F HASIL AUTOPSI JENAZAH JENDERAL KORBAN PERISTIWA G30S/PKI ~ PEGAWAI JALANAN

Rabu, 07 September 2022

HASIL AUTOPSI JENAZAH JENDERAL KORBAN PERISTIWA G30S/PKI

 


Penculikan 6 jenderal dan 1 perwira adalah awal dari pemberontakkan yang dilakukan oleh orang-orang PKI. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pasopati, Letnan (Inf) Doel Arif membentuk tujuh pasukan dari Satgas Pasopati di Lubang Buaya untuk menculik ketujuh jenderal. Sasaran mereka adalah Jenderal A.H Nasution, Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.

Dari ketujuh target penangkapan tersebut, Jendral A.H Nasution berhasil melarikan diri dan digantikan oleh ajudannya yaitu kapten Pierre Tendean yang mengaku sebagai Jendral A.H. Nasution. Keenam Jendral yang menjadi korban G30S PKI antara lain Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.

Enam jendral dan satu perwira ini tewas di lubang buaya dan dinobatkan sebagai pahlawan revolusi. "Sebelum dibunuh, mereka penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. "mereka Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras,". Mereka semua Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean akhirnya tewas dibunuh. Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.

"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."

Setelah Soeharto dapat mengendalikan keadaan, Beberapa pasukan pun diperintahkan Soeharto untuk melakukan penyisiran ke Lubang Buaya. Letnan Satu Feisal Tanjung dan Letnan Dua Sintong Panjaitan, yang sedang berada di sekitar tempat itu bersama pasukannya, diperintahkan bergerak ke Lubang Buaya pada 3 Oktober 1965. Sebelumnya, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mendapat kabar di situlah posisi para jenderal yang terculik.

Informasi ini berdasarkan pengakuan Agen Polisi II Soekitman yang ikut terculik tapi kemudian kabur. Kawasan itu pun disisir anak buah Sintong bersama anak buah komandan peleton yang lain. Mereka lalu dapat informasi dari salah satu warga setempat tentang adanya sumur-sumur yang sudah ditimbun. Salah satu bekas sumur dicoba digali, tapi ternyata bukandisana tempatnya. Kemudian mereka melihat satu bekas sumur yang sudah ditanami pohon. Bekas sumur itu pun digali. Setelah anak buah Sintong menggali, tampak daun-daun segar, batang pisang, dan potongan kain.

Menurut catatan Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), kain-kain itu adalah baju yang digunakan Batalyon 454/Banteng Raider. Penggalian lalu dilakukan. Melihat itu, penduduk pun menawarkan diri untuk ikut bantu menggali. Pada kedalaman 8 meter, terciumlah bau busuk dan penduduk yang menggali meminta naik karena tidak tahan dan mengganggu pernapasan. Setelahnya, salah seorang anak buah Sintong ikut turun dan melihat kaki manusia yang mencuat ke atas. Yakinlah pasukan elite itu bahwa di situlah jenazah para jenderal terculik berada (hlm. 130-131).

Pada tanggal 4 oktober, pengangkatan jenazah mulai dilakukan. Kopral Anang masuk lebih dulu pada pukul 12.05 dengan masker oksigen. Satu jenazah berhasil diikat. Setelah ditarik, ternyata Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pukul 12.15, Sersan Mayor (KKO) Saparimin turun masuk. Satu jenazah diikatnya, tapi sulit ditarik karena terjepit jenazah lainnya. Prajurit Komando I (KKO) Subektu pun turun. Dia mengikat jenazah satu lagi. Dua jenazah pun terangkat.

Mereka adalah Mayor Jenderal Suwondo Parman dan Mayor Jenderal Suprapto. Pukul 12.55, Kopral (KKO) Hartono turun. Dia mengikat secara terpisah dua jenazah. Setelah ditarik, ternyata dua jenazah itu adalah Mayor Jenderal M.T. Haryono dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo. Pukul 13.30, Sersan Mayor Suparimin turun lagi. Jenazah diikatnya. Setelah ditarik, ternyata Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Setelah menemukan 5 perwira tinggi dari 6 yang hilang, para penyelam kelelahan. Bahkan ada anggota yang keracunan. Kapten Winanto pun turun tangan. Tak hanya dengan alat selam, tapi juga alat penerang dengan tenaga dari generator. Sampai di dalam, Winanto menemukan satu jenazah lagi. Itulah jenazah Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan. Maka semua jenderal pun terangkat.

Mulai sore tanggal 4 Oktober itu, menurut Omar Dani dalam memoarnya, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (2001), “TVRI sangatlah sibuk menyiarkan berita tentang penggalian jenazah para jenderal dari sumur tua yang oleh media massa dinamakan Lubang Buaya itu” (hlm. 93). Kisah pengangkatan jenazah tersebut dibumbui dengan dramatis dan ditambahi cerita fantastis soal penyiksaan.

