F PERANG MEDIA SEBELUM PERISTIWA BERDARAH 30 SEPTEMBER 1965 ~ PEGAWAI JALANAN

Rabu, 07 September 2022

PERANG MEDIA SEBELUM PERISTIWA BERDARAH 30 SEPTEMBER 1965

 


Media massa merupakan salah satu cara untuk menyampaikan informasi. Sebelum terjadinya pemberontakkan yang dilakukan oleh orang-orang PKI, mereka terlebih dahulu menguasai media massa seperti koran dan surat kabar. Perbedaan pandangan pun sering terjadi, terutama pada saat itu ketika ideologi komunis berusaha untuk menguasai negara. Surat Kabar merupakan media massa yang populer kala itu, surat kabar merupakan salah satu informasi yang yang paling mudah didapatkan oleh rakyat-rakyat di Indonesia.

Pemerintah saat itu menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh pers. Antara lain, peraturan Peperti No.1/1961 yang menetapkan percetakan-percetakan pers sebagai alat untuk menyebarluaskan Manipol dan Dekrit Presiden No.6/1963, dikeluarkan setelah hukum darurat pers dicabut, yang menekankan tugas pers untuk mendukung Demokrasi Terpimpin. Berdasarkan dekrit itu, penerbit pers harus memperoleh izin terbit dari pemerintah.

Karena diwajibkan meminta izin terbit, koran Masyumi Abadi menghentikan penerbitannya. Karena sebelumnya partai Masyumi dan PSI, telah dilarang oleh pemerintah. Harian Pedoman dan Nusantara, yang memenuhi kewajiban memperoleh izin terbit itu, tidak lama kemudian juga ditutup oleh pemerintah. Setelah itu, menyusul penerbitan Pos Indonesia, Star Weekly dan sejumlah lainnya.

PKI dan organisasi-organisasi penyokongnya meningkatkan “ofensif revolusioner” mereka sejak berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Meluasnya gerakan propaganda dan agitasi serta aksi-aksi sepihak mereka, terlihat dalam tindakan-tindakan pihak keamanan terhadap kelompok tersebut. Pada tahun 1960, dari 22 surat kabar yang diberangus pemerintah, terompet PKI Harian Rakjat termasuk paling sering dilarang terbit.

Pihak PKI menggunakan berbagai isu dalam melancarkan aksi-aksi mereka, termasuk menyerang pemerintah dengan berbagai alasan pada setiap kesempatan. Pada akhir 1960, sejumlah gembong mereka di Jakarta diperiksa oleh aparat militer. Sementara di beberapa daerah seperti Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan, panglima militer setempat melarang semua kegiatan PKI dan menahan sejumlah pemimpin partai PKI.

Selain melancarkan sejumlah aksi massa  di kota-kota, PKI juga melancarkan “ofensif revolusioner” di desa-desa, dikenal dengan istilah aksi-sepihak. Dengan dalih memerangi “tujuh setan desa”, anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa dalam kubu PKI, menggelar aksi-aksi sepihak di sejumlah tempat di Jawa, Bali dan Sumatera. Ketika aksi-aksi tersebut mendapat perlawanan rakyat dan ABRI, bentrokan fisik pun terjadi dan menelan korban jiwa.

Dukungan PKI terhadap politik radikal Sukarno, yang memperoleh gelar baru “pemimpin besar revolusi”, membuatnya semakin dekat dengan presiden. Kampanye menentang Belanda di Irian Barat dan ketegangan yang meruncing dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara-negara Barat, disusul pencanangan politik konfrontasi terhadap Federasi Malaysia oleh presiden, telah dimanfaatkan secara optimal oleh pihak PKI guna meningkatkan pengaruhnya.

Mereka melancarkan aksi-aksi anti-Amerika, seperti demonstrasi menolak Peace Corps dan film-film Hollywood. Organ-organ partai PKI dan pendukungnya, seperti Harian Rakjat, Bintang Timur,Warta Bhakti, Terompet Masjarakat, Harian Harapan, Gotong Rojong, dan koran-koran sekutu mereka di sejumlah kota lainnya, diarahkan untuk mempertajam pertentangan-pertentangan di dalam negeri.

Dengan sendirinya, ofensif PKI tersebut memancing perlawanan dari kelompok pers anti-PKI. Konflik-konflik yang berkembang berkisar pada pro-kontra Manifes Kebudayaan yang diumumkan oleh sejumlah sastrawan dan seniman, aksi boikot terhadap film-film Hollywood, dan pro-kontra penyederhanaan partai yang diusulkan oleh presiden. Manifesto Kebudayaan ini diprakarsai oleh beberapa seniman, seperti Wiratmo Soekito, HB Jassin, dan lain-lain yang pemikirannya tidak sejalan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun Manifes Kebudayaan kemudian dilarang Presiden Sukarno pada tanggal 8 Mei 1964 karena dianggap menandingi Manifesto Politik dan melemahkan revolusi. Sebelum dilarang, organisasi kebudayaan PKI, seperti Lekra, organisasi sejenis dalam kubu PNI, dan Lembaga Kebudayaan Nasional, menentang manifesto kebudayaan secara gigih.

Pertentangan berikutnya menyangkut Panitia Aksi Boikot Film Amerika (PABFIAS), badan yang dibentuk oleh Front Nasional tetapi praktis ditunggangi oleh PKI. Aksi-aksi PABFIAS mempertajam konflik antara kelompok koran-koran PKI dan pers anti-PKI. Kasus PABFIAS memicu polemik khusus pula antara harian-harian Duta Masjarakat, Sinar Harapan, Merdeka dan lain-lain di satu pihak, melawan Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti dan sebagainya di lain pihak. Sementara itu, terjadi pula polemik antara Berita Indonesia dan Merdeka kontra Harian Rakjat dan media PKI lainnya mengenai pro-kontra penyederhanaan partai.

Golongan PKI telah berhasil menguasai PWI, SPS dan kantor berita Antara setelah pemerintah menutup sejumlah koran anti-PKI yang bergabung dalam gerakan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Kubu PKI memperbesar kekuatannya dengan menerbitkan koran-koran baru. Situasi yang makin mencemaskan mendorong wartawan-wartawan senior seperti Adam Malik, B.M. Diah, Sumantoro, dengan dibantu wartawan-wartawan muda Jakarta seperti Asnawi Idris, Harmoko dan lain-lain, untuk mendirikan BPS di lingkungan pers, radio dan televisi sebagai wadah perlawanan terhadap ofensif PKI di bidang media massa.

BPS kemudian dibentuk di Jakarta pada 1 September 1964  dengan Adam Malik sebagai ketua, Diah sebagai wakil ketua dan Sumantoro sebagai ketua harian. Waktu itu Malik adalah menteri dalam kabinet Sukarno, sementara Diah menjabat duta besar RI di Thailand. Terdapat pula beberapa anggota Pengurus BPS lainnya di Jakarta termasuk Sayuti Melik.

Pendukung BPS juga berasal dari luar Jakarta seperti banyak surat kabar yang terbit di Medan. Pengurus BPS Medan kala itu adalah Tribuana Said sebagai ketua, Arif Lubis, Arshad Yahya, dan lain-lain. BPS juga mendapat dukungan dari wartawan-wartawan anti-PKI  di Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Bandung.

Lawan-lawan BPS adalah koran-koran PKI, PNI dan pendukungnya seperti Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional di Jakarta, Terompet Masjarakat dan Djawa Timur di Surabaya, Harian Harapan, Gotong Rojong dan Bendera Revolusi di Medan. Koran-koran BPS memperoleh dukungan luas dari sejumlah organisasi politik dan masyarakat, tetapi pada 17 Desember 1964 Presiden Sukarno membubarkan BPS di seluruh Indonesia. Keputusan itu kemudian disambut gembira oleh kubu PKI.

Dengan cepat PWI yang telah mereka kuasai memecat semua wartawan BPS anggota PWI. Menyusul tindakan pemecatan massal itu, pada tanggal 23 Februari 1965  pemerintah memutuskan pembredelan seluruh pers BPS. Salah satu harian yang dicabut izin terbitnya adalah Berita Indonesia. Pada 9 Februari, harian ini telah dialihkan menjadi Berita Yudha dengan Brigjen Ibnu subroto sebaga pemimpin umum dan Brigjen Nawawi Alif sebagai pemimpin redaksi. Setelah presiden memberangus koran-koran BPS, ABRI menerbitkan satu harian baru bernama Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Brigjen R.H. Sugandhi dan Letkol Yusuf Sirath.

Pada 25 Maret 1965, lebih satu bulan setelah pembredelan pers BPS, pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan baru lagi yang mewajibkan semua surat kabar harus berafiliasi kepada partai politik atau organisasi massa. Gambaran pers pada masa Demokrasi menjadi beberapa surat kabar, seperti Suluh Indonesia (harian PNI) yang mempunyai delapan afiliasi di beberapa kota, Duta Masjarakat (NU) dengan tujuh afiliasi, Harian Rakjat (PKI) dengan 14 afiliasi, Api Pantjasila (IPKI) dengan tiga afiliasi, Sinar Bhakti (Partai Katolik) dengan empat afiliasi, dan Fadjar Baru (Perti) dengan satu afiliasi.

Parkindo saat itu tidak memiliki harian resmi tetapi dua surat kabar berafiliasi padanya. Muhammadiyah juga menerbitkan surat kabar harian bernama Mertjusuar. Di Jakarta waktu itu juga terbit surat kabar harian seperti Bintang Timur, Kompas dan Sinar Harapan. Pada pertengahan tahun 1965, dengan dukungan  pemerintah Republik Rakyat Cina waktu itu, PKI makin meningkatkan kampanyenya untuk menuntut Nasakomisasi ABRI dan untuk menciptakan “Angkatan ke-5”.

Sementara itu, pada bulan Agustus terjadi perpecahan besar dalam tubuh PNI antara kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu Hardi-Hadisubeno. Pada 27 September 1965, Panglimana Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani mengeluarkan pernyataan menolak Nasakomisasi ABRI dan menentang pembentukan “Angkatan Ke-5”. Pada tanggal 30 September, PKI melancarkan pemberontakan bersenjata dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S) dan dikemudikan dewan yang diketuai Letnan Kolonel Untung, seorang komandan pasukan pengawal presiden. Peristiwa G30S membunuh Ahmad Yani dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat.

Situasi politik nasional sejak Oktober 1965 berbalik dengan dilancarkannya operasi penumpasan G30S/PKI. PKI dan seluruh organisasi pendukungnya dibubarkan dan dilarang. Pers PKI dan sekutunya ditutup, antara lain Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, Kebudayaan Baru, Ekonomi Nasional, Warta Bandung, Djalan Rakyat, Trompet Masjarakat, Djawa Timur, Harian Harapan, Gotong Rojong dan sebagainya. Koran-koran organ partai PNI yang ditutup antara lain Suluh Indonesia, Berita Minggu, Bendera Revolusi, Patriot. Seluruhnya tercatat sebanyak 46 koran yang dilarang terbit. PWI dan SPS dibersihkan dari unsur-unsur PKI dan sekutunya.

Pada 2 Oktober 1965, Harian Rakjat sempat terbit kembali dengan menurunkan kepala berita "Letkol Untung Bataljon Tjakrabirawa Menjelamatkan Presiden dan RI dari kup Dewan Djendral", yang kelak menjadi edisi terakhirnya. Tidak hanya bubar, semua anggota partai dan aktivis yang mendukung Harian Rakyat diburu, ditangkap, dipenjarakan ataupun dibunuh.

Itulah sekelumit pembahasan tentang media massa yang terjadi sebelum PKI melakukan pemberontakkan pada tahun 1965. Mereka mula-mula menguasai banyak media untuk menaikkan pamor PKI. Saat itu, Harian Rakjat yang merupakan media massa milik PKI menjadi koran politik terbesar di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965. Walau beberapa kali dibredel, Harian Rakjat yang beberapakali dibredel tetap muncul untuk memberitakan CC PKI. Harian Rakjat benar-benar ditutup setelah Soeharto melakukan pembersihan kepada orang-orang yang berideologi Komunis.

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org, 

pwi.or.id

0 komentar:

Posting Komentar