F April 2021 ~ PEGAWAI JALANAN

Jumat, 30 April 2021

Gara-Gara Babi hingga Mabuk, 5 Penyebab Perang Paling Konyol dalam Sejarah Dunia


Mendengar kata 
perang, tentunya akan selalu menakutkan banyak orang. Tak sedikit orang akan tewas ketika bertempur dalam medan perang, hingga beragam kejadian memilukan yang dialami banyak masyarakat. 

Biasanya perang sendiri sering berhubungan dengan konflik negara atau tujuan politik tertentu. Tapi, di antara banyaknya perang yang terjadi di dunia, ada sejumlah perang yang justru dipicu karena hal-hal konyol yang seharusnya tidak terjadi.

Berikut ini merupakan rangkuman lima perang yang dipicu oleh hal-hal konyol akan tetapi pernah benar-benar terjadi dan tercatat dalam sejarah.

1. The War of Golden Stool

Sebuah bangku emas merupakan barang yang dianggap sakral dan berharga bagi kekaisaran Ashanti. Kekaisaran itu terletak di negara Afrika bagian Barat dan pernah disebut sebagai Gold Coast saat masih penjajahan Inggris.

Para penduduk Ashanti menyakini bahwa bangku itu sakral, bukan hanya diperuntukan khusus untuk pemimpin mereka, melainkan roh yang mengisi semangat masyarakat bangsa Ashanti.

Perang tersebut terjadi ketika pada masa penjajahan Inggris, Raja Ashanti di tahun 1896 diasingkan. Campur tangan Inggris mulai masuk ke masyarakat Ashanti, ketika Gubernur Gold Coast, Sir Frederick Hodgson memasuki ibu kota.

Bangku emas berharga milik masyarakat Ashanti kemudian diminta secara paksa. Merasa harga diri mereka dilecehkan, penduduk setempat kemudian melakukan perlawanan dan menggunakan sebanyak mungkin senjata yang mereka temukan.

Perlawanan itu dipimpin oleh Yaa Asantewaa, ibu dari Raja Ashanti yang diasingkan. Koloni Inggris saat itu hampir dimusnahkan dan dipukul mundur.

Namun, mereka sembat kembali lagi dengan beberapa ribu orang di bawah komando Mayor James. Dari situ pertempuran terbilang sengit dengan pertahanan dan barikade dari masyarakat Ashanti.

Selama tiga bulan pertempuran dan menghadapi serangan dan perangkap Ashanti, Inggris berhasil mencapai kemenangan.

Walaupun Ashanti dilanda kekalahan dari perang yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Mereka bangga dan menyatakan kememnangan bahwa tempat duduk emas bangsa Ashanti tak pernah diberikan oleh pihak Inggris.

2. Memotong Tiang Bendera

Perang antara penduduk asli New Zealand dan Inggris mungkin sudah berlangsung lama sejak pertengahan abad ke-19. Pada saat itu, Inggris sudah mengklaim bahwa New Zealand di bawah kepemimpinan sang ratu. Oleh karena itu, para tentara memasang bendera Inggris pada kota-kota di sana.

Namun, seorang kepala suku bernama Hone Heke menolak dipemerintahan Inggris. Pada mulanya, ia sering naik sepeda ke kota Kororareka untuk menebang tiang bendera Inggris.

Kepala suku itu berpikir, jika selama tiang bendera tak ada di sana maka mereka tak akan pernah diperintah oleh Inggris. Tiang baru kemudian didirikan dan terus saja, Heke tebang.

Hingga sampai empat kali, tiang itu dibuat dengan besi besertakan dengan penjaga bersenjata. Ternyata aksi Heke pernah menuai perhatian pemerintah Inggris hingga seorang misionaris pernah turun tangan untuk memperingati timndakan Heke.

Sampai akhirnya, pada 11 Maret 1845, Heke dan sukunya turun ke kota dan melakukan aksi pembantaian. Heke kemudian berhasil kembali memotong tiang bendera itu dan menyulut perang dengan Inggris selama 10 bulan.

3. Perang yang disulut karena mabuk

Pada 1788, Austria tengah mengalami konflik perang dengan Turki. Kota Karansebes, wilayah Romania merupakan tempat pertempuran yang kerap kali berbenturan dengan tentara Turki.

Perang konyol itu terjadi ketika orang Austria mendirikan kemah untuk bermalam. Sedangkan beberapa pengintai ditugaskan untuk keluar dan memeriksa pedesaan terdekat untuk mengecek kehadiran orang-orang Turki.

Bukan orang Turki yang mereka temukan, melainkan sekelompok kaum gipsi yang menawarkan minuman beralkohol. Dari situ kekacauan mulai muncul ketika pasukan infanteri Austria menemukan kelompok pengintai tersebut.

Kedua kelompok itu saling minum hingga memecahkan pertengkaran diatara keduanya. Salah satu orang yang bersemangat sampai melepaskan tembakan hingga menyulut perang.

Petugas infanteri lain yang mendengar tembakan mengira bahwa itu adalah isyarat dari adanya orang Turki. Sampai akhirnya pertempuran ini menjadi liar dan tak dapat dikendalikan.

Satu-satunya yang memenangkan pertempuran adalah kebodohan yang mengakibatkan nyawa hilang secara sia-sia. Orang-orang Turki yang datang sebagai musuh mereka justru menemukan lebih dari 10 ribu jasad Austria dalam keadaan tewas dan terluka.

Dari situ orang-orang Turki dapat merebut wilayah sambil tertawa dengan kebodohan tersebut.

4. Perang gara-gara babi

Amerika dan Inggris pernah mengalami perang memalukan pada abad ke-19, yang dipicu karena masalah babi. Insiden menggelikan ini bermula ketika meletusnya Revolusi Amerika yang mendorong keduanya melakukan pertempuran secara habis-habisan.

Ketika revolusi berlangsung, ada batas yang kurang jelas tentang pembagian wilayah kekuasaan di wilayah Washington, Amerika. Dalam wilayah tersebut terdapat kepulauan yang disebut San Juan di mana kedua belah pihak saling mengklaim atas wilayah tersebut.

Pihak Inggris ada yang membuka peternakan domba dan sejumlah babi yang dimiliki oleh perushaan Hudson Bay milik Inggris.

Sampai suatu hari di bulan Juni 1859, Lyman Cutlar, pria asal Amerika melihat seekor babi dan menembaknya karena memakan tanaman kentangnya. Ternyata babi itu dimiliki oleh Charles griffin, asal Irlandia, seorang karyawan perusahaan Hudson.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Cutlarmulanya menawarkan kepada Griffin uang ganti senilai $ 10. Tawaran itu ditolak mentah-mentah, malahan Griffin menuntut $ 100 hingga akhirnya masalah ini tak terselesaikan.


Otoritas Inggris ternyata berusaha menangkap Cutlar akibat insiden tersebut. Tak mau kalah akan hal itu, Cutlar juga meminta bantuan militer Amerika.

66 tentara Amerika dikerahkan untuk menangani insiden babi tersebut. Namun, Inggris merasa khawatir jika pulau San Juan akan dikuasai Amerika sehingga mengirim lima kapal perang pada bulan Agustus.

Kedua belah pihak melakukan perang habis-habisan untuk memperebutkan wilayah tersebut yang dipicu karena insiden babi. Hingga akhirnya perang ini mulai membuat orang jenuh dan akhirnya Amerika dan Inggris menyetujui tentang kependudukan bersama di pulau tersebut pada bulan September kemudian.

5. Perang telinga Jenkins

Di abad ke-16, Inggris dan Spanyol sedang mengalami hal yang buruk. Meski demikian, pihak Inggris memutuskan adanya kebijakan untuk tidak saling berperang.

Namun, alasan mengapa perang ini pecah diakibatkan dari kasus delapan tahun yang lalu. Ketika telinga Kapten Angkatan Laut Inggris, Robert Jenkins dipotong oleh orang-orang Spanyol yang jahat pada tahun 1731.

Semua orang yang mendapatkan informasi tersebut mengatakan insiden pemotongan telinga merupakan penghinaan besar bagi bangsa. Hingga perang harus segera dimulai.

Perang antara Inggris dan Spanyol terus berlanjut panjang hingga dalam Perang Suksesi Austria yang melibatkan banyak negara di wilayah Eropa. Dari konflik perang tersebut korban jiwa sampai mencapai lebih seperempat juta orang tewas dalam medan pertempuran.

Itulah 5 perang paling konyol yang tercatat dalam sejarah, perang nomor berapakah menurut kalian yang paling konyol???

Sumber : https://www.liputan6.com/

Sejarah Kapal Selam dari Masa ke Masa: Bahan Kayu Sampai Baja


INDONESIA berduka, kita semua berduka atas karamnya Kapal Selam Nanggala 402. Sebanyak 53 patriot bangsa gugur saat menjalankan tugas, mengarungi samudera guna menjaga kedaulatan negara. Mereka terkubur bersama tenggelamnya Kapal Republik Indonesia (KRI) Nanggala-402. 

Kapal selam asal Jerman ini ditemukan pada kedalaman 838 meter. Kapal yang dibeli pada 1977 pada masa pemerintahan Presiden Suharto dan mulai bertugas pada tahun 1981 ini terbelah menjadi tiga bagian. Dalam artikel kali ini kami ingin mengulas sejarah Kapal Selam didunia, sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk kita.

Perkembangan teknologi kapal selam menarik untuk disimak. Dari menggunakan tenaga manusia dan cuma bisa digunakan beberapa meter di dalam air, hingga akhirnya dapat teknologi canggih untuk digunakan ratusan meter di dalam laut untuk mengintai musuh.

Kapal selam pertama kali dibuat dari batang pohon yang dipahat dan terus berkembang pada akhirnya mengandalkan besi dan baja untuk menahan tekanan air bawah laut. Berikut perjalanan panjang teknologi kapal selam, yang dimulai pada pertengahan abad ke 17.

Berikut ini adalah beberapa kapal selam yang di buat dari bahan kayu sampai baja sesuai dengan teknologi yang dikuasai pada zamannya.

1. Drebbel: 1620-1624




Matematikawan asal Inggris, William Bourne membuat beberapa rencana paling awal yang diketahui untuk kapal selam sekitar tahun 1578, tetapi masih dalam prototipe.

Namun prototipe pertama dibangun insinyur, dan penemu berkebangsaan Belanda, pada abad ke 17 yaitu Cornelius Drebbel. Kapal itu kemudian dipekerjakan untuk kapal selam Raja Inggris James I.

Kapal Drabbel merupakan perahu dayung modifikasi yang dilapisi kulit berminyak dan diawaki tim pendayung. Sekitar tahun 1620, dia menggunakannya untuk menyelam 4 meter di bawah Sungai Thames.

Selama demonstrasi penyelaman itu membuat warga London dan disaksikan oleh Raja James tercengan melihat kapal itu menyelam.

Sayangnya, tidak ada rencana atau gambar teknik Drebbel yang bertahan hingga hari ini, jadi sejarawan hanya bisa menebak tentang bagaimana sebenarnya 'perahu selam' miliknya beroperasi.

Beberapa laporan menyatakan kapal itu tenggelam karena kumpulan kandung kemih atau tangki pemberat kayu, sementara yang lain menyarankan bahwa busur miring dan sistem pemberat digunakan untuk mendorong perahu ke bawah air saat mendayung dengan kecepatan penuh.

2. Turtle: 1775



Selama Revolusi Amerika, penemu dan lulusan Yale University AS, David Bushnell memberikan senjata kepada pemerintah dalam bentuk kapal selam eksperimental yang disebut 'Turtle'.

Kapal yang merupakan kerajinan kayu ini mengandalkan engkol tangan dan pedal kaki untuk menggerakkan kapal. Tangki air yang dioperasikan dengan pedal memungkinkannya untuk tenggelam dan muncul ke permukaan, dan pemberat timbal membuatnya tetap tegak di dalam air.

Jika dioperasikan dengan benar, Turtle bisa mendekati kapal musuh tanpa terdeteksi dan menggunakan sekrup untuk menanam ranjau yang diisi dengan 60 kilogram mesiu.

Bushnell kemudian meninggalkan proyek kapal selam setelah beberapa misi telah gagal dalam menenggelamkan kapal musuh. Tetapi penemuannya membuat Bushnell dihormati oleh sesama Patriot.

Kemudian ketika ditanya tentang Turtle, George Washington menjawab, "Saya kemudian berpikir, dan masih berpikir, bahwa itu adalah upaya jenius."

3. Nautilus: 1800



Pada saat bekerja untuk pemerintah Perancis pada tahun 1800, seorang penemu asal Amerika Robert Fulton merancang 'Nautilus', sebuah kerajinan logam yang sering disebut kapal selam modern pertama.

Kapal setinggi lebih dari 6 meter ini menampilkan beberapa inovasi revolusioner termasuk lambung berbentuk cerutu dan menara pengangkut tembaga.

Nautilus menggunakan baling-baling bertenaga empat bilah untuk bergerak di bawah air, tetapi menggunakan tiang yang dapat dilipat dan layar kipas untuk berjalan di permukaan.

Nautilus berhasil melakukan beberapa uji coba penyelaman pada awal abad ke-19, tetapi dibongkar dan dijual untuk dibuang setelah gagal menarik hati angkatan laut Perancis dan Inggris.

4. Sea Devil: 1855



Wilhelm Bauer membangun kapal selam pertamanya pada tahun 1850, meski hanya mampu menyelam 50 kaki atau 15 meter di bawah air pada saat demonstrasi.

Ia kemudian menerima dana dari pemerintah Rusia untuk pengembangan kapal baru. Setelah melakukan perjalanan ke St. Petersburg pada tahun 1855, ia membangun "Sea Devil", kapal selam setinggi 52 kaki yang mampu membawa puluhan awak.

Kapal ini memiliki beberapa terobosan teknologi termasuk beberapa tangki pemberat untuk menambah daya apung, pengunci udara dan baling-baling yang digerakkan awak kapal.

Akhirnya Bauer sukses melakukan lebih dari 130 penyelaman, sebelum akhirnya kapal tersebut hilang di laut.

Prestasi yang tidak bisa dilupakan yakni selama masa kepemimpinan Tsar Alexander II. Bauer menyelamkan kapal yang isinya empat grup band. Para saksi kemudian melaporkan bahwa mereka dapat mendengar lagu kebangsaan Rusia yang dibawakan dari bawah air.

5. CSS H.L. Hunley: 1863



CSS H.L. Hunley dibangun secara pribadi di Mobile, Alabama pada tahun 1863. Kapal itu dibuat dari katel uap yang merupakan besi daur ulang, dan berkapasitas delapan kru kapal.

Pada delapan kru itu terdiri dari satu orang nahkoda, dan tujuh orang memutar engkol tangan untuk menggerakkan baling-balingnya. Ujung kapal dilapisi dengan tiang sepanjang 5 meter yang dipasangi torpedo, yang akan meledak saat menabrak kapal musuh.

Kapal itu tenggelam pada dua kesempatan selama uji coba, menewaskan total 13 awak termasuk insinyur kelautan Horace Lawson Hunley. Dengan banyaknya korban jiwa, kapal itu dijuluki sebagai 'peti mati bergerak'.

Sumber ; https://kompas.com/

IRONIS!!! Kematian Tak Terduga Sultan Utsmaniyah

Perang Kosovo

Kemenangan besar diraih Turki Usmani dalam Pertempuran Kosovo yang terjadi pada 15 Juni 1389 itu. Dinasti Utsmaniyah pimpinan Sultan Murad I memenangkan perang melawan pasukan koalisi yang berkekuatan 60.000 tentara gabungan dari beberapa kerajaan Kristen yang terdapat di kawasan Balkan. 

Sang sultan memang tidak terlibat langsung dalam peperangan itu. Namun, ia selalu memantau perkembangannya melalui laporan para jenderalnya. Ketika sudah dipastikan bahwa musuh telah kalah dan menyerah, Sultan
Murad I segera menuju area pertempuran keesokan harinya. Kendati menang, korban jiwa dari pihak Utsmaniyah tidak kalah banyak dengan jumlah tentara salib yang tewas. Mayat-mayat bergelimpangan di medan perang yang berlokasi di tanah lapang yang luas berjarak sekitar 5 kilometer di sebelah barat Prishtina, ibukota Kosovo, itu (Robert Elsie, Historical Dictionary of Kosovo, 2010:155).

Ketika Sultan Murad I sedang berkeliling medan perang untuk mendoakan para prajuritnya yang gugur, mayat seorang tentara Serbia tiba-tiba bangkit. Rupanya, ia pura-pura mati. Prajurit musuh tersebut menyerah dan menyatakan ingin masuk Islam.

Orang Serbia itu memohon agar diizinkan mencium tangan sang sultan. Murad I yang sedang terbawa perasaan pun memerintahkan kepada para pengawalnya untuk melepaskan penjagaan agar calon mualaf itu bisa mendekat untuk bersalaman dengannya. Terjadilah peristiwa tragis itu tanpa bisa dicegah karena berlangsung sangat cepat. Saat bersimpuh di hadapan sultan yang berjarak sangat dekat, prajurit musuh itu secepat kilat mencabut pisau beracun dan menusukkannya ke perut Murad I (John Fine, The Late Medieval Balkans, 1994:410). Sang sultan pun wafat beberapa saat berselang. 

Sultan yang Disayang Tuhan

Sultan Murad I punya julukan terkenal, Hudavendigar. Istilah ini berasal dari bahasa Persia, “Khodavandgar”, atau yang berarti “orang yang disayang Tuhan”. Hudavendigar dilahirkan di Sogut atau Bursa, salah satu kota di wilayah yang saat ini menjadi negara Turki, pada 29 Juni 1326. Murad adalah putra Urkhan Ghazi atau yang bergelar Sultan Orhan I. Uniknya, ia lahir dari perkawinan Sultan Orhan I dengan Nilufer Hatun, putri seorang pangeran dari Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, yang tidak lain adalah salah satu seteru terbesar Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Salib (Heath W. Lowry, Nature of the Early Ottoman State, 2012:37). 

Murat I

Menggantikan sang ayah yang wafat tahun 1362, Murad dinobatkan menjadi sultan ke-3 sejak Dinasti Utsmaniyah dideklarasikan sebagai kesultanan pada 1299. Sultan Murad I alias Hudavendigar dikenal sebagai sosok yang jenius, piawai meracik taktik, sekaligus seorang pemimpin yang konsisten menyebarkan dakwah Islam di wilayah-wilayah taklukan kerajaannya. Kesultanan Utsmaniyah di bawah kendali Hudavendigar berhasil menguasai kawasan Anatolia atau Asia Kecil yang merupakan area pertemuan antara benua Asia dan Eropa, meskipun harus bersinggungan dengan Kekaisaran Bizantium dengan pusatnya di Konstantinopel (kini Istanbul) karena jarak yang relatif tidak terlalu jauh.

Tahun 1365, pasukan Utsmaniyah sukses merebut Adrianopel dari Bizantium, kota yang sangat strategis dan terpenting setelah Konstantinopel. Sultan Hudavendigar lalu memindahkan ibukota kerajaannya dari Bursa ke kota yang kelak dikenal dengan nama Edirne ini (Reinhard Stewig, Proposal for Including Bursa, the Cradle City of the Ottoman Empire, 2004:11).


Melawan Koalisi Salib Balkan 

Berpusat di Adrianopel, Kesultanan Utsmaniyah semakin memperluas wilayah kekuasaannya dalam waktu yang terbilang cepat. Berturut-turut selama 10 tahun berikutnya, Sultan Hudavendigar mampu menaklukkan Philippopolis (Filibe/Bulgaria), Salonica (Thessaloniki/Yunani), dan beberapa daerah di wilayah Eropa lainnya yang totalnya mencapai luas 95.000 km2. Meskipun melakukan ekspansi ke wilayah lain, namun Sultan Murad I tidak melulu menggunakan cara militer atau perang. Tak jarang ia memakai cara-cara diplomasi, termasuk dengan ikatan perkawinan (Ahmad Rofi' Usmani, Jejak-Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa, 2016:161). Namun, bagaimanapun juga, manuver yang dilakukan Dinasti Utsmaniyah di bawah komando Hudavendigar tak pelak membuat kerajaan-kerajaan Balkan di kawasan Eropa bagian tenggara resah. 


Keresahan itu memuncak ketika pasukan Utsmaniyah bergerak menuju Makedonia. Maka, berkumpullah perwakilan kerajaan-kerajaan Balkan dan sepakat bergabung untuk membendung rombongan Utsmaniyah yang kian mendekat. Atas restu Paus Urbanus V dari Vatikan, terbentuklah pasukan Koalisi Salib Balkan, tentara gabungan dari kerajaan-kerajaan lokal di Balkan, termasuk Serbia, Bulgaria, Hungaria, Albania, dan Wallachia (kini termasuk wilayah Rumania). Baca juga: Jika di Jakarta Ada Ahok, di Sarajevo Ada Ivo Komsic Jumlah personel yang terhimpun dalam pasukan gabungan ini sangat besar. 

Dari Serbia saja setidaknya punya 70.000 prajurit, belum ditambah pasukan dari kerajaan-kerajaan anggota koalisi lainnya (Ion Grumeza, The Roots of Balkanization: Eastern Europe C.E. 500-1500, 2010:93). Tanggal 27 September 1371, terjadi perang antara tentara Utsmaniyah melawan pasukan Koalisi Salib Balkan di lokasi bernama Chernomen (kini termasuk wilayah Yunani), dekat Sungai Maritsa atau Marica. Maka, perang ini juga disebut dengan nama Pertempuran Maritsa. Konon, jumlah prajurit Utsmaniyah yang dipimpin panglima kepercayaan Sultan Hudavendigar, Lala Sahin Pasa, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan gabungan milik Koalisi Salib Balkan (Vladislav Boskovic, King Vukasin and the Disastrous Battle of Marica, 2009:11). Jumlah tentara yang tidak seberapa itu ternyata justru membuahkan kemenangan bagi pasukan Utsmaniyah.

Mereka sebisa mungkin menghindari pertempuran terbuka dan baru melancarkan serangan pada malam harinya ke kamp tempat pasukan musuh berkemah. Rencana itu berjalan dengan mulus. Beberapa raja dari pihak lawan berhasil dibunuh, termasuk Raja Vukasin Mrnjavcevic dari Serbia beserta saudara kandungnya yang juga seorang jenderal, Ugljesa Mrnjavcevic. Ribuan tentara Koalisi Salib Balkan tewas dihabisi orang-orang Utsmaniyah, sebagian lainnya mati tenggelam di Sungai Maritsa. 

Tragedi Setelah Wafatnya Sultan 

Setelah kekalahan dalam Pertempuran Maritsa pada 1371, pasukan Koalisi Salib Balkan tidak mundur begitu saja. Mereka tetap menghimpun kekuatan dan kembali terlibat perang melawan Kesultanan Utsmaniyah dalam pertempuran di Kosovo yang terjadi 18 tahun berselang, yang sekaligus menjadi akhir riwayat Sultan Hudavendigar. Sesaat setelah pisau beracun menusuk perutnya, Hudavendigar atau Sultan Murad I sempat mengucapkan pesan-pesan terakhirnya: “Kini, perjalananku telah mendekati akhir dan aku melihat di depan mata kemenangan tentara Islam. Janganlah kalian menyiksa para tawanan dan jangan pula kalian sakiti mereka, janganlah kalian perlakukan mereka dengan cara yang tidak baik. Aku tinggalkan kalian dan tentaraku yang menang untuk menuju rahmat Allah. Dia-lah yang akan menjaga negara kita.” 
Usai berucap kata-kata terakhir itu, Sultan Murad I menghembuskan nafas penghabisan, tepat pada 15 Juni 1389. 

Tak lama sepeninggal Hudavendigar. Bayezid I, putra almarhum sultan, begitu mendengar kabar bahwa ayahnya telah mangkat, ia langsung mencekik adiknya sendiri, Yakub Celebi, sampai mati (Colin Imber, The Ottoman Empire: The Structure of Power, 2009:85) Dengan demikian, Bayezid I kini menjadi satu-satunya pewaris tahta untuk melanjutkan Dinasti Utsmaniyah setelah rezim Sultan Murad I atau Hudavendigar berakhir meskipun harus menumbalkan nyawa saudara sendiri. Bayezid I bertahta dari 1389 hingga 1402.

sumber : tirto.id



Kisah Pemimpin Perang Turki yang Dihukum Mati Sultan Karena Kalah Perang

Merzifonlu Kara Mustafa Pasha

Ujung hidup Merzifonlu Kara Mustafa Pasha berakhir mengerikan. Dia dihukum mati oleh Sultan Turki usai gagal menggempur jantung Eropa Tengah, yakni Wina Austria.

Dilansir Encyclopaedia Britannica, Rabu (25/12/2019), Kara Mustafa adalah Wazir Agung atau Menteri Utama Turki Usmani yang memimpin pengepungan Wina pada tahun 1683. Dia lahir pada 1634 dan dihukum mati tepat pada tanggal 25 Desember 1683 di Beograd, Serbia.

Pertempuran Wina terjadi dalam bingkai Perang Austria-Ottoman pada 12 September 1683 antara pasukan Kerajaan Ottoman dan tentara Austria dan Polandia. Wina, ibu Ko­ta Austria, yang menjadi tempat pertempuran selama dua bulan dikepung tentara Ottoman dan kemenangan sudah hampir jatuh ke tangan mereka. Namun, kaisar Austria kemudian mendapat bantuan dari Polandia sehingga kepungan tentara Ottoman bisa dilawan dan mereka terpaksa mundur dari medan pertempuran. Pengepungan tersebut dimulai pada 14 Juli 1683, tetapi pertempuran utamanya terjadi pada 12 September 1683.

Pertempuran itu menandai titik balik dalam konflik sepanjang 300 tahun antara pasukan kerajaan-kerajaan Eropa Tengah dan Kerajaan Ottoman. Selama 16 tahun setelah pertempuran itu, kaum Habs­burg dari Austria dan sekutu mereka bergerak merebut dan mendominasi wilayah selatan Hongaria dan Transylvania dari Kerajaan Ottoman. Pengaruh Ottoman semakin kecil hingga pada 1923 hilang sama sekali.

Pertempuran Wina

Dilansir dari buku karya Caroline Finkel, 'Osman's Dream: The Story of The Ottoman Empire 1300-1923', Sultan Turki Usmani saat itu, Sultan Mehmed IV, tidak sepenuhnya setuju dengan aksi militer ke Wina. Soalnya sudah ada Perjanjian Damai Vasvar 1664 sebelumnya, antara Turki Usmani-Dinasti Habsburg. Kaum ulama juga tidak setuju dengan invasi militer ke Wina. Di mata Sheikhul Islam, penyerangan ke Wina tidak sah.

Namun Kara Mustafa sudah sangat ingin melakukan penyerangan. Dia mulai melebih-lebihkan cerita bahwa wilayah perbatasan di Barat sana sudah tidak aman, demi meyakinkan Sultan agar setuju dengan aksi militer ke Wina.

Meninggalkan segala pro-kontra, serdadu Turki Usmani tetap berangkat ke Wina. Kepanikan melanda para ningrat Dinasti Habsburg begitu tahu pasukan Turki sudah mendekat ke Wina. Penguasa Kekaisaran Suci Roma, Leopold I dan keluarganya harus mengungsi dari Wina ke Passau, Jerman. Pasukan Turki Usmani sampai di Austria dan mengepung Wina pada 17 Juli hingga 12 September 1683.

Sultan Mehmed IV yang sedang berada di Beograd (saat ini Ibu Kota Serbia) terkejut dengan kenekatan Kara Mustafa Pasha Sang Wazir Agung. Dia heran bagaimana bisa Kara Mustafa melancarkan invasi tanpa mengindahkan sikap Sultan dan ulama. Namun Sultan juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Pasukan Kara Mustafa mengepung benteng Wina dari segala sisi, namun Wina menolak untuk menyerah. Benteng dibombardir. Sebulan kemudian, pasukan Kara Mustafa bisa menerobos benteng pertahanan Wina.

Pasukan Persemakmuran Polandia-Lithuania bekerja sama dengan Dinasti Habsburg mempertahankan Wina. Bavaria juga mengirim pasukan. Untuk sementara waktu ini, seolah-olah ada persatuan melawan musuh bersama dengan motif agama. Bahkan pihak Saxon yang beragama Kristen Protestan juga mengirim pasukan. Begini jumlah pasukan yang berhadapan:

Pihak Wina (dipimpin Raja Polandia, John III Sobieski)
- Jumlah pasukan: 90 ribu
- Terdiri dari pasukan Austria di kiri, Jerman di tengah, dan pasukan Persemakmuran Polandia-Lithuania di kanan
Vs
Pihak Turki (dipimpin Kara Mustafa)
- Jumlah pasukan: 140 ribu
- Terdiri dari pasukan Turki, Moldavia, Wallachia, dan Tatar

Meski jumlah pasukan Turki Usmani lebih besar, namun mereka kalah. Pasukan di bawah panji-panji Aliansi Suci yang membela Kekaisaran Suci Roma, menang.

Sultan Mehmed IV di Beograd marah besar mendengar kabar kekalahan pasukan Kara Mustafa yang telah menghambur-hamburkan nyawa manusia. Sultan mengirim surat ke Kara Mustafa supaya cepat balik ke Beograd, namun Kara Mustafa tak langsung pulang dengan alasan sakit. Orang-orang di sekitar Sultan kemudian menghasut Sultan agar menghukum mati Kara Mustafa.

Hari Natal, 25 Desember 1683 di Beograd. Saat itu adalah momentum eksekusi mati Sang Pemimpin Pengepungan Wina yang gagal itu, Wazir Agung Merzifonlu Kara Mustafa Pasha.

Ini bukan pemenggalan biasa. Eksekusi mati orang sekelas Wazir Agung (Grand Vizier) dilakukan dengan cara khusus, yakni dicekik dengan tali sutera.

Eksekusi Merzifonlu Kara Mustafa Pasha

Kata-kata terakhirnya ada berbagai versi legenda. Henry Elliot Malden menyebut kata-kata terakhir 
Kara Mustafa adalah, "Pastikan dulu kamu mengikatkan talinya dengan benar, ya." Versi lain menyebut kata-kata terakhir Kara Mustafa adalah, "Apa aku akan mati? Sesuai kehendak Tuhan."

Tubuh Kara Mustafa dikubur di halaman masjid seberang istana Beograd. Kepala Kara Mustafa dibawa ke Istanbul untuk dikuburkan di Grand Bazaar. Ada versi lain sebagaimana dituliskan Hywell Williams, kepala Kara Mustafa dibawa di atas piring perak.

Sumber : https://news.detik.com, https://mediaindonesia.com,



Minggu, 18 April 2021

Tan Malaka Akhir Petualangan Sang Pahlawan Dibunuh Oleh bangsanya Sendiri

 


Rencananya dari Selopanggung, Kediri, jenazah Tan Malaka akan dipulangkan ke kampung halamannya di Nagari Pandam Gadang, Suliki. Sejak sekolah guru di Kweekschool Bukittinggi, ia tak pernah tinggal di kampung halamannya itu. Kampung halaman di Lima Puluh Kota itulah yang memberi gelar Datuk Tan Malaka pada pemuda bernama Sutan Ibrahim. Orang lebih banyak tahu nama Tan Malaka. Selain nama itu, ia punya banyak nama samaran lain: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong.

Tak banyak tokoh pergerakan nasional yang pandai menyamar dan berkali-kali lolos dari kejaran aparat kolonial. Jika banyak tokoh pergerakan Indonesia terkenal karena pembuangannya, seperti Sukarno di Bengkulu, Hatta dan Syahrir di Boven Digoel, maka Tan Malaka terkenal karena gerakan bawah tanah dan penyamarannya. Waktu di Kweekschool ia siswa yang cerdas. Namun cerdas bukan segala-galanya bagi gadis impiannya di sekolahnya itu. Syarifah Nawawi, anak dari guru dan ahli bahasa terkenal Engku Nawawi, lebih memilih menolak cintanya. Kecerdasan Tan Malaka mengantarkannya sekolah di Belanda. Tentu saja dengan bantuan mantan gurunya dan orang-orang sekampungnya yang meminjami dana.

Tan Malaka berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet pernah disinggahinya. Di sana Tan menjadi anggota dari Komunis Internasional (Komintern). Jika banyak kaum komunis tunduk pada Joseph Stalin sebagai penguasa Uni Soviet, Tan dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang berani berbeda dengan Stalin. Ia kemudian dikeluarkan dari Komintern dan dikenal sebagai pemikir yang dicap Trotskys.

Setelah ke Rusia, Tan hidup berkelana dengan identitas lain ke Tiongkok, Filipina, dan daerah lain, demi menghindari kejaran aparat kolonial. Tan baru kembali ke Indonesia pada 1942. Ketika itu Hindia Belanda sudah ditekuk kekuasaannya oleh balatentara Jepang. Tan tentu merasa aman dari kejaran aparat kolonial yang sudah tiarap sepanjang Perang Pasifik.

Dari jazirah Malaya ia menyeberang ke Sumatra. Setelah tiba di Lampung, ia menuju Jawa. Setelah menumpang perahu layar Sri Renjet dari Lampung, Tan tiba di Banten. Daerah itu pertama kali diinjaknya setelah 20 tahun dibuang dari impian "Republik Indonesia" yang diperjuangkannya. Dari Banten, Tan ke Jakarta, menginap di Rawa Jati, dekat Pabrik Sepatu di Kalibata. Tan berusaha menyelami kehidupan rakyat jelata yang jadi buruh atau pedagang buah di pinggiran Jakarta. Atas saran Purbacaraka, Tan mendatangi Kantor urusan Sosial di Tanah Abang. Dari sana, ia dapat kerja di Bayah, Banten. Dengan nama samaran Ilyas Husein, ia bekerja di Bayah Kozan, salah satu bagian dari perusahaan Jepang Sumitomo. Ia sempat jadi juru tulis di pergudangan lalu pindah ke bagian yang mengurusi administrasi para romusa.

Persembunyiannya di masa pendudukan balatentara Jepang ini tertuang dalam autobiografi Dari Penjara Ke Penjara (1947). “Pada 6 Agustus 1945 Tan Malaka pergi ke Jakarta,” tulis Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I (2008). Tan hanya beberapa hari dan kembali lagi ke Bayah. Ia menemui pemuda macam Chaerul Saleh maupun B.M. Diah. Pada 25 Agustus, Tan muncul di rumah Achmad Subardjo, yang semasa Jepang menjadi pengurus Asrama Indonesia Merdeka. Di tempat itu ia bertemu Wikana dan pemuda lain yang mengawal Proklamasi Indonesia, di daerah Cikini. Subardjo terkejut karena ia mengira Tan Malaka sudah mati.

Pada tanggal 21 Februari 1949 krang lebih 72 tahun silam, Tan Malaka tewas dieksekusi tanpa pengadilan oleh pasukan militer Indonesia di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Eksekustor yang berasal dari Brigade Sikatan bertindak atas perintah petinggi militer Jawa Timur.

Tan Malaka dihabisi karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dia anggap bersikap lunak dan kompromis terhadap Belanda. Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2014: 214-24), Harry Albert Poeze mengungkapkan perintah eksekusi datang dari Letda Soekotjo. Setelah 1950, Sukotjo melanjutkan kariernya di dalam Divisi Brawijaya dan selanjutnya ditahbiskan sebagai Wali Kota Surabaya pada 1972-1974 dan mengakhiri kariernya dengan pangkat Brigadir Jenderal. Menurut Poeze, ia adalah orang kanan yang paling lantang beropini bahwa Tan Malaka harus dibunuh.


Semula, Tan Malaka telah terlebih dahulu disergap oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) saat berada di markasnya yang terletak di Pace, Jawa Timur. Namun, penangkapan itu urung dilakukan, hingga akhirnya Tan Malaka dan enampuluh orang pengikutnya dibebaskan, lalu melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Tapi, selama perjalanan, rombongan ditembaki oleh sekelompok bersenjata, hingga akhirnya mereka memecah diri menjadi empat kelompok.

Tan Malaka bersama keempat pengikutnya lantas menyusuri kawasan Tulungagung untuk mencari batalyon tentara yang sekiranya masih bersimpati kepada mereka. Akan tetapi, selang dua hari perjalanan, tiba-tiba mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selopanggung. Tan Malaka pun ditembak mati di tempat ini. Ia dimakamkan ditengah hutan (Poeze dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2014: 219)).

Itulah perjalanan singkat Tan Malaka sang Pahlawan Nasional yang jasanya terhadap bangsa ini tidak bisa  kita pandang sebelah mata. Walau memang bapak bangsa ini terlahir dari pemikiran kiri akan tetapi memang pada masa revolusi kemerdekaan kapal inilah yang Tan Malaka gunakan untuk melawan penjajahan terhadap bangsa Indonesia.

Semoga artikel kali ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan kita semua.


Editor : Argha Sena

Sumber : tirto.id



Sabtu, 10 April 2021

CARA JITU PKI MENCARI PENGIKUT Dengan Jualan Isu Kemiskinan dan Sentimen Anti-Asing



Di luar citra buruk yang telah kita ketahui tentang sepak terjang PKI, PKI tergolong sebagai partai yang sukses sebelum diberangus pada tahun 1965. Kejayaan PKI terjadi sejak Pemilu 1955. Ketika itu PKI menempati urutan keempat dalam pemilu setelah PNI, Masyumi, PNU dan PKI sukses menempatkan 39 wakil di kursi DPR dan 80 wakil di Konstituante.

Muncul Pertanyaan, mengapa banyak yang memilih PKI di tahun 1955?

Salah satu kunci pentingnya adalah kampanye PKI soal isu kemiskinan. Meski PKI dibenci setengah hidup oleh kelompok-kelompok politik mayoritas di Indonesia, tapi jurus jualan kemiskinannya diamalkan dengan baik. Tak hanya kemiskinan di kota, tapi juga kemiskinan di desa. Di kota ada buruh, di desa ada tani. Karena kemiskinan mereka, dua golongan itu potensial jadi pemilih PKI dalam pemilu. PKI sendiri punya lambang palu dan arit. Palu merepresentasikan buruh, arit mewakili petani.

Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), dengan mengutip Everett Hawkins di artikel "Labour in Developing Economics" (1962), kaum buruh adalah golongan miskin di Jakarta. Upah mereka sangat rendah.

Sementara itu pada 1953 terjadi kenaikan harga bahan pokok. Tak heran jika pada era 1950-an Tunjangan Hari Raya (THR) sudah mulai diperjuangkan kaum buruh.


Jualan Isu Kemiskinan


Soal desa, Hasim Adnan dalam tulisannya, "Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi Parahiyangan" yang dimuat dalam buku Sisi Senyap Politik Bising (2007) menyebut, “[...] biasanya PKI hanya akan berkembang di kawasan pedesaan yang mengalami kemiskinan endemik” (hlm. 44).

Subang dan Indramayu, misalnya, adalah daerah miskin yang diincar PKI. Tapi tentu saja PKI tak cuma mengincar daerah miskin di Jawa Barat.

“Kaum tani Indonesia yang merupakan 70 % daripada penduduk masih tetap berada dalam kedudukan budak, hidup melarat dan terbelakang di bawah tindasan tuan tanah dan lintah darat,” kata Ahmad alias Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, dalam pidatonya yang berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia.

“Kewajiban kaum Komunis yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke dalam front persatuan nasional,” tambah Aidit.



Lebih lanjut Aidit menjelaskan bahwa kaum komunis harus mengikis sumber-sumber penderitaan petani. “Kewajiban yang terdekat daripada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme, mengembangkan revolusi agraria antifeodal, menyita tanah tuan tanah dan memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik perseorangan mereka,” katanya pula.

Dari sini terlihat PKI hendak melakukan bagi-bagi tanah kepada para petani di desa-desa. Harap diingat, tidak semua petani punya sawah. Banyak juga yang jadi petani penggarap bagi lahan-lahan petani kaya atau tuan tanah. Sudah pasti kemiskinan semacam ini adalah lahan basah pagi PKI. “Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu perjuangan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan tuntutan bagian kaum tani,” seru Aidit.

Seperti dicatat Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 119), ada jargon “Tanah untuk kaum tani” dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam Kongres Nasional V 1954. Semua tahu BTI terkait dengan PKI.

Aidit tak lupa memberi patokan. Menurutnya, selama belum banyak kaum tani (terutama yang miskin dan tak bertanah) masuk ke partai dan jadi kader partai, maka itu artinya PKI belum bekerja sungguh-sungguh.

Tak hanya di tahun 1955, pada 1965 PKI juga konsisten dengan isu kemiskinan meski tidak ada rencana pemilu di periode itu. Mereka gemar mengulang program partai yang dirumuskan pada 1955.

“Semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma,” demikian salah satu program PKI pada 1965.

Tentu saja tak semua orang setuju dengan ide PKI yang tak pernah terwujud ini. Tapi gagasan merangkul orang susah masih diterapkan hingga kini.


Kampanye Anti-Asing


PKI, lewat mulut Aidit dalam pidato Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia, menyebut: “Salah satu bentuk pertentangan dan permusuhan antara negara-negara imperialis ialah perang imperialis yang membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian berjuta-juta manusia.”

Negara imperalis era 1950-an yang dianggap mengganggu bagi PKI adalah Amerika Serikat. Menurut PKI, seperti ditulis Aidit dalam Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis (PKI dan AURI) II, modal asing (dari Amerika) yang masuk ke Indonesia pada 1952 ditaksir mencapai 350 juta dolar.

PKI sendiri alergi pada perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan Caltex. Bagi PKI, itu adalah bentuk neokolonialisme Amerika di bidang ekonomi. PKI rupanya juga ingin terlihat anti-asing di masa itu. Semangat anti-asing dan menuduh pihak asing sebagai salah satu biang kerok masalah ekonomi masih terpelihara dan masih lumayan untuk jadi isu politik hingga kini.

Seperti umumnya partai jelang pemilu, PKI juga memberi janji-janji manis. Ideologi bukan jaminan utama kemenangan dalam pemilu. Lewat koran andalannya, Harian Rakjat (28 September 1955), sehari sebelum pemilu DPR pada 29 September 1955, PKI melempar banyak janji. Tak tanggung-tanggung, PKI memaparkan 19 janji.

Janji yang banyak itu ditujukan tak hanya ditujukan kepada kaum buruh dan tani, tapi juga nelayan, pengusaha kecil, kaum perempuan, seniman, bahkan kelompok agama. Hal terakhir terasa janggal bagi orang-orang Orde Baru, karena PKI sudah terlanjur diberi citra anti-agama.

“Bagi kaum agama, memilih PKI berarti djaminan kebebasan beragama,” demikian janji PKI nomor 10 di Harian Rakjat.




Janji yang paling krusial tentu janji soal kesejahteraan ekonomi. Seperti janji nomor 3: “Bagi kaum tani, memilih PKI berarti turunnja sewa tanah tuan-tanah, perbaikan upah buruh-tani, pentjegahan perampasan tanah kaum tani, hapusnja pologoro dan hapusnja rodi.”

Sementara bagi kaum nelayan, dalam janji No. 12 disebutkan, “memilih PKI berarti perlindungan terhadap saingan modal monopoli.”

Tak hanya kepada kaum-kaum tadi yang hingga kini masih sengsara hidupnya, para abdi negara pun tak luput diberi janji. “Bagi para pradjurit, polisi dan pegawai negeri lainnja, memilih PKI berarti djaminan hak-haknja dan perbaikan gadji,” begitu bunyi janji nomor 4.

Jurus berjanji ala PKI macam ini masih diterapkan hingga sekarang. Siapa yang tak suka gajinya diperbaiki agar besar, apalagi kalau ditambah tunjangan-tunjangan? Bukan tidak mungkin banyak PNS yang akan memilih PKI jika macam ini janjinya.

Penulis: Petrik Matanasi
Media : Tirto.id


Senin, 05 April 2021

Peradaban Tertua di Dunia!! Situs di Gunung Padang yang Dapat Mengubah Peradaban Dunia!!



Indonesia merupakan negara yang menakjubkan, mulai dari keindahan alam, keanekaragaman suku, kekayan alam, bahkan hingga misteri Indonesia yang masih menjadi perdebatan. Misteri tentang Indonesia diantaranya adalah tentang pernyataan Arysio Santos, profesor teknik nuklir dari Universitas Federal Minas Gerais Brazil yang mengatakan bahwa Indonesia adalah atlantis yang hilang. Selain itu, KH. Fahmi Basya seorang perintis Dzikru Lil Alamien (DLA) juga mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri Saba pada masa Nabi Sulaiman, serta beberapa peneliti yang mengatakan bahwa Indonesia adalah peradaban tertua setelah ditemukannya situs di Gunung Padang.

Penemuan Situs Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, cukup mengejutkan berbagai kalangan masyarakat, khususnya para peneliti arkeologi. Pasalnya, berdasarkan penelitian, situs ini diperkirakan berusia sekitar 13.000 tahun SM. Jika memang situs di Gunung padang berusia hingga 13000 tahun SM, maka hal ini dapat mengubah peta peradaban dunia. Pasalnya, peradaban Mesopotamia dan Pyramid Giza di Mesir, yang selama ini dipercaya sebagai peradaban tertua di dunia. Perkiraan usia Piramida di Mesir adalah 2500-3000 tahun SM, dan peradaban Mesopotamia sekitar 3000-4000 tahun SM. Kedua peradaban ini di anggap sebagai peradaban tertua hingga saat ini, dan jika memang usia situs Gunung Padang adalah sekitar belasan ribu tahun lalu tentu peradaban tertua berada di Indonesia.

Penelitian mengenai Situs Gunung Padang dilakukan sejak November 2011. Setelah diteliti selama hampir dua tahun, diketahui bahwa Situs Gunung Padang bukanlah sebuah situs yang sederhana, melainkan sebuah monumen yang sangat besar. Situs ini diperkirakan luasnya mencapai 10 kali luas Candi Borobudur di Jawa Tengah. Koordinator Tim Peneliti Mandiri Terpadu Gunung Padang, Prof. Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan selama ini terlihat bahwa susunan batu pada Situs Gunung Padang sudah cukup maju.

Susunan batu tersebut mirip dengan teknologi Situs Machu Pichu di Peru. Menurut Danny, yang lebih mengejutkan dari penemuan Situs Gunung Padang ini yaitu umur susunan batu yang berbeda-beda dari setiap lapisannya. Lapisan teratas berumur lebih muda, yaitu 500 tahun Sebelum Masehi, ada pula lapisan yang berumur 7.000 tahun Sebelum Masehi. Bahkan, jika dihitung hingga lapisan terbawah, Situs Gunung Padang diperkirakan usianya sekitar 13 ribu tahun.

Hasil pengeboran tim Peneliti Bencana Katastropik Purba (BKP) menunjukkan pada kedalaman hingga 20 meter ditemukan jejak hasil buatan manusia. Situs megalitik Gunung Padang di Cianjur, yang diperkirakan dibangun pada 1500-1000 sebelum masehi, adalah situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara dan merupakan contoh bangunan masa prasejarah punden berundak dalam skala besar.

Megalitikum adalah suatu kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu tersebut diratakan secara kasar untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Menhir, dolmen, sarkofagus, kubur batu, punden berundak, dan arca adalah berbagai hasil terpenting dari kebudayaan megalitikum. Situs Gunung Padang, yang ditemukan pada 1979 oleh penduduk setempat, dinilai memiliki informasi luar biasa mengenai peradaban Indonesia ribuan tahun lalu.

Situs megalitikum Gunung Padang tidak dibangun pada satu era. Tapi struktur tersebut dibangun berkelanjutan dalam tiga masa dari 8.000 SM hingga 1.000 SM.  Lapisan tertua yang berusia 10 ribu tahun tertimbun di bawah tanah. Sementara lapisan termuda berusia 3.000 tahun. Peneliti menyebut anehnya struktur bangunan candi ini seperti sengaja disamarkan. Seperti sengaja ditimbun menggunakan tanah dan didirikan megalith sederhana di atasnya. Penelitian tersebut juga mengungkap kalau mereka telah melakukan berbagai studi untuk membuktikan bahwa ada struktur dibawah situs megalitikum itu. Studi melibatkan berbagai ahli studi yang lengkap. Mereka juga sudah melakukan enam pengeboran sedalam 30 meter dan penggalian 11 meter.

Diyakini, bangunan tersebut dahulunya adalah tempat peribadahan zaman kerajaan Pajajaran. Hasil pengeboran tim Peneliti Bencana Katastropik Purba (BKP) menunjukkan pada kedalaman hingga 20 meter ditemukan jejak hasil buatan manusia. "Dicurigai ada tiga titik dimana ada ruangan yang kemungkinan berisi dokumen. Salah satunya berukuran hingga 10 kali 20 m. Dari hasil pengeboran 1-20 m kami melakukan tes carbon dating yang menunjukkan pondasi telah ada sejak tahun 4700 sebelum masehi, " kata Dr. Danny Hilman dari Geotek, LIPI.

Selain Dr. Danny, Ketua Exploration Think Tank Indonesia (ETTI), Dr. Andang Bachtiar, mengatakan memang terdapat harta karun yang tersimpan di situs tersebut. "Ilmu adalah harta karunnya. Kita dibilang masih zaman batu saat zaman kekaisaran Romawi. Katanya baru setelah letusan Krakatau di abad IV, masyarakat kita menetap dan membuat kerajaan. Masa sih sebelum itu tidak ada apa-apa , " kata Dr Andang.

Kemungkinan besar bencana besar masa lalu yang menyebabkan peradaban prasejarah Indonesia terus-terusan musnah. Hipotesisnya adalah, ketika ada peradaban dan sudah maju, dihajar oleh bencana tsunami atau gunung meletus sehingga peradaban tersebut musnah, maka muncul kembali dan mulai dari nol kemudian hal serupa terjadi lagi. Hal ini tidak mengherankan karena Indonesia adalah rumah dari ratusan gunung api dan tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Terlebih lagi, posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa membuat Indonesia lebih rentan terhadap berbagai bencana alam.

Pendapat lain juga dikemukakan bahwa ada peradaban tua yang pernah ada di situs Gunung Padang. Itu dibuktikan dengan penemuan logam, gerabah, dan cara mereka menyusun batuannya. Strukturnya memang kelihatan sederhana, namun efektif menahan bencana tanah longsor maupun gempa bumi.

Sementara keberadaan batu-batu berjenis columnar joint yang terpotong rapi di sekitar puncak Gunung Padang mengisyaratkan bahwa manusia pada masa itu sudah mengenal teknologi memotong batu, dan juga memindahkannya ke puncak bukit. Batu-batu itu, menurut para peneliti, bukan berasal dari Gunung Padang, melainkan dipotong-potong menjadi sedemikian rupa dan diangkut oleh manusia dari kawasan luar Gunung Padang ke puncak bukit.




Selain mengisyaratkan keberadaan peradaban maju, para peneliti juga menyatakan bahwa konstruksi situs Gunung Padang memang menyerupai piramida. Namun tidak seperti piramida yang selama ini kita kenal. Ditinjau dari segi arsitektur, Gunung Padang mempunyai model yang serupa dengan model arsitektur Candi Borobudur. Hal itu karena Gunung Padang maupun Candi Borobudur dibangun dengan cara memodifikasi struktur perbukitan. Keduanya sama-sama dibentuk melalui batu-batu yang disusun dan ditempel serupa konstruksi piramida yang disebut Piramida Tangga. Bedanya, situs Gunung Padang dibangun jauh lebih awal ketimbang Candi Borobudur. Jika Candi Borobudur dibangun sekitar abad ke-7, pada masa Kerajaan Medang atau Mataram Kuno, Gunung Padang dibangun oleh peradaban manusia di sekitar era megalitikum.


Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Dr. Ali Akbar, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo menganggap situs Gunung Padang tak serta merta menunjukkan keberadaan peradaban manusia kuno yang usianya lebih tua dibanding peradaban di Mesir maupun Mesopotamia. ”Penelitian pertama di Gunung Padang itu dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional pada tahun 1979. Kesimpulan dari penelitian itu adalah Gunung Padang merupakan situs megalit. Di Indonesia itu, usia tertua bangunan megalit paling lama berusia 600 masehi. Itu paling tua. Lebih dari itu tidak ada. Jadi tidak benar kalau usia Gunung Padang disebut ribuan tahun sebelum masehi itu,” kata Bambang Budi Utomo.

Mengenai batu-batu columnar joint yang terpotong rapi di puncak Gunung Padang, Bambang menyatakan bahwa batu-batu itu bukan dipotong oleh manusia, melainkan terpotong-potong oleh proses alami. “Gunung Padang itu sesungguhnya gunung api yang sudah mati. Batu-batu columnar joint itu, kebetulan bentuknya berfaset-faset, dan karena proses alamiah menjadi patah. Oleh orang pra-sejarah, katakanlah 600 masehi itu, itu dimanfaatkan sebagai bangunan pemujaan. Jadi semula batuan itu alami, kemudian dimanfaatkan untuk bangunan punden berundak,” ujarnya.

Dengan begitu, ia menyatakan tidak benar bahwa manusia di sekitar Gunung Padang mempunyai peradaban yang lebih tua dan lebih maju dibanding peradaban Mesir atau Mesopotamia. Ia juga menyanggah situs Gunung Padang disebut sebagai piramid. Menurutnya, Indonesia tidak memiliki budaya piramid di masa lampau.


Perbedaan pendapat bagi para peneliti adalah wajar, karena mereka tidak hanya melihat dari satu aspek dalam menentukan. Situs pada Gunung padang memang masih menjadi perdebatan, jika benar bahwa situs pada Gunung Padang adalah peradaban tertua maka sejarah akan berubah. Namun semua perlu dibuktikan dan bukan hanya sebatas hipotesa semata. Jika benar situs di Gunung padang berusia sekitar 13.000 tahun SM maka hipotesa Arysio Santos menjadi terbuka. Hal ini dikarenakan keberadaan atlantis kala itu yang dikemukakan Plato yang mengatakan bahwa peradaban Atlantis ada di masa 11000 SM. Pada pemerintahan Presiden SBY, proyek pemugaran situs Gunung Padang telah dilakukan dari tahun 2011. Namun semenjak berakhirnya pemerintahan Presiden SBY, pemugaran situs tak lagi berlanjut. Keadaannya pun menjadi terkatung-katung, dan kurang diperhatikan. Padahal merupakan warisan Indonesia yang besar, bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, tapi bisa menjadi ikon pariwisata.

 

 

Penulis            : Riskyrito

Editor              : Argha Sena

Referensi        : cnnindonesia.com

                          kompasiana.com

                          kumparan.com

                          lipi.go.id

                          merdeka.com

                          voaindonesia.com