F 2022 ~ PEGAWAI JALANAN

Selasa, 01 November 2022

PERTEMPURAN 10 NOVEMBER!!!

 


Pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, menjadi pertempuran besar terakhir yang pernah dilakukan rakyat Indonesia melawan pasukan Inggris. sekitar 16.000 rakyat Surabaya tewas, dan 20.000 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut. Sedangkan di pihak Inggris dan sekutunya sekitar 2000 orang tewas, dan 2000 lainnya luka-luka. Pertempuran yang tidak seimbang dalam segi peralatan dan pengalaman kemiliteran membuat banyak rakyat Surabaya meregang nyawa.

Pada saat itu, tentara inggris dan sekutunya yang menang dalam perang dunia kedua berusaha melucuti persenjataan Jepang dan membebaskan tawanan yang ditahan oleh Jepang. Pada tanggal 24 Agustus 1945, terjadi sebuah kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement. Kesepakatan itu berisi keinginan Inggris untuk membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Hal itu menyebabkan adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu.

Kedatangan pasukan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Namun karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab untuk wilayah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia. Mereka berusaha menguasai kota-kota besar, terutama Surabaya yang saat itu merupakan salah satu kota yang penting untuk dikuasai. Surabaya kala itu adalah kota yang besar dan memiliki pelabuhan serta pangkalan laut terbesar di Asia.

Orang-orang Belanda yang tergabung dalam AFNEI menjadikan Hotel Yamato sebagai markas mereka. Hotel Yamato pada masa pemerintahan kolonial bernama Hotel Oranje, dan kini bernama hotel Majapahit yang berada di Jalan Tunjungan no. 65. Karena menjadi pemenang pada perang dunia kedua, pada malam hari tanggal 18 september 1945, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman, mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya. Bendera itu berkibar di tiang sisi sebelah utara pada tingkat teratas Hotel Yamato.

Keesokan harinya, para pemuda Surabaya melihat bendera Belanda itu dikibarkan tanpa izin. Para pemuda menjadi marah karena menganggap Belanda menghina kedaulatan Republik Indonesia. Dengan cepat, berita pengibaran bendera Belanda tersebar ke seluruh kota Surabaya. Para pemuda Surabaya lalu memenuhi Hotel Yamato di Jalan Tunjungan dengan keadaan marah.

Residen Sudirman lalu melewati kerumunan massa dengan didampingi Sidik dan Hariyono untuk menemui Ploegman. Perwakilan tersebut meminta agar Ploegman menurunkan bendera yang mereka kibarkan di Hotel Yamato. Bukannya menurunkan bendera tersebut, Ploegman malah menolak dan mengusir Residen Sudirman. Perundingan di dalam hotel Yamato menjadi memanas, terutama setelah Ploegman mengeluarkan pistol untuk mengancam mereka. Perkelahian tidak dapat dihindari, Sidik yang tersulut emosi lalu mencekik Ploegman hingga tewas. Namun Sidik juga ikut tewas karena dibunuh menggunakan pedang oleh tentara Belanda yang berjaga disana.

Saat insiden itu, Sudirman dan Hariono berhasil keluar dari dalam Hotel. Para pemuda diluar hotel yang melihat kejadian tersebut, ikut tersulut emosi. Mereka lalu terlibat perkelahian dengan tentara Belanda. Beberapa orang berusaha memanjat tiang untuk menurunkan bendera tersebut. Koesno Wibowo akhirnya berhasil menurunkan bendera Belanda, ia lalu merobek bagian biru dari bendera Belanda. Bendera yang telah berwarna Merah Putih lalu dikibarkan kembali.

3 hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 16 september 1945, rakyat telah mengepung gudang senjata terbesar milik Jepang. Gudang senjata itu berada di Don bosco, saat itu gudang Don Bosco dijaga Dai 10360 Butai Kaitsutiro Butai di bawah pimpinan Mayor Hazimoto. Pasukan Mayor Hashimoto ini terdiri atas satu detasemen tentara serta pegawai sipil yang berjumlah 150 orang.

Mereka lalu bernegosiasi agar Jepang menyerahkan senjata kepada rakyat Indonesia. Pada Awalnya Mayor Hazimoto menolak untuk menyerahkannya, pihak Jepang akan menyerahkan gudang senjata itu kepada pihak sekutu. Para pemuda lalu melakukan ancaman untuk mendesak Mayor Hazimoto menyerahkan gudang senjata itu. Mayor Hazimoto akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan persenjataan beserta gedungnya. Naskah serah terima gudang senjata lalu ditandatangani Hashimoto dan Jasin dengan Bung Tomo sebagai saksi penyerahan itu. Karena menguasai gudang senjata, Sebelum kedatangan Inggris dan tentara sekutu, para pemuda Surabaya telah mempersenjatai diri. Para pemuda Surabaya telah siap menyambut kedatangan tentara Inggris.

Pada tanggal 25 oktober 1945, pasukan AFNEI  mendarat di Surabaya tepatnya di Tanjung Perak yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby. Mereka datang bukan untuk berperang, mereka datang untuk melucuti persenjataan Jepang di Surabaya. Namun ternyata, kedatangan tentara Inggris tidak hanya melucuti persenjataan Jepang. Mereka datang membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Tujuan inggris yang ingin menjadikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan.

Pada tanggal 27 Oktober melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Pesawat itu membagikan Selebaran ke berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn. Isi dari selebaran tersebut adalah ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu dalam waktu 48 jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Mallaby yang telah membuat kesepakatan dengan Mustopo bahwa mereka hanya melucuti persenjataan jepang, menjadi tidak punya pilihan selain mengikuti perintah atasannya. Kejadian tersebut menimbulkan rasa kebencian di Surabaya, sehingga munculnya seruan di radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah Surabaya.

Melihat berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak Inggris tersebut, semakin meyakinkan bahwa peperangan tidak lagi bisa dihindari. Pada tanggal 27 Oktober tepatnya pada pukul 2 di siang hari, terjadi kontak senjata pertama antara rakyat melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.



Akhirnya berbagai pertempuran pecah di Surabaya. Gabungan antara TKR,  polisi, dan juga badan perjuangan, mengadakan serangan serentak ke pihak Inggris yang ada di kota Surabaya. Mallaby yang hanya memiliki 1 Brigade pasukan, lalu menyebarkannya pada lokasi-lokasi strategis. Mallaby dan pasukannya harus melawan semangat juang Rakyat Surabaya yang tidak ingin lagi dijajah. Karena banyak rakyat yang terbunuh, membuat para pejuang di Surabaya semakin Kalap untuk mengalahkan pasukan Mallaby. Pertempuran yang terus terjadi membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan Soekarno untuk mencari solusi dan meredakan situasi pada saat itu.

Dari perundingan, terjadi kesepakatan bahwa ultimatum yang dikeluarkan Jendral Hawthorn tidak berlaku, dan inggris mengakui keberadaan tentara keamanan rakyat dan polisi. Biro kontak antara Indonesia dan Inggris bergerak cepat untuk menyampaikan kesepakatan tersebut dengan iring-iringan mobil. Mereka berpacu dengan waktu untuk mengabarkan kesepakatan damai, karena keadaan Surabaya saat itu masih genting. Di sekitar gedung Internatio, Rakyat meminta agar Inggris keluar dari Surabaya. saat itu satu kompi pasukan inggris masih berada di gedung internatio, Mereka dianggap ancaman bagi rakyat.

Iring-iringan mobil biro kontak lalu sampai pada gedung internatio. Biro kontak menyampaikan kesepakatan kedua negara sehingga para rakyat melakukan gencatan senjata sementara. Perwakilan biro kontak lalu dikirim untuk berbicara dengan pasukan inggris yang berada dalam gedung Internatio. Saat sedang berdiskusi, sebuah granat dilemparkan dari dalam gedung. Insiden tersebut membuat rakyat kembali marah dan melakukan serangan, pada peristiwa itulah jendral Mallaby tewas. Kematian Mallaby menjadi pemicu yang mengubah Surabaya menjadi lautan darah. Inggris kemudian memberikan ancaman akan menuntut balas atas kematian salah satu petingginya.

Usaha perdamaian coba dilakukan oleh petinggi Republik Indonesia, Namun semua usaha itu menemui jalan buntu. Pihak Inggris tidak mau lagi bernegosiasi dengan petinggi Republik Indonesia. Pada tanggal 7 November 1945, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh ditugaskan menggantikan Jendral Mallaby. Mansergh mengancam rakyat Surabaya untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Ia menyampaikan ultimatum terbuka kepada Gubernur Suryo tanpa sopan santun. Ultimatum itu lalu digandakan dan disebarkan inggris lewat pesawat terbang. Dalam Ultimatum mengatakan bahwa rakyat Surabaya harus menyerah, jika tidak, Surabaya akan di Bombardir hingga hancur lebur pada tanggal 10 November 1945.

Para petinggi di Jakarta tidak dapat berbuat banyak karena Inggris tidak main-main. Berbagai upaya jalan damai telah diusahakan oleh para petinggi, namun semuanya  tidak digubris oleh Inggris. Disisi lain, rakyat Surabaya yang telah berjuang agar merdeka ikut naik darah atas ultimatum tersebut. Semangat perlawanan bergelora di Surabaya bagai tersiram minyak dengan ultimatum itu sebagai pemicunya. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan menjadi satu dengan semangat jihad. Bung Tomo yang telah mendapat restu dari KH. Hasyim Ashari, berteriak lantang mengobarkan semangat perlawanan masyarakat Jawa Timur. Bung Tomo menyuarakannya melalui radio perjuangan di jalan Mawar. Suaranya mengudara pada pukul 11 malam dengan semboyan MERDEKA ATAU MATI!!.

Pidato Bung Tomo membuat semangat rakyat Surabaya berkobar, mereka siap melawan Pasukan Inggris walaupun harus berkorban nyawa. Seruan Inggris agar membawa kain putih sebagai tanda menyerah tidak dipatuhi oleh rakyat Surabaya. Ribuan pasukan Inggris dengan senjata lengkap kemudian didatangkan ke Surabaya. Peralatan tempur seperti tank, panser dan Meriam artileri dikerahkan. Tidak hanya itu, mereka juga didukung kekuatan utama armada laut serta aramada udara mereka. Namun itu tidak membuat rakyat Surabaya gentar, mereka telah siap mempertahankan kemerdekaannya.

Pada 10 November 1945, Surabaya di hujani peluru Meriam pasukan Inggris. Serangan Pasukan Inggris dilakukan melalui udara, darat dan laut. Pada pasukan darat inggris Sekitar 30.000 pasukan, 1 skuadron tank ringan dan brant carrier, 20 tank Sherman, dan 23 artileri berat. Pada armada lautnya sekitar 3 kapal fregat, 1 kapal penjelajah, 3 kapal torpedo, 7 kapal pengangkut pasukan, dan kapal pendarat. Sedangkan armada udara, Inggris mengerahkan 1 squadron mosquito dan thunderbolt. Kekuatan perang Inggris itu ditambah kapal perang yang berada di perairan utara Surabaya.

Akibat serangan yang dilakukan oleh Inggris, membuat Surabaya menjadi luluh lantak. Dengan kekuatan besar itu, Inggris mengira hanya butuh 3 hari untuk menguasai Surabaya. Namun keperkasaan semangat juang rakyat Surabaya, membuat Inggris butuh waktu hingga 3 minggu untuk menguasai Surabaya. Sebuah keberanian yang luar biasa menghadapi peralatan tempur pemenang perang dunia kedua. Walaupun perbedaan peralatan tempur dan kualitas militer, tidak sedikitpun menurunkan semangat juang rakyat Surabaya. Pada akhirnya, Surabaya berhasil dikuasai Inggris setelah mengerahkan semua kekuatan tempurnya.

Walaupun mengalami kekalahan, namun dari pertempuran tersebut menunjukkan bahwa Indonesia siap melawan negara barat yang akan menjajah Indonesia. Mengetahui perbedaan persenjataan, rakyat Suroboyo mengubah cara berperang secara langsung menjadi perang gerilya. Para Rakyat Surabaya masih berjuang hingga berakhirnya agresi militer Belanda II. Dari peperangan 10 November, walaupun memenangkan pertempuran, Inggris kemudian menjadi negara Netral setelah munculnya gerakan Non-Blok. Inggris tidak mau lagi menghadapi semangat juang bangsa Indonesia. Banyaknya pahlawan yang gugur pada 10 november 1945, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai hari Pahlawan dengan didasari Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.

Sumber Referensi :

123dok.com, 

channel tvOneNews, 

goodnewsfromindonesia.id, 

gramedia.com, 

id.wikipedia.org, 

kompas.com,

RAMALAN PERANG AUSTRALIA VS INDONESIA BEREBUT PULAU PASIR

 


Sosial media baru-baru inj dihebohkan dengan ramalan Nostradamus yang dikait-kaitkan dengan Indonesia. Dalam ramalannya, Nostradamus memprediksi bahwa Indonesia dan Australia akan berperang pada tahun 2037. Australia akan menyerang negara yang ada pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan. Ciri-ciri negara tersebut mirip sekali dengan Indonesia, karena Indonesia memiliki pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan. Netizen kemudian mengaitkan bahwa tempat yang di maksud adalah Surabaya, Karena di Surabaya terdapat Pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Selain itu, di Surabaya juga terdapat jembatan merah, Sedangkan tugu peringatan yang dimaksud adalah tugu pahlawan. Menurut Nostradamus, Indonesia dan Australia berebut supremasi di laut hindia.

Perselisihan semakin membesar hingga menjadi konflik bersenjata yang diikuti perang besar, dalam perang tersebut Indonesia dikatakan akan kalah. Perselisihan antara Indonesia dan Australia akhir-akhir ini kembali terjadi. Terutama saat Indonesia dihebohkan dengan klaim dari Australia tentang pulau Pasir atau Ashmore reef. Pulau yang berada di Samudera Hindia tersebut akankah menjadi pemicu perang yang diramalkan oleh Nostradamus yang mengatakan bahwa Indonesia dan Australia berebut supremasi d laut Hindia.

Ashmore reef terletak sekitar 120 km sisi selatan pulau rote, dan berjarak 320 km dari Australia. Klaim Australia atas pulau tersebut didasarkan pada nota kesepahaman (MoU) nelayan Indonesia dengan Australia pada tahun 1974. Atas klaim pulau tersebut, sejak tahun 2004 telah banyak nelayan NTT yang ditangkap pemerintah Australia saat memasuki kawasan itu.

Masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) kemudian meminta Australia agar segera hengkang dari pulau itu. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, mengatakan telah meminta Negeri Kanguru menunjukkan bukti kepemilikan yang sah atas gugusan Pulau Pasir. Ketua YPTB di Kupang, Ferdi Tanoni, mengatakan “Mereka hanya mengklaim bahwa itu milik mereka, padahal tidak ada bukti yang bisa mereka tunjukkan bahwa itu adalah milik mereka”.

Ferdi juga telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Australia. Hal ini disebabkan karena banyak nelayan NTT yang melaut di wilayah itu dan ditangkap otoritas Canberra. Menurutnya di pulau itu terdapat kuburan leluhur Rote termasuk artefak. Ferdi menambahkan bahwa saat ini Australia melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di kawasan itu. Ferdi mengatakan “Kalau Australia tidak mau keluar dari gugusan Pulau Pasir, kami terpaksa membawa kasus tentang hak masyarakat adat kami ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra”. “Nelayan Indonesia mengunjungi Ashmore Reef setiap tahun di bawah Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Pemerintah Australia dan Indonesia, yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan wilayah laut yang telah mereka akses secara tradisional selama berabad-abad.”

Persengketaan tentang Pulau Pasir atau ashmore reef antara Indonesia dan Australia telah terjadi sejak lama. Pada tahun 1974, Canberra dan Jakarta menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) soal batas wilayah teritorial. Perjanjian kedua negara lebih menyepakati garis-garis sementara pada bagian timurnya dengan mengikuti arah garis-garis batas landas kontinen, yang letaknya tepat pada garis tengah antara kedua negara. Garis tengah ini berlanjut sampai mendekati pulau-pulau Ashmore dan Cartier, terus berbelok ke arah utara dan menyusur gugusan pulau-pulau tersebut. Dalam kesepakatan tersebut juga mengatur kegiatan nelayan tradisional Indonesia di Australian Fishing Zone (AFZ), terutama di sekitar pulau-pulau Ashmore Reef dan Cartier island. Kesepakatan ini masih terbatas pada hak nelayan Indonesia untuk berlabuh dan mengambil air tawar hanya di East dan Middle island dari gugusan Pulau Ashmore reef.

Adanya kesepakatan batas kedua negara, pada tahun 1983 pemerintah Australia menetapkan kawasan Ashmore sebagai cagar alam nasional (National Nature Reserve) berdasarkan National Park dan Wildlife Conservation Act 1975. Dengan adanya penetapan kawasan perlindungan ini, membawa implikasi pembatasan aktivitas nelayan Indonesia. Sejak tahun 1983 terjadi perubahan perlakuan terhadap nelayan tradisional yang semakin ketat di kawasan perairan tersebut.

Perlakuan pemerintah Australia terhadap nelayan tradisional, kemudian menuai protes pemerintah Indonesia sehingga pada tahun 1989 dilakukan perjanjian bilateral kedua negara. Inti perjanjian tersebut adalah nelayan Indonesia dapat berlayar dan mencari sumber daya laut dengan menggunakan metode tradisional seperti zaman dahulu. Pemerintah Australia melarang jika nelayan Indonesia menggunakan kapal yang bermotor.

Australia melalui aparatnya kemudian melakukan tindakan tegas terhadap nelayan Indonesia yang melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya laut di AFZ, para nelayan tersebut dianggap merusak lingkungan disekitar terumbu karang. Aparat Australia menangkap nelayan, menyita hasil tangkapan, membakar kapal, dan menahan nelayan. Nelayan dianggap memasuki perairan AFZ tanpa mengindahkan peraturan pemerintah Australia, yaitu menggunakan mesin, memasuki wilayah yang dilarang, ataupun mengambil sumber daya laut yang dilarang.

Meski pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia telah melakukan perjanjian bilateral hingga tiga kali untuk mengatasi masalah pelanggaran kedaulatan, akan tetapi masih saja terjadi pelanggaran yang dilakukan nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia yaitu, pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MoU Box 1974 dan Agreed minutes 1989. Selain itu, terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik MoU Box 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Salah satu jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan penyu dan burung beserta telurnya.

Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan juga sering dilakukan. Fasilitas yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui MoU Box 1974 dan Agreed Minutes 1989, yaitu melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat penangkapan yang tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan gil/net.

Pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan masalah lingkungan hidup juga sering dilakukan. Mereka dinilai sering lalai memadamkan api setelah memasak, membuang puntung rokok sembarangan, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumber-sumber air minum. Para nelayan juga dikatakan memanfaatkan kegiatan penangkapan ikan sebagai sarana untuk mengantar dan memasukan imigran gelap ke Australia.

Pemerintah Australia mendefinisikan penangkapan illegal cenderung pada kategori pelanggaran hukum karena memasuki wilayah perairan pengawasan Australia, tanpa izin dari otoritas Australia. Berdasarkan nota kesepahaman antara Indonesia-Australia yang ditandatangani pada tahun 1974, pemerintah Australia masih mengizinkan nelayan tradisional, yaitu nelayan yang menggunakan kapal layar. Pemerintah Australia melarang setiap nelayan Indonesia yang menangkap ikan atau makluk hidup lainnya di Ashmore Reef karena area ini dijadikan cagar alam. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah Australia akan menghukum orang yang melanggar dengan menyita hasil yang telah diperoleh nelayan serta mewajibkan membayar denda atau mengenakan hukum penjara. Sedangkan Perahu kapal yang terbukti bersalah dapat disita dan dibakar.

Menanggapi hal ini, Pemerintah Indonesia menyatakan pulau itu memang milik Negeri Kanguru. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Abdul Kadir Jailani lewat akun Twitternya. "Pulau Pasir merupakan pulau yang dimiliki Australia berdasarkan warisan dari Inggris,". Pulau tersebut dimiliki inggris berdasarkan Ashmore and Cartier acceptance Act, 1933, Dan dimasukan ke dalam wilayah Administrasi Negara Bagian Australia Barat pada tahun 1942.

Australia pada masa penjajahan memang diduduki Inggris, sedangkan Indonesia lebih lama dijajah Belanda. Tidak bisa dipungkiri jika warisan kolonialisme telah lestari mempengaruhi bentuk-bentuk kedaulatan negara sampai saat ini. Dalam geografi Australia, Pulau Pasir tersebut bernama Kepulauan Ashmore dan Cartier. Sebelum Indonesia merdeka, pulau karang dan pasir kecil itu memang telah  menjadi milik Inggris. Sehingga Pulau Pasir atau Ashmore reef tidak pernah masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belanda tidak pernah mengklaim pulau tersebut karena tidak memiliki keuntungan dari segi apapun. Sedangkan inggris perlu memiliki pulau tersebut sebagai jalur pelayaran yang aman. Maka dari itu belanda dan inggris tidak bersengketa masalah pulau Ashmore reef tersebut, dan menyatakan pulau tersebut adalah milik inggris.

Pada Peta AOI (Area of Interest), yang menampilkan gambar wilayah Indonesia secara keseluruhan, terlihat ada lekukan garis batas yang menjorok ke arah dalam sisi Indonesia. Lekukan ini mirip dengan peta Australia. Lekukan itu melewati Pulau Pasir atau Australia menyebutnya sebagai Ashmore and Cartier Islands. Pada peta ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di situs Badan Informasi Geospasial Indonesia, terdapat gambar lekukan yang sama. Garis wilayah Indonesia menjorok ke dalam menghindari Pulau Pasir atau Kepulauan Ashmore dan Cartier. Bahkan di peta ZEE Indonesia, tidak ada nama Pulau Pasir, yang ada yakni Ashmore Reef. Di dekatnya, ada Hibernia Reef yang juga masuk wilayah Australia (meski menjorok ke Indonesia).

Garis batas ZEE Indonesia yang melewati Pulau Pasir ini berbentuk garis putus-putus, melewati Samudra Hindia hingga Laut Timor di selatan Nusa Tenggara Timur atau utara Australia. Jadi menurut peta resmi Indonesia, Pulau Pasir atau Kepulauan Ashmore dan Cartier tidak masuk wilayah Indonesia, melainkan wilayah Australia. Tidak mengherankan jika pemerintah Australia berang karena banyak nelayan yang tidak mengindahkan peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, pemerintah Australia akhirnya menangkap dan menyita kapal milik nelayan yang melanggar perjanjian tersebut.

Itulah pembahasan pulau Ashmore reef yang memang merupakan milik Australia. Jika Indonesia berusaha untuk mengklaim pulau tersebut, maka Indonesia berada pada posisi sebagai penginvasi. Dan jika berperang pun maka Indonesia akan dianggap bersalah karena melanggar perjanjian yang telah dibuat oleh kedua negara. Menanggapi ramalan Nostradamus yang mengatakan bahwa Indonesia dan Australia akan berperang itu tidaklah benar. Bagaimana mungkin seseorang yang hidup pada tahun 1500an meramalkan Indonesia, sedangkan nama Indonesia digunakan pertama kali digunakan secara politik pada tahun 1920an. Terlebih lagi, buku yang ditulis oleh Nostradamus dengan judul Les Propheties telah hilang setelah Nostradamus menghilang. Buku karya Mario Reading yang berjudul Nostradamus: The Complete Prophesies for the Future bisa saja adalah perkiraan Mario Reading melihat perselisihan Indonesia dan Australia yang telah terjadi sejak lama. Jika memang benar terjadi, maka itu hanyalah sebuah kebetulan ataupun itu adalah pengamatan yang telah dilakukan oleh Mario Reading.

Sumber Referensi :

cnbcindonesia.com, 

cnnindonesia.com, 

news.detik.com, 

99.co

Rabu, 12 Oktober 2022

"SUDISMAN : PKI TIDAK TAHU MENAHU TENTANG G30-S"!!!

     Setelah pemberontakkan PKI yang dilakukan pada tahun 1965 kembali gagal, para petinggi PKI menjadi target utama penangkapan. Para petinggi seperti D.N Aidit, Sjam Kamaruzaman, dan petinggi-petinggi lainnya tertangkap dan dieksekusi tanpa proses pengadilan. Sejak Maret 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadi partai terlarang. Dari petinggi-petinggi yang telah tertangkap dan dieksekusi, masih ada petinggi-petinggi PKI yang belum tertangkap, salah satunya adalah Sudisman. Dia adalah anggota tertinggi keempat dari Politbiro Partai Komunis Indonesia, dan merupakan salah satu dari lima pemimpin senior PKI yang diadili.

    Selama pelarian, Sudisman sempat mencoba mengatur kembali PKI menjadi gerakan bawah tanah setelah para pemimpin senior lainnya ditangkap dan dieksekusi. Dia bertindak sebagai pemimpin PKI untuk waktu yang singkat sebelum penangkapannya. Niat Sudisman untuk memperbaiki partai harus dikubur dalam-dalam. Pada penghujung tahun 1966, tepatnya pada 6 Desember, ia tertangkap di sekitar Tomang. Sudisman kemudian ditahan di dalam sel berukuran 2,20 x 3,60 meter selama lebih dari 7 bulan atau tepatnya 211 hari terhitung mulai 6 Desember 1966. 

       Penjara bukanlah hal baru baginya, waktu muda dia pernah dipenjara pemerintah kolonial karena persdelict. Sebagai sosok petinggi PKI, track record Sudisman tidak bisa dipandang sebelah mata. Bersama Amir Sjarifuddin, ia menjadi bagian dari jaringan kelompok PKI ilegal saat penjajahan Jepang. Keduanya kala itu bergerak di akar rumput bersama rakyat. Sudisman dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik, maka ia dijuluki the king maker. Ia juga dikatakan sebagai “kamus berjalan” yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.

    Ketika PKI bergerak di bawah tanah dan ilegal pada zaman pendudukan Jepang, Sudisman pernah dijatuhi hukuman bui selama 8 tahun. Beruntung, hukuman itu tidak dijalaninya secara penuh karena Jepang terlebih dahulu hengkang dari tanah air pada tahun 1945. Setelah bebas, dia menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur. Ketika organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berdiri pada 10 November 1945, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), Sudisman termasuk menjadi salah satu pendirinya. 

    Ia mendirikan Pesindo bersama Wikana, Ruslan Widjajasastra, Krissubanu, dan lainnya. Pesindo kemudian menjadi organ pemuda yang sangat berpengaruh. Setelah Kongres III Pesindo pada 12 November 1950, Pesindo kemudian berganti nama menjadi Pemuda Rakyat (PR). Organisasi pemuda itu belakangan menjadi onderbouw PKI dan ikut dibubarkan setelah pemberontakkan 1965. 

    Menurut Soe Hok Gie, dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, dalam susunan organisasi yang dibentuk pada 1948 setelah Musso kembali dari Eropa, Sudisman masuk ke dalam struktur PKI di seksi organisasi. Menurut pengakuannya sendiri, seperti terbaca dalam Pleidoi Sudisman: & Statement politiknya menyon[g]song eksekusi (2001), Sudisman menjadi Kepala Organisasi Central Comite (CC) alias pengurus pusat PKl.

    Kedatangan Musso memang mengubah secara dramatis jalan perjuangan PKI. Musso datang bukan hanya untuk mengambil alih PKI, namun juga mendorong PKI mengambil jalan yang lebih radikal dan memuncak pada peristiwa Kudeta Madiun 1948. Setelah pemberontakkan tahun 1948 yang gagal, banyak para petinggi PKI yang dieksekusi termasuk Muso. Namun tidak semua anggota dan petinggi PKI mati terbunuh. Mereka yang berhasil lolos dari pembersihan membangun kembali partai itu. Termasuk Sudisman yang pada tahun 1950, "diangkat sebagai Sekretaris CC PKI.

    Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman dipercaya untuk urusan organisasi sebagai Sekretaris CC PKI. di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman tampaknya begitu dipercaya untuk urusan organisasi. Ketika menjabat sebagai anggota Politbiro PKI, dia juga menjadi Anggota Departemen Organisasi PKI. Di luar urusan partai, Sudisman adalah anggota parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong-Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRGR-MPRS).

   Saat ditangkap setelah pemberontakkan PKI tahun 1965, Sudisman memilih menggunakan pengadilan untuk menjelaskan sikap PKI -- setidaknya mewakili empat kameradnya itu. Dan ia menyadari benar bahwa pledoinya akan menjadi dokumen sejarah. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk memanfaatkan "panggung" Mahmilub dengan sebaik mungkin.

    Ketika persidangan itu berlangsung, ia mengaku sedikit kecewa lantaran persidangan tersebut tidak terbuka untuk masyarakat luas. "Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmillub yang lalu sejak mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio.Walaupun tidak disiarkan oleh RRI, saya yakin bahwa secara "getok-tular", secara berantai akan sampai pada mereka, sebab "mondblad", (suara dari mulut ke mulut), adalah lebih cepat tersiar daripada "staatsblad" (suara pemerintah).

    Dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) tahun 1967, Sudisman memaparkan penjelasannya tentang kejadian 30 September 1965. Dalam sidang itu Sudisman tidak menyangkal keterlibatannya dalam G30S yang menculik dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Di persidangan secara terbuka dia mengatakan: “Saya sendiri terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G30S.” Baginya, gerakan yang tak melibatkan massa rakyat seluruh pendukung PKI se-Indonesia hanyalah sebuah avonturisme (petualangan politik) petinggi partai.

    “Bagaimana pun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi.” Paparan Sudisman tersebut ia beri judul "Uraian Tanggung Jawab" sebagai hasil dari perenungannya selama mendekam dalam tahanan. Ia merasa bertanggung kepada rakyat dan Partai Komunis Indonesia, rakyat yang dimaksud ialah kaum buruh, kaum tani, borjuis kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual revolusioner, dan borjuis nasional yang anti-imperialis dan anti tuan tanah (anti-feodal).

    Sudisman mengatakan dengan jelas: "Saya dengan mereka [Aidit, Njoto, Lukman, Sakirman] membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme – Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme – Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan’ G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI."

    “Para petinggi PKI, Tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam G30S yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa Rakyat.” G30S nyatanya menjadi jalan yang justru menghancurkan PKI. G30S, “telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Kalau sudah jauh dari massa rakyat, yang harusnya jadi pendukung utama PKI, maka habis sudah PKI."

    Ia menampik keterlibatan PKI sebagai organisasi dalam G30S. Akan tetapi, kata Sudisman, "Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI." Baginya sangat jelas: G30S adalah kesalahan fatal yang dari sanalah PKI harus ikut-ikutan memikul akibatnya. Dan untuk semua akibat fatal itu, bagi Sudisman, seluruh pemimpin PKI harus memikul tanggungjawab. 

    "Kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi," demikian Sudisman melakukan otokiritik. Dan sebagai satu-satunya petinggi PKI yang masih hidup, ia memikul tanggungjawab untuk mewakili empat kameradnya yang lain. Sudisman mengatakan: "Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih 'jalan mati'." Ia memilih jalan mati yaitu jalan berlima menunggal jadi satu, jalan yang telah dilalui oleh kawan-kawannya seperti DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman. Jalan itu ia pilih karena setiap jalan yang dilaluinya pasti akan mengarah kepada kematian. Maka dari itu ia memilih jalan pendek dengan hukuman mati seperti teman-teman seperjuangannya. Ia kemudian divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

    Itulah uraian tanggung jawab yang dipaparkan oleh Sudisman, salah seorang dari anggota tertinggi politbiro PKI. Ketika berada dalam persidangan Mahmilub, dia berusaha untuk membersihkan nama baik PKI dengan mengatakan bahwa pemberontakkan itu adalah sebuah petualangan politik. Sudisman dengan yakin mengatakan “Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman.” Dari pernyataannya itu, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa ideologi komunis masih ada di Indonesia dan diharapkan untuk bangkit kembali oleh orang-orang seperti Pak Sudisman. 

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org, 

marxists.org, 

suara.com, 

tirto.id, 

VONIS MATI SUBANDRIO KARENA DIDUGA TERLIBAT PKI!!!


    
Setelah terjadinya pemberontakkan G30S di Indoensia, keadaan pemerintahan di Indonesia mengalami kekacauan. Pada 3 Oktober 1965, Presiden Soekarno memerintahkan Letnan Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban usai peristiwa kudeta G30S/PKI. Soeharto kemudian bergerak membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. Kopkamtib dibentuk dengan tujuan utama untuk Memulihkan keamanan dan ketertiban akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem, dan kegiatan subversi lainnya. Tugas lain kopkamtib adalah Mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 

       Tak lama berselang, keluarlah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar sebagai penanda masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Surat ini berisi perintah yang mengintruksikan Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu. Tindakan yang diambil tertujuan untuk mengantisipasi situasi keamanan pada saat itu.

    Setelah Supersemar terbit, PKI kemudian dilarang dan dibubarkan. Soeharto juga mendesak Sukarno memecat sejumlah menterinya yang terindikasi kiri. Sukarno tentu menolaknya, tapi ia juga tak bisa berbuat banyak karena kuasanya sudah terkikis oleh Supersemar. Letjen Soeharto kemudian memerintahkan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal presiden soekarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. 

    Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang. Subandrio adalah salah satu dari menteri-menteri yang sempat meminta perlindungan ke istana. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. 

     Setelah melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud.

    Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. 

    Di lantai atas guest house, yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya yang ada disana akhirnya diciduk pasukan Amirmachmud. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. 

    Tentang penangkapan ini Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1999, hlm. 215) menulis, “Dalam pidato yang menyusul kemudian Soeharto menempatkan para menteri yang ditahan itu dalam tiga macam kategori, pertama, mereka ‘yang mempunyai hubungan dengan PKI/Gestapu dengan indikasi yang cukup’, kedua, mereka yang ‘kejujurannya dalam membantu presiden diragukan’, ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas perderitaan rakyat.”

    Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Subandrio menjadi target penangkapan karena lewat sejumlah pidatonya, Subandrio menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam yaitu membalas teror dengan kontra-teror.

        Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh dikatakan seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Karier politik Subandrio yang cemerlang seketika runtuh setelah G30S terjadi. Subandrio juga dituduh comrade in arm-nya PKI dan terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Di media citranya pun memburuk, Ia dilabeli sebagai Durna yang licik, gembong Orde Lama, bahkan dicap komunis. Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI.

    “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam bukunya yang berjudul Bertarung dalam Revolusi. 

    Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan dekat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak, dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan cukup cemas.

        Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat misalnya Membunuh Subandrio. Bila hal itu terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan akan berakhir. “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.”

    Setelah Subandri ditangkap, Perkara Subandrio lalu disidangkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1 Oktober 1966—bertepatan dengan penetapan Hari kesaktian Pancasila oleh Soeharto. Sidangnya yang digelar di Gedung Bappenas dibarengi unjuk rasa ratusan orang. Terlepas dari kesalahan-kesalahan Subandrio, sebagian kalangan melihat sidang itu sebagai cara Orde Baru menyingkirkan orang-orang Sukarno secara legal. 

    Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S. “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.”

    Pada 25 Oktober 1966, Mahmilub kemudian menjatuhkan vonis mati terhadap Subandrio. Dalam kapasitasnya sebagai kepala BPI, Subandrio dinilai ikut menciptakan situasi yang menguntungkan PKI dengan mengembuskan isu Dewan Jenderal. Ia juga diputuskan bersalah telah memperkeruh suasana usai G30S dengan pernyataannya “teror harus dibalas dengan kontra teror”.

    “Tindak pidana subversi itu dapat terlihat pada perbuatan-perbuatan tertuduh yang dengan maksud-maksud nyata merintangi pemulihan keamanan yang dibebankan pada pundak Pak Harto. Subandrio juga mencoba mengembalikan atau setidak-tidaknya mempertahankan potensi PKI/G30S, mengurangi arti G30S. Semua tujuan dan perbuatan tertuduh itu ternyata paralel dengan kepunyaan PKI,” tulis Kompas (26 Oktober 1966).

    Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.

    Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu Subandrio mengalami depresi. Pada tahun 1978, ketika masih berada dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada tahun 1995 karena alasan kesehatan, kemudian wafat pada 3 Juli 2004.

    Itulah kisah penangkapan yang dilakukan terhadap Subandrio, Seorang tangan kanan Sukarno yang dipenjara pada pemerintahan Soeharto. Subandrio juga sempat dicerca sebagai durna dalam G30S. Awalnya vonis terhadap Subandrio adalah hukuman mati, namun karena desakan Presiden Amerika Serikat dan Ratu Elizabeth vonis Subandrio menjadi penjara seumur hidup. Setelah keluar dari penjara, Subandrio sempat menerbitkan memoar yang berjudul “Kesaksianku Tentang G30S”. Dalam memoar setebal 80 halaman tersebut Subandrio juga membeberkan cacat  yang dimiliki oleh Soeharto sebagai serangan balik atas pemenjaraannya.

Sumber Referensi :

historia.id, 

tirto.id 

Jumat, 30 September 2022

LONCENG KEMATIAN SANG JENDERAL PENDUKUNG PKI!!!

 


Peristiwa pemberontakkan PKI pada tahun 1965 tidak hanya dilakukan oleh anggota PKI yang berasal dari golongan sipil. Para tentara didalam tubuh militer yang berasal dari golongan kiri juga turut terlibat dalam melakukan pemberontakkan. Orang-orang  PKI kala itu seperti berada di atas angin, mereka berpikir bahwa rencana mereka akan berhasil mendirikan ideologi komunis di Indonesia. Karena memang mereka sudah mulai menguasai pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat dengan organisasi underbownya, bahkan sudah menyusup kedalam tubuh militer. Banyaknya anggota PKI yang telah masuk ke dalam tubuh militer, semakin menambah keyakinan para penganut ideologi komunis bahwa usahanya untuk merebut kekuasaan akan berjalan mulus.

Salah satu petinggi militer yang terlibat dalam pemberontakkan tersebut adalah Brigjen TNI Mustafa Sjarief Soepardjo, satu-satunya jenderal yang terlibat dalam peristiwa lubang buaya tersebut. Ia merupakan salah satu Perwira Tinggi (Pati) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). mengutip catatan yang ditulis oleh Hendro Subroto dalam buku berjudul "Dewan Revolusi PKI", seorang Perwira Menengah TNI Angkatan Darat, Mayor Inf Imam Santoso, terbang ke Jakarta dari Kalimantan Barat bersama Soepardjo. Saat itu, Soepardjo tengah ditugaskan di Kalimantan Barat sebagai Panglima Komando Tempur II (Pangkopur) di bawah Komando Mandala Siaga (KOLAGA), dalam kampanye Ganyang Malaysia. Akan tetapi, Imam justru menyaksikan Soepardjo meninggalkan posnya untuk kembali ke Jakarta pada tanggal 28 September 1965.

Soepardjo sempat mengatakan kepada Imam, alasan kepulangannya ke Jakarta adalah untuk memenuhi panggilan mendadak. Tapi ternyata, Soepardjo justru jadi salah satu pimpinan G30S/PKI 1965. Soepardjo saat itu jadi wakil pimpinan Gerakan 30 September 1965, di bawah komando Letkol Untung Syamsuri yang notabene memiliki pangkat dua tingkat di bawahnya. Ini memang terlihat sangat aneh karena pemimpin tertinggi gerakan tersebut malah orang yang pangkatnya lebih rendah, akan tetapi dia mau saja mengikutinya.

“Pangkat saya memang lebih tinggi dari saudara, tapi di gerakan ini, saya anak buah saudara,” demikian kira-kira ucapan Brigadir Jenderal Soepardjo saat menyalami Letnan Kolonel Untung Samsuri tanggal 29 September 1965.  Soepardjo adalah  panglima yang membawahi ribuan pasukan tempur di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Karirnya sangat cemerlang sebagai komandan pertempuran dan ahli strategi.

Sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Soepardjo yang dikenal sebagai seorang prajurit tempur dan ahli strategi, sempat memberikan pertanyaan kepada Sjam Kamaruzaman, yang menduduki posisi sebagai Ketua Biro Khusus PKI. Pertanyaan Soepardjo kepada Sjam, adalah mengenai rencana cadangan jika Gerakan 30 September gagal. Sayangnya, Soepardjo tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari Sjam. Sebaliknya, Sjam malah menggertak Soepardjo dengan emosi karena ia terlalu yakin bahwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan gagal.

Sjam menjawab pertanyaan Soepardjo dengan mengatakan "Bung kalau begini banyak yang mundur. Kalau revolusi sudah berhasil, banyak yang mau ikut,". Dalam peperangan, skenario mundur bukanlah pengecut. Dalam setiap pertempuran selalu ada skenario mundur jika tidak bisa memenangkan pertempuran. Tapi itu tak berlaku untuk Sjam dengan gaya yang menggebu-gebu. Di sini Soepardjo sudah merasa banyak hal yang berantakan. Hal itu dituliskannya dalam catatan evaluasi untuk G30S.

Dalam jam-jam awal 1 Oktober 1965, sebenarnya Gerakan Letkol Untung ini berada di atas angin. Namun Untung dan Sjam tak menggunakan kelebihan awal ini untuk momentum selanjutnya. "Radio RRI yang mereka kuasai juga tidak mereka manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh barisan agitasi propaganda".

Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung kehilangan banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas. Tapi tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga petang, pasukan itu tak diberi makan akhirnya pasukan itu pun kelaparan setengah mati, padahal dalam pertempuran harusnya perut dalam keadaan kenyang, siapa juga yang mau bertempur kalau perut dibiarkan keroncongan. Maka ketika Soeharto mengutus utusannya untuk membujuk Yon 530 agar kembali ke Kostrad tawaran itu langsung saja dipenuhi.

Semua Kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak ada makanan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam. Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke dalam kota. Tapi terlambat, Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454 sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka menyerang.

Gerakan 30 September akhirnya gagal dan membuat Soeparjo melarikan diri dan bersembunyi. Soepardjo adalah tokoh G30S/PKI yang tertangkap paling akhir diantara rekan-rekannya seperti Sjam, Dipa Nusantara Aidit, dan Letkol Untung. Perintah untuk menangkap Soepardjo datang dari Letjen TNI Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), kepada Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) V Jaya, Brigjen TNI Amirmachmud. Amir pun langsung bergerak cepat membentuk operasi intelijen dengan tim khusus bersandi "Kalong".

Dinamakan demikian karena tim operasi bergerak dimalam hari seperti kalong. Operasi kalong dipimpin oleh Kapten CPM Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi, bertugas mencari informasi persembunyian Soepardjo.

Pada 10 Januari 1967, sebagaimana dilansir majalah Angkasa vol.17, 1968, lokasi persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor Adnan Suwardi menampung Soepardjo dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusumah.

Dalam Dinas Sejarah TNI AU menulis, tepat pada hari Idul Fitri 1967, Satgas Kalong mencium keberadaan Soepardjo di rumah seorang prajurit AURI di Halim. Intel gabungan bersama Polisi Militer AU menggerebek tempat itu.

Ketika mereka menggerebek tempat tersebut, tidak ada orang yang ditemukan di sana. Tetapi petugas curiga karena menemukan kopi yang masih panas, jejak kaki di tembok mengarah ke atap dan KTP atas nama Moch Syarif dalam kantong baju yang digantung. Mereka yakin kali ini Soepardjo tak akan lolos. Letnan Rosjadi berteriak "Ayo turun! Kalau tidak saya tembak!" Terdengar jawaban dari atas, "Baik saya turun."

Dan ternyata benar, sosok itulah Brigjen Soepardjo yang selama satu setengah tahun mereka kejar siang malam. Soepardjo diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Pengadilan mendakwanya bersalah atas tindakan makar dan menjatuhi vonis hukuman mati. Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan Militer Cimahi. Banyak tahanan lain yang terkesan dengan sikap Soepardjo selama di tahanan. Sebagai jenderal, dia tak mau diistimewakan. Kalau dikirimi makanan, ia selalu membagi rata dengan tahanan lain. Dia juga sukarela menggosok seluruh toilet dan kamar mandi.

Tiga hari sebelum dieksekusi, Saat keluarganya datang menjenguk untuk terakhir kali, Soepardjo hanya bisa memberikan sepasang sepatu. Soepardjo mengatakan bahwa ia tidak bisa memberi apa-apa. Cuma sepasang sepatu ini untuk kenang-kenangan,". Pada tanggal 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarganya berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat.

Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu Soeparjo memberi nasehat dengan memegang sebutir apel. Ia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil, Setelah apel di potong-potong maka mudah dipecahkan. Soeparjo mengatakan “Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan mudah dihancurkan”.

Keinginannya untuk mati dengan seragam kebesaran militer jenderal bintang satu ditolak. Dia akhirnya memilih pakaian serba putih. Supardjo juga sempat meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan.

Itulah akhir hayat Jendral Soeparjo yang harus menjalani hukum mati karena terlibat dalam pemberontakkan PKI. Soeparjo merupakan Jendral pertama yang dieksekusi oleh pemerintah. Ia adalah Seorang perwira tinggi yang ahli dalam strategi, namun ia terhasut oleh ideologi komunis. Setelah satu tahun lebih dalam pelarian, ia akhirnya tertangkap tanpa melakukan perlawanan. Dengan tertangkapnya Soeparjo, sebuah surat kabar memberitakan bahwa ia adalah hadiah lebaran untuk rakyat. Sebelum dieksekusi, Soepardjo sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengumandangkan azan dari dalam selnya.

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org,

historia.id,

intisari.grid.id,

merdeka.com,

tirto.id,

viva.co.id

Kamis, 22 September 2022

LOJI REJOSARI SAKSI BISU KEKEJAMAN PKI!!! DARAH TERGENANG SETINGGI MATA KAKI!!!

 


Bekas keganasan PKI terekam dibanyak tempat di Indonesia. Banyaknya monumen dan prasasti dibangun untuk para korban kekejaman mereka, monumen itu seakan menjadi pengingat kepada generasi sekarang bahwa begitu kelamnya sejarah bangsa ini. Saat terjadi pemberontakan PKI Pada tahun 1948, Magetan, Jawa Timur menjadi saksi kekejaman PKI yang dipimpin oleh Muso. Para pejuang, ulama, santri, dan tokoh masyarakat, serta seluruh elemen masyarakat telah menjadi korban kebiadaban mereka.

Tak terhitung, berapa banyak kiai dan santri yang nyawanya melayang sia-sia ditangan PKI. Mereka jadi korban keganasan, serta kebrutalan PKI. Kiai dan santri menjadi sasaran utama yang diincar karena mereka dianggap sebagai oknum yang paling bertanggungjawab atas gagalnya pendirian Republik Soviet di Indonesia. Tragedi pembantaian yang dilakukan PKI saat itu, menjadi lembaran hitam dalam sejarah yang menimpa kaum santri dan ulama bangsa ini.

Pada tanggal 18 September 1948, Kantor Polisi di Gorang Gareng tiba-tiba diserbu ribuan orang. Orang-orang tersebut membawa senjata tajam seperti parang dan bambu runcing, bahkan tak sedikit yang membawa senjata api berjenis pistol. Mereka adalah para anggota PKI, mereka kemudian menangkap para Polisi dan melucuti senjatanya. Doerjat yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi, tidak luput dari penangkapan yang dilakukan oleh orang-orang PKI. Para Polisi ini kemudian di giring beramai-ramai, mereka dibawa ke Pabrik Gula Rejosari di Gorang Gareng. Mereka kemudian dikumpulkan bersama tahanan lain yang telah ada disana.

Di tempat lain, M. Ng. Sudibyo yang saat itu menjabat sebagai Bupati Magetan juga mengalami nasib yang sama. Pada malam itu, Para Anggota PKI mengadakan rapat Dewan Desa secara paksa dan menghadirkan Bupati Magetan (Sudibyo), Patih R. Soekardani, Pelaa Panitera R. Moerti Wedana dan Komandan KDM. Meskipun mereka mengatakan itu sebuah rapat, tapi sebenarnya itu adalah intimidasi dari pihak FDR/PKI ke pihak pemerintah setempat.

Rapat kemudian memanas setelah PKI mengemukakan pendapat tetapi banyak yang menetangnya. Para anggota PKI bersikeras agar rapat memutuskan seperti yang mereka kemukakan. Pada saat itu PKI meminta kepada M. NG. Sudibyo agar tanah Bengkok dibagi-bagikan ke warga sebagai upah. Tentu saja Sudibyo menolak gagasan liar tersebut, Karena masalah pembagian tanah Bengkok telah diatur oleh pemerintah pusat yang diberikan kepada aparat desa yang telah mengatur desa. Gagasan PKI ini kemudian memicu keributan, para anggota PKI berharap gagasan itu disetuji. namun disisi lain, para wakil-wakil rakyat pada Dewan Desa mendukung Sudibyo untuk menolak gagasan PKI.

Mendapatkan pertentangan oleh Dewan Desa dan Bupati Sudibyo, para anggota FDR/PKI mengulur waktu rapat hingga tengah malam. Saksi mata kejadian yang ikut hadir dalam rapat berdarah tersebut, Suwarno mengatakan bahwa PKI sengaja mengulur-ngulur waktu rapat hingga malam hari. Suwarno bersama temannya yaitu Soeharno, diminta oleh Bupati Sudibyo untuk mengirim surat ke Residen Madiun. Sudibyo meminta solusi atas masalah yang terjadi di Rapat Dewan desa tersebut. Saat itu jarak Magetan dan Madiun terpisah 23 km dan ditempuh menggunakan sepeda oleh keduanya. Memasuki kota Madiun juga bukan hal yang mudah, karena saat itu Madiun telah dikuasai oleh PKI dan membatasi aktifitas keluar masuk Madiun. Madiun betul-betul terisolasi dari kota-kota sekitar, hal ini karena anggota PKI melakukan pembatasan fisik, memutus kawat-kawat telfon, dan para anggota PKI juga merobohkan tiang-tiangnya.

Suasana Rapat semakin memanas karena PKI tetap bersikeras dengan gagasannya. Karena tidak menemukan kesepakatan, Orang-orang yang ada di dalam Pendopo Desa kemudian digiring oleh anggota PKI. bupati Sudibyo juga ikut digiring bersama dengan yang lainya, Tangan mereka diikat ke belakang dengan bambu sehingga tidak bisa bergerak. Para Anggota PKI membawa mereka ke Loji Pabrik Gula Rejosari di Gorang Gareng.

Kala itu Terdapat ratusan orang yang ditangkap tanpa alasan oleh anggota PKI, para tawanan tersebut dianggap memiliki pandangan yang menentang ideologi komunisme. Mereka di bawa ke Loji dengan jalan kaki sambil diikat dengan tali. Setiap tali berisi sekitar 5 sampai 6 orang. Jika salah satu ingin buang air atau kegiatan lainnya, maka semua yang berada dalam satu ikatan harus ikut.

Para tawanan itu kemudian dikumpulkan ke dalam rumah-ruma loji di asrama pabrik gula gorang-gareng. Dalam Satu kamar yang berukuran 4×4 meter diisi antara 40 sampai 45 orang tawanan. Semua tawanan yang semula diikat lalu dilepaskan ke dalam kamar. Karena banyaknya orang dalam satu kamar, mereka harus berhimpit-himpitan dengan tahanan lainnya. Mereka saat itu tidak mengetahui apa yang akan terjadi kepada mereka. Jika mereka mengetahui, mungkin mereka akan bersatu dan melakukan perlawanan.

Pasukan Siliwangi yang bertugas menghentikan pemberontakan semakin mendekati pabrik gula Rejosari. Keadaan ini membuat PKI berada dalam kondisi terdesak. mereka kemudian bertindak membabi buta dan melakukan penembakan kepada para tahanan secara bergantian dari luar tahanan. 

Para tahanan menjadi sasaran tembak yang membabi-buta, para tahanan kemudian berjatuhan dan berguling-guling karena terkena pelor tajam dan granat tangan. Layaknya cacing kepanasan, para tawanan tersebut merasakan sakitnya timah panas. Bau mesiu dan anyir darah bercampur menjadi satu memenuhi sekitar loji. Saat tembakan dihentikan, mayat-mayat bertumpukan dan darah pun memenuhi ruangan, sesekali terdengar jerit kesakitan dan ada pula napas tersengal-sengal meminta minum. Begitu kerasnya jerit kesakitan yang mereka rasakan, sebelum akhirnya keadaan menjadi sunyi.

Para anggota PKI yang menembak dengan Sten dari jendela mulai melarikan diri dari tempat itu karena pasukan siliwangi telah semakin dekat. Mayat-mayat ditinggal begitu saja dengan darah kental yang memenuhi lantai bahkan setinggi mata kaki. Bahkan saat penduduk yang mengangkat para korban, ikut merasakan kengerian yang dilakukan oleh anggota PKI.

Sudirno yang saat itu masih berusia 14 tahun, melihat kejadian tersebut dengan jelas. Di dalam kamar Loji, mereka semua diberondong dengan tembakan dari luar melalui celah-celah jendela. Karena begitu banyaknya jumlah tahanan dalam satu kamar, tidak mengherankan jika Seluruh kamar kemudian dibanjiri darah segar setinggi mata kaki.

KH. Rochib, adalah seorang tahanan yang berhasil selamat karena berlindung di balik dinding ketika penembakan terjadi. Selain KH Rochib, ada juga salah satu kawannya yang juga lolos dari maut karena melakukan hal yang sama. KH. Rochib adalah seorang guru agama di Bangsri.

Beruntung pada siang hari, pasukan TNI dari Siliwangi datang ke Gorang Gareng sehingga pembunuhan tanpa alasan PKI ini dapat dihentikan. Kedatangan TNI ini membuat orang-orang PKI sebagian besar melarikan diri. KH. Rochid berhasil selamat setelah pintu Loji dijebol oleh tentara Siliwangi, sehingga kita dapat mengetahui kekejaman yang dilakukan oleh PKI. Dari ratusan orang yang menjadi sasaran tembak, hanya ada lima orang yang selamat dari tragedi berdarah tersebut.

Karena begitu banyaknya korban yang harus dikuburkan, para penduduk harus membuat lubang yang besar untuk mengubur setidaknya 19 orang dalam satu lubang. Banyak Para anggota polisi, ulama, santri, dan tokoh masyarakat menjadi korban kebiadaban tersebut. Tidak sedikit pula orang-orang tak bersalah yang menjadi korban kekejaman mereka.

Itulah kebiadaban anggota PKI yang membantai orang-orang yang tidak sepemikiran dengan ideologi mereka. Anggota PKI menganggap agama adalah musuh utama mereka, dan dikatakan bahwa mereka risih dengan orang yang shalat. Sikap tidak suka pada agama, mereka tunjukkan dengan cara berkata-kata sinis. Selain pembunuhan keji, mereka juga melakukan perampokkan dan kekerasan dengan cara menyeret para penduduk untuk dijadikan tawanan. Loji tempat dilakukannya pembunuhan masal ini menjadi saksi bisu sejarah kelam bangsa Indonesia. Tragedi ini adalah sebagai pengingat tentang kekejaman yang pernah dilakukan oleh PKI. Bahkan setiap bulan September dan oktober, banyak orang yang melakukan tabur bunga di dekat pabrik ini.

Sumber Referensi : dzargon.com

kominfosandi.kamparkab.go.id

labumi.id

rekayorek.id