Fenomena dukun sakti yang dapat mengobati
berbagai penyakit terus ada saja di Indoensia, orang sakti yang luar biasa
menunjukan kebolehannya terus menjadi perbincangan yang hangat dalam masyarakat
kita. Akan tetapi parahnya ternyata banyak yang percaya dan meyakini, sampai
banyak orang sakit parah yang datang untuk berobat kepada dukun tersebut. Mungkin
ada keputusasaan dari keluarga pasien atau pasien itu sendiri dengan pengobatan
medis, sehingga akhirnya mereka lari menuju dukun yang dikatakan sakti untuk
meminta obat. Yang menjadi masalah adalah, sudahlah mereka sakit parah misalnya
menderita penyakit kanker stadium akhir, dia datang berobat kepada dukun
ternyata sang pasien diberikan harapan palsu, dan parahnya mereka harus membayar
mahar tertentu untuk biaya pengobatan khusus tersebut.
Dalam keadaan seperti ini ternyata ada juga
orang yang berusaha membongkar trik yang digunakan untuk atraksi saat
pengobatan ataupun penanganan khusus tersebut. Dan kita harusnya berterimakasih
terhadap pemuda tersebut yang rela terancam hidupnya membongkar dunia dukun
santet atau dukun yang menipu masyarakat. Semoga makin banyak masyarakat yang
tercerahkan dan menjadi semakin cerdas. Logika saja kalau memang benar sang
dukun hebat bisa menyembuhkan kanker atau penyakit semacamnya yang dikatakan
gangguan jin atau setan atau sejenisnya, maka dunia kedokteran modern akan
tergantikan dengan kesaktian para dukun. Dan WHO pasti sudah mengundangnya
untuk mengajarkan ilmunya tersebut untuk menyelamatkan masyarakat dunia dari
penyakit.
Kita tidak sedang menceritakan masalah trik
dukun yang sedang viral ini, tapi kita akan menceritakan sebuah kisah yang
pernah menggemparkan Indonesia kala itu. Dukun yang ada sekarang ternyata masih
kalah brutal dengan dukun yang satu ini, sejarah mencatatnya dengan jelas
bahkan sampai dibuat film, agar kita semua teredukasi jangan sampai kita terjebak
dalam kisah yang sama dan sangat mengerikan itu. Korban yang meninggal
dijadikan tumbal sang dukun tidaklah tanggung-tanggung, ada 42 perempuan yang
dijadikan tumbal dan dibunuh oleh sang dukun, mari kita simak kisahnya.
“Kami, majelis hakim, memutuskan bahwa saudara
terdakwa dijatuhi hukuman mati!” Haogoaro Harefa, hakim ketua yang memimpin
jalannya persidangan pada 24 April 1998 tersebut memutuskan perkara dengan
mantap. Gemuruh tepuk tangan para hadirin pun langsung memadati ruang sidang.
Sementara terdakwa yang bernama Suradji tampak tenang usai vonis dibacakan.
Bahkan, beberapa kali ia tertangkap melempar senyum ke arah juru warta, seolah
vonis tersebut bukan perkara serius.
“Saya minta banding,” katanya pelan, saat
ditanya hakim mengenai sikapnya terhadap putusan pengadilan. Bagi warga
Sumatera Utara, Suradji bukan sembarang orang. Ia, yang biasa akrab disapa
Dukun AS, adalah tersangka pembunuhan berantai dengan korban tewas sebanyak 42
orang. Semua korbannya adalah perempuan. Aksi keji itu ia lakukan dalam kurun
waktu 1986-1994 di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli
Serdang. Motif pembunuhan didasari klaim Suradji atas wangsit dari mendiang
ayah yang memerintahkannya untuk membunuh 70 perempuan agar jadi sakti
mandraguna. Klenik Sejak dalam Pikiran Seperti halnya Robot Gedek yang pernah
bikin geger Jakarta dua dekade silam, penampilan dukun AS tak terlihat
kontroversial. Ia kurus, jangkung, dan orang-orang mungkin lebih mengira ia
sebagai pegawai kelurahan dibanding kriminal.
Suradji dibesarkan oleh pasangan Jogan dan
Sartik. Sang ayah, yang berprofesi sebagai dukun, meninggal kala ia baru
berusia tujuh bulan. Masa kecilnya hampir sama dengan anak-anak desa pada
umumnya; bermain dan berlarian di ladang. Di lingkungan tempatnya bermukim,
Suradji lebih dikenal dengan nama “Nasib Kelewang”—nama yang disematkan karena
ketika kecil ia pernah tercebur sumur dan selamat. Menurut pengakuan ibunya,
selain bermain di ladang, Suradji juga tertarik mempelajari ilmu dukun sejak
umur 12 tahun lewat buku-buku peninggalan sang ayah. Hidup Suradji berubah 180
derajat saat ia memutuskan untuk berpoligami. Tak tanggung-tanggung, Suradji
menikahi dua perempuan sekaligus yang semuanya masih punya pertalian saudara
dengan istri pertamanya, Tumini. Suradji menikah lagi dengan alasan ingin punya
anak perempuan, sesuatu yang tidak didapatkannya bersama Tumini. Pada saat
bersamaan, Suradji kian getol menyelami lautan klenik. Ia mengaku bahwa dalam
mimpinya, sang ayah kerap datang dan mengajarinya berbagai ilmu kesaktian.
Terlepas apakah Suradji betulan sakti atau tidak, masyarakat setempat
menganggap dirinya “orang pintar” alias dukun. Di rumahnya, Suradji melayani
bermacam jenis jasa, mulai dari mengobati orang sakit hingga pasang susuk.
Pada suatu malam, Suradji bimbang. Pasalnya,
mendiang sang ayah kembali datang di mimpinya. Dalam pertemuan itu, sang ayah
berpesan: jika ia ingin ilmunya semakin sakti dan bisa memberikan “kebaikan”
bagi orang-orang di sekitar, ia harus mengorbankan setidaknya 70 nyawa
perempuan. Setelah lama menimbang-nimbang, Suradji akhirnya melaksanakan petuah
sang ayah. Maka, diburulah sejumlah perempuan untuk ditumbalkan. Aksi brutal
Dukun AS mulai terendus pada sekitar tahun 1997. Aparat Mapolsek Sunggal
menemukan 42 rangka manusia di ladang tebu di Dusun Aman Damai, Kecamatan
Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Rata-rata korban berumur 13
sampai 27 tahun.
Dalam laporan dijelaskan bahwa penemuan
tersebut berangkat dari informasi seorang pemuda lokal yang tanpa sengaja
mendapati mayat tanpa busana di ladang tebu. Korban bernama Sri Kemala Dewi.
Mulanya polisi mengira pelaku pembunuhan adalah suami Dewi sendiri. Sebab,
menurut keterangan warga, keduanya sempat terlibat pertengkaran pada malam
sebelum Dewi menghilang. Akhirnya, seorang warga bernama Andreas mengaku pernah
mengantarkan Dewi ke rumah Suradji guna melakukan konsultasi. Polisi lantas menindaklanjuti
keterangan Andreas. Datanglah mereka ke rumah Suradji. Saat ditanya polisi,
Suradji mengaku Dewi memang mengunjungi rumahnya. Namun, terang Suradji, “Dewi
pulang selepas Maghrib.” Pengusutan kasus sempat terhenti karena bukti-bukti
yang ditemukan tak cukup. Tapi, polisi tak kehilangan akal. Mereka kemudian
mendalami sejumlah laporan orang hilang dalam beberapa tahun terakhir.
Dari hasil pendalaman ditemukan satu benang
merah: sebagian besar korban adalah pasien Suradji. Temuan tersebut mendorong
polisi untuk kembali mendatangi rumah Dukun AS. Satu per satu sudut rumah
disisir secara seksama. Akhirnya polisi menemukan beberapa helai pakaian
perempuan dan perhiasan. Barang bukti itulah yang membuat Suradji ditangkap.
Dalam proses interogasi, Suradji mengaku bahwa ia yang membunuh Dewi dan 41
perempuan lainnya demi “memperoleh ilmu sakti.” Tak cuma menghabisi nyawa,
Suradji juga menyikat barang-barang berharga milik korban.
Takut, Tobat, Sebelum Akhirnya Ditembak di
Tempat Kehidupan penjara turut mengubah perilaku Dukun AS. Dukun AS telah
“bertobat dan membuang semua ilmu kebatinan yang dimilikinya” selama ditahan. Dukun
AS diberi penjelasan dari segi agama bahwa ilmunya tersebut dapat mempersulit
dirinya ketika dijemput ajal nanti. Nasihat tersebut diterima Dukun AS sehingga
terpidana mati itu segera membuang ilmu kebatinan yang dimilikinya. Sejak membuang
kleniknya, Dukun AS rajin mengikuti pengajian yang diselenggarakan dua kali
sebulan di LP Kelas I Tanjung Gusta Medan. Kepala LP Kelas I Tanjung Gusta
Medan, Ace Hendarmin, menyebut Dukun AS “sudah tobat” dan “punya aktivitas
ibadah yang luar biasa”. Jika napi lain langsung keluar mushola setelah sholat,
Dukun AS akan berdiam diri untuk berzikir dalam waktu yang cukup lama.
Di tengah pertobatannya itu, Dukun AS sempat
merasa tertekan setelah mengetahui rencana Kejaksaan Tinggi Sumut yang akan
melaksanakan eksekusi mati terhadap dirinya. Kabar tersebut membuat stres Dukun
AS mengingat, ia masih mengharap diberi grasi oleh presiden sebab “sudah
memperlihatkan perubahan baik dalam penjara.” Setelah divonis mati oleh
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Deli Serdang, kuasa hukum Dukun AS mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung tiga tahun kemudian. Upaya kasasi itu ditolak. Pada
2004, dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Dukun AS melayangkan grasi ke
presiden. Hasilnya: grasi ditolak pada 27 Desember 2007.
Tak menyerah, beberapa minggu kemudian, tim
kuasa hukum Dukun AS lagi-lagi mengajukan grasi. Upaya ini gagal membuahkan
hasil. Grasi Dukun AS dikembalikan karena dianggap “belum memenuhi masa dua
tahun dari grasi pertama.” Penolakan itu membuat kuasa hukum Dukun AS
bertanya-tanya. Menurut mereka, ada kejanggalan sebab penolakan grasi
seharusnya dikeluarkan melalui Keputusan Presiden (Keppres)—sebagaimana grasi
yang pertama—bukan lewat Sekretariat Negara (Setneg). Upaya hukum yang diajukan
tim Dukun AS pada akhirnya sia-sia.
Pada 10 Juli 2008, tiga peluru dari Brigadir
Mobil (Brimob) Polda Sumatera Utara menembus dadanya. Dukun AS tewas di tempat.
Atas permintaan keluarga, jenazahnya langsung dikebumikan keesokan harinya.
Kendati sudah dieksekusi mati, penolakan terhadap Dukun AS masih kencang. Warga
Desa Sei Semayang, tempat tinggal Dukun AS, tidak terima apabila Dukun AS
dikuburkan di desa mereka. Salah satunya diutarakan ibu dari korban Suradji
yang bernama Dewi. Dia menegaskan keluarganya takkan ikhlas melihat kuburan
Dukun AS bersanding dengan makam putrinya. “Jika memang harus ditanam di desa
itu, jangan dikuburkan di TPU. Kuburkan saja di depan rumahnya, jangan di perkuburan
umum,” katanya. Ia pun melanjutkan “Terlalu berat penderitaan kami akibat
perbuatan Dukun AS. Kami tidak terima jika dia dikuburkan di desa ini.” Dukun
AS pernah mengatakan, “Sihir hitam datang dari Tuhan. Aku tidak memilikinya
lagi, aku telah bertobat. Kuharap aku punya kesempatan untuk hidup.”
Dukun AS lupa, jika sebagai manusia kita pasti
akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita semasa hidup. Jika tidak
mendapatkan balasan didunia, maka
balasan di akhirat oasti menanti. Itulah kisah dukun paling brutal di Indoensia
yang tercatat dalam sejarah perdukunan di negri ini, semoga kisah ini menjadi
pelajaran berharga bagi kita semua, jangan pernah mempercayai dukun dengan
segala triknya. Kita harus lebih rasional dalam menyikapi berbagai hal, agar
tidak mudah dibohongi, jika kita mudah ditipu jelas uang melayang bahkan nyawa
juga bisa terancam.
Sumber
: Tirto.id