F LONCENG KEMATIAN SANG JENDERAL PENDUKUNG PKI!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Jumat, 30 September 2022

LONCENG KEMATIAN SANG JENDERAL PENDUKUNG PKI!!!

 


Peristiwa pemberontakkan PKI pada tahun 1965 tidak hanya dilakukan oleh anggota PKI yang berasal dari golongan sipil. Para tentara didalam tubuh militer yang berasal dari golongan kiri juga turut terlibat dalam melakukan pemberontakkan. Orang-orang  PKI kala itu seperti berada di atas angin, mereka berpikir bahwa rencana mereka akan berhasil mendirikan ideologi komunis di Indonesia. Karena memang mereka sudah mulai menguasai pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat dengan organisasi underbownya, bahkan sudah menyusup kedalam tubuh militer. Banyaknya anggota PKI yang telah masuk ke dalam tubuh militer, semakin menambah keyakinan para penganut ideologi komunis bahwa usahanya untuk merebut kekuasaan akan berjalan mulus.

Salah satu petinggi militer yang terlibat dalam pemberontakkan tersebut adalah Brigjen TNI Mustafa Sjarief Soepardjo, satu-satunya jenderal yang terlibat dalam peristiwa lubang buaya tersebut. Ia merupakan salah satu Perwira Tinggi (Pati) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). mengutip catatan yang ditulis oleh Hendro Subroto dalam buku berjudul "Dewan Revolusi PKI", seorang Perwira Menengah TNI Angkatan Darat, Mayor Inf Imam Santoso, terbang ke Jakarta dari Kalimantan Barat bersama Soepardjo. Saat itu, Soepardjo tengah ditugaskan di Kalimantan Barat sebagai Panglima Komando Tempur II (Pangkopur) di bawah Komando Mandala Siaga (KOLAGA), dalam kampanye Ganyang Malaysia. Akan tetapi, Imam justru menyaksikan Soepardjo meninggalkan posnya untuk kembali ke Jakarta pada tanggal 28 September 1965.

Soepardjo sempat mengatakan kepada Imam, alasan kepulangannya ke Jakarta adalah untuk memenuhi panggilan mendadak. Tapi ternyata, Soepardjo justru jadi salah satu pimpinan G30S/PKI 1965. Soepardjo saat itu jadi wakil pimpinan Gerakan 30 September 1965, di bawah komando Letkol Untung Syamsuri yang notabene memiliki pangkat dua tingkat di bawahnya. Ini memang terlihat sangat aneh karena pemimpin tertinggi gerakan tersebut malah orang yang pangkatnya lebih rendah, akan tetapi dia mau saja mengikutinya.

“Pangkat saya memang lebih tinggi dari saudara, tapi di gerakan ini, saya anak buah saudara,” demikian kira-kira ucapan Brigadir Jenderal Soepardjo saat menyalami Letnan Kolonel Untung Samsuri tanggal 29 September 1965.  Soepardjo adalah  panglima yang membawahi ribuan pasukan tempur di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Karirnya sangat cemerlang sebagai komandan pertempuran dan ahli strategi.

Sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Soepardjo yang dikenal sebagai seorang prajurit tempur dan ahli strategi, sempat memberikan pertanyaan kepada Sjam Kamaruzaman, yang menduduki posisi sebagai Ketua Biro Khusus PKI. Pertanyaan Soepardjo kepada Sjam, adalah mengenai rencana cadangan jika Gerakan 30 September gagal. Sayangnya, Soepardjo tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari Sjam. Sebaliknya, Sjam malah menggertak Soepardjo dengan emosi karena ia terlalu yakin bahwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan gagal.

Sjam menjawab pertanyaan Soepardjo dengan mengatakan "Bung kalau begini banyak yang mundur. Kalau revolusi sudah berhasil, banyak yang mau ikut,". Dalam peperangan, skenario mundur bukanlah pengecut. Dalam setiap pertempuran selalu ada skenario mundur jika tidak bisa memenangkan pertempuran. Tapi itu tak berlaku untuk Sjam dengan gaya yang menggebu-gebu. Di sini Soepardjo sudah merasa banyak hal yang berantakan. Hal itu dituliskannya dalam catatan evaluasi untuk G30S.

Dalam jam-jam awal 1 Oktober 1965, sebenarnya Gerakan Letkol Untung ini berada di atas angin. Namun Untung dan Sjam tak menggunakan kelebihan awal ini untuk momentum selanjutnya. "Radio RRI yang mereka kuasai juga tidak mereka manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh barisan agitasi propaganda".

Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung kehilangan banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas. Tapi tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga petang, pasukan itu tak diberi makan akhirnya pasukan itu pun kelaparan setengah mati, padahal dalam pertempuran harusnya perut dalam keadaan kenyang, siapa juga yang mau bertempur kalau perut dibiarkan keroncongan. Maka ketika Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad tawaran itu langsung saja dipenuhi.

Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak ada makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam. Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke dalam kota. Tapi terlambat, Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454 sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka menyerang.

Gerakan 30 September akhirnya gagal dan membuat Soeparjo melarikan diri dan bersembunyi. Soepardjo adalah tokoh G30S/PKI yang tertangkap paling akhir diantara rekan-rekannya seperti Sjam, Dipa Nusantara Aidit, dan Letkol Untung. Perintah untuk menangkap Soepardjo datang dari Letjen TNI Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), kepada Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, Brigjen TNI Amirmachmud. Amir pun langsung bergerak cepat membentuk operasi intelijen dengan tim khusus bersandi "Kalong".

Dinamakan demikian karena tim operasi bergerak dimalam hari seperti kalong. Operasi kalong dipimpin oleh Kapten CPM Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi, bertugas mencari informasi persembunyian Soepardjo.

Pada 10 Januari 1967, sebagaimana dilansir majalah Angkasa vol.17, 1968, lokasi persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor Adnan Suwardi menampung Soepardjo dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusumah.

Dalam Dinas Sejarah TNI AU menulis, tepat pada hari Idul Fitri 1967, Satgas Kalong mencium keberadaan Soepardjo di rumah seorang prajurit AURI di Halim. Intel gabungan bersama Polisi Militer AU menggerebek tempat itu.

Ketika mereka menggerebek tempat tersebut, tidak ada orang yang ditemukan di sana. Tetapi petugas curiga karena menemukan kopi yang masih panas, jejak kaki di tembok mengarah ke atap dan KTP atas nama Moch Syarif dalam kantong baju yang digantung. Mereka yakin kali ini Soepardjo tak akan lolos. Letnan Rosjadi berteriak "Ayo turun! Kalau tidak saya tembak!" Terdengar jawaban dari atas, "Baik saya turun."

Dan ternyata benar, sosok itulah Brigjen Soepardjo yang selama satu setengah tahun mereka kejar siang malam. Soepardjo diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilan mendakwanya bersalah atas tindakan makar dan menjatuhi vonis hukuman mati. Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan Militer Cimahi. Banyak tahanan lain yang terkesan dengan sikap Soepardjo selama di tahanan. Sebagai jenderal, dia tak mau diistimewakan. Kalau dikirimi makanan, ia selalu membagi rata dengan tahanan lain. Dia juga sukarela menggosok seluruh toilet dan kamar mandi.

Tiga hari sebelum dieksekusi, Saat keluarganya datang menjenguk untuk terakhir kali, Soepardjo hanya bisa memberikan sepasang sepatu. Soepardjo mengatakan bahwa ia tidak bisa memberi apa-apa. Cuma sepasang sepatu ini untuk kenang-kenangan,". Pada tanggal 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarganya berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat.

Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu Soeparjo memberi nasehat dengan memegang sebutir apel. Ia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil, Setelah apel di potong-potong maka mudah dipecahkan. Soeparjo mengatakan “Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan mudah dihancurkan”.

Keinginannya untuk mati dengan seragam kebesaran militer jenderal bintang satu ditolak. Dia akhirnya memilih pakaian serba putih. Supardjo juga sempat meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan.

Itulah akhir hayat Jendral Soeparjo yang harus menjalani hukum mati karena terlibat dalam pemberontakkan PKI. Soeparjo merupakan Jendral pertama yang dieksekusi oleh pemerintah. Ia adalah Seorang perwira tinggi yang ahli dalam strategi, namun ia terhasut oleh ideologi komunis. Setelah satu tahun lebih dalam pelarian, ia akhirnya tertangkap tanpa melakukan perlawanan. Dengan tertangkapnya Soeparjo, sebuah surat kabar memberitakan bahwa ia adalah hadiah lebaran untuk rakyat. Sebelum dieksekusi, Soepardjo sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengumandangkan azan dari dalam selnya.

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org,

historia.id,

intisari.grid.id,

merdeka.com,

tirto.id,

viva.co.id

0 komentar:

Posting Komentar