Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah kemerdekaan yang mudah
untuk diraih. Semua elemen masyarakat saling bahu membahu demi mencapai
kebebasan dari penjajahan. Bahkan semua dikorbankan agar terciptanya kehidupan
yang lebih baik. Harta, tenaga, bahkan nyawa harus mereka relakan agar anak
cucunya tidak hidup dalam keadaan dijajah. Prajurit berada pada garda terdepan
dalam perjuangan, merekalah yang memegang semangat perjuangan para masyarakat.
Baik tua maupun muda, lelaki maupun perempuan, yang kaya ataupun yang miskin,
dan yang sehat maupun yang sakit tetap harus meneruskan perjuangan. Bahkan
ternyata Pekerja Seks Komersil (PSK), pencopet, pengemis dan pencuri juga
memiliki perannya dalam kemerdekaan.
Cukup aneh memang ketika mendengar pekerjaan yang banyak merugikan
masyarakat itu memiliki peran dalam
kemerdekaan kita. Kita tahu pekerjaan-pekerjaan itu selalu memiliki
tanggapan-tanggapan negatif karena memang selalu meresahkan masyarakat. Namun
kita harus menerima kenyataan bahwa memang seperti itu keadaannya, dimana
mereka juga memiliki peran tersendiri. Karena dalam buku "Soekarno:
An Autobiography as told to Cindy Adams", mengutip salah satu
pernyataan Bung Karno dalam buku tersebut: "Pelacur adalah mata-mata yang
paling baik di dunia."(intisari.grid.id)
Bukan tanpa alasan ketika Soekarno mengatakan hal yang terdengar
tidak rasional itu. Pertengahan 1946, ketika tentara Sukutu berangsur pergi
dari Indonesia dan tentara Belanda mulai menguat, Moestopo dijadikan perwira
Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) di Subang. Ia tiba di sana dengan unit
bersenjata yang tidak biasa disebut Pasukan Terate. Terate adalah akronim dari
Tentara Rahasia Tertinggi. Selain terdiri dari taruna-taruna Akademi Militer
Yogyakarta, ada pula pelacur dan pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta. Mereka
dikerahkan untuk menciptakan kekacauan dan kebingungan di kalangan
serdadu-serdadu Belanda di sekitar Bandung.
Para pencuri dan para pelacur ini, menurut Abdul Haris Nasution
dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990), diberi pesan:
“Boleh bergiat di daerah musuh terutama terhadap prajurit-prajurit musuh.” Itu
satu rencana yang cukup brilian, sebetulnya: Pihak Republik berusaha mengirim
penyakit masyarakat ke daerah lawan. Bekerja di daerah pendudukan Belanda,
dalam masa revolusi, agaknya bisa lebih mendatangkan untung mengingat
perekonomian daerah pendudukan lebih baik daripada daerah Republik. Selain itu,
pelacur-pelacur pro-Indonesia bisa menjadi mata-mata bagi Republik.
Bagaimanapun, tentara-tentara yang dikirimkan ke Indonesia adalah
pemuda-pemuda Belanda yang jauh dari pacar atau istri. Mereka butuh kehangatan
dan tak jarang para PSK jadi penuntasan birahi. Pelacuran di daerah pendudukan
Belanda maupun medan perang lain di dunia adalah efek dari peperangan juga. Kesulitan
bahan makanan dan sumber uang membuat banyak perempuan rela jadi pelacur.
Mengutip kesaksian seorang mantan veteran tentara Belanda di Indonesia, Frans
Bentschap Knook: “Ketika kami memasuki kota dengan truk militer berkapasitas
tiga ton, di sana-sini terdapat perempuan yang sudah siap bercinta dengan
tentara-tentara Belanda.” “Tetapi Kami sudah mendapat peringatan, dan takut
setengah mati akan dampak perkencanan itu,” ujar Knook, sebagaimana dicatat
dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2017) yang disusun Gert
Oostindie.(tirto.id)
Para PSK tak hanya mengumpulkan informasi, tapi juga ikut membantu
menyabotase musuh. Sementara, anggota Barisan lain punya tugas masing-masing.
Pengemis bertugas mendengar pembicaraan
musuh, pencopet ditugaskan mencopet orang kaya di pasar dan menggondol
perlengkapan milik tentara Belanda, sementara perampok biasanya menyambangi
rumah orang kaya untuk menggasak harta mereka untuk membiayai revolusi.
Tindak-tanduk barisan ini, tulis Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi di Indonesia 1945-1949,
menimbulkan keresahan dan kekacauan di kalangan tentara Belanda. Sialnya, ide
“Moestopo tersebut kemudian ternyata menjadi ibarat senjata makan tuan. Karena
adanya pelacur di front itu menyebabkan prajurit kita yang kesepian di front
terkena getahnya, terkena wabah penyakit kotor,” tulis Moehkardi dalam Pendidikan
Perwira TNI-AD di Masa Revolusi (1979).(historia.id)
Dilansir dari buku Robert Cribb yang berjudul, "Para Jago dan Kaum Revolusioner
Jakarta", mengisahkan mengenai penyelamatan terhadap Bung Karno dan
pejuang lainnya saat dalam pengintaian Belanda oleh para PSK. Para PSK-lah yang
membantu menyembunyikannya di rumah bordil yang jadi sarang mereka. Selain
membuat tempat persembunyian paling aman bagi para pejuang, hunian mereka juga
dijadikan tempat penyelundupan senjata bagi para pejuang.
Tugas mereka menjadi sumber informasi mengenai musuh tak dapat
digantikan oleh pihak manapun kala itu. "Tak satu pun laki-laki anggota
partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas ini untukku,"
ujar Soekarno yang juga menyampaikan para PSK bukan saja penyumbang yang
menyenangkan, tetapi juga penyumbang yang besar dalam revolusi Indonesia. Bahkan
"Dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung, terdapat
670 orang perempuan yang berprofesi demikian dan mereka adalah anggota yang
paling setia dan patuh," tulis Soekarno dalam buku berjudul Bung Karno:
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan pertama tahun 1966.(nationalgeographic.grid.id)
Itulah sedikit ulasan tentang peran PSK dalam kemerdekaan Republik
Indonesia. Beberapa peran tersebut adalah, sebagai mata-mata bagi para pejuang,
penyelundup senjata, penyumbang dana perjuangan, penghancur rumah tangga
penjajah, dan pemberi penyakit kelamin kepada para penjajah bahkan sarang para
PSK pernah dijadikan tempat untuk rapat oleh Soekarno untuk mengatur strategi
melawan para penjajah. Memang lebih banyak hal negatifnya daripada hal positif
dari sudut pandang tentang para PSK, namun setiap segala sesuatu pasti memiliki
kelebihannya masing-masing. Para PSK
tersebut juga banyak yang berhenti dari pekerjaan itu setelah kemerdekaan
karena mereka tidak ingin terus-terusan hidup dalam kenistaan. Selain masyarakat
saat ini yang menilai buruknya PSK, saat itu ketika Soekarno mengikut sertakan
PSK dalam revolusi, Soekarno juga pernah mendapatkan protes keras dari Ali
Sastroamidjojo, tokoh PNI. Perdebatan sengit antar kedua tokoh PNI tersebut tak
terelakkan, bahkan Ali sempat mempertanyakan keputusan Bung Karno merekrut 670
PSK masuk menjadi anggota PNI cabang Bandung. Sama seperti kita, terkadang
manusia hanya menilai dari satu sisi saja, dan jarang manusia menilai dari sisi
yang berbeda. Namun itu adalah keadaan kala itu, PSK terpaksa bekerja seperti
itu untuk hidup dan juga perjuangan kemerdekaan. Berbeda jauh dengan keadaan
sekarang yang hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan nafsu mereka saja.
Penyusun : Riskiryto
Penyunting : Argha Sena
Referensi :
- historia.id
- http://107.180.92.227/index.php/peran-psk-dalam-memperjuangkan-kemerdekaan-dari-mata-mata-hingga-penyelundup/
- intisari.gird.id
- kompasiana.com
- nationalgeographic.grid.id
- tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar