F PEGAWAI JALANAN: MITOS LOKAL
Tampilkan postingan dengan label MITOS LOKAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MITOS LOKAL. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Desember 2021

LEGENDA ASAL-USUL GUNUNG MERAPI!!!

        


    Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia yang terletak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Klaten, Boyolali, dan Magelang. Ketinggian Gunung Merapi mencapai 2.930 mdpl dan dianggap sebagai gunung api paling berbahaya di Indonesia. Hal ini dikarenakan berdasarakan penelitian para ahli, Gunung Merapi akan mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali. Sejak tahun 1548 Gunung Merapi tercatat mengalami erupsi sebanyak 68 kali.

    Nama Merapi diambil dari penyingkatan antara meru (=gunung) dan api, sehingga secara bahasa Merapi dapat dimaknai sebagai gunung api. Gunung Merapi menjadi gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan Pulau Jawa dari Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, dan Gunung Merapi. Secara geologis, pembentukan Gunung Merapi disebabkan karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak kebawah lempeng Eurasia sehingga memunculkan aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. 

        Sama seperti gunung-gunung lain di Indonesia, Gunung Merapi juga memiliki kisah mitologi tersendiri terkait pembentukaannya. Konon menurut cerita yang beredar di masyarakat, Gunung Merapi adalah penyeimbang Pulau Jawa agar tidak miring. Alkisah, dahulu Pulau Jawa adalah pulau yang miring. Para dewa di kayangan berencana menyeimbangkan Pulau Jawa dengan memindahkan sebuah gunung di laut selatan yaitu Gunung Jamurdipa.

        Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah yang kini ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan bersepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan ke daerah tersebut. Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula hanya berupa gunung biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung berapi. Apa yang menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!

        Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.

     Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk kedua empu tersebut.

    Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut menempa batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.

“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa Penyarikan.

Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.

“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.

“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,” jawab Batara Narada.

“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami penuhi.”

Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.

“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.

“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,” kata Dewa Penyarikan.

“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.

Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu.

“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi.

Melihat keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru, mereka terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu.

“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.

        Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.

       Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.

“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.

Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.

“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru.

“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.

        Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.

        Demikian cerita Asal Mula Gunung Merapi dari Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, Indonesia. Hingga saat ini, kawah Gunung Merapi tersebut masih aktif dan sering mengeluarkan lahar disertai dengan hembusan awan panas. Sejak tahun 1548, gunung berapi ini sudah meletus sebanyak kurang lebih 68 kali.

        Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah bahwa orang yang tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka seperti halnya Empu Rama dan Empu Pamadi. Oleh karena enggan mendengar nasehat para dewa, akibatnya mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa.


Sumber : https://histori.id/, https://phinemo.com/


Selasa, 07 Desember 2021

ISLAM DI JAWA : DEDEMIT, MAKHLUK HALUS PENUNGGU SUATU TEMPAT

        


        Jika kita membicarakan adat, budaya dan kepercayaan orang jawa memang tidak ada habisnya. Sejarah masyarakat jawa tak terlepas dari cerita-cerita, kepercayaan dan filsafat yang sangat menarik yang membuat kita semakin penasaran jika kita mempelajarinya.

        Berikut ini adalah cuplikan dalam buku legendariss karya antropolog kondang asal Amerika Serikat Clifford Geertz dalam bukunya yang sangat fenomenal: Agama Jawa --Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa.

        Pada tulisan ini kita akan mengkaji dunia batin orang Jawa dengan sangat menarik, yakni 'Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus'. Bagi pembaca yang suka kisah horor dan aneka tayangan hantu atau makhluk halus lainnya, tentu saja menjadi penting dan menarik. 

        Ada banyak versi mitos penciptaan Jawa, Babad Tanah Jawi. Dalam sebuah dongeng yang biasanya dikisahkan oleh dalang dalam pementasan wayang kulit cerita tersebut dimulai dengan tokoh Semar, pelawak wayang kulit yang lucu dan bijak serta pahlawan kebudayaan Jawa yang tersohor, yang berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang pertama dari rangkaian panjang kolonis Pulau Jawa.

