Sosial media baru-baru inj dihebohkan dengan ramalan Nostradamus yang
dikait-kaitkan dengan Indonesia. Dalam ramalannya, Nostradamus memprediksi
bahwa Indonesia dan Australia akan berperang pada tahun 2037. Australia akan
menyerang negara yang ada pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan. Ciri-ciri
negara tersebut mirip sekali dengan Indonesia, karena Indonesia memiliki
pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan. Netizen kemudian mengaitkan bahwa
tempat yang di maksud adalah Surabaya, Karena di Surabaya terdapat Pelabuhan
terbesar kedua di Indonesia. Selain itu, di Surabaya juga terdapat jembatan
merah, Sedangkan tugu peringatan yang dimaksud adalah tugu pahlawan. Menurut
Nostradamus, Indonesia dan Australia berebut supremasi di laut hindia.
Perselisihan semakin membesar hingga menjadi konflik bersenjata yang
diikuti perang besar, dalam perang tersebut Indonesia dikatakan akan kalah. Perselisihan
antara Indonesia dan Australia akhir-akhir ini kembali terjadi. Terutama saat
Indonesia dihebohkan dengan klaim dari Australia tentang pulau Pasir atau
Ashmore reef. Pulau yang berada di Samudera Hindia tersebut akankah menjadi
pemicu perang yang diramalkan oleh Nostradamus yang mengatakan bahwa Indonesia
dan Australia berebut supremasi d laut Hindia.
Ashmore reef terletak sekitar 120 km sisi
selatan pulau rote, dan berjarak 320 km dari Australia. Klaim Australia atas pulau
tersebut didasarkan pada nota kesepahaman (MoU) nelayan Indonesia dengan
Australia pada tahun 1974. Atas klaim pulau tersebut, sejak tahun 2004
telah banyak
nelayan NTT yang ditangkap pemerintah Australia saat memasuki kawasan itu.
Masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) kemudian meminta Australia
agar segera hengkang dari pulau itu. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat
(YPTB), Ferdi Tanoni, mengatakan telah meminta Negeri Kanguru menunjukkan bukti
kepemilikan yang sah atas gugusan Pulau Pasir. Ketua YPTB di Kupang, Ferdi
Tanoni, mengatakan “Mereka hanya mengklaim bahwa itu milik mereka, padahal
tidak ada bukti yang bisa mereka tunjukkan bahwa itu adalah milik mereka”.
Ferdi juga telah mengajukan gugatan ke
Pengadilan Australia. Hal ini disebabkan karena banyak nelayan NTT yang melaut
di wilayah itu dan ditangkap otoritas Canberra. Menurutnya di pulau itu
terdapat kuburan leluhur Rote termasuk artefak. Ferdi menambahkan bahwa saat
ini Australia melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di kawasan itu. Ferdi
mengatakan “Kalau
Australia tidak mau keluar dari gugusan Pulau Pasir, kami terpaksa membawa
kasus tentang hak masyarakat adat kami ke Pengadilan Commonwealth Australia di
Canberra”. “Nelayan Indonesia mengunjungi Ashmore Reef setiap tahun di bawah
Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Pemerintah Australia dan Indonesia,
yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan wilayah laut yang telah mereka
akses secara tradisional selama berabad-abad.”
Persengketaan tentang Pulau Pasir atau ashmore reef antara Indonesia dan
Australia telah terjadi sejak lama. Pada tahun 1974, Canberra dan
Jakarta menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) soal
batas wilayah teritorial. Perjanjian kedua negara lebih menyepakati garis-garis
sementara pada bagian timurnya dengan mengikuti arah garis-garis batas landas
kontinen, yang letaknya tepat pada garis tengah antara kedua negara. Garis
tengah ini berlanjut sampai mendekati pulau-pulau Ashmore dan Cartier, terus
berbelok ke arah utara dan menyusur gugusan pulau-pulau tersebut. Dalam
kesepakatan tersebut juga mengatur kegiatan nelayan tradisional Indonesia di Australian
Fishing Zone (AFZ), terutama di sekitar
pulau-pulau Ashmore Reef dan Cartier island. Kesepakatan ini masih terbatas
pada hak nelayan Indonesia untuk berlabuh dan mengambil air tawar hanya di East
dan Middle island dari gugusan Pulau Ashmore reef.
Adanya kesepakatan batas kedua negara, pada
tahun 1983 pemerintah Australia menetapkan kawasan Ashmore sebagai cagar alam nasional
(National Nature Reserve) berdasarkan National Park dan Wildlife Conservation
Act 1975. Dengan adanya penetapan kawasan perlindungan ini, membawa implikasi
pembatasan aktivitas nelayan Indonesia. Sejak tahun 1983 terjadi perubahan
perlakuan terhadap nelayan tradisional yang semakin ketat di kawasan perairan
tersebut.
Perlakuan pemerintah Australia terhadap nelayan
tradisional, kemudian menuai protes pemerintah Indonesia sehingga pada tahun
1989 dilakukan perjanjian bilateral kedua negara. Inti perjanjian tersebut
adalah nelayan Indonesia dapat berlayar dan mencari sumber daya laut dengan
menggunakan metode tradisional seperti zaman dahulu. Pemerintah Australia
melarang jika nelayan Indonesia menggunakan kapal yang bermotor.
Australia melalui aparatnya kemudian melakukan
tindakan tegas terhadap nelayan Indonesia yang melakukan kegiatan eksploitasi
sumber daya laut di AFZ, para nelayan tersebut dianggap merusak lingkungan
disekitar terumbu karang. Aparat Australia menangkap nelayan, menyita hasil
tangkapan, membakar kapal, dan menahan nelayan. Nelayan dianggap memasuki
perairan AFZ tanpa mengindahkan peraturan pemerintah Australia, yaitu
menggunakan mesin, memasuki wilayah yang dilarang, ataupun mengambil sumber
daya laut yang dilarang.
Meski pemerintah Indonesia dan pemerintah
Australia telah melakukan perjanjian bilateral hingga tiga kali untuk mengatasi
masalah pelanggaran kedaulatan, akan tetapi masih saja terjadi pelanggaran yang
dilakukan nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran
yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia yaitu, pelanggaran
terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MoU Box 1974 dan Agreed
minutes 1989. Selain itu, terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati sesuai dengan
kesepakatan, baik MoU Box 1974 maupun
Agreed Minutes 1989. Salah satu jenis
pelanggaran yang sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia
adalah pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari
sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan penyu dan burung
beserta telurnya.
Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang
digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan juga sering dilakukan. Fasilitas yang
digunakan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui MoU Box 1974 dan Agreed Minutes 1989, yaitu melakukan kegiatan penangkapan dengan
menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat
penangkapan yang tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan
gil/net.
Pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan
masalah lingkungan hidup juga sering dilakukan. Mereka dinilai sering lalai
memadamkan api setelah memasak, membuang puntung rokok sembarangan, ataupun
kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumber-sumber air minum. Para
nelayan juga dikatakan memanfaatkan kegiatan penangkapan ikan sebagai sarana
untuk mengantar dan memasukan imigran gelap ke Australia.
Pemerintah Australia mendefinisikan penangkapan
illegal cenderung pada kategori pelanggaran hukum karena memasuki wilayah
perairan pengawasan Australia, tanpa izin dari otoritas Australia. Berdasarkan
nota kesepahaman antara Indonesia-Australia yang ditandatangani pada tahun
1974, pemerintah Australia masih mengizinkan nelayan tradisional, yaitu nelayan
yang menggunakan kapal layar. Pemerintah Australia melarang setiap nelayan
Indonesia yang menangkap ikan atau makluk hidup lainnya di Ashmore Reef karena
area ini dijadikan cagar alam. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
pemerintah Australia akan menghukum orang yang melanggar dengan menyita hasil
yang telah diperoleh nelayan serta mewajibkan membayar denda atau mengenakan
hukum penjara. Sedangkan Perahu kapal yang terbukti bersalah dapat disita dan
dibakar.
Menanggapi hal ini, Pemerintah Indonesia menyatakan pulau itu memang
milik Negeri Kanguru. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik
dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Abdul Kadir Jailani lewat akun
Twitternya. "Pulau Pasir merupakan pulau yang dimiliki Australia
berdasarkan warisan dari Inggris,". Pulau tersebut dimiliki inggris
berdasarkan Ashmore and Cartier acceptance Act, 1933, Dan dimasukan ke dalam
wilayah Administrasi Negara Bagian Australia Barat pada tahun 1942.
Australia pada masa penjajahan memang diduduki Inggris, sedangkan
Indonesia lebih lama dijajah Belanda. Tidak bisa dipungkiri jika warisan
kolonialisme telah lestari mempengaruhi bentuk-bentuk kedaulatan negara sampai
saat ini. Dalam geografi Australia, Pulau Pasir tersebut bernama
Kepulauan Ashmore dan Cartier. Sebelum Indonesia merdeka, pulau karang dan
pasir kecil itu memang telah menjadi
milik Inggris. Sehingga Pulau Pasir atau Ashmore reef tidak pernah masuk ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belanda tidak pernah mengklaim
pulau tersebut karena tidak memiliki keuntungan dari segi apapun. Sedangkan
inggris perlu memiliki pulau tersebut sebagai jalur pelayaran yang aman. Maka
dari itu belanda dan inggris tidak bersengketa masalah pulau Ashmore reef
tersebut, dan menyatakan pulau tersebut adalah milik inggris.
Pada Peta AOI (Area of Interest), yang menampilkan gambar wilayah
Indonesia secara keseluruhan, terlihat ada lekukan garis batas yang menjorok ke
arah dalam sisi Indonesia. Lekukan ini mirip dengan peta Australia. Lekukan
itu melewati Pulau Pasir atau Australia menyebutnya sebagai Ashmore and Cartier
Islands. Pada peta ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di situs Badan
Informasi Geospasial Indonesia, terdapat gambar lekukan yang sama. Garis
wilayah Indonesia menjorok ke dalam menghindari Pulau Pasir atau Kepulauan
Ashmore dan Cartier. Bahkan di peta ZEE Indonesia, tidak ada nama Pulau Pasir,
yang ada yakni Ashmore Reef. Di dekatnya, ada Hibernia Reef yang juga masuk
wilayah Australia (meski menjorok ke Indonesia).
Garis batas ZEE Indonesia yang melewati Pulau Pasir ini berbentuk garis
putus-putus, melewati Samudra Hindia hingga Laut Timor di selatan Nusa Tenggara
Timur atau utara Australia. Jadi menurut peta resmi Indonesia, Pulau Pasir
atau Kepulauan Ashmore dan Cartier tidak masuk wilayah Indonesia, melainkan
wilayah Australia. Tidak mengherankan jika pemerintah Australia berang karena
banyak nelayan yang tidak mengindahkan peraturan tersebut. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah Australia akhirnya menangkap dan menyita kapal milik
nelayan yang melanggar perjanjian tersebut.
Itulah pembahasan pulau Ashmore reef yang memang merupakan milik
Australia. Jika Indonesia berusaha untuk mengklaim pulau tersebut, maka
Indonesia berada pada posisi sebagai penginvasi. Dan jika berperang pun maka
Indonesia akan dianggap bersalah karena melanggar perjanjian yang telah dibuat
oleh kedua negara. Menanggapi ramalan Nostradamus yang mengatakan bahwa
Indonesia dan Australia akan berperang itu tidaklah benar. Bagaimana mungkin
seseorang yang hidup pada tahun 1500an meramalkan Indonesia, sedangkan nama
Indonesia digunakan pertama kali digunakan secara politik pada tahun 1920an.
Terlebih lagi, buku yang ditulis oleh Nostradamus dengan judul Les Propheties telah hilang setelah
Nostradamus menghilang. Buku karya Mario Reading yang berjudul Nostradamus: The Complete Prophesies for the
Future bisa saja adalah perkiraan Mario Reading melihat perselisihan
Indonesia dan Australia yang telah terjadi sejak lama. Jika memang benar
terjadi, maka itu hanyalah sebuah kebetulan ataupun itu adalah pengamatan yang
telah dilakukan oleh Mario Reading.
Sumber Referensi :
cnbcindonesia.com,
cnnindonesia.com,
news.detik.com,
99.co