F PEGAWAI JALANAN: SEJARAH NASIONAL
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH NASIONAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH NASIONAL. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 November 2022

PERTEMPURAN 10 NOVEMBER!!!

 


Pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, menjadi pertempuran besar terakhir yang pernah dilakukan rakyat Indonesia melawan pasukan Inggris. sekitar 16.000 rakyat Surabaya tewas, dan 20.000 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut. Sedangkan di pihak Inggris dan sekutunya sekitar 2000 orang tewas, dan 2000 lainnya luka-luka. Pertempuran yang tidak seimbang dalam segi peralatan dan pengalaman kemiliteran membuat banyak rakyat Surabaya meregang nyawa.

Pada saat itu, tentara inggris dan sekutunya yang menang dalam perang dunia kedua berusaha melucuti persenjataan Jepang dan membebaskan tawanan yang ditahan oleh Jepang. Pada tanggal 24 Agustus 1945, terjadi sebuah kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement. Kesepakatan itu berisi keinginan Inggris untuk membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Hal itu menyebabkan adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu.

Kedatangan pasukan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Namun karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab untuk wilayah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia. Mereka berusaha menguasai kota-kota besar, terutama Surabaya yang saat itu merupakan salah satu kota yang penting untuk dikuasai. Surabaya kala itu adalah kota yang besar dan memiliki pelabuhan serta pangkalan laut terbesar di Asia.

Orang-orang Belanda yang tergabung dalam AFNEI menjadikan Hotel Yamato sebagai markas mereka. Hotel Yamato pada masa pemerintahan kolonial bernama Hotel Oranje, dan kini bernama hotel Majapahit yang berada di Jalan Tunjungan no. 65. Karena menjadi pemenang pada perang dunia kedua, pada malam hari tanggal 18 september 1945, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman, mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya. Bendera itu berkibar di tiang sisi sebelah utara pada tingkat teratas Hotel Yamato.

Keesokan harinya, para pemuda Surabaya melihat bendera Belanda itu dikibarkan tanpa izin. Para pemuda menjadi marah karena menganggap Belanda menghina kedaulatan Republik Indonesia. Dengan cepat, berita pengibaran bendera Belanda tersebar ke seluruh kota Surabaya. Para pemuda Surabaya lalu memenuhi Hotel Yamato di Jalan Tunjungan dengan keadaan marah.

Residen Sudirman lalu melewati kerumunan massa dengan didampingi Sidik dan Hariyono untuk menemui Ploegman. Perwakilan tersebut meminta agar Ploegman menurunkan bendera yang mereka kibarkan di Hotel Yamato. Bukannya menurunkan bendera tersebut, Ploegman malah menolak dan mengusir Residen Sudirman. Perundingan di dalam hotel Yamato menjadi memanas, terutama setelah Ploegman mengeluarkan pistol untuk mengancam mereka. Perkelahian tidak dapat dihindari, Sidik yang tersulut emosi lalu mencekik Ploegman hingga tewas. Namun Sidik juga ikut tewas karena dibunuh menggunakan pedang oleh tentara Belanda yang berjaga disana.

Saat insiden itu, Sudirman dan Hariono berhasil keluar dari dalam Hotel. Para pemuda diluar hotel yang melihat kejadian tersebut, ikut tersulut emosi. Mereka lalu terlibat perkelahian dengan tentara Belanda. Beberapa orang berusaha memanjat tiang untuk menurunkan bendera tersebut. Koesno Wibowo akhirnya berhasil menurunkan bendera Belanda, ia lalu merobek bagian biru dari bendera Belanda. Bendera yang telah berwarna Merah Putih lalu dikibarkan kembali.

3 hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 16 september 1945, rakyat telah mengepung gudang senjata terbesar milik Jepang. Gudang senjata itu berada di Don bosco, saat itu gudang Don Bosco dijaga Dai 10360 Butai Kaitsutiro Butai di bawah pimpinan Mayor Hazimoto. Pasukan Mayor Hashimoto ini terdiri atas satu detasemen tentara serta pegawai sipil yang berjumlah 150 orang.

Mereka lalu bernegosiasi agar Jepang menyerahkan senjata kepada rakyat Indonesia. Pada Awalnya Mayor Hazimoto menolak untuk menyerahkannya, pihak Jepang akan menyerahkan gudang senjata itu kepada pihak sekutu. Para pemuda lalu melakukan ancaman untuk mendesak Mayor Hazimoto menyerahkan gudang senjata itu. Mayor Hazimoto akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan persenjataan beserta gedungnya. Naskah serah terima gudang senjata lalu ditandatangani Hashimoto dan Jasin dengan Bung Tomo sebagai saksi penyerahan itu. Karena menguasai gudang senjata, Sebelum kedatangan Inggris dan tentara sekutu, para pemuda Surabaya telah mempersenjatai diri. Para pemuda Surabaya telah siap menyambut kedatangan tentara Inggris.

Pada tanggal 25 oktober 1945, pasukan AFNEI  mendarat di Surabaya tepatnya di Tanjung Perak yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby. Mereka datang bukan untuk berperang, mereka datang untuk melucuti persenjataan Jepang di Surabaya. Namun ternyata, kedatangan tentara Inggris tidak hanya melucuti persenjataan Jepang. Mereka datang membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Tujuan inggris yang ingin menjadikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan.

Pada tanggal 27 Oktober melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Pesawat itu membagikan Selebaran ke berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn. Isi dari selebaran tersebut adalah ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu dalam waktu 48 jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Mallaby yang telah membuat kesepakatan dengan Mustopo bahwa mereka hanya melucuti persenjataan jepang, menjadi tidak punya pilihan selain mengikuti perintah atasannya. Kejadian tersebut menimbulkan rasa kebencian di Surabaya, sehingga munculnya seruan di radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah Surabaya.

Melihat berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak Inggris tersebut, semakin meyakinkan bahwa peperangan tidak lagi bisa dihindari. Pada tanggal 27 Oktober tepatnya pada pukul 2 di siang hari, terjadi kontak senjata pertama antara rakyat melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.



Akhirnya berbagai pertempuran pecah di Surabaya. Gabungan antara TKR,  polisi, dan juga badan perjuangan, mengadakan serangan serentak ke pihak Inggris yang ada di kota Surabaya. Mallaby yang hanya memiliki 1 Brigade pasukan, lalu menyebarkannya pada lokasi-lokasi strategis. Mallaby dan pasukannya harus melawan semangat juang Rakyat Surabaya yang tidak ingin lagi dijajah. Karena banyak rakyat yang terbunuh, membuat para pejuang di Surabaya semakin Kalap untuk mengalahkan pasukan Mallaby. Pertempuran yang terus terjadi membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan Soekarno untuk mencari solusi dan meredakan situasi pada saat itu.

Dari perundingan, terjadi kesepakatan bahwa ultimatum yang dikeluarkan Jendral Hawthorn tidak berlaku, dan inggris mengakui keberadaan tentara keamanan rakyat dan polisi. Biro kontak antara Indonesia dan Inggris bergerak cepat untuk menyampaikan kesepakatan tersebut dengan iring-iringan mobil. Mereka berpacu dengan waktu untuk mengabarkan kesepakatan damai, karena keadaan Surabaya saat itu masih genting. Di sekitar gedung Internatio, Rakyat meminta agar Inggris keluar dari Surabaya. saat itu satu kompi pasukan inggris masih berada di gedung internatio, Mereka dianggap ancaman bagi rakyat.

Iring-iringan mobil biro kontak lalu sampai pada gedung internatio. Biro kontak menyampaikan kesepakatan kedua negara sehingga para rakyat melakukan gencatan senjata sementara. Perwakilan biro kontak lalu dikirim untuk berbicara dengan pasukan inggris yang berada dalam gedung Internatio. Saat sedang berdiskusi, sebuah granat dilemparkan dari dalam gedung. Insiden tersebut membuat rakyat kembali marah dan melakukan serangan, pada peristiwa itulah jendral Mallaby tewas. Kematian Mallaby menjadi pemicu yang mengubah Surabaya menjadi lautan darah. Inggris kemudian memberikan ancaman akan menuntut balas atas kematian salah satu petingginya.

Usaha perdamaian coba dilakukan oleh petinggi Republik Indonesia, Namun semua usaha itu menemui jalan buntu. Pihak Inggris tidak mau lagi bernegosiasi dengan petinggi Republik Indonesia. Pada tanggal 7 November 1945, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh ditugaskan menggantikan Jendral Mallaby. Mansergh mengancam rakyat Surabaya untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Ia menyampaikan ultimatum terbuka kepada Gubernur Suryo tanpa sopan santun. Ultimatum itu lalu digandakan dan disebarkan inggris lewat pesawat terbang. Dalam Ultimatum mengatakan bahwa rakyat Surabaya harus menyerah, jika tidak, Surabaya akan di Bombardir hingga hancur lebur pada tanggal 10 November 1945.

Para petinggi di Jakarta tidak dapat berbuat banyak karena Inggris tidak main-main. Berbagai upaya jalan damai telah diusahakan oleh para petinggi, namun semuanya  tidak digubris oleh Inggris. Disisi lain, rakyat Surabaya yang telah berjuang agar merdeka ikut naik darah atas ultimatum tersebut. Semangat perlawanan bergelora di Surabaya bagai tersiram minyak dengan ultimatum itu sebagai pemicunya. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan menjadi satu dengan semangat jihad. Bung Tomo yang telah mendapat restu dari KH. Hasyim Ashari, berteriak lantang mengobarkan semangat perlawanan masyarakat Jawa Timur. Bung Tomo menyuarakannya melalui radio perjuangan di jalan Mawar. Suaranya mengudara pada pukul 11 malam dengan semboyan MERDEKA ATAU MATI!!.

Pidato Bung Tomo membuat semangat rakyat Surabaya berkobar, mereka siap melawan Pasukan Inggris walaupun harus berkorban nyawa. Seruan Inggris agar membawa kain putih sebagai tanda menyerah tidak dipatuhi oleh rakyat Surabaya. Ribuan pasukan Inggris dengan senjata lengkap kemudian didatangkan ke Surabaya. Peralatan tempur seperti tank, panser dan Meriam artileri dikerahkan. Tidak hanya itu, mereka juga didukung kekuatan utama armada laut serta aramada udara mereka. Namun itu tidak membuat rakyat Surabaya gentar, mereka telah siap mempertahankan kemerdekaannya.

Pada 10 November 1945, Surabaya di hujani peluru Meriam pasukan Inggris. Serangan Pasukan Inggris dilakukan melalui udara, darat dan laut. Pada pasukan darat inggris Sekitar 30.000 pasukan, 1 skuadron tank ringan dan brant carrier, 20 tank Sherman, dan 23 artileri berat. Pada armada lautnya sekitar 3 kapal fregat, 1 kapal penjelajah, 3 kapal torpedo, 7 kapal pengangkut pasukan, dan kapal pendarat. Sedangkan armada udara, Inggris mengerahkan 1 squadron mosquito dan thunderbolt. Kekuatan perang Inggris itu ditambah kapal perang yang berada di perairan utara Surabaya.

Akibat serangan yang dilakukan oleh Inggris, membuat Surabaya menjadi luluh lantak. Dengan kekuatan besar itu, Inggris mengira hanya butuh 3 hari untuk menguasai Surabaya. Namun keperkasaan semangat juang rakyat Surabaya, membuat Inggris butuh waktu hingga 3 minggu untuk menguasai Surabaya. Sebuah keberanian yang luar biasa menghadapi peralatan tempur pemenang perang dunia kedua. Walaupun perbedaan peralatan tempur dan kualitas militer, tidak sedikitpun menurunkan semangat juang rakyat Surabaya. Pada akhirnya, Surabaya berhasil dikuasai Inggris setelah mengerahkan semua kekuatan tempurnya.

Walaupun mengalami kekalahan, namun dari pertempuran tersebut menunjukkan bahwa Indonesia siap melawan negara barat yang akan menjajah Indonesia. Mengetahui perbedaan persenjataan, rakyat Suroboyo mengubah cara berperang secara langsung menjadi perang gerilya. Para Rakyat Surabaya masih berjuang hingga berakhirnya agresi militer Belanda II. Dari peperangan 10 November, walaupun memenangkan pertempuran, Inggris kemudian menjadi negara Netral setelah munculnya gerakan Non-Blok. Inggris tidak mau lagi menghadapi semangat juang bangsa Indonesia. Banyaknya pahlawan yang gugur pada 10 november 1945, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai hari Pahlawan dengan didasari Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.

Sumber Referensi :

123dok.com, 

channel tvOneNews, 

goodnewsfromindonesia.id, 

gramedia.com, 

id.wikipedia.org, 

kompas.com,

Rabu, 12 Oktober 2022

"SUDISMAN : PKI TIDAK TAHU MENAHU TENTANG G30-S"!!!

     Setelah pemberontakkan PKI yang dilakukan pada tahun 1965 kembali gagal, para petinggi PKI menjadi target utama penangkapan. Para petinggi seperti D.N Aidit, Sjam Kamaruzaman, dan petinggi-petinggi lainnya tertangkap dan dieksekusi tanpa proses pengadilan. Sejak Maret 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadi partai terlarang. Dari petinggi-petinggi yang telah tertangkap dan dieksekusi, masih ada petinggi-petinggi PKI yang belum tertangkap, salah satunya adalah Sudisman. Dia adalah anggota tertinggi keempat dari Politbiro Partai Komunis Indonesia, dan merupakan salah satu dari lima pemimpin senior PKI yang diadili.

    Selama pelarian, Sudisman sempat mencoba mengatur kembali PKI menjadi gerakan bawah tanah setelah para pemimpin senior lainnya ditangkap dan dieksekusi. Dia bertindak sebagai pemimpin PKI untuk waktu yang singkat sebelum penangkapannya. Niat Sudisman untuk memperbaiki partai harus dikubur dalam-dalam. Pada penghujung tahun 1966, tepatnya pada 6 Desember, ia tertangkap di sekitar Tomang. Sudisman kemudian ditahan di dalam sel berukuran 2,20 x 3,60 meter selama lebih dari 7 bulan atau tepatnya 211 hari terhitung mulai 6 Desember 1966. 

       Penjara bukanlah hal baru baginya, waktu muda dia pernah dipenjara pemerintah kolonial karena persdelict. Sebagai sosok petinggi PKI, track record Sudisman tidak bisa dipandang sebelah mata. Bersama Amir Sjarifuddin, ia menjadi bagian dari jaringan kelompok PKI ilegal saat penjajahan Jepang. Keduanya kala itu bergerak di akar rumput bersama rakyat. Sudisman dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik, maka ia dijuluki the king maker. Ia juga dikatakan sebagai “kamus berjalan” yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.

    Ketika PKI bergerak di bawah tanah dan ilegal pada zaman pendudukan Jepang, Sudisman pernah dijatuhi hukuman bui selama 8 tahun. Beruntung, hukuman itu tidak dijalaninya secara penuh karena Jepang terlebih dahulu hengkang dari tanah air pada tahun 1945. Setelah bebas, dia menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur. Ketika organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berdiri pada 10 November 1945, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), Sudisman termasuk menjadi salah satu pendirinya. 

    Ia mendirikan Pesindo bersama Wikana, Ruslan Widjajasastra, Krissubanu, dan lainnya. Pesindo kemudian menjadi organ pemuda yang sangat berpengaruh. Setelah Kongres III Pesindo pada 12 November 1950, Pesindo kemudian berganti nama menjadi Pemuda Rakyat (PR). Organisasi pemuda itu belakangan menjadi onderbouw PKI dan ikut dibubarkan setelah pemberontakkan 1965. 

    Menurut Soe Hok Gie, dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, dalam susunan organisasi yang dibentuk pada 1948 setelah Musso kembali dari Eropa, Sudisman masuk ke dalam struktur PKI di seksi organisasi. Menurut pengakuannya sendiri, seperti terbaca dalam Pleidoi Sudisman: & Statement politiknya menyon[g]song eksekusi (2001), Sudisman menjadi Kepala Organisasi Central Comite (CC) alias pengurus pusat PKl.

    Kedatangan Musso memang mengubah secara dramatis jalan perjuangan PKI. Musso datang bukan hanya untuk mengambil alih PKI, namun juga mendorong PKI mengambil jalan yang lebih radikal dan memuncak pada peristiwa Kudeta Madiun 1948. Setelah pemberontakkan tahun 1948 yang gagal, banyak para petinggi PKI yang dieksekusi termasuk Muso. Namun tidak semua anggota dan petinggi PKI mati terbunuh. Mereka yang berhasil lolos dari pembersihan membangun kembali partai itu. Termasuk Sudisman yang pada tahun 1950, "diangkat sebagai Sekretaris CC PKI.

    Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman dipercaya untuk urusan organisasi sebagai Sekretaris CC PKI. di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman tampaknya begitu dipercaya untuk urusan organisasi. Ketika menjabat sebagai anggota Politbiro PKI, dia juga menjadi Anggota Departemen Organisasi PKI. Di luar urusan partai, Sudisman adalah anggota parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong-Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRGR-MPRS).

   Saat ditangkap setelah pemberontakkan PKI tahun 1965, Sudisman memilih menggunakan pengadilan untuk menjelaskan sikap PKI -- setidaknya mewakili empat kameradnya itu. Dan ia menyadari benar bahwa pledoinya akan menjadi dokumen sejarah. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk memanfaatkan "panggung" Mahmilub dengan sebaik mungkin.

    Ketika persidangan itu berlangsung, ia mengaku sedikit kecewa lantaran persidangan tersebut tidak terbuka untuk masyarakat luas. "Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmillub yang lalu sejak mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio.Walaupun tidak disiarkan oleh RRI, saya yakin bahwa secara "getok-tular", secara berantai akan sampai pada mereka, sebab "mondblad", (suara dari mulut ke mulut), adalah lebih cepat tersiar daripada "staatsblad" (suara pemerintah).

    Dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) tahun 1967, Sudisman memaparkan penjelasannya tentang kejadian 30 September 1965. Dalam sidang itu Sudisman tidak menyangkal keterlibatannya dalam G30S yang menculik dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Di persidangan secara terbuka dia mengatakan: “Saya sendiri terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G30S.” Baginya, gerakan yang tak melibatkan massa rakyat seluruh pendukung PKI se-Indonesia hanyalah sebuah avonturisme (petualangan politik) petinggi partai.

    “Bagaimana pun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi.” Paparan Sudisman tersebut ia beri judul "Uraian Tanggung Jawab" sebagai hasil dari perenungannya selama mendekam dalam tahanan. Ia merasa bertanggung kepada rakyat dan Partai Komunis Indonesia, rakyat yang dimaksud ialah kaum buruh, kaum tani, borjuis kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual revolusioner, dan borjuis nasional yang anti-imperialis dan anti tuan tanah (anti-feodal).

    Sudisman mengatakan dengan jelas: "Saya dengan mereka [Aidit, Njoto, Lukman, Sakirman] membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme – Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme – Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan’ G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI."

    “Para petinggi PKI, Tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam G30S yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa Rakyat.” G30S nyatanya menjadi jalan yang justru menghancurkan PKI. G30S, “telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Kalau sudah jauh dari massa rakyat, yang harusnya jadi pendukung utama PKI, maka habis sudah PKI."

    Ia menampik keterlibatan PKI sebagai organisasi dalam G30S. Akan tetapi, kata Sudisman, "Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI." Baginya sangat jelas: G30S adalah kesalahan fatal yang dari sanalah PKI harus ikut-ikutan memikul akibatnya. Dan untuk semua akibat fatal itu, bagi Sudisman, seluruh pemimpin PKI harus memikul tanggungjawab. 

    "Kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi," demikian Sudisman melakukan otokiritik. Dan sebagai satu-satunya petinggi PKI yang masih hidup, ia memikul tanggungjawab untuk mewakili empat kameradnya yang lain. Sudisman mengatakan: "Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih 'jalan mati'." Ia memilih jalan mati yaitu jalan berlima menunggal jadi satu, jalan yang telah dilalui oleh kawan-kawannya seperti DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman. Jalan itu ia pilih karena setiap jalan yang dilaluinya pasti akan mengarah kepada kematian. Maka dari itu ia memilih jalan pendek dengan hukuman mati seperti teman-teman seperjuangannya. Ia kemudian divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

    Itulah uraian tanggung jawab yang dipaparkan oleh Sudisman, salah seorang dari anggota tertinggi politbiro PKI. Ketika berada dalam persidangan Mahmilub, dia berusaha untuk membersihkan nama baik PKI dengan mengatakan bahwa pemberontakkan itu adalah sebuah petualangan politik. Sudisman dengan yakin mengatakan “Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman.” Dari pernyataannya itu, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa ideologi komunis masih ada di Indonesia dan diharapkan untuk bangkit kembali oleh orang-orang seperti Pak Sudisman. 

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org, 

marxists.org, 

suara.com, 

tirto.id, 

VONIS MATI SUBANDRIO KARENA DIDUGA TERLIBAT PKI!!!


    
Setelah terjadinya pemberontakkan G30S di Indoensia, keadaan pemerintahan di Indonesia mengalami kekacauan. Pada 3 Oktober 1965, Presiden Soekarno memerintahkan Letnan Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban usai peristiwa kudeta G30S/PKI. Soeharto kemudian bergerak membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. Kopkamtib dibentuk dengan tujuan utama untuk Memulihkan keamanan dan ketertiban akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem, dan kegiatan subversi lainnya. Tugas lain kopkamtib adalah Mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 

       Tak lama berselang, keluarlah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar sebagai penanda masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Surat ini berisi perintah yang mengintruksikan Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu. Tindakan yang diambil tertujuan untuk mengantisipasi situasi keamanan pada saat itu.

    Setelah Supersemar terbit, PKI kemudian dilarang dan dibubarkan. Soeharto juga mendesak Sukarno memecat sejumlah menterinya yang terindikasi kiri. Sukarno tentu menolaknya, tapi ia juga tak bisa berbuat banyak karena kuasanya sudah terkikis oleh Supersemar. Letjen Soeharto kemudian memerintahkan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal presiden soekarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. 

    Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang. Subandrio adalah salah satu dari menteri-menteri yang sempat meminta perlindungan ke istana. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. 

     Setelah melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud.

    Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. 

    Di lantai atas guest house, yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya yang ada disana akhirnya diciduk pasukan Amirmachmud. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. 

    Tentang penangkapan ini Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1999, hlm. 215) menulis, “Dalam pidato yang menyusul kemudian Soeharto menempatkan para menteri yang ditahan itu dalam tiga macam kategori, pertama, mereka ‘yang mempunyai hubungan dengan PKI/Gestapu dengan indikasi yang cukup’, kedua, mereka yang ‘kejujurannya dalam membantu presiden diragukan’, ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas perderitaan rakyat.”

    Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Subandrio menjadi target penangkapan karena lewat sejumlah pidatonya, Subandrio menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam yaitu membalas teror dengan kontra-teror.

        Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh dikatakan seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Karier politik Subandrio yang cemerlang seketika runtuh setelah G30S terjadi. Subandrio juga dituduh comrade in arm-nya PKI dan terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Di media citranya pun memburuk, Ia dilabeli sebagai Durna yang licik, gembong Orde Lama, bahkan dicap komunis. Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI.

    “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam bukunya yang berjudul Bertarung dalam Revolusi. 

    Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan dekat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak, dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan cukup cemas.

        Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat misalnya Membunuh Subandrio. Bila hal itu terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan akan berakhir. “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.”

    Setelah Subandri ditangkap, Perkara Subandrio lalu disidangkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1 Oktober 1966—bertepatan dengan penetapan Hari kesaktian Pancasila oleh Soeharto. Sidangnya yang digelar di Gedung Bappenas dibarengi unjuk rasa ratusan orang. Terlepas dari kesalahan-kesalahan Subandrio, sebagian kalangan melihat sidang itu sebagai cara Orde Baru menyingkirkan orang-orang Sukarno secara legal. 

    Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S. “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.”

    Pada 25 Oktober 1966, Mahmilub kemudian menjatuhkan vonis mati terhadap Subandrio. Dalam kapasitasnya sebagai kepala BPI, Subandrio dinilai ikut menciptakan situasi yang menguntungkan PKI dengan mengembuskan isu Dewan Jenderal. Ia juga diputuskan bersalah telah memperkeruh suasana usai G30S dengan pernyataannya “teror harus dibalas dengan kontra teror”.

    “Tindak pidana subversi itu dapat terlihat pada perbuatan-perbuatan tertuduh yang dengan maksud-maksud nyata merintangi pemulihan keamanan yang dibebankan pada pundak Pak Harto. Subandrio juga mencoba mengembalikan atau setidak-tidaknya mempertahankan potensi PKI/G30S, mengurangi arti G30S. Semua tujuan dan perbuatan tertuduh itu ternyata paralel dengan kepunyaan PKI,” tulis Kompas (26 Oktober 1966).

    Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.

    Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu Subandrio mengalami depresi. Pada tahun 1978, ketika masih berada dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada tahun 1995 karena alasan kesehatan, kemudian wafat pada 3 Juli 2004.

    Itulah kisah penangkapan yang dilakukan terhadap Subandrio, Seorang tangan kanan Sukarno yang dipenjara pada pemerintahan Soeharto. Subandrio juga sempat dicerca sebagai durna dalam G30S. Awalnya vonis terhadap Subandrio adalah hukuman mati, namun karena desakan Presiden Amerika Serikat dan Ratu Elizabeth vonis Subandrio menjadi penjara seumur hidup. Setelah keluar dari penjara, Subandrio sempat menerbitkan memoar yang berjudul “Kesaksianku Tentang G30S”. Dalam memoar setebal 80 halaman tersebut Subandrio juga membeberkan cacat  yang dimiliki oleh Soeharto sebagai serangan balik atas pemenjaraannya.

Sumber Referensi :

historia.id, 

tirto.id 

Jumat, 30 September 2022

LONCENG KEMATIAN SANG JENDERAL PENDUKUNG PKI!!!

 


Peristiwa pemberontakkan PKI pada tahun 1965 tidak hanya dilakukan oleh anggota PKI yang berasal dari golongan sipil. Para tentara didalam tubuh militer yang berasal dari golongan kiri juga turut terlibat dalam melakukan pemberontakkan. Orang-orang  PKI kala itu seperti berada di atas angin, mereka berpikir bahwa rencana mereka akan berhasil mendirikan ideologi komunis di Indonesia. Karena memang mereka sudah mulai menguasai pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat dengan organisasi underbownya, bahkan sudah menyusup kedalam tubuh militer. Banyaknya anggota PKI yang telah masuk ke dalam tubuh militer, semakin menambah keyakinan para penganut ideologi komunis bahwa usahanya untuk merebut kekuasaan akan berjalan mulus.

Salah satu petinggi militer yang terlibat dalam pemberontakkan tersebut adalah Brigjen TNI Mustafa Sjarief Soepardjo, satu-satunya jenderal yang terlibat dalam peristiwa lubang buaya tersebut. Ia merupakan salah satu Perwira Tinggi (Pati) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). mengutip catatan yang ditulis oleh Hendro Subroto dalam buku berjudul "Dewan Revolusi PKI", seorang Perwira Menengah TNI Angkatan Darat, Mayor Inf Imam Santoso, terbang ke Jakarta dari Kalimantan Barat bersama Soepardjo. Saat itu, Soepardjo tengah ditugaskan di Kalimantan Barat sebagai Panglima Komando Tempur II (Pangkopur) di bawah Komando Mandala Siaga (KOLAGA), dalam kampanye Ganyang Malaysia. Akan tetapi, Imam justru menyaksikan Soepardjo meninggalkan posnya untuk kembali ke Jakarta pada tanggal 28 September 1965.

Soepardjo sempat mengatakan kepada Imam, alasan kepulangannya ke Jakarta adalah untuk memenuhi panggilan mendadak. Tapi ternyata, Soepardjo justru jadi salah satu pimpinan G30S/PKI 1965. Soepardjo saat itu jadi wakil pimpinan Gerakan 30 September 1965, di bawah komando Letkol Untung Syamsuri yang notabene memiliki pangkat dua tingkat di bawahnya. Ini memang terlihat sangat aneh karena pemimpin tertinggi gerakan tersebut malah orang yang pangkatnya lebih rendah, akan tetapi dia mau saja mengikutinya.

“Pangkat saya memang lebih tinggi dari saudara, tapi di gerakan ini, saya anak buah saudara,” demikian kira-kira ucapan Brigadir Jenderal Soepardjo saat menyalami Letnan Kolonel Untung Samsuri tanggal 29 September 1965.  Soepardjo adalah  panglima yang membawahi ribuan pasukan tempur di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Karirnya sangat cemerlang sebagai komandan pertempuran dan ahli strategi.

Sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Soepardjo yang dikenal sebagai seorang prajurit tempur dan ahli strategi, sempat memberikan pertanyaan kepada Sjam Kamaruzaman, yang menduduki posisi sebagai Ketua Biro Khusus PKI. Pertanyaan Soepardjo kepada Sjam, adalah mengenai rencana cadangan jika Gerakan 30 September gagal. Sayangnya, Soepardjo tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari Sjam. Sebaliknya, Sjam malah menggertak Soepardjo dengan emosi karena ia terlalu yakin bahwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan gagal.

Sjam menjawab pertanyaan Soepardjo dengan mengatakan "Bung kalau begini banyak yang mundur. Kalau revolusi sudah berhasil, banyak yang mau ikut,". Dalam peperangan, skenario mundur bukanlah pengecut. Dalam setiap pertempuran selalu ada skenario mundur jika tidak bisa memenangkan pertempuran. Tapi itu tak berlaku untuk Sjam dengan gaya yang menggebu-gebu. Di sini Soepardjo sudah merasa banyak hal yang berantakan. Hal itu dituliskannya dalam catatan evaluasi untuk G30S.

Dalam jam-jam awal 1 Oktober 1965, sebenarnya Gerakan Letkol Untung ini berada di atas angin. Namun Untung dan Sjam tak menggunakan kelebihan awal ini untuk momentum selanjutnya. "Radio RRI yang mereka kuasai juga tidak mereka manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh barisan agitasi propaganda".

Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung kehilangan banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas. Tapi tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga petang, pasukan itu tak diberi makan akhirnya pasukan itu pun kelaparan setengah mati, padahal dalam pertempuran harusnya perut dalam keadaan kenyang, siapa juga yang mau bertempur kalau perut dibiarkan keroncongan. Maka ketika Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad tawaran itu langsung saja dipenuhi.

Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak ada makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam. Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke dalam kota. Tapi terlambat, Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454 sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka menyerang.

Gerakan 30 September akhirnya gagal dan membuat Soeparjo melarikan diri dan bersembunyi. Soepardjo adalah tokoh G30S/PKI yang tertangkap paling akhir diantara rekan-rekannya seperti Sjam, Dipa Nusantara Aidit, dan Letkol Untung. Perintah untuk menangkap Soepardjo datang dari Letjen TNI Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), kepada Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, Brigjen TNI Amirmachmud. Amir pun langsung bergerak cepat membentuk operasi intelijen dengan tim khusus bersandi "Kalong".

Dinamakan demikian karena tim operasi bergerak dimalam hari seperti kalong. Operasi kalong dipimpin oleh Kapten CPM Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi, bertugas mencari informasi persembunyian Soepardjo.

Pada 10 Januari 1967, sebagaimana dilansir majalah Angkasa vol.17, 1968, lokasi persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor Adnan Suwardi menampung Soepardjo dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusumah.

Dalam Dinas Sejarah TNI AU menulis, tepat pada hari Idul Fitri 1967, Satgas Kalong mencium keberadaan Soepardjo di rumah seorang prajurit AURI di Halim. Intel gabungan bersama Polisi Militer AU menggerebek tempat itu.

Ketika mereka menggerebek tempat tersebut, tidak ada orang yang ditemukan di sana. Tetapi petugas curiga karena menemukan kopi yang masih panas, jejak kaki di tembok mengarah ke atap dan KTP atas nama Moch Syarif dalam kantong baju yang digantung. Mereka yakin kali ini Soepardjo tak akan lolos. Letnan Rosjadi berteriak "Ayo turun! Kalau tidak saya tembak!" Terdengar jawaban dari atas, "Baik saya turun."

Dan ternyata benar, sosok itulah Brigjen Soepardjo yang selama satu setengah tahun mereka kejar siang malam. Soepardjo diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilan mendakwanya bersalah atas tindakan makar dan menjatuhi vonis hukuman mati. Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan Militer Cimahi. Banyak tahanan lain yang terkesan dengan sikap Soepardjo selama di tahanan. Sebagai jenderal, dia tak mau diistimewakan. Kalau dikirimi makanan, ia selalu membagi rata dengan tahanan lain. Dia juga sukarela menggosok seluruh toilet dan kamar mandi.

Tiga hari sebelum dieksekusi, Saat keluarganya datang menjenguk untuk terakhir kali, Soepardjo hanya bisa memberikan sepasang sepatu. Soepardjo mengatakan bahwa ia tidak bisa memberi apa-apa. Cuma sepasang sepatu ini untuk kenang-kenangan,". Pada tanggal 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarganya berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat.

Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu Soeparjo memberi nasehat dengan memegang sebutir apel. Ia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil, Setelah apel di potong-potong maka mudah dipecahkan. Soeparjo mengatakan “Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan mudah dihancurkan”.

Keinginannya untuk mati dengan seragam kebesaran militer jenderal bintang satu ditolak. Dia akhirnya memilih pakaian serba putih. Supardjo juga sempat meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan.

Itulah akhir hayat Jendral Soeparjo yang harus menjalani hukum mati karena terlibat dalam pemberontakkan PKI. Soeparjo merupakan Jendral pertama yang dieksekusi oleh pemerintah. Ia adalah Seorang perwira tinggi yang ahli dalam strategi, namun ia terhasut oleh ideologi komunis. Setelah satu tahun lebih dalam pelarian, ia akhirnya tertangkap tanpa melakukan perlawanan. Dengan tertangkapnya Soeparjo, sebuah surat kabar memberitakan bahwa ia adalah hadiah lebaran untuk rakyat. Sebelum dieksekusi, Soepardjo sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengumandangkan azan dari dalam selnya.

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org,

historia.id,

intisari.grid.id,

merdeka.com,

tirto.id,

viva.co.id

Kamis, 22 September 2022

LOJI REJOSARI SAKSI BISU KEKEJAMAN PKI!!! DARAH TERGENANG SETINGGI MATA KAKI!!!

 


Bekas keganasan PKI terekam dibanyak tempat di Indonesia. Banyaknya monumen dan prasasti dibangun untuk para korban kekejaman mereka, monumen itu seakan menjadi pengingat kepada generasi sekarang bahwa begitu kelamnya sejarah bangsa ini. Saat terjadi pemberontakan PKI Pada tahun 1948, Magetan, Jawa Timur menjadi saksi kekejaman PKI yang dipimpin oleh Muso. Para pejuang, ulama, santri, dan tokoh masyarakat, serta seluruh elemen masyarakat telah menjadi korban kebiadaban mereka.

Tak terhitung, berapa banyak kiai dan santri yang nyawanya melayang sia-sia ditangan PKI. Mereka jadi korban keganasan, serta kebrutalan PKI. Kiai dan santri menjadi sasaran utama yang diincar karena mereka dianggap sebagai oknum yang paling bertanggungjawab atas gagalnya pendirian Republik Soviet di Indonesia. Tragedi pembantaian yang dilakukan PKI saat itu, menjadi lembaran hitam dalam sejarah yang menimpa kaum santri dan ulama bangsa ini.

Pada tanggal 18 September 1948, Kantor Polisi di Gorang Gareng tiba-tiba diserbu ribuan orang. Orang-orang tersebut membawa senjata tajam seperti parang dan bambu runcing, bahkan tak sedikit yang membawa senjata api berjenis pistol. Mereka adalah para anggota PKI, mereka kemudian menangkap para Polisi dan melucuti senjatanya. Doerjat yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi, tidak luput dari penangkapan yang dilakukan oleh orang-orang PKI. Para Polisi ini kemudian di giring beramai-ramai, mereka dibawa ke Pabrik Gula Rejosari di Gorang Gareng. Mereka kemudian dikumpulkan bersama tahanan lain yang telah ada disana.

Di tempat lain, M. Ng. Sudibyo yang saat itu menjabat sebagai Bupati Magetan juga mengalami nasib yang sama. Pada malam itu, Para Anggota PKI mengadakan rapat Dewan Desa secara paksa dan menghadirkan Bupati Magetan (Sudibyo), Patih R. Soekardani, Pelaa Panitera R. Moerti Wedana dan Komandan KDM. Meskipun mereka mengatakan itu sebuah rapat, tapi sebenarnya itu adalah intimidasi dari pihak FDR/PKI ke pihak pemerintah setempat.

Rapat kemudian memanas setelah PKI mengemukakan pendapat tetapi banyak yang menetangnya. Para anggota PKI bersikeras agar rapat memutuskan seperti yang mereka kemukakan. Pada saat itu PKI meminta kepada M. NG. Sudibyo agar tanah Bengkok dibagi-bagikan ke warga sebagai upah. Tentu saja Sudibyo menolak gagasan liar tersebut, Karena masalah pembagian tanah Bengkok telah diatur oleh pemerintah pusat yang diberikan kepada aparat desa yang telah mengatur desa. Gagasan PKI ini kemudian memicu keributan, para anggota PKI berharap gagasan itu disetuji. namun disisi lain, para wakil-wakil rakyat pada Dewan Desa mendukung Sudibyo untuk menolak gagasan PKI.

Mendapatkan pertentangan oleh Dewan Desa dan Bupati Sudibyo, para anggota FDR/PKI mengulur waktu rapat hingga tengah malam. Saksi mata kejadian yang ikut hadir dalam rapat berdarah tersebut, Suwarno mengatakan bahwa PKI sengaja mengulur-ngulur waktu rapat hingga malam hari. Suwarno bersama temannya yaitu Soeharno, diminta oleh Bupati Sudibyo untuk mengirim surat ke Residen Madiun. Sudibyo meminta solusi atas masalah yang terjadi di Rapat Dewan desa tersebut. Saat itu jarak Magetan dan Madiun terpisah 23 km dan ditempuh menggunakan sepeda oleh keduanya. Memasuki kota Madiun juga bukan hal yang mudah, karena saat itu Madiun telah dikuasai oleh PKI dan membatasi aktifitas keluar masuk Madiun. Madiun betul-betul terisolasi dari kota-kota sekitar, hal ini karena anggota PKI melakukan pembatasan fisik, memutus kawat-kawat telfon, dan para anggota PKI juga merobohkan tiang-tiangnya.

Suasana Rapat semakin memanas karena PKI tetap bersikeras dengan gagasannya. Karena tidak menemukan kesepakatan, Orang-orang yang ada di dalam Pendopo Desa kemudian digiring oleh anggota PKI. bupati Sudibyo juga ikut digiring bersama dengan yang lainya, Tangan mereka diikat ke belakang dengan bambu sehingga tidak bisa bergerak. Para Anggota PKI membawa mereka ke Loji Pabrik Gula Rejosari di Gorang Gareng.

Kala itu Terdapat ratusan orang yang ditangkap tanpa alasan oleh anggota PKI, para tawanan tersebut dianggap memiliki pandangan yang menentang ideologi komunisme. Mereka di bawa ke Loji dengan jalan kaki sambil diikat dengan tali. Setiap tali berisi sekitar 5 sampai 6 orang. Jika salah satu ingin buang air atau kegiatan lainnya, maka semua yang berada dalam satu ikatan harus ikut.

Para tawanan itu kemudian dikumpulkan ke dalam rumah-ruma loji di asrama pabrik gula gorang-gareng. Dalam Satu kamar yang berukuran 4×4 meter diisi antara 40 sampai 45 orang tawanan. Semua tawanan yang semula diikat lalu dilepaskan ke dalam kamar. Karena banyaknya orang dalam satu kamar, mereka harus berhimpit-himpitan dengan tahanan lainnya. Mereka saat itu tidak mengetahui apa yang akan terjadi kepada mereka. Jika mereka mengetahui, mungkin mereka akan bersatu dan melakukan perlawanan.

Pasukan Siliwangi yang bertugas menghentikan pemberontakan semakin mendekati pabrik gula Rejosari. Keadaan ini membuat PKI berada dalam kondisi terdesak. mereka kemudian bertindak membabi buta dan melakukan penembakan kepada para tahanan secara bergantian dari luar tahanan. 

Para tahanan menjadi sasaran tembak yang membabi-buta, para tahanan kemudian berjatuhan dan berguling-guling karena terkena pelor tajam dan granat tangan. Layaknya cacing kepanasan, para tawanan tersebut merasakan sakitnya timah panas. Bau mesiu dan anyir darah bercampur menjadi satu memenuhi sekitar loji. Saat tembakan dihentikan, mayat-mayat bertumpukan dan darah pun memenuhi ruangan, sesekali terdengar jerit kesakitan dan ada pula napas tersengal-sengal meminta minum. Begitu kerasnya jerit kesakitan yang mereka rasakan, sebelum akhirnya keadaan menjadi sunyi.

Para anggota PKI yang menembak dengan Sten dari jendela mulai melarikan diri dari tempat itu karena pasukan siliwangi telah semakin dekat. Mayat-mayat ditinggal begitu saja dengan darah kental yang memenuhi lantai bahkan setinggi mata kaki. Bahkan saat penduduk yang mengangkat para korban, ikut merasakan kengerian yang dilakukan oleh anggota PKI.

Sudirno yang saat itu masih berusia 14 tahun, melihat kejadian tersebut dengan jelas. Di dalam kamar Loji, mereka semua diberondong dengan tembakan dari luar melalui celah-celah jendela. Karena begitu banyaknya jumlah tahanan dalam satu kamar, tidak mengherankan jika Seluruh kamar kemudian dibanjiri darah segar setinggi mata kaki.

KH. Rochib, adalah seorang tahanan yang berhasil selamat karena berlindung di balik dinding ketika penembakan terjadi. Selain KH Rochib, ada juga salah satu kawannya yang juga lolos dari maut karena melakukan hal yang sama. KH. Rochib adalah seorang guru agama di Bangsri.

Beruntung pada siang hari, pasukan TNI dari Siliwangi datang ke Gorang Gareng sehingga pembunuhan tanpa alasan PKI ini dapat dihentikan. Kedatangan TNI ini membuat orang-orang PKI sebagian besar melarikan diri. KH. Rochid berhasil selamat setelah pintu Loji dijebol oleh tentara Siliwangi, sehingga kita dapat mengetahui kekejaman yang dilakukan oleh PKI. Dari ratusan orang yang menjadi sasaran tembak, hanya ada lima orang yang selamat dari tragedi berdarah tersebut.

Karena begitu banyaknya korban yang harus dikuburkan, para penduduk harus membuat lubang yang besar untuk mengubur setidaknya 19 orang dalam satu lubang. Banyak Para anggota polisi, ulama, santri, dan tokoh masyarakat menjadi korban kebiadaban tersebut. Tidak sedikit pula orang-orang tak bersalah yang menjadi korban kekejaman mereka.

Itulah kebiadaban anggota PKI yang membantai orang-orang yang tidak sepemikiran dengan ideologi mereka. Anggota PKI menganggap agama adalah musuh utama mereka, dan dikatakan bahwa mereka risih dengan orang yang shalat. Sikap tidak suka pada agama, mereka tunjukkan dengan cara berkata-kata sinis. Selain pembunuhan keji, mereka juga melakukan perampokkan dan kekerasan dengan cara menyeret para penduduk untuk dijadikan tawanan. Loji tempat dilakukannya pembunuhan masal ini menjadi saksi bisu sejarah kelam bangsa Indonesia. Tragedi ini adalah sebagai pengingat tentang kekejaman yang pernah dilakukan oleh PKI. Bahkan setiap bulan September dan oktober, banyak orang yang melakukan tabur bunga di dekat pabrik ini.

Sumber Referensi : dzargon.com

kominfosandi.kamparkab.go.id

labumi.id

rekayorek.id

 

PKI MEMBUMIHANGUSKAN KAMPUNG KAUMAN PADA TAHUN 1948!!!



    Pembantaian kejam yang dilakukan oleh orang-orang PKI bukanlah suatu peristiwa karangan yang dibuat untuk menarik perhatian. Para Anggota PKI saat itu memang menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan para pejabat pemerintah pusat saja, tetapi juga penduduk biasa bisa menjadi korban jika mereka memiliki dendam. Banyak dari mereka adakah ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, bahkan kadang ketiganya sekaligus.

Saat pemberontakkan yang terjadi di Madiun, kabar angin mulai tersebar ke daerah-daerah sekitarnya. Banyak Masjid dan madrasah dibakar, surau-surau menjadi kosong, dan rumah-rumah pemeluk islam dirampok serta dirusak. Tersebar pula kabar bahwa Ulama-ulama dan santri-santri dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka padahal tidak berbuat apa-apa. Orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang biasa dan anak-anak laki-laki yang baik turut menjadi korban. Bukan karena mereka memberontak kepada PKI, mereka disiksa hanya karena mereka seorang muslim. Para tawanan dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, atau tempat-tempat lain. Tanpa tau dosa apa yang mereka lakukan kepada orang-orang PKI, kepala mereka dipancung atau dibunuh dengan cara lain. Karena banyaknya korban, Parit-parit di sepanjang jalan bahkan digenangi oleh darah.

Setelah berhasil menguasai madiun, para anggota PKI mulai menyebar ke sekitaran Madiun. Daerah-daerah yang mayoritas muslim akan menjadi target pembantaian oleh orang-orang PKI. Kampung Kauman yang merupakan daerah mayoritas muslim turut menjadi daerah yang dibumihanguskan.

Pada tanggal 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan turun dari truk kemudian berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.

Pada saat itu, di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja. Perempuan itu berteriak agar penduduk Kauman mengakui  bahwa ada penduduk desa itu yang telah membunuh salah seorang anggota PKI. Karena mereka memang diantara mereka tidak ada yang membunuh, maka tidak ada satu orang pun yang mengakuinya. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan kampung kauman dengan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini sebenarnya adalah taktik licik PKI yang berpura-pura mencari pembunuh, yang mereka lakukan adalah untuk memancing lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.

Ancaman PKI kala itu bukanlah omong kosong, mereka benar-benar membuktikan ancaman mereka. Pada tanggal 24 September 1948, PKI datang menyerbu Kampung Kauman layaknya kerumunan lebah yang sarangnya diganggu. Rumah-rumah penduduk lalu dibakar, sehingga seluruh penghuni rumah keluar dari persembunyiannya. Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu.

Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, sedikitnya 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok. Dari glodok itu para tawanan dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Ditengah suasana mencekam tersebut, para anggota PKI telah bersiap melakukan pembantaian. Tetapi sebelum berhasil disembelih, para tawanan terlebih dahulu diselamatkan oleh tentara Siliwangi yang tengah melakukan pembersihan.

Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.

Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani. Daenuri mengatakan “setelah pemberontakan itu meletus, banyak pesantren-pesantren yang sudah kehilangan para pimpinannya.

Setelah Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri. Di Trenggalek, PKI juga melancarkan terornya. Mereka menyiapkan belasan jurigen bahan bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak beranjak dari mihrab tempat suci itu. Tepat jam 12 malam, dia diseret keluar masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan megah itu dibakar dan diledakkan sampai musnah hingga rata dengan tanah.

Itulah sekelumit peristiwa yang terjadi di Kampung Kauman pada peristiwa pemberontakkan PKI Madiun. Pemberontakkan yang dilakukan oleh PKI kala itu memang tidak berlangsung lama. Namun dari pemberontakkan di Madiun memakan korban yang jumlahnya tidak sedikit. Selain pejabat pemerintah, polisi, dan para pejuang, banyak para ulama dan santri yang menjadi korban pembantaian. Namun sayangnya ada upaya dari sebagian orang untuk memutar balikan fakta bahwa PKI adalah korban.

 

Sumber Referensi :

news.detik.com,

pojoksatu.id,

republika.co.id

ADZAN TERAKHIR KIAI IMAM SOFYAN!!! SUMUR CIGROK MAGETAN MENJADI TEMPAT PEMBANTAIAN!!!

 


Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 tidak hanya melibatkan para pejabat pemerintah, tapi juga penduduk biasa yang memiliki rasa dendam terutama ulama-ulama dan para santri. Perkataan Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu, dicerna mentah-mentah oleh Muso dan anggotanya. Tidak mengherankan, jika mereka tidak segan-segan membantai para kiai dan para santri. Pada dasarnya, pembantaian itu merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Para kiai, ulama dan santri dikunci di dalam masjid yang kemudian dibakar hanya karena mereka benci dengan agama Islam.

Dengan alasan kaum FDR-PKI merasa tidak suka pada orang-orang Masyumi, Semua pimpinan Masyumi dan PNI dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi. Tubuh mereka dipisahkan dengan kepalanya dan pembunuhan keji lainnya. Orang-orang yang terbunuh dibiarkan tergeletak di sepanjang jalanan di kota Madiun. Sehingga hanya dalam beberapa hari saja darah manusia telah membanjiri kota Madiun. Banyaknya mayat membuat beberapa daerah berbau anyir darah. Tidak sedikit pula para korban pembantain yang dimasukin ke dalam sumur-sumur yang telah disiapkan.

Setelah berhasil menguasai Madiun, PKI kemudian bergerak ke pesantren Sabilul Muttaqin atau yang lebih dikenal dengan pesantren Takeran. Bersamaan dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari pesantren Takeran. Karena pesantren Takeran pada masa pimpinan kiai Imam Mursyid Muttaqien, merupakan pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan. Jumlah korban pembantaian di Magetan tidak dapat diketahui secara pasti. Namun sumur-sumur tua dan lubang-lubang pembantaian yang dipakai anggota Komunis untuk menghabisi lawan, yang tersebar di berbagai tempat di Magetan, sekaligus menjadi saksi sejarah kebiadaban PKI kala itu.

Pada Ba'da shalat Jumat, pimpinan pesantren Takeran, yaitu Kiai Imam Mursyid, didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Diantara rombongan tersebut, ada salah satu mantan santri pondok pesantren Takeran. Saat didatangi tokoh PKI, pimpinan Takeran dibawa keluar dari mushola kecil untuk berunding mengenai Republik Soviet Indonesia versi PKI. Pada saat itu pesantren sudah dikepung ratusan orang PKI dengan berpakaian hitam serta memakai ikat kepala berwarna merah dan dilengkapi dengan senapan. Satu-persatu tokoh-tokoh pesantren Takeran ditarik oleh PKI. Diawali dengan penangkapan sepupu Kiai Imam Mursyid, yaitu Kiai Muhammad Nur dengan alasan perundingan membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Nur.

Selanjutnya, PKI mengatakan dua tokoh pimpinan pesantren Takeran bisa pulang setelah ustadz Muhammad Tarmuji datang menjemput mereka langsung ke Gorang Gareng, yaitu markas PKI yang terletak 6 KM sebelah barat Takeran. PKI terus menangkap tokoh-tokoh penting pesantren Takeran dan berakhir dengan penangkapan ustadz yang berasal dari Al Azhar, Mesir, yang bernama Hadi Adaba'.

Namun semua hanyalah strategi licik PKI yang tidak suka dengan tokoh-tokoh agama Islam. Tokoh yang ditangkap tidak pernah kembali dan sebagian besar sudah ditemukan menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di daerah Magetan. Namun anehnya, tokoh penting pesantren Takeran yaitu Kiai Imam Mursyid, tidak ditemukan mayatnya. Bahkan hingga tahun 1990 mayat beliau tidak kunjung ditemukan.

Pada Hari Sabtu pagi tanggal 18 September 1948, ulama dan kiai pesantren Burikin ikut di serbu dan diseret sejauh 500 meter dari pesantren Burikin ke desa Batokan. Kemudian mereka beralih ke sumur tua Cigrok, salah satu tempat pembantaian kebiadaban PKI. Sumur tua Cigrok terletak di desa Cigrok bagian selatan Takeran. lebih spesifiknya terletak di belakang rumah seorang orang warga yang non PKI. Cigrok hanyalah salah satu dari banyaknya tempat yang menjadi sumur pembantaian kiai dan santri di daerah Magetan.

Pada malam terjadinya kejadian menyedihkan itu, terdengar suara bentakan yang diiringi jeritan histeris. Muslim, seorang santri yang tinggal dekat sumur tua itu menyaksikan kekejaman PKI. Saat malam semakin larut, Para anggota PKI berkumpul di dekat sumur Cigrok. Suara lantang pasukan PKI membentak para tawanan. Muslim yang terbangun karena kegaduhan tersebut, mengintip dari bilik bambu rumahnya.

Berbeda dengan biasanya, pembantaian di sumur Cigrok tidak menggunakan, arit ataupun senjata api (klewang). Saat itu para anggota PKI menggunakan pentungan sebagai senjata untuk menyiksa para tawanan. Kiai Imam Sofyan berulang kali dipukul oleh anggota PKI, ia dijebloskan ke sumur dan dilempari dengan benda keras dari atas sumur. Sambil menahan rasa sakit, Kiai Imam Sofyan mengumandangkan azan dari dalam sumur Cigrok. Pada saat itulah Muslim mendengar suara Adzan yang menurutnya adalah suara Kiai Imam Sofyan dari pesantren Kebonsari. Rasa sakit begitu menyiksanya, namun nyawa seakan belum ingin berpisah dari raga. Setelah selesai mengumandangkan azan, Kiai Imam Sofyan akhirnya terjatuh di atas tumpukan mayat lain di sumur itu.

Kekejaman PKI yang seakan tak bertuhan, mereka kemudian menimbun dengan jerami, tanah dan bebatuan. Mereka dikubur hidup-hidup di sumur itu, korban di sumur Cigrok sedikitnya berjumlah 22 orang. Di tempat yang berbeda dari sumur Cigrok, kedua putra Imam Sofyan ternyata juga ikut ditangkap. Mereka adalah kiai Zubair dan Kiai Bawani, mereka juga menjadi korban pembantaian anggota PKI.

Korban selain Kiai Imam Sofyan di sumur cigrok adalah Hadi Addaba’ dan Imam Faham dari PSM  Takeran. Imam Faham adalah santri Kiai Imam Mursyid-Takeran yang ikut mengiringi gurunya ketika dibawa mobil PKI. Rupanya di tengah jalan Kiai dan santrinya itu dipisah. Imam diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.

Kejadian itu juga disaksikan Ahmad Idris, tokoh Masyumi di desa Cigrok yang menyaksikan penjagalan PKI dari kejauhan. Idris mengatakan, “tawanan saat itu dengan kondisi tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur dan kemudian dihantamkan dengan pentungan di bagian belakang kepala yang kemudian dimasukkan ke lubang Cigrok.”

Para tawanan menjerit kesakitan sebelum akhirnya jatuh ke dalam sumur Cigrok karena dipukul dengan pentungan. Banyak dari mereka yang langsung tewas setelah dipukul menggunakan pentungan, namun adapula yang masih hidup dan berusaha keluar dari sumur itu. Dengan susah payah mereka merangkak, tangan mereka berusaha menggapai sisi sumur, tetapi apalah daya ketika tenaga telah habis. Walau mereka mengeluh kesakitan, rasa kemanusiaan anggota PKI telah hilang. Mereka melakukan perbuatan keji layaknya mereka menyiksa binatang, sebelum akhirnya mengubur para tahanan hidup-hidup.

Itulah kekejaman anggota PKI yang terjadi di Sumur Cigrok, Takeran, Jawa Timur. Di desa Cigrok kemudian dibangun Monumen untuk mengabadikan kejadian pilu yang terjadi pada kiai dan para santri. Tak hanya para kiai dan santri, camat Takeran saat itu juga menjadi korban kekejaman PKI. Para Anggota PKI membunuh siapa saja yang menentang ideologi mereka, karena mereka menganggap kelompok lain sebagai musuh tegaknya ideologi komunis. Peristiwa pembantaian oleh orang-orang PKI bahkan meninggalkan trauma bagi orang-orang yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Sumber referensi :   datariau.com

hidayatullah.com

suaraislam.id