    Pendeta itu berkata kepada Semar: “Ceritakan kepadaku kisah Pulau Jawa sebelum ada manusia”. Semar menjawab bahwa pada masa itu seluruh pulau diselimuti oleh hutan belantara, kecuali sebidang kecil sawah tempat Semar bertanam padi di kaki Gunung Merbabu (sebuah gunung berapi di Jawa Tengah), tempat ia hidup tenang bertani selama puluhan ribu tahun.

    “Apakah kau ini?” tanya pendeta itu keheranan. “Apakah kau ini manusia? Umurmu bukan main panjangnya! Aku tak pernah menjumpai orang yang berumur puluhan ribu tahun! Itu tidak mungkin! Tentu kau bukan manusia. Bahkan Nabi Adam hanya berusia 1.000 tahun! Makhluk apa kau ini? Akui saja yang sebenarnya!”

        “Sebenarnya”, kata Semar, “aku bukan manusia, aku adalah makhluk halus yang menjaga—danyang—Pulau Jawa. Aku adalah makhluk halus yang tertua, raja serta nenekmoyang semua makhluk halus dan melalui mereka, menjadi raja seluruh manusia”. Dengan nada yang berubah, ia melanjutkan,

    “Tetapi aku juga mempunyai sebuah pertanyaan untukmu. Mengapa kau hancurkan negeriku? Mengapa kau datang ke sini dan mengusir anak cucuku? Makhluk-makhluk halus itu, yang kalah oleh kekuatan spiritual dan ilmu agamamu, secara perlahan dipaksa melarikan diri ke kawah-kawah gunung berapi atau ke dasar Laut Selatan. Mengapa kau lakukan ini?”

        Pendeta itu pun menjawab, “Aku diperintahkan oleh raja Rome (sebuah negeri Arab di sebelah barat India) untuk mengisi pulau ini dengan umat manusia. Aku harus membabat hutan untuk dijadikan persawahan, membangun desa dan memukimkan 20.000 orang di sini sebagai kolonis. Ini adalah titah rajaku dan kau tak bisa menghentikannya. Namun, makhluk-makhluk halus yang mau melindungi kita akan tetap boleh tinggal di Jawa; aku akan menentukan apa yang harus kalian kerjakan.”

    Ia melanjutkan pembicaraan dengan menggambarkan garis besar seluruh sejarah bakal Jawa sampai dengan zaman modern dan menjelaskan peran Semar dalam proses itu, yakni sebagai penasihat spiritual serta pendukung ghaib dari semua raja dan pangeran yang akan datang—yaitu terns menjadi ketua danyang di Jawa.

        Dengan demikian, paling tidak dalam versi ini, dongeng orang Jawa dalam Babad Tanah Jawi (“pembersihan Jawa”) lebih patut disebut mitos kolonisasi daripada mitos penciptaan, yang memang tidak mengherankan, mengingat sejarah Jawa yang terus menerus mengalami “invasi” orang-orang Hindu, Islam dan Eropa.

      Mbabad berarti membersihkan sebidang hutan belantara untuk diubah menjadi sebuah desa lengkap dengan sawahnya, membangun pulau kecil pemukiman manusia di tengah lautan makhluk halus yang menghuni hutan. Meski demikian, istilah itu kini juga dipakai untuk persiapan umum mengolah sawah (membajak, meratakan tanah dengan garu dan sebagainya) yang hams dilakukan orang dalam masa awal siklus tanam padi setiap tahunnya.

        Gambaran yang disampaikan oleh mitos itu adalah mengenai masuknya para pendatang baru yang mendorong makhluk-makhluk halus jahat ke gunung, ke tempat-tempat liar yang belum dijamah dan Lautan Hindia, sementara mereka bergerak dari utara ke selatan, sambil mengangkat beberapa makhluk halus yang mau menolong Sebagai pelindung mereka dan pemukiman baru mereka.

        Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan tempat tinggal tetap yang mungkin membantu keinginan orang adalah demit. Walaupun di sini, orang lagi-lagi tidak konsisten, mereka cenderung menggunakan istilah seperti demit, danyang, lelembut dan setan, baik dalam pengertian luas maupun sempit, untuk menyebut makhluk halus pada umumnya dan subjenis makhluk halus tertentu secara khusus.

        Demit dalam arti sempit tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut punden, yang mungkin ditandai oleh beberapa reruntuhan Hindu (mungkin sebuah patung kecil yang sudah rusak), pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air yang nyaris tersembunyi atau kekhususan topografis semacam itu.

        Ada sejumlah punden semacam itu di daerah Mojokuto; di berbagai pohon yang sangat besar atau berbentuk aneh, di berbagai reruntuhan Hindu yang tersebar di sana-sini. Akan tetapi, yang paling terkenal, paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa, adalah makhluk halus yang tinggal di pusat kota Mojokuto, di pinggir alun-alun, namanya Mbah Buda, yang secara harfiah berarti “Kakek Buddha”, tetapi “Buddha” di sini tidak merujuk ke “Gautama”. Ia hanya menunjuk pada kenyataan bahwa tempat tinggalnya yang keramat ditandai dengan sebuah peninggalan Hindu-Buddha.

        Tempat keramat itu, ditutup dengan pagar putih yang kuat, terletak di kaki sebuah pohon beringin yang lebat dan terdiri atas patung Ganesha—dewa kebijaksanaan agama Hindu yang berbentuk gajah—berukuran kecil dan setinggi kaki. Ada sebuah kisah tentang tempat itu. Dahulu kala, “pada zaman Buddha”, Sultan Solo, ibukota kerajaan Jawa Tengah, sedang berperang dengan raja Madura. Sultan Solo menang dan mengejar raja Madura yang melarikan diri, ke arah utara serta timur, ke tempat asal raja Madura.

        Namun, bagaimanapun asal-usulnya, yang jelas patung Ganesha itu sekarang dihuni oleh demit. Patung itu pernah dipindahkan ke Bragang, kurang lebih 24 kilometer jauhnya, tetapi ia kembali dengan kekuatannya sendiri. Pada sebuah kejadian lain, seorang kontrolir Belanda (pejabat Eropa paling bawah dalam birokrasi kolonial) yang ditugaskan di Mojokuto memukul patung Ganesha itu—tentu untuk menghina alat peribadatan para penyembah berhala—tetapi satu minggu kemudian, ia meninggal dengan leher patah. Dan dalam jangka waktu satu tahun, semua keluarganya menyusul ke alam baka.

        Kalau seseorang menginginkan Mbah Buda mengabulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu—sekalipun beberapa mengatakan bahwa orang bisa melakukannya di rumah—meminta pengampunan serta maaf dari demit itu dan beijanji akan mengadakan slametan untuk menghormati demit itu apabila permohonannya dikabulkan.

      Apa yang sangat penting bagi keberhasilan permohonan itu adalah mengharap dengan sungguh-sungguh, memohon dengan pikiran tunggal dan tak tergoyahkan serta tidak memikirkan hal lain sampai permohonannya dikabulkan.

    Seorang pemohon membandingkannya dengan tangisan anak kecil yang menginginkan sesuatu: “Tetapi Anda tidak menangis di luar, Anda menangis di dalam, di hati Anda; Anda hams betul-betul menginginkannya seolah-olah Anda akan mati kalau permohonan Anda tidak dipenuhi; kalau keinginan Anda begitu kuat dan begitu lama, maka hampir dapat dipastikan keinginan Anda itu akan terpenuhi”.

    Yang biasa diinginkan orang adalah pulihnya kesehatan dirinya atau keluarganya, atau mungkin untuk menemukan sebuah benda yang hilang atau meminta keselamatan seseorang dalam perjalanan yang memakan waktu lama. Ada perbedaan pendapat tentang bisa tidaknya orang mengharapkan hal-hal seperti menang judi, meminta gong baru untuk orkes gamelannya, atau agar cintanya pada isteri orang lain kesampaian.

        Beberapa orang berpendapat bahwa Mbah Buda hanya mempertimbangkan permohonan yang serius; tetapi jelas orang terkadang meminta berkah yang agak kurang mulia;

        

        Sumber : Buku AGAMA JAWA : Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Kebudayaan Jawa Karya                                     CLIFORD GEERTZ


MELETUSNYA GUNUNG SEMERU!! ISI PERJANJIAN SYEKH SUBAKIR!! SABDO PALON NAGIH JANJI AKHIR TAHUN 2021

       

        Fenomena alam, fenomena sosial yang terjadi di nusantara tidak bisa dilepaskan terhadap kisah-kisah masa lalu yang biasanya di kaitkan dengan fenomena yang terjadi pada saat ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa sebagian cerita itu ada yang cocok dengan kondisi pada zaman modern ini. Akhlak yang dahulu terjaga sekarang mulai memudar karena pengaruh budaya asing yang merusak generasi muda kita, kebebasan yang tidak terkontrol, wabah penyakit dan bencana yang bertubi-tubi menguji kita. Dari kecelakaan pesawat pada awal tahun 2021, wabah covid19, banjir, gempa bumi, tanah longsor, bahkan akhir tahun ini kita dikejutkan dengan meletusnya gunung semeru. Bencana-bencana tersebut sudah meregut korban yang tidak sedikit, kita doakan semoga yang meninggal terutama kerena sakit dan bencana ditempatkan di tempat terbaik disisi Tuhan.  

Jika kita mengingat tentang kisah yang penuh dengan filsafat ajaran moral dan toleransi, kita pasti teringat tentang kisah Syekh Subakir dan Sabdo Palon yang sudah sangat mahsyur tersebut. Dari kisah ini bisa kita ambil pelajaran berharga tentang musyawarah yang terjadi antara Ulama penyebar Agama Islam dan tokoh yang dianggap mempresentasikan penguasa atau penjaga tanah jawa yang berusaha mempertahankan adat, budaya dan agama yang terlebih dahulu ada di tanah Jawa. Dalam kisah itu diceritakan bagaimana Sabdo Palon sang penjaga tanah jawa memberikan kesempatan kepada Syekh Subakir untuk menyebarkan ajaran Islam, tetapi dengan syarat yang harus dipatuhi. 

Jika syarat tersebut tidak dipatuhi Sabdo Palon mengancam akan membuat goro-goro di masa yang akan datang, dan ternyata banyak masyarakat terutama orang Jawa yang mempercayai semua fenomena buruk yang terjadi tersebut adalah tanda bahwa janji Sabdo Palon akan segera terjadi, masyarakat jawa mengenalnya dengan Sabdo Palon Nagih Janji. 

Di antara ragam Serat Jangka Jayabaya, salah satu versinya bercerita tentang Syekh Subakir dan perannya dalam membangun peradaban bangsa manusia di Pulau Jawa. Hikayat syekh Subakir ini juga tersebut dalam tulisan lontar kuno yang diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak-tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.   

           Syekh Subakir adalah seorang ulama yang berasal dari Persia. Beliau adalah generasi awal Wali Songo, penyebar Islam di tanah Jawa. Beliau dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa ini. Diriwayatkan bahwa proses islamisasi di Jawa mengalami hambatan, disebakan kuatnya orang Jawa dalam memegang kepercayaan lama. Syaikh Subakir datang ke tanah Jawa bersama wali sanga generasi awal, setelah diperintahkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih di Istanbul, Turki. Kesembilan ulama ini mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli pengobatan, ahli tumbal, dan lain-lain. Wali Sembilan ini dibagi menjadi 3 kelompok dan di tempatkan pada tiga tempat, yakni di bagian barat, tengah dan timur tanah Jawa.  

           Konon, hambatan penyebaran Islam di Jawa pada masa sebelumnya, disebabkan oleh keberadaan bangsa jin yang menempati setiap sudut tanah jawa. Bangsa Jin ini dipimpin oleh Sabdo Palon atau Kyai Semar, yang bersemayam di puncak Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

         Syekh Subakir yang ahli dalam ilmu batin (baca: sakti) segera melakukan pembersihan, dengan menancapkan tumbal yang berupa batu hitam di puncak gunung Tidar. Seluruh Jawa bergolak, seluruh bangsa jin yang menguasi jawa merasakan kepanasan yang teramat sangat, hingga mereka lari tunggang langgang menyeberang ke lautan atau menepi ke sudut terpencil tanah Jawa. Sebagian jin yang lain ada yang harus mati akibat hawa panas dari tumbal yang dipasang Syekh Subakir. Karena itulah, Gunung Tidar dipercayai sebagai Pakunya Tanah Jawa.  

          Melihat hal itu, Sabdo Palon yang telah 9000 tahun bersemayam di puncak Tidar keluar dalam bentuk manusia, berdiri di hadapan Syekh Subakir. Setelah terjadi perdebatan mereka segera adu kesaktian. Konon petempuran antara keduanya selama 40 hari 40 malam, hingga Sabdo Palon merasa kewalahan dan menawarkan gencatan senjata. Sabdo Palon mensyaratkan beberapa point dalam upaya penyebaran Islam di Jawa. Syarat-syarat itupun disetujui Syekh Subakir.



Berikut ini adalah dialog antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar yang kami sajikan dalam bentuk imajiner.

 Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.

Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.

Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.

Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?

Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.

Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.

Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.

Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?

Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.

Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Buda yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?

 Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukuankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?

Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.

Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.

Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.

Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.

Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.

Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.

Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.

Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.

Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.

 Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.

 Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?

 Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat - syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.

 Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namu jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.

Itulah dialog yang terjadi antara Syekh Subakir dan Sabda Palon, artikel ini jangan kita telan mentah-mentah, akan tetapi ada hikmah dan pesan yang dapat kita ambil dari dialog tersebut, bahwa penyebaran agama Islam tidak pernah di lakukan dengan paksaan di tanah Jawa, serta tidak membuang adat dan kebudayaan yang telah ada dan di jalankan oleh masyarakat jawa, asal tidak bertentangan dengan agama.  Mungkin karena dialog ini para ulama menyebarkan agama Islam dengan kearifan lokal sehingga agama Islam dapat di terima oleh masyarakat jawa dan menjadi agama mayoritas yang di anut oleh orang Jawa.

Yang sangat jelas bahwa kisah tersebut mengandung filsafat yang sangat luar biasa dan sangat relevan sampai saat ini, bahwa penyebaran agama tidak boleh dengan paksaan, menyaring segala bentuk faham, ideologi, budaya luar yang masuk ke tanah Jawa agar orang jawa tidak hilang jawanya, yang akan terus mempertahankan adat dan tradisi sampai kapanpun.



Kamis, 02 Desember 2021

AWAL MULA MITOS LARANGAN MENIKAH JAWA DAN SUNDA!!!

        


        Pernahkah kalian mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?

        Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.  Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

        Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara. Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

        Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.  Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

        Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

            Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

    Sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng mengatakan, "Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali".

      Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

        Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

        Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.


        Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

        Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

        Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

        Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

      Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

        Kisah itu kemudian dipercaya secara turun-temurun dan menjadi penyebab memburuknya hubungan antara suku Jawa dan Sunda. Meski tak sedikit yang menganggapnya hanya mitos atau cerita yang tidak sesuai degan fakta, cerita ini dipercaya sebagai awal mula larangan menikah antar suku Jawa dan Sunda.
        Namun adanya larangan pernikahan Jawa dan Sunda ternyata bukan cuma persoalan historis dan tradisi belaka tapi juga telah bergeser menjadi sebuah stereotip. Stereotip menurut KBBI memliki arti konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Hingga saat ini masih banyak orang yang mempercayai larangan Suku Sunda untuk menikah dengan Suku Jawa.

        Larangan menikah antara kedua suku itu dipercayai bahwa nantinya hubungan pernikahan antar Suku Sunda dan dan Suku Jawa tidak akan bahagia. Di beberapa kalangan masyarakat, larangan menikah antar Suku Sunda dengan Suku Jawa masih sangatlah kental, bahkan menjadi sesuatu yang tabu. Tak jarang, beberapa pasangan dengan terpaksa harus membatalkan pernikahanya, hanya karena tetua atau sepuh dalam keluarga tidak bisa merestui hubungan antar suku Sunda dengan Jawa tersebut.

        Namun benarkah Larangan menikah bagi Suku Sunda dengan Suku Jawa bisa menyebabkan tidak bahagia dan berujung kegagalan dalam berumah tangga. Konon, jika ada dua orang antara Suku Sunda dengan Suku Jawa menikah, kehidupan mereka tidak akan bahagia dan sering diterpa masalah dan berujung kegagalan dalam berumah tangga.

        Larangan Suku Sunda dan Suku Jawa masih banyak diperbincangkan dan dipercayai, namun hal itu hanyalah mitos semata. Apalagi kini juga banyak pasangan dari suku Jawa dan Sunda yang tetap bisa hidup bahagia dan langgeng, buktinya silahkan lihat sekeliling kalian pasti ada pernikahan antara orang jawa dan sunda. Asalkan sama-sama saling cinta mengapa harus berpisah, menikah dan berumah tangga membangun keluarga dan saling menjaga. Semoga Artikel kali ini ada manfaatnya untuk kita.

Argha Sena

Kamis, 25 November 2021

RAMALAN JAYABAYA SEBUT ADA KABAR BAIK YANG AKAN MENGHAMPIRI INDONESIA DITAHUN 2022!!! COVI19 BERAKHIR ATAU MENJADI NEGARA MAJU???


        Tidak akan lama lagi warga dari seluruh penjuru dunia akan menyambut tahun baru 2022. 
Untuk saat ini tahun 2021 hanya tinggal menyisakan kurang lebih satu bulan lagi, yakni bulan Desember.

        Banyak orang yang berharap hingga akhir tahun 2021 tidak akan ada lagi banyak musibah serta halangan yang berarti. Meskipun gelombang ketiga Covid-19 masih mengancam dan bisa saja terjadi di akhir tahun, tetapi banyak yang berharap agar hal itu tidak benar terjadi. tergantung kita sendiri yang mengendalikannya, kalau kita bandel dan tidak taat pada aturan yang dibuat oleh pemerintah kita, maka bisa dipastikan hal yang kita takutkan tersebut benar-benar bisa terjadi.

        Pada materi yang sebelumnya kami pernah membahas tentang 20 ramalan yang hampir semuanya negatif yang akan terjadi pada tahun 2022. Ternyata ada yang terlewatkan dari materi ramalan yang berasal dari Prabu Jaya Baya yang sudah sangat mahsyur tersebut.

      Kabar baik itu pun hadir dari Ramalan Jayabaya yang menyebut jika di tahun baru 2022 mendatang Indonesia akan dihampiri hal positif, dan semoga ini mejadi aura positif bagi kita bangsa Indonesia, walaupun kita sebagai bangsa yang mengenal Tuhan tidak diperbolehkan mempercayai ramalan-ramalan apapun itu bentuknya karena hanya Tuhanlah yang mengetahui masa depan. Tapi seperti yang sudah kami sebutkan, bahwa ramalan itu akan tertanam dialam bawah sadar kita dan akan mempengaruhi psikologi kita, makanya jika ramalan itu positif maka hal positiflah yang akan kita dapatkan.

        Hal positif yang dimaksud dalam ramalan itu adalah di tahun 2022 akan menjadi tahun bahagia alias keemasan bagi Indonesia. Untuk diketahui bahwa Ramalan Jayabaya atau yang sering disebut tahu sebgaai Jangka Jayabaya adalah Ramalan yang ada di dalam tradisi Jawa.

        Ramalan Jayabaya ditulis sendiri oleh Pangeran Jayabaya, raja yang pernah memimpin Kediri, Jawa Timur mulai dari 1135 hingga 1157 Masehi. Menurut Ramalan Jayabaya yang menyebut bahwa tahun 2022 akan  menjadi tahun keemasan bagi Indonesia ada di Ramalan ke-7.

        Ramalan Jayabaya masih banyak dipercayai orang karena beberapa yang dituliskan memang ada yang benar-benar terjadi. Salah satunya yakni Ramalan Jayabaya pernah memprediksi adanya bencana banjir darah plus hilangnya nyawa.

        Dan kini faktanya hilangnya banyak nyawa disebabkan oleh adanya serangan pandemi Covid-19 yang masih terjadi sampai dengan saat ini. Akan tetapi ada kabar baik juga yang tertulis di dalam Ramalan Jayabaya, yakni disebutkan bahwa Indonesia akan meraih masa keemasan.

            Ramalan tersebut sudah tercantum dalam Ramalan ke-7 Jayabaya, yakni Tikus Putih Hanongko Baris. Maksud dari ramalan itu yakni Tikus lebih menggambarkan kalangan kecil dan putih sebagai suatu simbol kesucian, kebenaran, dan ketulusan.

        Dengan begitu ramalan “Tikus Putih Hanongko Baris” bisa diartikan sebagai rakyat kecil bersatu demi membenamkan banyak kezaliman yang merajalela. Dalam syair yang dimuat “Wong Jowo kari separo, Wong Cino kari sejodo, Wong Londo gulung gulung", Ramalan Jayabaya ke-7 itu dijelaskan.

          Jika melansir dari sumber-sumber internet, Ramalan Jayabaya itu mungkin saja benar terjadi. Ramalan tersebut bisa saja terjadi karena situasi di Indonesia sudah mendekati hal yang serupa dengan apa yang dijelaskan tadi.

    Saat ini sudah banyak terjadi kasus hukum yang membuat masyarakat terheran-heran. Banyak kasus korupsi dan criminal yang dibuat oleh para petinggi serta petugas negara tetapi tidak dapat benar-benar diselesaikan dengan baik.

        Justru banyak dari pelaku yang salah justru mendapat keringanan hukum sedangkan kasus kecil ditangani dengan serius. Meski demikian, belum dapat dipastikan dengan jelas apakah Ramalan Jayabaya ke-7 yang dimaksud di atas akan benar-benar terjadi atau tidak. Karena ramalan kuno ini adalah peninggalan orang terdahulu kita yang tetap kita lestarikan sebagai sumber literasi sastra dan budaya.  Selebihnya kita sebagai generasi muda hanya bisa menafsirkan dan mereka-reka apa yang sebenarnya menjadi maksud dari penggalan kalimat ramalan ke-7 Jayabaya tersebut.  

        Tapi tidak bisa kita pungkiri negara kita saat ini memang sedang berusaha memantaskan diri untuk berkembang menjadi negara yang kuat dan sejahtera. pemerintah sudah berusaha membangun infrastruktur diberbagai lini dimana-mana walaupun memang harus berhutang yang jumlahnya tidak sedikit.  Kita adalah bangsa yang tinggal diwilayah yang sangat kaya, buktinya lihat disekeliling kita berapa banyak orang yang hanya bergaji di bawah dua juta rupiah, akan tetapi dengan gaji sebesar itu kita masih mampu untuk bertahan hidup, melanjutkan perjuangan. Hal itu hanya bisa terjadi karena kita memang tinggal di wilayah nusantara yang sangat kaya, ibarat kita lempar potongan tongkat dari batang ubi maka tongkat itu akan tumbuh dan subur, yang akhirnya ubinya bisa kita makan.

        itulah sekelumit materi tentang ramalan jayabaya ke-7 yang terdengar membawa angin positif bagi bangsa Indonesia. Kesimpulan dari materi ini kami serahkan kepada para pembaca yang budiman.


Argha Sena




20 RAMALAN BURUK JAYABAYA PADA TAHUN 2022???


        Menjelang tahun baru 2022, banyak orang yang mulai berbicara tentang ramalan, memprediksi apa yang akan terjadi di tahun 2022, informasi seperti ini mulai berserakan di youtube yang membahas ramalan seperti membahas pertandingan sepak bola. Dalam video kali ini sebenarnya pegawai jalanan tidak menganjurkan kita untuk mempercayai ramalan-ramalan, apapun itu, karena manusia bukanlah Tuhan yang tahu masa depan dengan pasti. Makanya dalam video pembuka ini kami tidak ingin para subscriber pegawai jalanan menjadi terlalu terjerumus kearah yang bisa menjauhkan kita terhadap keimanan kita terhadap Tuhan. karena dampaknya akan buruk jika kita mudah percaya ramalan, secara tidak langsung ramalan buruk akan tertanam di alam bawah sadar kita dan akhirnya perilaku kita menjadi negatif, cendrung berputus asa. 

        Akan tetapi video ini disajikan hanya sebatas sebagai sastra kuno peninggalan nenek moyang kita yang akan kami coba sampaikan, kemungkinan besar catatan-catatan tersebut dibuat menggunakan ilmu yang kita tidak bisa fahami sebagai manusia modern. Penulisnya mempunyai kemampuan memprediksi masa depan dengan mengamati perilaku sosial masyarakat pada zamannya, dan akhirnya apa yang dia prediksi sebagian besar menjadi kenyataan. 

Salah satu nama besar orang nusantara zaman dahulu yang terkenal dengan ramalannya ialah Prabu Jayabaya. Ramalannya hampir semuanya terjadi di zaman modern seperti saat ini. Jika kita perhatikan sepertinya tidak jauh berbeda antara tahun 2020 dan 2021 apa yang sudah terjadi, sama-sama tahun yang cukup melelahkan melawan pandemi covid-19 yang tidak kunjung selesai. Akan tetapi untuk tahun 2022 kira-kira apa yang diprediksikan oleh Prabu Jaya Baya? Kita bisa bersiap-siap menyiapkan diri untuk hal-hal yang buruk yang belum tentu terjadi, bahkan jika memang memungkinkan kita malah bisa menguasainya dan mendapatkan hasil positif dari prediksi buruk tersebut. 

            Diketahui, Jayabaya Memiliki kemampuan dapat membaca sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, hal ini dimanfaatkan oleh para peramal untuk mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati kedepannya.

            Benar atau tidaknya, isi ramalan tersebut telah dipercayai sebagian orang di Tanah Air atau Nusantara, khususnya masyarakat Jawa.

            Dalam prediksi ramalan orang-orang terdahulu, Misteri mengenai apa yang akan terjadi pada 2022 ternyata sudah digambarkan.

            Prabu Jayabaya telah menyebutkan bahwa 2022 masuk dalam tahun kolo suroto.

            Di tanah Jawa akan banyak orang-orang yang manis budi dan lemah lembut. Sehabis itu ganti zaman, yang dalam ramalan Jayabaya akan menemui kiamat kubro.

            Lalu apa saja kira-kira misteri ramalan Prabu Jayabaya pada tahun 2022 mendatang? Berikut ini sudah kami rangkum dari berbagai sumber literasi.

1. Umah ala soyo dipujo artinya rumah maksiat makin dipuji.

2. Wong wadon lacur ing endi-endi artinya banyak perempuan lacur dimana-mana.

3. Akeh Laknat artinya banyak kutukan.

4. Akeh pengkhianat artinya banyak penghianat.

5. Anak mangan bapak artinya anak berani pada bapaknya.

6. Sedulur podo mangan sedulur artinya saudara makan saudara tidak rukun.

7. Konco dadi musuh artinya kawan jadi lawan.

8. Guru disatru artinya banyak guru dimusuhi.

9. Tonggo lan curigo artinya tetangga saling curiga.

10. Pedagang akeh sing kepelarang artinya pedagang banyak yang tenggelam.

11. Wong utana akeh sing dadi artinya penjudi banyak yang merajalela.

12. Akeh barang kang harom artinya banyak barang haram.

13. Akeh anak kang harom artinya banyak anak haram.

14. Wong wadon ngelamar wong lanang artinya perempuan melamar laki-laki.

15. Wong lanang ngasura derajate dewek artinya laki-laki menghina derajatnya sendiri.

16. Akeh barang-barang melebuh luang artinya banyak barang-barang yang terbuang.

17. Akeh uwong kaliren lan wudo artinya banyak orang lapar dan telanjang.

18. Wong tuku ngelenik wong dodol artinya pembeli membujuk penjual.

19. Sing dodol akal okol artinya penjual membujuk si penjual.

20. Wong golek pangan koyok gabuh di intri artinya ibarat mencari rezeki ibarat gabuh ditampik.

        Itulah 20 butir ramalan atau prediksi yang berasal dari Prabu Jaya Baya dan kita renungkan sendiri apakah semua itu sudah terjadi? atau belum terjadi, silahkan jawab dalam hatim kita masing-masing. Jika tahun depan masih berjalan seperti ke-20 ramalan tersebut, sebisa mungkin kita harus menghindari berperan sebagai tokoh antagonisnya, sewajib mungkin kita harus menjadi orang yang baik. Sekali lagi kita tidak boleh menjadikan ramalan sebagai keyakinan, apalagi sampai melemahkan iman kita terhadap Tuhan yang Maha Esa. 


Argha Sena