang di balik
serangan tersebut. Soesilo Soedarman, seorang jenderal yang menjabat Menko
Polkam saat itu, menegaskan bahwa PRD sebagai "partai terlarang." Akibatnya,
seluruh aktivis PRD diburu aparat keamanan termasuk Thukul. Pada 5 Agustus 1996,
rumah keluarga Thukul didatangi oleh kepolisian wilayah Surakarta. Kemewahan
dalam rumahnya, perpustakaan pribadi dan koleksi kaset lagu, diobrak-abrik dan
dirampas pemerintah. Ada enam berkas yang dirampas, salah satunya kumpulan
puisinya Mencari Tanah Lapang.
Widji Thukul kabur usai
beberapa anggota kepolisian mendatangi rumahnya. Dalam pelarian, Wiji Thukul
harus mencari kesempatan untuk bertemu dengan Sipon (istrinya). Paling sering
keduanya bertemu di Pasar Klewer. Setiap bertemu, mereka membuat janji untuk
pertemuan selanjutnya. Saat itu pula, Wiji Thukul menceritakan beberapa daerah
yang dikunjunginya dan beberapa kali ia meminta uang kepada sang istri untuk
membiayai hidup pelarian. Selama pelarian, ia memiliki nama beberapa nama
Samaran. Ia juga sering memakai topi supaya tidak mudah dikenali. Selain itu,
Wiji Thukul juga sering menggunakan jaket saat keluar rumah untuk menyamarkan
badannya yang kerempeng.
Kejaran kaum mata-mata
yang menyebar di bawah kekuasaan Soeharto, juga para serdadu Tim Mawar,
mengharuskan Thukul berpindah-pindah tempat persembunyian. Setelah
disembunyikan Martin, rekannya di Pontianak, Thukul kembali ke Jakarta. Pada
tahun 1998, Wiji Thukul menghilang. Hilangnya Wiji Thukul secara resmi
diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
pada 2000. Kontras menyatakan hilangnya Wiji Thukul sekitar tahun 1998 karena
diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang dilakukan oleh Wiji Thukul
sendiri. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde
Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde
Baru. Sejak dinyatakan hilang, sampai saat ini keberadaannya Wiji Thukul masih
menjadi misteri apakah ia masih hidup atau sudah tiada.
Sempat terdengar kabar
miring bahwa Wiji Tukhul sempat membantu kemerdekaan Timor Leste dengan cara
membuat bom sehingga diberikan penghargaan. Dikatakan pula bahwa Wiji Tukhul
tewas karena bom. Ikatan Keluarga Orang Hilang atau Ikohi angkat bicara terkait
kabar miring atas pemberian penghargaan terhadap Wiji Thukul dari mantan
Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao. Thukul, yang hingga kini
keberadaannya tak diketahui, mendapat penghargaan karena merupakan bagian dari
Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dahulu mendukung kemerdekaan Timor Leste. Acara penghargaan
diberikan di sela seminar "Konferensi Internasional Kedaulatan Laut
Timor-Leste adalah Hak yang Tak Terbantahkan" yang digelar pada 16 Maret
2016 di ibu kota Dili.
"Thukul mendapat
penghargaan karena bersama PRD mendukung kemerdekaan Timor-Leste dan Jaker
(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat), terlibat dalam pembentukan solidaritas
perjuangan Maubere (SPRIM). Piagam diberikan Xanana kepada anak perempuan Wiji
Thukul, Fitri Nganthi Wani. Terkait dengan isi media sosial yang menyebut
Thukul diberi penghargaan karena membuat bom untuk Timor Timur, namun
pernyataan tersebut masih belum dapat dibuktikan. Karena Tidak ada
satu pun orang di lokasi yang mengatakan Tukhul membuat bom. Tidak ada orang juga
yang mengatakan Tukhul mati di perbatasan karena bom. Dalam acara itu, Xanana
lebih banyak mengungkapkan tentang perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan atas
Laut Timor. Nama Wiji Thukul sama sekali tak disinggung di depan peserta
seminar.
Hingga saat ini
keberadaan Wiji Tukhul masih belum ditemukan. Entah memang diculik pemerintah
soeharto seperti dugaan orang-orang, ataukah tewas saat membantu kemerdekaan
Timor Leste, atau mungkin masih hidup dengan nama lain. Namun yang pasti,
keluarganya saat ini tidak lagi mendengar kabar tentangnya. Kita saat ini hanya
dapat membaca karya-karyanya tanpa mengetahui keberadaannya. Semoga tidak ada
lagi kerusuhan yang memecah belah Indonesia seperti peristiwa-peristiwa lampau
di Indonesia.
Sumber Referensi : id.wikipedia.org
liputan6.com
medan.tribunnews.com
nasional.kompas.com
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar