F Juli 2022 ~ PEGAWAI JALANAN

Kamis, 28 Juli 2022

KISAH TENTARA PKI MENYUSUP KE TUBUH TNI DAN MENYERANG LASKAR HIZBULLAH!!!

 


Partai Komunis Indonesia (PKI) dan DI/TII adalah dua kelompok besar yang pernah ada di Indonesia. Kedua kelompok ini kemudian melakukan pemberontakkan terhadap bangsa Indonesia. Terdapat karya sastra yang mengatakan bahwa pemberontakkan DI/TII disebabkan oleh orang-orang PKI. Banyak orang-orang PKI yang menyatakan mereka adalah anggota DI/TII kemudian melakukan kekacauan. Selain itu dikatakan pula, PKI juga menyusup ke tentara republik kemudian menyerang laskar Hizbullah untuk menimbulkan kebingungan.

Kisah itu terdapat Dalam karya sastra karangan Ahmad Tohari berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air (2015). Terdapat pertempuran antara Hizbullah dan golongan komunis. Kisah yang terjadi di Kebumen ini, hanyalah salah satu dari beberapa fragmen tentang narasi permusuhan antara kedua golongan besar tersebut.

Setelah perang kemerdekaan berakhir, sejumlah laskar berusaha untuk disatukan ke dalam tentara Republik. Sebagai anggota laskar Hizbullah, pagi itu Amid, Kiram, dan Jun bergerak menuju Kebumen, mereka bergabung dengan pasukan Hizbullah dari beberapa daerah lain. Terdengar kabar, mereka akan diangkut ke Purworejo untuk dilantik sebagai tentara Republik. Mereka kemudian menunggu di tepi rel kereta api. Pada pukul sembilan pagi, sebuah lokomotif beserta rangkaiannya bergerak mendekati Stasiun Kebumen.

Dalam angan mereka, selangkah lagi akan sah sebagai tentara Republik dengan usia muda. Mereka juga memiliki harapan untuk mendapat pangkat dan gaji. Saat kereta api benar-benar telah begitu dekat, berondongan peluru merajalela dari dalam gerbong. Peluru-peluru tersebut mengarah ke pasukan Hizbullah yang tengah menunggu di samping rel kereta. Karena diserang tibaba-tiba, pasukan Hizbullah banyak yang berjatuhan. Amid, Kiram, dan Jun dengan sigap menjatuhkan diri ke dalam parit. Sebagian laskar Hizbullah berhasil menyelamatkan diri, tapi tak sedikit yang bertumbangan dihantam timah panas. Tiga sekawan dan pasukan yang selamat kemudian melakukan serangan balik. Baku tembak pun terjadi antara kedua kubu itu, sebelum akhirnya  sebuah granat meluncur deras masuk ke dalam gerbong lewat celah jendela dan menghancurkannya.

Pertempuran itu berlangsung selama dua jam, pertempuran akhirnya berakhir setelah granat meluluhlantakkan gerbong beserta isinya. Para penyerang telah kalah melawan laskar Hizbullah. Sebagian pasukan Hizbullah yang selamat menuduh pasukan Republik telah berkhianat. Sebagian lagi tak menganggap tentara Republik sekotor itu, mereka justru menuding orang-orang komunis sisa-sisa peristiwa Madiun 1948 di balik penyerangan tersebut. Kereta yang rencananya akan mengangkut mereka ke Purworejo justru menjadi ular besi pencabut nyawa. Kekecewaan ini membuat sebagian laskar Hizbullah akhirnya bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.

Ahmad Tohari juga menceritakan permusuhan ini ketika pemberontakan DI/TII yang pasukan intinya berasal dari Hizbullah. Pasukan itu terus eksis sampai menjelang keruntuhannya lewat operasi Pagar Betis. Lewat karya fiksi, Ahmad Tohari seolah-olah hendak membuat terang wilayah yang kerap dianggap abu-abu tentang infiltrasi dan penghancuran nama DI/TII oleh kelompok kiri.

Saat aksi-aksi garong, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap rakyat sipil yang dilakukan kelompok bersenjata semakin menjadi-jadi, Ahmad Tohari menyebut kelompok kiri kerap memakai nama DI/TII untuk melakukan aksinya. “Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang Gerakan Siluman (komunis) ibarat tombak bermata dua. Ke arah DI/TII, mereka membuka garis permusuhan, sementara ke arah lain mereka menggunakan nama DI/TII untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap orang-orang dusun”. Saat itu milisi yang dilatih tentara Republik yang mula-mula bernama Pemuda Desa (PD), kemudian berganti nama menjadi Organisasi Keamanan Desa (OKD), lalu menjadi Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR), yang dikerahkan untuk membantu TNI memburu anggota DI/TII, mayoritas dari mereka berasal dari kelompok kiri.”

Dengan situasi kekuatan DI/TII yang kian melemah, membuat Amid, Kiram, dan Jun enggan menyerahkan diri kepada TNI. Mereka yakin sebelum sampai ke pos militer, mereka akan dihabisi para milisi yang telah disusupi oleh orang-orang komunis. Kiram yang paling keras di antara ketiganya mengatakan “Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung, kita sudah habis di tangan OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak disusupi orang-orang Gerakan Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita berniat turun gunung. Bagiku, daripada mati karena menyerahkan diri, lebih baik aku mati bertempur,”.

Kisah tentang milisi desa yang memburu anggota DI/TII yang dihuni orang-orang komunis terdapat juga dalam cerpen berbahasa Sunda karya Ahmad Bakri yang berjudul Dukun Lepus (2002). Jika Ahmad Tohari yang kelahiran Banyumas dan kisahnya berlatar di Jawa Tengah, maka Ahmad Bakri kelahiran Ciamis dan latar ceritanya terjadi di Jawa Barat. Kedua provinsi ini adalah pusat gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo dan Amir Fatah. Dalam cerpen tersebut dikisahkan, suatu waktu seluruh warga Kampung Karangsari dikumpulkan oleh OKD (Organisasi Keamanan Desa).

Ahmad Bakri menulis bahwa “rata-rata bareureum (rata-rata merah/komunis) di balai desa. Saat itu OKD menemukan sebuah dokumen tertulis yang dicurigai berisi daftar warga yang memberikan sumbangan untuk DI/TII, juga karena kampung tersebut dianggap sebagai daerah santri yang banyak bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo. Kisah ini diakhiri dengan pemukulan anggota OKD oleh seorang perangkat desa yang kesal karena sikapnya jemawa dalam memperlakukan warga kampung.

Itulah konflik antara PKI dan DII/TII, dua buah ideologi yang berusaha menjadi ideologi negara. Dalam Karangan Sastra yang ditulis oleh Ahmad Tohari seolah mengatakan bahwa DI/TII dirusak oleh orang-orang PKI yang memnyebabkan DI/TII memberontak. Sedangkan pada keterangan lain saat pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, dikatakan bahwa gerombolan yang sering menyatroni kampung adalah orang-orang DI/TII, bukan komunis. mungkin memang benar orang-orang Kartosoewirjo yang melakukannya, atau mungkin orang-orang komunis yang mengatasnamakan DI/TII seperti dalam cerita Ahmad Tohari. Namun yang jelas setelah Kartosoewirjo tertangkap pada tahun1962, aksi gerombolan berangsur berkurang dan hilang, mereka tak menyimpan ingatan tentang gangguan keamanan yang dilakukan orang-orang komunis.

kisah yang ditulis oleh Ahmad Tohari dan Ahmad Bakri mungkin tidak sepenuhnya salah, karena mereka pasti tidak menulis ceritanya dari ruang hampa atau tanpa rujukan. Mereka pasti terlebih dahulu melakukan riset pustaka atau mungkin menuliskan pengalamannya sendiri saat masa-masa konflik itu berlangsung.

Sumber Referensi : tirto.id

DI/TII VS PKI!!! DI/TII MEMBERONTAK KARENA PEMERINTAH DEKAT DENGAN PKI

 


Setelah Indonesia merdeka, pergolakan di dalam negara belum selesai. Beberapa ideologi pernah memberontak kepada negara. Contoh konflik ideologi yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu peristiwa pemberontakkan PKI Madiun, pemberontakkan DI/TII, dan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Dalam konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi tersebut, ada pula ideologi yang dipegang oleh kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.

Pergolakan ini lebih tepat disebut sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kelompok yang melakukan aksinya menginginkan Indonesia menjadi negara yang sejalan dengan menggunakan ideologi yang dipercayai kelompok tersebut. Ideologi sendiri menurut KBBI bermakna kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; serta paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

Pada hasil Pemilu pada tahun 1955, adalah perang ideologi yang berada dalam kekuatan puncaknya, raihan suara yang merepresentasikan kedua pihak yakni Masyumi dan PKI cukup berimbang di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Barat, Masyumi meraih 13 kursi dan PKI 5 kursi. Sementara di Jawa Tengah, PKI meraih 15 kursi, dan Masyumi hanya 6 kursi. Jika raihan suara di kedua provinsi itu dijumlahkan, maka Masyumi meraih 19 kursi dan PKI 20 kursi. Hasil Pemilu 1955 di kedua provinsi itu setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana dua ideologi tersebut mewarnai pilihan masyarakat, dan memetakan kekuatan dua kubu dalam konteks pemberontakan DI/TII.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, sejumlah catatan sejarah juga menerangkan jejak tentang konflik golongan Islam dan kiri, terutama yang melibatkan Kartosoewirjo dan para pejuang yang kelak menjadi pasukan DI/TII. Sebuah insiden di sekitar Perjanjian Linggarjati dicatat Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: “Angan-angan yang Gagal” (1995). Menurutnya, pada Maret 1947 saat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melakukan sidang untuk membahas Perjanjian Linggarjati di Malang, Kartosoewijo beserta laskarnya bergerak dari Jawa Barat menuju Malang.

Mereka dengan tegas dan tanpa kompromi menolak perjanjian tersebut. Langkah ini ia lakukan untuk mencegah laskar sayap kiri yang setuju terhadap perjanjian itu melakukan teror terhadap para politikus yang menolak Perjanjian Linggarjati. “Ketika anggota-anggota Pesindo dalam sidang KNIP mencoba untuk menakuti wakil-wakil rakyat yang menolak persetujuan Linggardjati, dan ketika pertentangan tersebut semakin meruncing. Kartosuwirjo menyuruh pasukannya untuk menempatkan sebuah senapan mesin di atas sebuah rumah yang terletak di seberang gedung tempat KNIP bersidang.

Bung Tomo yang namanya populer dalam pertempuran Surabaya meminta Kartosoewirjo menahan diri. Namun, Kartosoewirjo yang kelak menjadi imam NII itu hanya menatapnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Kartosoewirjo baru melunak setelah Bung Tomo mengatakan tentang kemungkinan Belanda melakukan serangan terhadap sidang tersebut. Dengel menambahkan, dalam dokumentasi yang disusun Majelis Penerangan Negara Islam, terdapat catatan bahwa perjuangan politik umat Islam pada 1947 benar-benar ditekan kekuatan militer yang hampir seluruhnya berada di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan kaum sosialisme.

Pertentangan semakin meruncing ketika Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk Inspektorat Perdjuangan sebagai badan yang mewadahi laskar-laskar perjuangan rakyat. Raden Oni sebagai ketua laskar Sabilillah daerah Priangan menolak badan tersebut. Menurutnya, badan itu mempunyai tujuan untuk membuat umat Islam menjadi sosialis. Dalam dokumen tersebut, tampak pula ketakutan laskar-laskar Islam terhadap integrasi PKI ke dalam tubuh TNI.

“Menurut tulisan DI, sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, semua perwira tentara Republik adalah anggota sayap kiri, dengan demikian, kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima untuk masuk TNI sangat tipis karena kurangnya pendidikan para laskar tersebut. Laskar-laskar Islam juga mengkhawatirkan TNI hanya akan mengambil senjata mereka, dan kemudian mereka segera dipulangkan ke tempatnya masing-masing.

Kekhawatiran laskar-laskar Islam terhadap keberadaan kelompok kiri dalam tubuh TNI secara tersirat juga dicatat Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995). Menurutnya, meski tidak mungkin merinci semua konflik bersenjata antarlaskar maupun merinci semua satuan gerilya dalam pusaran tersebut. Yang jelas pada waktu itu banyak satuan gerilya liar terutama yang jumlahnya kecil dan perlengkapan senjatanya terbatas yang diserap oleh tentara Republik.

Artinya, tidak menutup kemungkinan banyak satuan-satuan gerilya kelompok kiri yang bergabung dengan TNI dan hal tersebut yang dihindari oleh laskar Islam seperti Hizabullah dan Sabilillah. Kemarahan laskar-laskar Islam di Jawa Barat kepada Amir Sjarifuddin memuncak setelah Perjanjian Renville yang mengharuskan TNI untuk mengosongkan wilayah Jawa Barat berdasarkan garis van Mook. Menurut Dengel berdasarkan dokumen Majelis Penerangan Negara Islam, mereka mengungkapkan kemarahannya dengan kalimat “Amir Sjarifuddin la’natoellah” karena dianggap telah berkhianat dengan menjual Jawa Barat kepada Belanda.

Saat Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, Kartosoewirjo beserta laskar-laskar Islam terutama Hizbullah dan Sabilillah justru memilih bertahan di Jawa Barat. Kartosoewijo merasakan simpati yang besar dari para ulama dan rakyat Priangan terhadap kekuatannya ketika terjadi pertempuran antara pasukannya melawan Belanda di Gunung Cupu. Selain meminta perlindungan, para ulama dan rakyat Priangan pun tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya politikus yang tidak hijrah ke Jawa Tengah dan selalu menolak setiap perundingan yang dilakukan antara Republik dengan Belanda.

“Banyak pemimpin-pemimpin umat Islam [di Priangan] kini berbondong-bondong ke tempat-tempat yang dipertahankan Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar oleh tentara Belanda melainkan juga oleh ‘komunis serta sosialis’,”. Catatan Dengel yang menyebutkan "komunis serta sosialis" yang mengejar para ulama dan rakyat Priangan kembali menguatkan situasi permusuhan antara kelompok Islam dan PKI.

Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari tidak sepenuhnya menolak anggapan bahwa aksi-aksi penggarongan terhadap warga sipil dilakukan pasukan DI/TII. Lewat percakapan tokoh-tokoh yang ia bangun, Ahmad Tohari mengakuinya. Namun, ia juga tak sepenuhnya menerima dengan menyertakan narasi tentang kelompok kiri yang ikut melakukan penggarongan dengan mengatasnamakan DI/TII. Sementara pada catatan sejarah yang ditulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995), ia juga menulis bahwa memang aksi-aksi itu tak sepenuhnya dilakukan DI/TII meski tak menyebutnya sebagai kelakuan kelompok kiri. Van Dijk hanya menyebutnya “gerombolan garong”.

“Sebenarnya, beberapa di antaranya tidak lebih dari gerombolan garong yang melanjutkan operasinya dalam situasi revolusioner yang baru. Dalam pengertian kebiasaan Jawa lama, adanya kelompok pemuda gelandangan yang bertualang di daerah pedalaman. Catatan lain disampaikan Holk H. Dengel, Kartosoewirjo menyebut permusuhan pertama antara DI/TII dengan tentara Republik terjadi pada Pertempuran Antralina di Ciawi, Tasikmalaya pada 25 Januari 1949.

DI/TII yang dengan cepat menghimpun kekuatan di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, menganggap semua pasukan yang masuk ke Jawa Barat adalah pasukan liar yang harus taat kepada gerakannya. “Waktu mereka (ja’ni R.I. dlorurot dan komunis gadungan) itu masuk ke daerah de facto Madjlis Islam, maka dengan sombong dan tjongkaknja mereka mengindjak-ngindjak hak dan memperkosa keadilan ‘tuan-rumah’, sehingga terjadilah insiden pertama dengan menggunakan sendjata, jang terkenal dengan nama ‘Pertempuran Antralina’ dan terjadi pada tanggal 25.1.1949,”.

Ia secara jelas menulis “komunis gadungan” terlibat dalam pertempuran tersebut. Artinya bisa jadi kelompok komunis memang banyak berkeliaran di Jawa Barat ketika pemberontakan DI/TII mulai menguat di Jawa Barat. Di penghujung tahun 1949, setelah Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan, digelar Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember. Pada kongres tersebut dibahas pula soal gerakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo.

Seorang anggota kongres mengungkapkan, sengketa antara laskar Islam dengan TNI berakar pada peristiwa perlucutan senjata laskar Jawa Barat di awal perjuangan kemerdekaan. “Pada saat itu perasaan umat Islam sangat terluka. Karena itu kerjasama dengan TNI tidak dapat dipertahankan lagi,”. Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa Front Demokrasi Rakjat (FDR) yang ia sebut sebagai “kaum merah”, mencoba mematahkan tenaga umat Islam dengan mempergunakan TNI.

Uraian-uraian dalam sejumlah buku sejarah tentang Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, juga lewat beberapa teks sastra tentang gerakan tersebut, tak menutup kemungkinan bahwa memang kelompok kiri terlibat dalam memperkeruh suasana keamanan warga sipil. Situasi ini dengan tepat diungkapkan dengan kata "pabaliut” yang berarti kacau balau. Permusuhan tersebut berlanjut ketika situasi berbalik, yaitu ketika pemberontakkan PKI tahun 1965.

Menurut Dengel, para mantan kombatan DI/TII ikut dilibatkan dalam penumpasan G30S tahun 1965. "Sebagian besar anggota gerakan DI/TII pada tahun 1963 oleh pemerintah diberikan amnesti dan setelah terjadi peristiwa G 30 S, banyak dari antara mereka ditarik sebagai penasihat oleh Kodam Siliwangi pada waktu menumpas Gerakan 30 September/PKI,".

Itulah perseteruan antara komunis dan DI/TII yang kemudian berlanjut hingga ke pemberontakan PKI tahun 1965. Kekhawatiran anggota DI/TII terhadap kaum PKI, membuat mereka berpikir bahwa anggota TNI telah banyak disusupi oleh kaum kiri. Karena kekhawatiran itulah mereka tidak percaya kepada TNI dan akhirnya memberontak. Selain itu, banyaknya orang-orang PKI yang menyusup ke dalam anggota DI/TII dan melakukan fitnah disana-sini sehingga rakyat menjadi tidak simpatik dengan perjuangan DI/TII, akhirnya DI/TII berhasil dilumpuhkan oleh gabungan TNI dan Rakyat. Pembersihan tersebut dikenal dengan operasi pagar betis yang merupakan singkatan dari Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam. Walaupun pada akhirnya setelah peristiwa G30S, anggota TNI bersatu dengan mantan anggota DI/TII untuk menumpas anggota PKI pada akhir tahun 1965 sampai tahun-tahun sesudahnya. Pada saat ini kedua kelompok besar tersebut mungkin tidak terlihat lagi, namun keturunan dari kelompok tersebut mungkin masih ada diantara kita dan semoga mereka dapat hidup bedampingan serta saling memaafkan untuk menjaga negeri ini tetap stabil tanpa pertumpahan darah seperti masa-masa kelam dahulu.

 

Sumber Referensi : tirto.id

PERISTIWA 3 DAERAH!!! REVOLUSI BERDARAH YANG DIDUGA DIDALANGI PKI!!!

 


Pasti banyak dari kita yang tidak mengetahui peristiwa tiga daerah, terutama orang-orang yang berada di luar pulau jawa. Peristiwa tiga daerah adalah peristiwa revolusi di dalam revolusi dengan PKI sebagai dalang utama. Peristiwa ini berawal setelah dua bulan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan ketika hilangnya pemerintahan jepang. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Keresidenan Pekalongan, Jawa Tengah.

Menurut salah satu literasi, Pemberontakan ini dipelopori oleh Partosuktino yang menghasut Sakyani. Sakyani alias kutil dijuluki Robbespierre Tiga Daerah, Ia adalah Orang yang yang memimpin peristiwa revolusi di tiga daerah tersebut. Saat kutil berkuasa, semua elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana, dan camat), dan sebagian besar kepala desa diganti dengan orang-orang pilihannya. Para elite sebelumnya diculik dan dibunuh dengan cara disembelih. Lokasi yag digunakan untuk melakukan penyembelihan salah satunya di jembatan Talang, Tegal.

sakyani adalah orang yang sejak lahir ia dipenuhi bintil-bintil kecil berwarna hitam yang memenuhi seluruh wajahnya. Ia selalu dihina oleh teman-temannya sehingga ia dijuluki dengan nama kutil karena wajahnya yang memang penuh dengan kutil. Walaupun setelah dewasa bintil-bintilnya hilang, ia tetap dijuluki kutil oleh orang-orang. Karena keadaannya itu, dia menjadi anak yang nakal dan tidak patuh terhadap orang tuanya. Didikan ayahnya yang keras membuat jiwanya terus memberontak, didikan keras ini bagaikan mengasah kebencian dalam dirinya. Moral dan agama yang diajarkan padanya di tolak mentah-mentah olehnya padahal ayahnya adalah seorang yang alim. Ia lebih memilih bergaul dengan orang-orang di Pelabuhan yang memiliki tabiat buruk.

Dia semakin tumbuh menjadi anak yang liar, hal ini disebabkan pergaulannya di Pelabuhan yang membuatnya belajar kemaksiatan dan kejahatan. Pemandangan yang sering ia lihat di Pelabuhan adalah para nelayan  yang suka berjudi, madat, dan madon (bermain perempuan). Yang menjadi temannya Ketika di Pelabuhan adalah para perompak dan bandit. Karena pergaulannya yang buruk, ia sering berkelahi dengan temannya di sekolah yang menghinanya. Ia kemudian memilih untuk berhenti sekolah saat kelas dua.

Ia kemudian menjadi kuat dipelabuhan, dia diajari bertarung oleh para bandit agar bisa ditakuti dan dapat mempengaruhi orang lain dengan kekuatan.  Karena sering berada di Pelabuhan, dia banyak bertemu orang-orang yang datang dari penjuru negeri. Ia pun mulai mengenal ideologi komunisme, Ideologi yang mengatakan sama rasa dan sama rata. Ideologi ini membuatnya merasa bahwa komunisme adalah ideologi yang menjawab keresahannya atas ketidakadilan dunia terhadapnya yang selalu dihina karena wajahnya.

Oleh para komunis dia dididik agar ia berani memberontak terhadap ketidakadilan dunia. Setelah banyak menerima ideologi komunis, Ia kemudian menjadi aktivis PKI dan membuat Sarekat Rakyat tegal. Dia melakukan propaganda dengan menghasut para petani, buruh, dan nelayan di Tegal untuk memberontak. Dia memimpin pasukan untuk menghancurkan bangunan pemerintahan Belanda, dan membunuh para pribumi yang menentang cita-cita pendirian negara komunis pada tahun 1926. Dari peristiwa ini dia mulai melakukan penyembelihan terhadap orang-orang yang menentangnya. Namun pemberontakan ini gagal dan akhirnya dia di tangkap dan dipenjara di Digul.

Saat di penjara, Ia berhasil kabur dari penjara dengan cara membunuh orang Belanda yang menjaga penjara dan mencuri perahu untuk Kembali ke Tegal. Ia berhasil lolos dengan beberapa orang temannya, tetapi karena tidak adanya makanan Ketika berlayar, ia membunuh teman-temannya agar dapat bertahan hidup. Setelah sampai di Tegal, ia menyamar sebagai tukang cukur dan menikahi seorang gadis yang mau menerima kekurangannya. Ia kemudian mencalonkan diri menjadi lurah pada tahun 1937, tetapi ia kalah suara yang membuat darahnya mendidih. Ia kemudian berpura-pura menjadi guru ngaji agar tidak dicurigai orang Belanda. Ia secara diam-diam mulai menjalin kontak dengan orang-orang komunis yang masih tersisa setelah pemberontakan tahun 1926.

Saat jepang kalah oleh sekutu, Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya. Pada saat proklamasi kemerdekaan  di Jakarta ini, ia mulai bergerak untuk mebangkitkan Kembali Gerakan komunis. Ia berusaha mendirikan negara sendiri dengan membunuh siapapun yang dianggapnya sebagai musuh. Banyak orang yang takut kepadanya, sehingga dia mendirikan komplotan bandit dengan nama lenggaong kutil. Kedekatannya dengan seorang kiai yang dikatakan memiliki kekuatan istimewa, membuatnya semakin ditakuti karena dianggap memiliki ilmu kebal. Pada bulan oktober1945, Tan Malaka menginstruksikan Gerakan Antiswapraja kepada seluruh pimpinan PKI. Ia yang merasa sebagai pimpinan PKI di Tegal,  mulai melaksanakan Gerakan antimonarki di Brebes, Tegal dan Pekalongan.

Dalam proses penggantian Pangreh Praja, ia menyiksa dan membantai siapa saja yang menentangnya. Dia menyembelih seluruh bangsawan dan pejabat yang menentang komunisme di Tegal. Ia juga menghidupkan sebuah organisasi yang Bernama Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang berada di bawah PKI. Anggota dari AMRI adalah para pedagang, penjual makanan, petani miskin, tukang besi, dan penjual jamu. Markas mereka berada di Ujungrusi dan Talang. Seluruh pemuda AMRI memakai selempang janur kuning pemberian kiai Makdum sebagai lambang perlawanan, pemberi kekebalan, serta penangkal roh jahat.

Langkah awalnya adalah mengganti pejabat-pejabat lama dan orang-orang golongan Pangreh Praja dengan orang pilihannya. Pemerintahan, perusahaan-perusahaan, dan Gudang-gudang  berhasil dikuasai. Orang-orang yang tidak menerima keputusannya akan langsung disembelih. Dengan Gerakan yang massif, ia berusaha mendirikan negara komunis sendiri di tiga daerah yaitu Tegal, Brebes, dan Pekalongan dengan memproklamirkan berdirinya negara Talang di tiga daerah itu. Slogannya saat itu adalah pemerintahan rakyat untuk menghancurkan pemerintahan republic Indonesia.

Pemikirannya disambut gembira oleh rakyat yang menganggapnya sebagai orang yang mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Dan siapapun yang menentangnya akan langsung disembelih oleh para anggotanya. Ia juga membuat kegiatan bawah tanah yang tertutup tanpa diketahui oleh banyak orang dengan melakukan penyusupan.

Ia kemudian menangkap seorang bupati tua, bupati itu ditelanjangi dan diseret ke dalam penjara. Pejabat pemerintahan lain dan para polisi diculik dan dibantai di jembatan Talang, Tegal. Ia juga melakukan penyembelihan kepada etnis cina di Brebes, dan memperkosa perempuannya. Ttidak ada satu orang pun yang menentangnya, golongan bawah dan kalangan agama mengikutinya karena takut dibunuh. Ia sengaja menggunakan pengaruh islam dan ulama sebagai kekuatan politiknya dengan memasang tokoh islam dan bandit sebagai bupati ataupun kepala desa. Mereka yang menjadi petinggi itu, harus tetap tunduk kepadanya.  

Ia sering melakukan pembunuhan dengan berdiri di atas podium dan membawa orang yang sudah ditangkap. Ia menyebutkan nama orang tersebut dan meminta persetujuan untuk menyembelihnya. Para massa tentu setuju dan tidak berani menolak perkataannya untuk membunuh orang yang ditangkap itu.

Sakyani dan anak buahnya juga mengepung rumah Raden Mas Harjowiyono, lurah desa Cerih. Sakyani mengancam rumah membakar rumah Raden Mas Harjowiyono bila dia tidak keluar. Raden mas Harjowiyono pun keluar Bersama istrinya dengan pakaian resmi. Sakyani dan anggotanya lalu melucuti dan menelanjangi keduanya dan mengganti pakaiannya dengan goni. Suami istri ini lalu di arak dengan diiringi gamelan dan diperlakukan seperti ayam. Mereka dipaksa meminum air mentah dalam tempurung  kelapa dan makan dedak. Sakyani dan anggotanya tertawa, pasangan itu kemudian ditahan di kecamatan.

Sakyani dan anggotanya juga melakukan Razia pada setiap kereta api jurusan Purwokerto dan Tegal. Para penumpang yang menggunakan blangkon akan dirampok atau dibunuh. Setiap lurah dan camat yang menentang, akan dicopot, diseret, dan dicincang  di jalan raya sebagai tontonan untuk menakuti para rakyat.

Opziehter Bengkel Kereta Api Tegal tak luput menjadi korban Sakyani dan anggotanya. Ia disiksa di tiang listrik dan dipukuli secara beramai-ramai. Ia baru dilepaskan setelah mengatakan mau mengikuti Sakyani dan anggotanya. Polisi juga menjadi korban kekejaman Sakyani, bahkan polisi yang memiliki ilmu kebal dikubur hidup-hidup dalam sebuah lubang.

Rumah-rumah penduduk pun diteror dan digedor, kemudian para penghuninya disuruh untuk keluar. Mereka diharuskan mengikuti Gerakan PKI, siapapun yang menentang pasti akan langsung disembelih. Akhirnya para penduduk ikut turun ke jalan, kecuali mereka yang sudah tua dan sedang sakit. Beribu-ribu massa membanjiri jalan besar Talang, mereka disuruh memblokade jalan jurusan Selatan Slawi. Lalu lintas Tegal-Purwokerto menjadi tertutup, dan tidak ada kendaraan yang berani melewati jalan itu.

Gerakan rakyat tiga daerah ini mulai bergerak menyerbu kantor-kantor kecamatan, Kawedanan, dan menyerbu kantor polisi di Kejambon. Para pejabat pun melarikan diri, sedangkan pejabat yang tertangkap  akan dibunuh. Pernah ada orang yang menentang Sakyani dengan menolak Gerakan Rakyat tersebut. Para anggota Sakyani menangkapnya, kemudian orang itu diseret dan dipukul kepalanya menggunakan besi. Kepalanya pecah dan meninggal seketika di Markas Pemuda Ujungrusi.

Seorang Camat Adiwerna yang Bernama R.M. Suparto, berani berbicara di depan umum dan menghujat Sakyani. Tanpa komando, Anggota Sakyani dengan segera menyembelih Suparto. Kepala Suparto yang masih berlumuran darah kemudian dibawa ke depan Sakyani. Tapi tanpa sengaja salah satu anggotanya menginjak kepala Suparto. Saat kaki diangkat dari kepala itu, kepala itu kemudian pecah. Para anggotanya kemudian menangkap anak sulung Camat Adiwerna yang bernama Slamet. Slamet kemudian diikat dan dijatuhkannya di atas batu besar berulangkali hingga tewas.

Sakyani mulai membunuh orang-orang dari golongan agama sejak  tanggal 27 November 1945. Kiai yang memiliki pengaruh besar di Talang ditangkap karena menentang dan mempengaruhi santrinya untuk melawan Sakyani. Kiai ini di bawa ke selatan, lalu dimasukkan ke dalam bangunan tua yang tidak digunakan lalu disembelih. Seluruh orang cina di Tegal diminta untuk menyerahkan harta benda atau apapun yang diminta oleh Sakyani. Karena ketakutan, banyak orang-orang cina yang kabur dari Tegal dengan meninggalkan harta bendanya.

Bupati Tegal saat itu, Soenaryo, juga menjadi salah satu target gerakan Sakyani atau Kutil. Akan tetapi, sebelum aksi Kutil untuk menculik dan membunuh Bupati Tegal tercapai, Soenaryo diselamatkan oleh Mansyur dari Pemuda API (Angkatan Pemuda Indonesia). Penyelamatan Soenaryo berdampak pada Kardinah yang saat itu ada di lingkungan kabupaten Tegal. Ini menjadi peristiwa gelap bagi Kardinah, Kardinah sendiri adalah adik R.A. Kartini yang menjadi ibu angkat Soenaryo. Kardinah menjadi sasaran kemarahan rakyat, pakaian Kardinah dilepas dan diganti goni lalu diarak keliling kota dan diancam untuk dibunuh. Akan tetapi, ketika sampai di depan Rumah Sakit Kardinah, Kardinah pura-pura sakit dan dirawat. Pada malam harinya ada usaha penyelamatan oleh orang-orang dekatnya sehingga Kardinah selamat dari amukan orang-orang Sakyani/Kutil dan tidak sempat dibawa ke Adiwerna.

Untuk menutupi Gerakan PKI, Sakyani mengangkat kiai untuk menjadi bupati. Beberapa Bupati seperti Brebes, Tegal, pemalang, dan residen Pekalongan dan beberapa tempat lain adalah kiai yang diangkat oleh Sakyani. Hal ini membuat orang-orang meyakini bahwa ini adalah Gerakan aliran-aliran Islam, Sosialis, dan Komunis, padahal sepenuhnya ini adalah Gerakan Komunis.

Saat menyerang kota Pekalongan, Sakyani berhasil ditangkap dan hampir duhukum mati. Namun saat Agresi militer Belanda, suasana di Tegal menjadi kacau, Sakyani berhasil melarikan diri saat kekacauan terjadi. Ia melarikan diri ke Jakarta dan Kembali bekerja menjadi tukang cukur. Pada tahun 1949, ada orang Slawi di Jakarta yang mengenali wajahnya. Ia kemudian Kembali ditangkap dan mencoba melakukan Grasi kepada Soekarno pada 1 agustus 1950 tetapi ditolak. Pada tanggal 5 mei 1951, Sakyani di eksekusi di Pantai Pekalongan.

Itulah Peristiwa tiga daerah yang pernah terjadi di Indonesia dimana PKI sebagai dalang pemberontakkan. Walaupun banyak Ulama yang diangkat menjadi petinggi, tetapi mereka dikendalikan oleh Sakyani yang merupakan pimpinan PKI di Tegal. Dengan ditangkapnya Sakyani (Kutil) dan para tokoh lainnya, gerakan ini dapat mulai dinetralisir. Golongan Islam beserta para ulama juga memberi andil dalam berakhirnya Peristiwa Tiga Daerah. Golongan Islam merasa bahwa gerakan ini mulai menuai penyimpangan dengan tindakan ekstrem-radikal yang dilakukan oleh golongan kiri.

Sumber Referensi : 

Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah

kumparan.com

nasional.kompas.com

KISAH PERJALANAN HIDUP D.N. AIDIT DARI SANTRI MENJADI PKI!!!


Siapa yang tidak mengenal D.N. Aidit , seorang pemimpin PKI yang memberontak pada tahun 1965. Ia tewas secara tragis karena usaha pemberontakan yang ia lakukan gagal. Namun siapa yang menyangka, Ia adalah seorang santri dan telah khatam al-Quran sejak kecil. Namun karena terpengaruh oleh golongan kiri, ia kemudian menyebrang ke jalan yang salah. Padahal Aidit  pernah menjadi orang kesayangan Bung Hatta sebelum akhirnya berbeda haluan.

Dipa Nusantara Aidit atau Ahmad Aidit lahir di Belitung pada 30 Juli 1923. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Abdullah Aidit dan Mailan. Ayah dan ibunya sangat religius dan dihormati masyarakat Belitung. Ayah Aidit  berasal dari Minangkabau lalu hijrah ke Belitung. Abdullah aktif dalam kegiatan Islam dan dihormati oleh masyarakat Belitung. Ayah Aidit, yakni Abdullah bin Ismail, dikenal sebagai tokoh agama dan salah satu pelopor pendidikan Islam di Belitung yang disegani masyarakat. Abdullah juga seorang mantri kehutanan. Ayah Aidit yang muslim taat ini pernah menggagas dan memimpin gerakan kepemudaan untuk menentang kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya, pada 10 November 1937, Abdullah menjadi salah satu pendiri organisasi keagamaan bernama “Nurul Islam di Belitung yang berpaham Muhammadiyah. Sejak kecil, Aidit dan adik-adiknya dididik secara islami. Setiap hari sepulang sekolah, mereka belajar mengaji di bawah bimbingan sang paman, Abdurrachim. Orang-orang sekampung mengenal Aidit sebagai anak yang alim, rajin ke masjid, dan juga pandai mengaji.

Bang Amat (Achmad Aidit) tamat mengaji, khatam Alquran. Kami semua khatam Alquran,” ungkap Sobron Aidit, adik tiri Achmad, yang dituliskannya dalam buku berjudul Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan (2003). Aidit kecil juga kerap bertugas melantunkan azan di masjid. Diungkap Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016), ia sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap keras dan lafalnya jelas.

Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, dan ayahnya menyetujuinya nama tersebut. Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada tahun 1940, ia kemudian mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin. Aidit dengan mudah bergaul dengan orang-orang penting karena memiliki sifat yang sama yaitu memberontak pada penjajah. Paham Marhainisme milik Soekarno yang mirip komunis membuat Aidit semakin dekat dengan Soekarno. Demikian pula dengan Muhammad Hatta yang mendirikan Ekonomi Koperasi. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Aidit menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun pada akhirnya mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.

Pada awal September 1945, terbentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API), di mana Aidit ditunjuk menjadi ketua cabang Jakarta Raya. Pada 5 November 1945, DN Aidit bersama anggota API diserang oleh Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau tentara Hindia Belanda dan ditangkap. DN Aidit kemudian diasingkan ke Pulau Onrust selama tujuh bulan, sebelum akhirnya dibebaskan. Pada 1948, DN Aidit, Lukman, dan Njoto ditugaskan untuk menjadi penerjemah Manifesto Komunis ke dalam bahasa Indonesia.

Pergaulan Aidit terus meluas, Dia kemudian berusaha membangun kembali komunis setelah terpuruk akibat pemberontakan Madiun pada September 1948. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada PKI. Aidit membuat organisasi sayap seperti Pemuda Rakyat untuk pemuda, Gerwani untuk ibu-ibu, BTI untuk petani, Lekra untuk seniman, dan Dia juga mendukung Marhenisme untuk mengambil hati Bung Karno. Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok.

Selain itu, Salah satu kunci pentingnya adalah kampanye PKI soal isu kemiskinan. Meski PKI dibenci setengah mati oleh kelompok-kelompok politik mayoritas di Indonesia, tapi jurus jualan kemiskinannya diamalkan dengan baik. Tak hanya kemiskinan di kota, tapi juga kemiskinan di desa. Di kota ada buruh, sedangkan di desa ada para petani. Karena kemiskinan mereka, dua golongan itu potensial jadi pemilih PKI dalam pemilu. PKI sendiri punya lambang palu dan arit. Palu merepresentasikan buruh, dan arit mewakili petani.

Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), dengan mengutip Everett Hawkins di artikel "Labour in Developing Economics" (1962), kaum buruh adalah golongan miskin di Jakarta. Upah mereka sangat rendah. Sementara itu pada 1953 terjadi kenaikan harga bahan pokok. Tak heran jika pada era 1950-an Tunjangan Hari Raya (THR) sudah mulai diperjuangkan kaum buruh.

Sedangkan Kaum tani Indonesia yang merupakan 70 % daripada penduduk masih tetap berada dalam kedudukan budak, hidup melarat dan terbelakang di bawah tindasan tuan tanah dan lintah darat,” kata Ahmad alias Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, dalam pidatonya yang berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia.

Aidit mengatakan bahwa kaum komunis harus mengikis sumber-sumber penderitaan petani. “Kewajiban yang terdekat daripada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme, mengembangkan revolusi agraria antifeodal, menyita tanah tuan tanah dan memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik perseorangan mereka.


Layaknya pahlawan robinhood yang mencuri uang-uang para orang kaya lalu dibagikan kepada orang melarat. Para PKI melakukkan hal yang sama layaknya Robinhood. Mereka melakukan perampasan tanah-tanah milik tuan tanah untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin. Pada saat itu, para kyai dan ulama merupakan orang-orang terpandang yang juga memiliki banyak tanah. Dari perampasan tanah-tanah milik para ulama, maka mulai timbul dua masyarakat yang saling bergesekkan. Mereka yang membela para ulama dan partai PKI yang merampas tanah-tanah milik tuan tanah. Gesekan kedua kubu tersebut terus terjadi hingga akhirnya menimbulkan dendam pasca peristiwa pemberontakan PKI.

Kampanye Anti Asing juga dilakukan, Lewat mulut Aidit dalam pidato Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia, menyebut: “Salah satu bentuk pertentangan dan permusuhan antara negara-negara imperialis ialah perang imperialis yang membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian berjuta-juta manusia.” Seperti umumnya partai jelang pemilu, PKI juga memberi janji-janji manis. Ideologi bukan jaminan utama kemenangan dalam pemilu. Lewat koran andalannya, Harian Rakjat (28 September 1955), sehari sebelum pemilu DPR pada 29 September 1955, PKI melempar banyak janji. Tak tanggung-tanggung, PKI saat itu memaparkan 19 janji.

Karena Janji-Janji manis tersebut, dalam pemilu tahun 1955 PKI berhasil menjadi partai empat besar, setelah PNI, Masyumi, dan NU. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.

Aidit semakin dekat Bung Karno, Dia kemudian diangkat menjadi Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS. Dia juga berhasil mendorong Bung Karno membubarkan Masyumi dan PSI. Kedudukan PKI semakin kokoh ketika Bung Karno mencetuskan Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) sebagai tiang utama pembangunan Indonesia yang revolusioner. saat Soekarno menyerukan Ganyang Malaysia, Aidit dan PKI menjadi garda terdepan mendukung Soekarno. Hal ini membuat Soekarno pun semakin percaya dengan Aidit dan PKI. Disisi lain, Aidit memiliki tujuannya tersendiri. Ia berharap soekarno mengirimkan angkatan darat untuk pergi ke perbatasan Malaysia dan berperang. Jika angkatan darat berperang, maka hal ini memudahkan PKI menguasai Indonesia. PKI yang telah menjadi partai besar, tentu mudah mengambil alih jika angkatan darat berperang dengan Malaysia. Karena pada saat itu, Angkatan darat adalah batu sandungan bagi PKI.

Rencana tersebut tak berjalan mulus, Namun karena Aidit merasa telah berada di atas angin, akhirnya melakukan pemberontakan untuk berusaha mengambil alih Indonesia. Aidit berusaha menerapkan Ideologi komunis dengan cara menyingkirkan petinggi-petinggi yang menolak ideology tersebut. Walau telah menyingkirkan petinggi-petinggi yang menolak ideology komunis, namun usaha menjadikan Indonesia negara komunis tersebut gagal. Gerakan PKI berhasil dihentikan oleh angkatan darat di bawah komando Soeharto. Aidit akhirnya menjadi incaran angkatan darat karena dianggap sebagai dalang pemberontakan.

Ketika menjadi pihak tertuduh, DN Aidit kemudian pergi dari Jakarta menuju ke Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang menjadi basis PKI. Aidit akhirmya tewas setelah pergi ke Jawa Tengah. Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya dengan AK-47 hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Namun sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.

Itulah kisah tentang D.N. Aidit, seorang santri yang kemudian berubah menjadi pemimpin PKI. Murad Aidit menduga ada pengkhianat dalam tubuh PKI yang mengorbankan sang kakak. Walaupun menjadi PKI, Aidit tidak pernah menjadi seorang Atheis. Aidit pernah mengatakan bahwa hanya orang gila yang mengatakan agama adalah candu. Hingga saat ini, tidak pernah ada kejelasan yang mutlak dan absolut terkait peran DN Aidit dan PKI dalam peristiwa G30S, yang ada hanya teori-teori yang jumlahnya cukup banyak. Saat ditemukannya rekaman yang diduga berisi dokumen politik penting, ternyata isinya hanya pengajian islam yang dimulai dari pembacaan ayat al-Quran. Dari Aidit kita dapat belajar bahwa kita bisa saja tersesat ke jalan yang salah. Ayah Aidit yang seorang Ulama besar menangis saat anak-anaknya ditangkap oleh tentara padahal tidak terlibat dengan Aidit. Ayahnya meninggal 3 tahun kemudian setelah Aidit di eksekusi.

Sumber Referensi : hajinews.id

id.wikipedia.org

kompas.com

pwmu.co

tirto.id