F Ketika Seorang Paranoid Memimpin Negara Terbesar di Dunia | Pegawai Jalanan ~ PEGAWAI JALANAN

Sabtu, 22 Juni 2019

Ketika Seorang Paranoid Memimpin Negara Terbesar di Dunia | Pegawai Jalanan



Joseph Stalin

Josef Stalin seringkali dianggap dengan manifestasi dari segala hal yang buruk. Sosok yang kejam, gila kekuasaan, maniak, tidak berperikemanusiaan, dan semacamnya. Tapi siapakah sosok Stalin sebenarnya? Apa yang menjadi tujuannya? Bagaimana orang seperti dia bisa menjadi pemimpin tertinggi Uni Soviet yang merupakan negara terbesar di masanya? Apa saja sih serpak terjangnya sehingga banyak orang berkesimpulan bahwa Stalin adalah sosok yang kejam? Lantas apa yang dilakukan Stalin sehingga bisa mempertahankan kekuasaannya di Uni Soviet sampai begitu lama?Masa kecil-remaja: Tumbuh dengan rasa takut dan benci pada otoritas (1878-1899) 
Stalin lahir di kota Gori, Georgia pada 18 Desember 1878 (6 Desember menurut kalender Julian) dengan nama Iosif Vissarionovich Jugashvili. Kota Gori adalah sebuah daerah terpencil yang sangaat jauuuh dari pusat kekaisaran Rusia di Moscow (waktu itu belum jadi Uni Soviet, masih kekaisaran Rusia).
Kondisi latar belakang keluarga Stalin kecil sangat jauh dari kata harmonis. Ayahnya adalah seorang pemabuk yang sangat sering melakukan kekerasan fisik terhadap anak-anak dan istrinya sendiri. Penganiayaan fisik serta mental yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri terhadap dirinya dan ibunya begitu membekas secara psikologis pada diri Stalin kecil.
Tidak jauh dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolahnya Stalin juga juga turut membentuk perilakunya. Stalin yang sejak kecil masuk ke sekolah Teologi/Seminari (keagamaan) Kristen Ortodoks tumbuh dengan perasaan benci terhadap sosok otoritas sekolah yang sangat mengekang, kaku, otoritatif, super-disiplin, dan sangat keras dalam menghukum siswa.
Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan sekolah yang seperti itu, Stalin tumbuh menjadi individu yang sangat tertutup, jarang berbicara, serta terbiasa menyembunyikan niat dan perasaannya. Banyak para ahli sejarah yang memiliki dugaan kuat bahwa pemicu setiap keputusan Stalin ketika nanti dia berkuasa hampir selalu didasari oleh perasaan ketakutan atau paranoia, yang diakibatkan oleh tekanan psikologis di masa kecil. 
Terlepas dari pribadi yang sangat tertutup, tersembunyi perasaan benci dan pemberontakan yang luar biasa terhadap sosok otoritas, baik terhadap sosok ayahnya sendiri, maupun para tetua agama di sekolah Teologinya. Rasa pemberontakan itu juga yang memicu Stalin muda untuk secara diam-diam membaca buku-buku dan artikel yang dilarang oleh pihak sekolah pada masa kekaisaran Rusia, yaitu buku-buku berhaluan kiri atau komunisme.

Stalin Saat Muda 

Singkat cerita, Stalin muda jatuh cinta terhadap gagasan komunisme yang kerap mengkritik secara tegas bahwa kelas sosial atas (kaya) selalu memeras kelas bawah (miskin), sangat sejalan dengan kebencian Iosif muda ini terhadap pihak-pihak otoritas yang selama ini mengekang dan mengatur hidupnya.
Makin lama, kecintaan Stalin terhadap gagasan komunisme tidak hanya sebatas pada buku-buku bacaan, tapi juga dia praktikkan dengan aktif terlibat dalam gerakan revolusi komunis di Rusia. Karena semakin terlihat aktif dengan komunis, Stalin dikeluarkan dari sekolah Teologi ini di bulan Mei 1899 (21 tahun). Sejak saat itu, Komunisme menjadi “agama baru” bagi Stalin.

