Catatan tentang
Suku Kanibal di Pedalaman Sumatra
Pedalaman Sumatra pernah menjadi tempat yang menyeramkan. bagaimana
tidak, karena dari catatan sejarah, Sumatra memiliki suku kanibal yaitu pemakan
manusia. Kita sebagai manusia yang telah modern mungkin ada yang tidak percaya
bahwa ada manusia yang memakan daging sesamanya. Namun kejadian ini benar-benar
terjadi bahkan menjadi catatan penting penjelajah yang berhasil menemukan
keberadaan mereka.
Marcopolo yang merupakan seorang penjelajah juga pernah menuliskan
dalam catatannya ketika ia tiba di Sumatra. Ia tiba di Sumatra tahun 1292 dan
sempat menyusuri pesisiran Sumatra (dalam catatannya ia menyebutnya jawa
kecil). Di tengah perjalanannya ia sempat menyaksikan adanya masyarakat yang
memakan daging manusia. Ketika berada di kerajaan Dagroian, daerah Pidie
(Aceh), Marco Polo menyaksikan masyarakat kanibal di sana yang memakan daging
kerabatnya yang sakit parah dan sudah tidak bisa diselamatkan. “Ketika salah
satu kerabat mereka jatuh sakit, mereka akan memanggil penyihir untuk datang
dan mencari tahu apakah si sakit bisa sembuh atau tidak. Jika penyihir itu
berkata bahwa si sakit akan mati, kerabat si sakit akan memanggil orang
tertentu yang secara khusus membunuh si sakit. Ketika dia sudah mati, mereka
akan memasaknya. Kemudian para kerabat akan berkumpul dan menyantap seluruh
badan orang itu. “Saya yakinkan Anda bahwa mereka
bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo
dalam “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatra Utara Pada
1920-an” dimuat dalam Sumatra Tempo Doeloe karya Anthony Reid. (bangkapos.com)
Kanibalisme juga berlaku
untuk seorang yang dituduh mata-mata dan tawanan perang. “Mereka dapat
menangkap orang asing yang bukan berasal dari daerahnya, mereka akan menahan
orang itu. Jika orang itu tidak sanggup menebus dirinya sendiri, mereka akan
membunuhnya dan memakannya langsung di tempat,” tulis Marco Polo. Meski tak
melihatnya secara langsung dia mendengar cerita itu dari pesisiran. Dimana
mereka menyebutkan ada seorang pria yang dicekik dan kemudian dimasak.
Marcopolo bercerita secara detil bagaimana cara orang itu dimakan.
(historia.id)
Catatan lain tentang
kanibalisme suku Batak juga dikeluarkan Sir Thomas Stamford Raffles
pada 1820 ketika mempelajari Batak, ritual, dan hukum mereka tentang
konsumsi daging manusia. Dia menuliskan secara detail tentang pelanggaran yang
dibenarkan serta metode pembantaian. Raffles mengatakan, sudah biasa bagi
orang-orang Batakmemakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk
bekerja. Kanibalisme juga diberlakukan bagi penjahat yang melakukan kejahatan
tertentu. Tubuh mereka dimakan mentah atau dipanggang menggunakan kapur, garam
dan sedikit nasi. (tobatabo.com)
Pada tahun 1935 seorang arkeolog bernama
Friedrich Schnitger menemukan sebuah fakta mengerikan terkait suku kanibal di
masa lalu. Ia menemukan sebuah reruntuhan candi di Padang Lawas, Sumatra
Selatan yang dipercaya sebagai sisa kerajaan Poli pada abad ke-12 masehi.
Schnitger menduga jika kerajaan ini berasal dari sekte yang bernama Bhairawa.
Orang-orang dari sekte ini memuja dewa-dewa yang memiliki wujud seperti setan.
Ritual kanibalisme biasanya dilakukan saat senja sebelum matahari terbenam.
Orang yang akan dikorbankan dibaringkan di altar. Lalu pendeta akan mengambil
jantungnya, dan menaruh darah dalam sebuah wadah tengkorak lalu meminumnya
sampai habis. (pemburuombak.com)
Dikisahkan pula ada dua orang misionaris yang
berusaha mengkristenisasi suku Batak pada tahun 1834. Kedua orang itu adalah Samuel Munson dan Henry Lyman. Peristiwa itu terjadi 28 Juni 1834 di
Sisangkak, Lobupinang, sekitar 20 km sebelah barat kota Tarutung, Sumatra
Utara. Jauh sebelumnya, Raja Panggalamei Lumbantobing memerintahkan pasukannya
membunuh setiap sibontar mata (orang Barat) yang memasuki daerah ini. Atas
perintah itu tidak ada ampun bagi Munson dan Lyman. "Mayatnya
dipertontonkan di pasar. Kemudian dicincang dan sebagian lagi direbus. Setelah
itu dimakan beramai-ramai dan tulang belulangnya dibuang ke tempat sampah.
(lokadata.id)
Seorang peneliti bernama
Oscar von Kessel, melakukan penelitian tentang masyarakat Batak pada tahun
1844. Ia adalah orang Eropa pertama yang pernah mengamati ritual kanibalisme di
Silindung. Menurutnya, masyarakat Batak menganggap kanibalisme sebagai
perbuatan hukum bagi pelanggaran seperti pencurian, perzinaan, mata-mata, atau
pengkhianatan. Garam, merica merah dan lemon harus disediakan oleh keluarga
korban sebagai tanda menerima keputusan hukuman itu dan tidak lagi memikirkan
balas dendam.
Catatan Menakutkan Pelancong Wanita Pertama di Suku Batak
Pada tahun 1852, seorang
pelancong wanita dari Austria memiliki keinginan untuk bertemu dengan suku
kanibal tersebut. Wanita ini adalah Ida Laura
Reyer Pfeiffer seorang pelancong wanita bergaya tomboy. Kisah tentang Ida Pfeiffer ini merupakan cuplikan dari A Lady's
Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo,
Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru,
Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan
perjalanan Ida yang terbit di London pada 1855. Para tawanan perang diikat pada
sebuah pohon dan dipenggal sekaligus. Darah mereka diawetkan untuk minum, dan
kadang dibuat menjadi semacam puding yang disajikan dengan nasi. Bagian tubuh
kemudian dibagikan. Telinga, hidung, dan telapak kaki adalah bagian milik Raja,
yang juga memiliki klaim atas bagian lain. Telapak tangan, telapak kaki, daging
kepala, jantung, dan hati yang semuanya adalah hidangan aneh dan semua daging
dipanggang dan disantap dengan garam. Ida tidak menyaksikan kengerian itu
dengan mata kepalanya. Dia mendapat informasi tersebut dari beberapa pejabat
pribumi setingkat bupati di Muara-Sipongie,” tulis Ida Laura Reyer Pfeiffer
dalam catatan perjalaannya di Sumatra.
Ketika berada di Padang, keinginan Ida Pfeiffer
untuk bertemu dengan bertemu suku ini semakin kuat karena pejabat setempat
meyakinkan bahwa wanita tidak diizinkan mengambil bagian dalam makan malam
utama. Walaupun banyak pula warga setempat yang mencegah perjalanan Ida untuk
menemui suku Kanibal liar dari batak. Karena sebelumnya dua orang misionaris
asal Amerika, Henry Lyman dan Samuel Munson telah dibunuh dan disantap pada
tahun 1835. Namun perjalanan tetap Ida lakukan dengan membawa seorang pemandu
dengan cara menunggang kuda ke pedalaman Sumatra.
Pada pertengahan Agustus
1852, keduanya menuruni bukit di Silindong, dekat Danau Toba. Namun, sebelum
menuju lembah, pemandunya menyarankan supaya Ida untuk tak menjauh
darinya. Mereka menyaksikan prosesi yang dilakukan enam lelaki bersenjata
tombak. Ketika kedua orang itu mendekat, mereka justru disambut dengan tombak
dan parang. Setelah si pemandu menjelaskan, Ida boleh melewati kawasan itu. “Di
suatu tempat, kejadiaannya bahkan lebih serius,” demikian Ida berkisah. “Lebih
dari 80 lelaki berdiri di jalanan setapak dan menghalangi perjalanan kami”.
Kemudian dia melanjutkan, “Sebelum saya menyadarinya, sekawanan lelaki telah
melingkari saya seraya menodongkan tombak mereka, dengan tatapan ngeri dan
liar. Ida melukiskan sosok lelaki Batak yang mengepungnya. Mereka berbadan
tegap dan kuat, tingginya hampir dua meter, penampilannya beringas dan militan.
“Mulut lebar mereka dengan geligi yang menonjol, tampaknya lebih mirip dengan
binatang buas ketimbang manusia manapun”.
Suasana kian mencekam,
para lelaki itu merubungi Ida sembari bersorak-sorai. “Saya tidak mengerti apa
yang terjadi selanjutnya”, ungkapnya. “Saya merasa sudah pasti bahwa ini adalah
akhir hidup saya”. Ida gelisah, demikian dalam catatannya, lantaran suasana
kian menakutkan. Namun, tampaknya dia tidak kehilangan kendali. Dalam situasi
teror, perempuan itu duduk di sebongkah batu. Lalu, sekonyong-konyong mereka
mendatanginya sembari menunjukkan gerakan-gerakan yang mengancam.
Ida bangkit dan mencoba
berbicara kepada lelaki beringas di dekatnya dengan bahasa separuh Melayu dan
separuh Batak. Sembari tersenyum Ida berkata, “Mengapa Anda tidak berkata saja
bahwa Anda akan membunuh dan memakan seorang perempuan tua seperti saya. Saya
pastilah sangat sulit dimakan dan alot”. Ida, dengan gaya pantomimnya, berusaha
menjelaskan kepada mereka bahwa dirinya tidak takut apapun. Bahkan, apabila
mereka menginginkannya, dia rela dibawa oleh mereka asalkan mereka mengantarnya
ke Eier Tau, Danau Toba.
Kemudian para lelaki
beringas dan bertombak itu melepaskan tawa mereka. Barangkali, kepercayaan diri
yang Ida tunjukkan telah membuat suatu kesan bersahabat kepada mereka. Pada
akhirnya, mereka menyambut Ida dengan uluran tangan, dan lelaki bertombak yang
melingkari perlahan membuka jalan untuk dirinya. Ida bersuka cita lantaran
terlepas dari bahaya di pedalaman Sumatra. Dia pun berhasil berjejak di tepian
Danau Toba dengan selamat.
Ketika peristiwa itu
telah dua tahun berlalu, Ida telah kembali ke kampung halamannya di Wina,
Austria. Dia terkejut pada satu pemberitaan dari Hindia Belanda. “Saya membaca
surat kabar yang mewartakan bahwa tiga misionaris asal Prancis di
pedalaman Tappanolla, Batak; telah terbunuh dan dimangsa oleh para kanibal
ditengah perayaan dengan tarian dan musik”.(nationalgeographic.grid.id)
Itulah
gambaran singkat rekaman jejak suku kanibal dan keberanian seorang wanita yang
berani mendatangi daerah yang belum dia kenal dan penuh dengan catatan
menyeramkan. Dimana dari catatan-catatan para penjelajah,
arkeolog dan peneliti mengindikasikan bahwa di Sumatra pernah memiliki suku
kanibal. Suku yang sering disebutkan dalam catatan-catatan itu adalah suku
Batak. Hal tersebut adalah wajar karena ketika itu masyarakat di pedalaman
belum mengenal Agama. Suku yang memakan manusia berangsur berkurang karena
kebijakan pemerintah Belanda yang melarang Kanibalisme. Selain itu juga karena
proses Kristenisasi yang di lakukan pemerintah Belanda dalam upaya menjatuhkan
kerajaan yang dipimpin Sisinga Mangaraja XII. Walau mungkin suku ini masih ada,
namun di zaman yang semakin modern ini sudah semakin sedikit manusia kanibal
bahkan mungkin sudah tidak ada. Jika saja mereka tidak memasukan dalam
buku-buku dan juga catatannya mungkin kita masih tidak percaya bahwa keberadaan
mereka memang pernah ada. Namun kita masih dapat melihat sisa-sisa peninggalan
mereka seperti Batu Parsidangan, Desa Siallagan, Pulau
Samosir, Sumatra Utara yang kini menjadi objek wisata.
Penulis : Rizky Arisandi
Penyunting : Argha Sena
Sumber: nationalgeographic.grid.id, lokadata.id, pemburuombak.com,
tobatabo.com, historia.id, bangkapos.com