F VONIS MATI SUBANDRIO KARENA DIDUGA TERLIBAT PKI!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Rabu, 12 Oktober 2022

VONIS MATI SUBANDRIO KARENA DIDUGA TERLIBAT PKI!!!


    
Setelah terjadinya pemberontakkan G30S di Indoensia, keadaan pemerintahan di Indonesia mengalami kekacauan. Pada 3 Oktober 1965, Presiden Soekarno memerintahkan Letnan Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban usai peristiwa kudeta G30S/PKI. Soeharto kemudian bergerak membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. Kopkamtib dibentuk dengan tujuan utama untuk Memulihkan keamanan dan ketertiban akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem, dan kegiatan subversi lainnya. Tugas lain kopkamtib adalah Mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 

       Tak lama berselang, keluarlah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar sebagai penanda masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Surat ini berisi perintah yang mengintruksikan Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu. Tindakan yang diambil tertujuan untuk mengantisipasi situasi keamanan pada saat itu.

    Setelah Supersemar terbit, PKI kemudian dilarang dan dibubarkan. Soeharto juga mendesak Sukarno memecat sejumlah menterinya yang terindikasi kiri. Sukarno tentu menolaknya, tapi ia juga tak bisa berbuat banyak karena kuasanya sudah terkikis oleh Supersemar. Letjen Soeharto kemudian memerintahkan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal presiden soekarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. 

    Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang. Subandrio adalah salah satu dari menteri-menteri yang sempat meminta perlindungan ke istana. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. 

     Setelah melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud.

    Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. 

    Di lantai atas guest house, yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya yang ada disana akhirnya diciduk pasukan Amirmachmud. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. 

    Tentang penangkapan ini Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1999, hlm. 215) menulis, “Dalam pidato yang menyusul kemudian Soeharto menempatkan para menteri yang ditahan itu dalam tiga macam kategori, pertama, mereka ‘yang mempunyai hubungan dengan PKI/Gestapu dengan indikasi yang cukup’, kedua, mereka yang ‘kejujurannya dalam membantu presiden diragukan’, ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas perderitaan rakyat.”

    Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Subandrio menjadi target penangkapan karena lewat sejumlah pidatonya, Subandrio menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam yaitu membalas teror dengan kontra-teror.

        Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh dikatakan seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Karier politik Subandrio yang cemerlang seketika runtuh setelah G30S terjadi. Subandrio juga dituduh comrade in arm-nya PKI dan terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Di media citranya pun memburuk, Ia dilabeli sebagai Durna yang licik, gembong Orde Lama, bahkan dicap komunis. Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI.

    “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam bukunya yang berjudul Bertarung dalam Revolusi. 

    Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan dekat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak, dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan cukup cemas.

        Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat misalnya Membunuh Subandrio. Bila hal itu terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan akan berakhir. “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.”

    Setelah Subandri ditangkap, Perkara Subandrio lalu disidangkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1 Oktober 1966—bertepatan dengan penetapan Hari kesaktian Pancasila oleh Soeharto. Sidangnya yang digelar di Gedung Bappenas dibarengi unjuk rasa ratusan orang. Terlepas dari kesalahan-kesalahan Subandrio, sebagian kalangan melihat sidang itu sebagai cara Orde Baru menyingkirkan orang-orang Sukarno secara legal. 

    Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S. “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.”

    Pada 25 Oktober 1966, Mahmilub kemudian menjatuhkan vonis mati terhadap Subandrio. Dalam kapasitasnya sebagai kepala BPI, Subandrio dinilai ikut menciptakan situasi yang menguntungkan PKI dengan mengembuskan isu Dewan Jenderal. Ia juga diputuskan bersalah telah memperkeruh suasana usai G30S dengan pernyataannya “teror harus dibalas dengan kontra teror”.

    “Tindak pidana subversi itu dapat terlihat pada perbuatan-perbuatan tertuduh yang dengan maksud-maksud nyata merintangi pemulihan keamanan yang dibebankan pada pundak Pak Harto. Subandrio juga mencoba mengembalikan atau setidak-tidaknya mempertahankan potensi PKI/G30S, mengurangi arti G30S. Semua tujuan dan perbuatan tertuduh itu ternyata paralel dengan kepunyaan PKI,” tulis Kompas (26 Oktober 1966).

    Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.

    Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu Subandrio mengalami depresi. Pada tahun 1978, ketika masih berada dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada tahun 1995 karena alasan kesehatan, kemudian wafat pada 3 Juli 2004.

    Itulah kisah penangkapan yang dilakukan terhadap Subandrio, Seorang tangan kanan Sukarno yang dipenjara pada pemerintahan Soeharto. Subandrio juga sempat dicerca sebagai durna dalam G30S. Awalnya vonis terhadap Subandrio adalah hukuman mati, namun karena desakan Presiden Amerika Serikat dan Ratu Elizabeth vonis Subandrio menjadi penjara seumur hidup. Setelah keluar dari penjara, Subandrio sempat menerbitkan memoar yang berjudul “Kesaksianku Tentang G30S”. Dalam memoar setebal 80 halaman tersebut Subandrio juga membeberkan cacat  yang dimiliki oleh Soeharto sebagai serangan balik atas pemenjaraannya.

Sumber Referensi :

historia.id, 

tirto.id 

0 komentar:

Posting Komentar