Stalin muda berkenalan dengan Komunisme

Apa sebetulnya faham komunisme yang dilarang di Rusia tapi justru sangat menarik bagi seorang Stalin?

Komunisme adalah sebuah gerakan perjuangan sosial yang dirumuskan oleh Karl Marx & Friedrich Engels sebagai perlawanan oleh kaum pekerja terhadap kepemilikan privat atas alat-alat produksi. Adanya gerakan sosial di Eropa ini dilatarbelakangi oleh maraknya gerakan industrialisasi sejak revolusi industri di Eropa pada abad 19 yang dianggap mengarah pada “penindasan/eksploitasi” bagi kaum pekerja. Dari mulai jam kerja yang tidak manusiawi, upah yang sangat murah, tidak adanya standard keamanan kerja, serta berbagai pemerasan yang dilakukan oleh tuan tanah, rentenir, dan cukong-cukong terhadap para pekerja lapangan (buruh, nelayan, petani, dan lain-lain).

Singkat cerita, gagasan Karl Marx menawarkan solusi bagi masalah ketimpangan sosial ini. Solusinya gimana? Pemersatuan kaum buruh/pekerja untuk melakukan aksi revolusi dan mengambil alih alat-alat produksi dari para pemilik modal (kaum kapitalis) untuk mengubah negara tersebut dengan sistem ekonomi-politik yang baru bernama Sosialisme. Pada fase sosialisme, para pekerja akan mengambil alih kepemilikan alat-alat produksi yang kemudian akan digunakan oleh pemerintah (sebagai representasi dari kaum pekerja) untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat secara merata.

Ketika sebuah negara menganut sosialisme versi Marx, maka pemerintah akan mengambil alih segala bentuk perputaran ekonomi. Tidak ada lagi yang namanya kapitalisme, tidak ada pemilik modal, tidak ada pemilik alat produksi, tidak ada kepemilikan pribadi, tidak ada tuan tanah, tidak ada pengusaha, tidak ada perdagangan, tidak ada pasar. Segala bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat merupakan tanggung jawab tunggal dari pemerintah pusat.

Namun sebetulnya, kondisi negara sosialis ini belum mencapai tahap akhir yang ideal dalam gagasan Marx. Terus tahap akhirnya gimana? Menurut Marx, setelah sebuah negara menjadi sosialis, nanti lama-kelamaan konsep negara itu sendiri tidak lagi dibutuhkan. Fase sosialisme akan berubah menjadi fase komunisme dimana akan terbentuk suatu masyarakat ideal (komunal) yang setara, tidak ada lagi kelas sosial, tidak ada lagi kepemilikan pribadi, tidak ada sektor swasta, tidak ada negara, tidak ada konsep uang, tidak ada pasar, tidak ada perdagangan. Semua orang akan mengerjakan apa yang mereka inginkan, serta saling memenuhi kebutuhan satu sama lain.


Vladimir Lenin 

Itulah gagasan yang menarik perhatian Stalin pada masa remaja. Di Kekaisaran Rusia sendiri, sebetulnya gerakan komunis terpecah menjadi beberapa kubu, namun ada seorang tokoh komunis yang akhirnya menarik perhatian Stalin, yaitu Vladimir Lenin. Yang membuat heran kenapa Iosef mengagumi Lenin, pada era itu Lenin memang dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas, karismatik, berpengetahuan luas, jago debat, dan sangat vokal dalam perjuangannya untuk merebut hak-hak kaum pekerja dan mendirikan negara sosialis. Terbius dengan karisma seorang Lenin, akhirnya Stalin menjadi salah seorang pengikut Lenin yang paling setia dalam memperjuangkan revolusi.Stalin dalam perjuangan revolusi mendirikan Negara Uni Soviet (1899-1917)

Stalin muda yang kini menjadi pengikut setia Lenin memiliki satu fokus tujuan yang jelas: Persatuan kaum pekerja dan melakukan revolusi (pemberontakan) terhadap Kerajaan Rusia, untuk kemudian mendirikan negara berbasis sosialisme Marx dengan nama Uni Soviet.

Dalam gerakan revolusi ini, Stalin muda lebih banyak berperan di lapangan, khususnya dalam penggalangan simpatisan. Sementara Lenin, Trotsky, dan kawan-kawan yang berlatar belakang akademis lebih banyak berjuang di belakang meja. Bagi Stalin muda yang jago dalam urusan lapangan, segala hal perlu dilakukan untuk mewujudkan revolusi, termasuk merampok bank dan kantor pos di daerah Kaukasus untuk menggalang dana.


Dari Kiri Stalin, Lenin, dan Trotsky 

Dalam menarik simpatisan, Stalin memanfaatkan sentimen SARA di berbagai daerah, salah satunya di Kota Baku yang kebanyakan dari suku Azerbaijan yang Muslim untuk melakukan revolusi terhadap “kaum pribumi Rusia” yang beragama Kristen Orthodox. Pada tahun 1907, Stalin berhasil menguasai serikat buruh di Kota Baku sebagai pimpinan partai Komunis Baku, untuk mengirimkan orang-orang berhaluan komunis untuk menjadi anggota Legislatif (DPR-nya Rusia) ke Kota Duma.

Di sisi lain, Stalin juga banyak menulis artikel tentang gagasan revolusi dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dibaca oleh kalangan rakyat jelata non-intelektual. Pengaruh Stalin sangat kuat di kalangan rakyat jelata hingga pada tahun 1912, Lenin mengangkat Stalin menjadi anggota “Komisi Empat” yang mengepalai partai Komunis Uni Soviet. Ini merupakan langkah besar bagi Stalin yang tadinya hanya pejuang lapangan, kini bisa disejajarkan dengan Trotsky, Kornilov, dan Zinoviev sebagai orang-orang kepercayaan Lenin yang paling dekat. Dalam perannya sebagai anggota komisi, Stalin mendirikan koran resmi partai komunis “Pravda” (Kebenaran) yang membuat pengaruhnya semakin besar.
Singkat cerita, Perang Dunia 1 meletus di Eropa tahun 1914 dan secara signifikan membuat Kerajaan Rusia menjadi begitu ringkih dan rentan untuk dikudeta. Dalam kondisi tersebut, terjadi dua kali revolusi di Rusia pada tahun 1917, pertama kali pada bulan Februari oleh para tokoh pro-demokrasi, yang kemudian direvolusi kembali pada bulan Oktober 1917 oleh Lenin, Trotsky, Stalin, dan kawan-kawan dan sekaligus secara resmi mendirikan negara sosialis-komunis pertama di dunia: Uni Soviet.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, impian Lenin, Trotsky, Stalin, dan kawan-kawan terealisasi! Praktis Lenin menjadi pemimpin tertinggi Uni Soviet, kemudian Trotsky sebagai tangan kanan Lenin ditugaskan sebagai menteri pertahanan (menhankam) dan Stalin sebagai sekjen partai komunis (ketua pengurus partai).

Revolusi telah berhasil, jabatan sudah mantap. Namun apakah mimpi negara sosialis yang ideal yang makmur dan sejahtera itu terjadi? Apakah negara impian dimana segala bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat merupakan tanggung jawab tunggal dari pemerintah pusat bisa dilakukan secara efektif? Apakah kondisi dimana tidak ada pemilik modal, tidak ada kepemilikan pribadi, tidak ada perdagangan, tidak ada pasar, menjadi format yang ideal untuk memberikan kesejahteraan yang merata? Ternyata kenyataannya tidak semudah itu.

Peran awal Stalin dalam “membangun” Uni Soviet (1918-1924)

Tentu tidak mudah untuk mem-format ulang dasar prinsip ekonomi sebuah negara, apalagi negara dengan area geografis yang super luas seperti Uni Soviet. Perubahan sistem ekonomi yang tadinya berdasarkan perdagangan antar masyarakat (kapitalis), kini harus menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi kepemilikan pribadi, semua alat produksi milik negara, dan semua perputaran ekonomi kini diatur oleh negara. Pastinya tidak semua rakyat Uni Soviet bisa menerima kenyataan ini dengan begitu cepat. Nyatanya, masih ada banyak pihak internal dalam pemerintahan Uni Soviet maupun rakyat jelata yang ogah-ogahan terhadap gagasan sosialis-komunis yang diusung oleh negara baru mereka ini.
Pada masa transisi inilah, Lenin melihat banyak “sisi lain” dari seorang Stalin. Salah satu contohnya pada Juni 1918, dimana Stalin ditugaskan ke Kota Tsaritsyn untuk memastikan pasokan makanan dan minyak ke 2 kota terbesar Rusia: Leningrad dan Moskow. Itu artinya, Stalin harus menegaskan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat Kota Tsaritsyn, bahwa makanan dan minyak yang ada di kota itu bukan lagi milik mereka tapi milik negara, dan dalam waktu dekat harus dikirim ke Leningrad & Moscow. Cuma 24 jam setelah dia tiba, dia langsung melaporkan.
“Masalah selesai, harga sudah saya tetapkan, makanan untuk penduduk lokal sudah saya jatahi!” – StalinStalin sangat hebat dalam waktu 24 jam bisa meyakinkan masyarakat bahwa pasokan makanan dan minyak itu milik negara & harus segera dikirim ke kota lain. Nyatanya di kota Tsaritsyn inilah Stalin memahami bahwa kematian adalah cara tercepat menyelesaikan masalah. Ada ketakutan/paranoid dalam diri Stalin jika tidak sanggup melaksanakan perintah ini. Maka dari itu, semua yang tidak setuju, protes, atau dianggap mengganggu pasokan makanan & minyak langsung dieksekusi di tempat oleh tentara Soviet.

Di kota ini juga Stalin mulai berkonflik dengan Trotsky, yang saat itu berstatus sebagai menhankam. Stalin nggak setuju dengan kebijakan Trotsky menggunakan mantan perwira kekaisaran Rusia untuk memimpin Tentara Merah (Tentara Uni Soviet). Stalin juga menuntut untuk mendapatkan kekuasaan istimewa untuk mengatur semua tentara di wilayahnya, yang berarti melangkahi status Trotsky sebagai menhankam. Perpecahan dalam kubu militer pun terjadi, dan tidak sedikit anggota militer yang tidak mau mematuhi Trotsky yang notabene adalah pemimpin tertinggi militer.

Stalin dalam kekuasaan awalnya selalu melihat masalah dalam sudut pandang paranoid, selalu curiga, menganggap segala bentuk protes adalah pengkhianatan. Puncaknya ketika Stalin dalam kekuasaan militer “istimewanya” secara brutal menahan tentara suruhan Trotsky yang datang dari pusat, kemudian menenggelamkan mereka sampai mati di sungai. Konflik antara kedua tokoh revolusi ini kian memanas hingga masalah di antara keduanya baru “selesai” ketika Lenin turun tangan untuk mendamaikan mereka.

Di tahun 1920, Stalin juga berulah kembali ketika tentara Polandia menyerbu wilayah Rusia. Pasukan Rusia di bawah pimpinan letnan muda bernama Mikhail Tukhacevsky, berhasil mengimbangi serangan tersebut. Stalin ditugaskan untuk mengirim pasukan untuk melindungi sayap kiri pasukan Tukhachevsky. Namun entah mengapa Stalin ogah-ogahan mengirim pasukan pembantu, yang akhirnya berujung pada kekalahan pasukan Tukhachevsky. Akhirnya Stalin dipanggil pulang ke Moskow dan tidak diberikan jabatan yg berhubungan dengan perang melawan Polandia lagi. Stalin memang terlalu penting karena punya pengaruh besar di lapangan, sehingga Lenin tidak secara langsung menghukumnya, namun secara perlahan Lenin mencatat semua kebrutalan dan pembangkangan Stalin di dalam pikirannya.

Di masa-masa akhir hidupnya, Lenin semakin merasa cara kerja Stalin di lapangan terlalu brutal dan berbahaya. Sementara Lenin jauh lebih menyukai Trotsky yang bijak, rasional, cerdas, dan visioner. Dalam kondisi sakit, Lenin sempat menulis surat wasiat pada akhir tahun 1922 yang dia serahkan pada istrinya (Krupskaya). Lenin berpesan agar surat wasiatnya itu dibacakan secara terbuka di hadapan banyak orang, bukan secara tertutup. Apa isi surat wasiat itu? Secara garis besar adalah kritik Lenin terhadap anak buahnya, khususnya terhadap Stalin – yang artinya surat wasiat itu adalah kunci untuk memecat Stalin dari kekuasaannya. Tidak lama setelah surat wasiat itu ditulis, Lenin kena stroke (Maret 1923), lalu meninggal setelah serangan stroke berikutnya (Januari 1924).