Inilah yang menciptakan kebencian banyak pihak kepada mereka yang terlibat G30S, terutama kepada para anggota dan simpatisan PKI. Cerita pun menyebar bahwa jenazah itu disilet-silet dan disiksa secara keji. Narasi soal jenazah yang disilet-silet, dicongkel mata, dan dipotong penis adalah versi yang banyak dipercaya di zaman Orde Baru.

Jenazah-jenazah itu lalu dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di situlah, sebuah tim telah ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan dan autopsi. Anggota tim tersebut adalah Brigadir Jenderal dr. Roebiono Kertopati, Kolonel Frans Pattiasina, Prof. dr. Soetomo Tjokronegoro, dr. Liaw Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay. Instruksi tersebut keluar dengan surat perintah nomor PRIN-03/10/1965. Berikut ini adalah hasil autopsi ketujuh perwira militer Angkatan Darat yang  himpun dalam beberapa sumber sejarah.

1.     Jenderal Achmad Yani

Luka Tembak masuk: 2 di dada kiri, 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di garis pertengahan perut, 1 di perut bagian kiri bawah, 1 perut kanan bawah, 1 di paha kiri depan, 1 di punggung kiri, 1 di pinggul garis pertengahan. Luka tembak keluar: 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di punggung kiri sebelah dalam. Kondisi lain: sebelah kanan bawah garis pertengahan perut ditemukan kancing dan peluru sepanjang 13 mm, pada punggung kanan iga ke delapan teraba anak peluru di bawah kulit.

2.     Letjen R. Soeprapto

Luka tembak masuk: 1 di punggung pada ruas tulang punggung keempat, 3 di pinggul kanan (bokong), 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pertengahan paha kanan. Luka tembak luar: 1 di pantat kanan, 1 di paha kanan belakang. Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan di atas telinga, 1 di pelipis kanan, 1 di dahi kiri, 1 di bawah cuping kiri. Kondisi lain: tulang hidung patah, tulang pipi kiri lecet.

3.     Mayjen M.T Haryono

Luka tidak teratur: 1 tusukan di perut, 1 di punggung tangan kiri, 1 di pergelangan tangan kiri, 1 di punggung kiri (tembus dari depan).

4.     Mayjen Soetojo Siswomiharjo

Luka tembak masuk: 2 di tungkai kanan bawah, 1 di atas telinga kanan. Luka tembak keluar: 2 di betis kanan, 1 di atas telinga kanan. Luka tidak teratur: 1 di dahi kiri, 1 di pelipis kiri, 1 di tulang ubun-ubun kiri,  di dahi kiri tengkorak remuk. Penganiayaan benda tumpul: di empat jari kanan. Mayjen Soetojo bisa jadi banyak dianiaya sehingga tengkorak dahinya remuk.

5.     Letjen S. Parman

Luka tembak masuk: 1 di dahi kanan, 1 di tepi lekuk mata kanan, 1 di kelopak atas mata kiri, 1 di pantat kiri, 1 paha kanan depan. Luka tembak keluar: 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di perut kiri, 1 di paha kanan belakang. Luka tidak teratur: 2 di belakang daun telinga kiri, 1 di kepala belakang, 1 di tungkai kiri bawah bagian luar, 1 di tulang kering kiri. Kekerasan benda tumpul: tulang rahang atas dan bawah.

6.     Letjen D.I Panjaitan

Luka tembak masuk: 1 di alis kanan, 1 di kepala atas kanan, 1 di kepala kanan belakang, 1 di kepala belakang kiri. Luka tembak keluar: 1 di pangkal telinga kiri. Kondisi lain: punggung tangan kiri terdapat luka iris. Luka iris ini tentu menyeramkan. Tetapi, tidak dijelaskan apa luka itu diiris menggunakan silet atau senjata tajam lainnya.

7.     Kapten Anumerta Pierre Tendean

Luka tembak masuk: 1 di leher belakang sebelah kiri, 2 di punggung kanan, 1 di pinggul kanan. Luka tembak keluar: 2 di dada kanan. Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan, 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di puncak kepala. Kondisi lain: lecet di dahi dan pangkal dua jari tangan kiri. 

Itulah proses pengangkatan dan hasil autopsi para jendral yang menjadi korban penculikan oleh anggota PKI. Pada zaman orde baru cerita penganiayaan yang populer adalah pencungkilan mata dan kemaluan para korban diiris-iris menggunakan silet, lalu dipermainkan oleh para pelaku yang kebanyakan perempuan. Namun Berdasarkan hasil autopsi, tidak ditemukan pencungkilan mata atau penyayatan alat kelamin yang kabarnya pernah beredar di Indonesia dan semakin menyulut kemarahan orang-orang di daerah-daerah. Kerusakan pada tubuh sejumlah jenderal terjadi karena jenazah mereka terbaring selama sekian lama di dasar sumur yang lembab. Menurut dokter forensik, inilah yang menyebabkan kondisi mata salah satu korban sangat buruk. Setelah diperiksa, para jenazah itu kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Lalu diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965.

Sumber Referensi :

batam.tribunnews.com, 

beritafakta.id, 

intisari.grid.id, 

kompas.com, 

liputan6.com, 

tirto.id

0 komentar:

Posting Komentar