Tempat di mana negara Singapura berdiri awalnya dikenal dengan nama Pu-Lo-Chung. Fa-Hsien, seorang pengembara dari Cina, pernah menyambangi kawasan ini pada awal abad ke-3 (Graham Saunders, A History of Brunei, 2013:14). Istilah Pu-Lo-Chung nantinya kerap disamakan dengan Pulau Ujung karena Singapura terletak di ujung selatan Semenanjung Malaya.
Pada abad ke-11, berdiri suatu pemerintahan di Pu-Lo-Chung. Sulalatus Salatin menyebut bahwa kerajaan itu didirikan oleh Sang Nila Utama pada 1299 di daerah yang bernama Tumasik (Jean E. Abshire, The History of Singapore, 2011:19). Sang Nila Utama diyakini adalah seorang pangeran dari Kerajaan Sriwijaya.
Bergantian Menjamah Tumasik
Kala itu, Tumasik termasuk wilayah taklukan Sriwijaya yang pernah berpusat di Palembang. Tapi, serangan dari Kerajaan Chola (India), membuat Sriwijaya tercerai-berai. Nah, Pangeran Sang Nila Utama melarikan diri ke Tumasik dan menjadi raja kecil di sana dengan gelar Sri Tri Buana.
Tumasik jatuh ke tangan Kerajaan Majapahit pada masa raja kedua, yakni Sri Prikama Wira yang berkuasa pada 1357 hingga 1362 (John N. Miksic, Archaeological Research on the Forbidden Hill of Singapore, 1985). Nama Tumasik juga disebut dalam Kitab Negarakertagama sebagai wilayah taklukan Majapahit pada era Raja Hayam Wuruk atas Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gadjah Mada.
Wilayah Tumasik sempat terlepas dari kendali Majapahit yang kala itu sedang mengalami polemik internal. Situasi ini dimanfaatkan betul oleh Kerajaan Ayutthaya dari Siam (Thailand) yang kemudian menjadi pemilik baru Tumasik. Namun, Majapahit berhasil merebutnya kembali pada sekitar tahun 1390 (Nicholas Tarling, ed., The Cambridge History of Southeast Asia, 1999:175).
Pecahnya perang saudara (Perang Paregreg) pada 1405 melemahkan Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk. Di tahun yang sama, muncul kekuatan baru di Semenanjung Malaya dengan berdirinya Kesultanan Malaka yang lantas mengambil-alih wilayah Tumasik (Didier Millet, ed., Singapore at Random, 2011:120). Majapahit yang sedang menuju keruntuhan tidak mampu berbuat apa-apa.
Pada 1551, kekuasaan Kesultanan Malaka runtuh akibat serangan Portugis. Sebelum itu, sudah berdiri sebuah kesultanan baru di Johor oleh pangeran Malaka bernama Alauddin Syah. Sebagai pewaris Malaka, Kesultanan Johor mengklaim kepemilikan atas Tumasik (Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, 2008).
Namun, Kesultanan Johor harus berhadapan dengan Portugis dan terlibat polemik dalam waktu yang cukup lama. Puncaknya adalah ketika orang-orang Portugis membakar permukiman penduduk yang berada di tepi sungai utama di Tumasik. Peristiwa yang terjadi pada 1613 ini membuat Tumasik luluh-lantak dan mulai diabaikan.
Lama di Bawah Pengaruh Inggris
Tumasik yang dulunya kerap menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar sudah tidak menarik lagi setelah insiden pembakaran oleh Portugis pada 1613. Tempat ini berubah menjadi sarang penyamun dan sering terjadi perkelahian antar perompak yang berebut harta rampasan (Victor Pursell, Orang-orang Cina di Tanah Melayu, 1997:76). Nama Tumasik pun berangsur-angsur dilupakan.
Hingga akhirnya, datanglah orang-orang dari East Indian Company (EIC) dari Britania (Inggris) yang dipimpin Thomas Stamford Raffles pada 28 Januari 1819 (Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space in Colonial Singapore, 2003). EIC sedang mencari tempat strategis di Selat Malaka untuk menandingi dominasi Belanda yang telah menguasai negeri seberang.
Ketika Raffles tiba, wilayah bekas Tumasik hanya dihuni oleh satu keluarga temenggung dari Johor, bersama 150 nelayan yang terdiri dari 120 orang Melayu dan 30 orang Cina (W. Bartley, Population in Singapore in 1819, 1933:177). Raffles membayar temenggung ini dengan sejumlah uang agar diizinkan membangun pos dagang di Tumasik dan mendapatkan hak monopoli.
Tak hanya itu, sebagai upaya untuk mengamankan wilayah itu dari ancaman Belanda, Raffles menjalin perjanjian dengan pewaris Kesultanan Johor dan membantunya merebut tahta. Pada 9 November 1824, kesepakatan antara EIC dan Johor diperbaharui dan sejak saat itu, Tumasik resmi menjadi milik Inggris (Pursell, 1997:76).
Sebagai imbalan, diberikan uang tunjangan tiap tahun dalam jumlah yang cukup besar kepada penguasa baru Johor itu. EIC atas nama Kerajaan Britania juga mengangkatnya sebagai pemimpin boneka di wilayah yang kemudian beralih-rupa menjadi Singapura tersebut.
Di tahun 1824 itu pula, Inggris menggelar perundingan dengan Belanda (Perjanjian London). Disepakati bahwa Kepulauan Melayu dibagi dua antara keduanya: kawasan utara termasuk Pulau Pinang, Melaka, dan Singapura di bawah pengaruh Inggris, sementara Belanda menguasai kawasan selatan (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:315).
Bekas wilayah Tumasik atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Singapura berkembang pesat dan menjadi kota modern di bawah pengelolaan EIC yang bertanggungjawab kepada Kerajaan Britania Raya. Peran Singapura sebagai kawasan strategis Inggris untuk zona Asia Tenggara pun semakin besar.
Pada 1926, Singapura termasuk dalam wilayah administratif bernama Straits Settlements atau Negeri-Negeri Selat bersama Penang dan Melaka (John Funston, Government & Politics in Southeast Asia, 2001:291). Ketiga negeri ini termasuk wilayah jajahan Britania.
Penguasaan Inggris atas Singapura baru berakhir pada 1942, seiring kemenangan Jepang pada 15 Februari 1942. Wilayah Singapura pun diserahkan kepada Dai Nippon yang segera mengubah namanya menjadi Shonanto. Namun, Jepang hanya sebentar menguasai Singapura. Tanggal 12 September 1945, Singapura diserahkan kembali kepada Inggris lantaran Jepang yang gantian kalah dalam rangkaian Perang Dunia Kedua itu.
Tahun 1955, diadakan pemilihan umum pertama di Singapura atas izin pemerintah Britania Raya yang dimenangkan oleh tokoh pro-kemerdekaan, David Saul Marshall. Marshall kemudian meminta kemerdekaan secara penuh dari Britania dengan menghadap langsung ke London, namun permintaan itu ditolak (Kevin Tan, Marshall of Singapore: A Biography, 2008).
Kegagalan tersebut membuat David Saul Marshall terpaksa mengundurkan diri dan digantikan oleh Lim Yew Hock. Kerajaan Britania akhirnya memberikan otonomi atau hak pemerintahan internal kepada Singapura dengan dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Pemerintahan otonomi di Singapura tidak berjalan optimal karena Britania terkesan mengabaikan negara taklukannya itu. Hingga akhirnya, Singapura memutuskan lepas dari Inggris dan bergabung dengan Federasi Malaysia sejak 31 Agustus 1963.
Belum setahun bergabung dengan Federasi Malaysia, kerusuhan antar etnis sering melanda Singapura. Parlemen Malaysia pun bersidang untuk memutuskan masa depan negeri yang terletak di sisi barat laut Borneo itu: dipertahankan atau disingkirkan.
Hasil sidang menetapkan seluruh anggota dewan sepakat untuk mendepak Singapura. Tidak ada pilihan bagi negeri singa selain memulai hidup mandiri. Tanggal 9 Agustus 1965, Singapura resmi berdaulat dan merupakan satu-satunya negara yang merdeka bukan atas keinginan sendiri.
Kini, si anak terbuang bernama Singapura itu justru tampil sebagai salah satu negara paling makmur di dunia. Ia melebihi saudara-saudara tuanya di kawasan Asia Tenggara yang beberapa di antaranya memiliki wilayah jauh yang lebih besar tapi seolah tanpa daya dalam bidang ekonomi maupun politik.
Sumber :
1) https://tirto.id/singapura-negeri-yang-merdeka-karena-disia-siakan-cuc5
2) https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Singapura