Ketika Lenin akhirnya meninggal (Senin 21 Januari 1924), Stalin sumringah. Selama ini, hal yang paling dia takutkan adalah Lenin kembali sehat dan menjatuhkannya. Kini ancaman itu lenyap seketika. Trotsky waktu itu sedang kurang sehat, dan berada di daerah Georgia sangat terkejut mendengar kabar duka ini. Stalin kurang lebih bilang begini:

“Hei Trotsky, kamu tidak usah repot-repot pulang, pemakamannya kan hari Sabtu, kamu gatidak akan keburu pulang ke Moskow. Mendingan kamu fokus memulihkan kesehatan dulu di sana.”

Stalin berbohong. Pemakamannya itu hari Minggu. Trotsky yang saat itu sangat berduka, bahkan tak bisa menulis pernyataan lagi untuk dibacakan di upacara pemakaman. Padahal, kalau saja waktu itu Trotsky ngotot ke Moskow & membacakan eulogi, dia akan disambut sebagai sang putra mahkota Lenin! Namun, Trotsky yang berduka memilih untuk mengurung diri. Sementara itu, Stalin malah “mencuri panggung utama”, di tengah-tengah pemakaman Lenin yang dramatis, Stalin berpidato dengan menjunjung Lenin setinggi langit sebagai Bapak Bangsa, sekaligus secara tidak langsung mendeklarasikan bahwa dirinyalah orang yang paling mampu menginterpretasikan cita-cita Lenin bagi Negara Uni Soviet.


Mayat Vladimir Lenin 

Setelah berhasil “mencuri panggung” di pemakaman Lenin, kini Stalin tinggal khawatir tentang surat wasiat Lenin. Adanya surat wasiat itu tentu amat membahayakan Stalin. Maka dari itu, pada 22 Mei 1924, sesaat sebelum Kongres Partai Komunis ke-13, Krupskaya (istri Lenin) yang memegang surat wasiat, dipertemukan dengan para elit partai komunis. Tentu saja Krupskaya awalnya ngotot untuk membacakan testamen Lenin dalam kongres partai. Namun dalam pertemuan tertutup ini, Zinoviev dan Kamenev membela Stalin mati-matian, bahwa Stalin adalah pengikut Lenin yang paling setia, bahwa Stalin sangat berjasa bagi Soviet, bahwa ketakutan Lenin terhadap Stalin ternyata tidak beralasan, dan sebagainya.

Akhirnya, Krupskaya pun menyerah, surat wasiat itu tidak dibacakan secara terbuka dan tidak menjadi dasar pengambilan keputusan apapun. Tak ada yang menyadari bahwa ini adalah saat terbaik untuk menyingkirkan Stalin, bahwa mendepak Stalin dari kekuasaan di masa depan akan semakin sulit!

Gaya Berpolitik Stalin: Diam-diam menghanyutkan

Setelah mengamankan posisinya sebagai sekjen, Stalin semakin berambisi untuk menegaskan dirinya sebagai pengganti Lenin untuk memimpin Soviet. Diapun makin gencar menjatuhkan pesaing utamanya, Trotsky. Salah satu jurus politik andalan Stalin adalah melabelkan lawan politiknya sebagai dalang dari “faksionalisme” atau “pemecah persatuan”. Semua orang yang bertentangan dengan Stalin (sasaran utama: Trotsky) dicap berusaha membangun faksi sendiri di dalam Partai Komunis, berusaha merusak persatuan-kesatuan partai.

Dari perspektif itu, setiap perdebatan dan protes, akan dicap “merusak persatuan”. Sampai akhirnya Kamenev yang mulai khawatir dengan gerak-gerik Stalin, menuduh Stalin mencoba mengkonsentrasikan kekuatan, menciptakan “one-man-rule” dalam Kongres Partai Komunis ke-14 tahun 1925. Jawaban Stalin kurang lebih begini:

“Sebuah partai harus dipimpin bersama. Mustahil menciptakan kepemimpinan satu orang. Setelah Lenin wafat, ini semakin gak mungkin, bodoh memimpikan hal itu. (Tepuk tangan) Bodoh bicara tentang ini. Kerja bersama. Kepemimpinan bersama. Kesatuan di seluruh lapisan, dengan minoritas mengikuti mayoritas, itu yang kita butuhkan saat ini!”

Jelas sekali Stalin menginginkan persamaan pendapat, pembungkaman semua yang berbeda pendapat dengannya, tetapi dengan memakai kemasan “persatuan”, “kesatuan”, “mayoritas”, dan juga “Lenin”. Zinoviev, yang amat dekat dengan Kamenev, kini sadar Stalin mengincar mereka berdua sekaligus. Mereka sadar perlu secepatnya menggalang persekutuan dengan Trotsky untuk menjatuhkan Stalin.

Namun, persekutuan Trotsky dengan Zinoviev dan Kamenev sudah terlambat. Saat itu Stalin sudah mendapatkan sekutu baru: kepala koran Pravda, ekonom terkemuka Nikolai Bukharin, dan Perdana Menteri Uni Soviet waktu itu Aleksei Rykov. Trotsky-Kamenev-Zinoviev kini kalah suara di partai Komunis. Setelah Kongres ke-15 Partai Komunis (Desember 1927), ketiganya praktis tersingkir dari Partai Komunis, tanpa jabatan yang berarti.

Disinilah nampak jelas soal gaya kepemimpinan Stalin: tak seperti Hitler yang menggebu-gebu & berapi-api, Stalin itu tipe pendiam dalam rapat. Saat yang lain teriak-teriak, Stalin cuma diam dan mencatat. Dia lebih suka bicara sedikit, dan bekerja di belakang meja untuk menghasut beberapa tokoh kunci untuk mendukung dirinya. Ini balik lagi ke kondisi psikologi Stalin yang paranoid: dia tak mau orang lain tahu apa yang ada di benaknya. Dia takut salah bicara dan kata-katanya dipolitisasi untuk melawan dirinya. Tidak seperti Hitler yang bernapsu untuk menguasai parlemen dan kabinet Jerman, Stalin juga jauh lebih pasif. Dia lebih suka menunggu, membiarkan lawan-lawannya membuat blunder yang bisa dia manfaatkan. Tidak seperti Hitler yang mendeklarasikan diri sebagai juru selamat atau “The Chosen One” yang ditakdirkan untuk mengembalikan kejayaan Jerman, Stalin selalu menekankan bahwa dirinya “cuma” penerus Lenin, yang paling dekat dengan almarhum, sekaligus paling mengerti cita-cita dan gagasan Lenin yang sebenarnya.

Gaya kepemimpinan ini adalah mimpi buruk bagi semua lawan politik Stalin, tidak terlepas bagi Kamenev dan Zinoviev yang sudah tak memiliki jabatan berarti. Pada tahun 1934, ketika terjadi pembunuhan kepala partai Komunis di St. Petersburg (Sergei Kirov) yang begitu menghebohkan. Tanpa proses hukum dan bukti, tiba-tiba Kamenev & Zinoviev dituduh terlibat dalam pembunuhan Kirov. Mereka berdua ditangkap, dipenjara, dan dieksekusi.


Kamenev & Zinoviev 

Trotsky yang terus melawan Stalin, tinggal menunggu giliran saja. Trotsky yang bisa disebut sebagai salah satu Bapak Bangsa Uni Soviet (mungkin seperti Moh.Hatta bagi Indonesia) sampai harus terusir dari negaranya sendiri di tahun 1929 hingga akhirnya dibunuh oleh pembunuh suruhan Stalin (Ramon Mercader) di Mexico tahun 1940. 


Trotsky kiri dan Ramon Mercader 

Setelah Lenin wafat, Trotsky, Zinoviev, dan Kamenev tersingkir, Stalin semakin dekat untuk menjadi penguasa tunggal Uni Soviet, seorang Tsar (Kaisar)! Selanjutnya, Stalin ingin merealisasi ambisinya untuk menjadikan Uni Soviet sebagai negara yang kuat. Dalam cara pikir paranoid, mewujudkan negara yang kuat berarti mewujudkan negara yang bisa bertahan dari ancaman negara-negara lain, khususnya negara yang anti komunis seperti Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Maka dari itu, Stalin menciptakan “Rencana Pembangunan Lima Tahun” atau “Repelita”. Repelita terbagi menjadi 2, fase pertama fokus pada distribusi hasil pertanian berlangsung dari tahun 1929 – 1933. Sementara fase kedua fokus pada industri militer.

Stalin dalam “Pembangunan” Militer Soviet

Sebagai seorang paranoid, Stalin selalu takut pada militernya sendiri. Ingat, militer adalah organisasi resmi yg memegang senjata, artinya militerlah yang paling rentan untuk menggulingkan pemerintah! Paranoidnya Stalin ini makin bertambah karena pemimpin militer terbaik Uni Soviet saat itu adalah Mikhail Tukhachevsky, orang yang punya dendam lama dengan Stalin ketika Stalin dulu menolak pengiriman tentara bantuan kepada tentara Tukhachevsky saat perang melawan Polandia (1920).

Karena itu, Stalin selalu mengawasi militernya, mencopot para jendral yang berkualitas dan mengisi kembali dengan dengan yang setia terhadap Stalin. Hingga akhirnya hanya tinggal Tukhachevsky saja yang belum tersingkir karena memang kualitas dirinya sebagai seorang ahli strategi militer sangat baik & dibutuhkan. Sampai ada saat dimana, Jerman yang semakin takut dengan kekuatan militer Soviet di bawah ahli strategi Tukhachevsky membuat propaganda bahwa Tukhachevsky adalah mata-mata Jerman yang menyusup ke Soviet.


Mikhail Tukhachevsky 

Melihat ada propaganda dari musuh Soviet, bukannya Stalin membela jendral terbaiknya (Tukhachevsky), alih-alih Stalin malah ikut memperkuat propaganda tersebut. Stalin malah ikut-ikutan menuduh Tukhachevsky! Bahkan ada gosip kuat di kalangan ahli sejarah militer yang mencurigai bahwa Stalin sendirilah yang memberikan beberapa dokumen rahasia negara kepada pihak Jerman untuk memperkuat propaganda tersebut.

Akhirnya pada tahun 1937, Tukhachevsky ditangkap, disiksa, dipaksa meneken pengakuan, lalu dihukum mati karena “berkhianat”. Setelah Tukhachevsky, para perwira bawahannya menyusul: Marsekal Yegerov, Blyukher, dan lain-lain, semuanya ditangkap dan mengalami apa yang Tukhachevsky alami. Dalam paranoidnya terhadap militernya sendiri, Stalin membantai jendral-jendral terbaiknya sendiri yang telah begitu banyak berjasa bertahun-tahun memperkuat militer Uni Soviet.

Lebih lanjut lagi, Stalin mengangkat opsir-opsir muda yang tidak berpengalaman untuk menggantikan para jendral tersebut. Namun setiap jendral muda ini juga harus ditemani oleh seorang komisaris politik dari partai komunis yang bisa melaporkan setiap ada tindakan yang mengacu pada “pengkhianatan militer” kepada Stalin. Artinya, orang-orang yang tak mengerti militer dijadikan inspektur, pengawas para jendral muda yang tidak berpengalaman. Militer Uni Soviet berubah dari militer yang kritis, logis, rasional, menjadi militer yang ketakutan, amatir, dan cuma bisa menurut.Demikianlah sepenggal cerita sejarah tentang seorang paranoid yang memimpin sebuah negara terbesar di dunia. Sampai akhir hidupnya, Stalin dianggap bertanggung jawab atas kematian lebih dari 20 juta rakyatnya sendiri. Baik dari kebijakan kolektivisasi pangan yang menyebabkan kelaparan hebat di berbagai daerah (terutama Ukraina), korban kerja paksa di gulag, pembersihan orang-orang militernya sendiri, hingga pembunuhan para lawan politiknya. 

Kerja Paksa Gulag 


Penyunting : Admin PJ 
Sumber Kutipan :https://www.zenius.net/blog/15432/biografi-stalin

1 komentar: