Kaum buruh adalah kaum yang paling sering
ditindas oleh pemilik modal/perusahaan untuk mengeruk keuntungan. Para pemilik
modal yang serakah, tidak segan-segan memberikan upah yang rendah namun memeras
penuh tenaga para buruh. Para buruh yang bersuara lantang, akan didiskriminasi
dari tempatnya bekerja. Walau telah keluar surat edaran untuk menaikan upah
buruh oleh pemerintah, terkadang masih ada perusahaan yang tidak mengindahkan
himbauan tersebut. Hal ini akan menyebabkan protes dari para buruh, mereka yang
memimpin protes ini bisa kehilangan pekerjaan ataupun mungkin nyawanya. Peristiwa
ini pernah terjadi kepada Marsinah, Seorang
buruh perempuan yang lantang menyuarakan tuntutan pekerja atas kesejahteraan
mereka. Ia harus kehilangan nyawanya, bahkan kematiannya masih menjadi misteri
dan dalang pembunuhan ini masih belum diketahui.
Marsinah lahir pada 10
April 1969, ia adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru. Marsinah adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan,
kakaknya bernama Marsini dan adiknya bernama Wijiati. Dia lahir dari pasangan
Astin dan Sumini di desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk. Cita-citanya
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi harus kandas karena terbentur biaya. Marsinah lalu menjadi seorang buruh perempuan
yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik pembuat jam di Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur. Di lingkungan perusahaan di
mana dia bekerja, Marsinah merupakan aktivis, ia merupakan buruh wanita yang
vokal dalam membela rekan-rekannya sesama buruh, yang kerap diperlakukan tidak
adil oleh pihak pimpinan perusahaan. Marsinah lalu menggantikan YudoPrakoso memimpin aksi pekerja PT Catur
Putra Surya untuk mendapatkan kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari.
Hal
ini berdasarkan KepMen 50/1992, diatur
bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu
dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya
meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20%. Kebanyakan pengusaha
menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Manajemen PT CPS hanya mau
mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Negosiasi antara
buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh PT CPS menggelar
mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada sekitar 150 dari 200 buruh perusahaan yang melakukan
mogok kerja.
Seperti
diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995), pengorganisasian
para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang mogok kerja. "Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah
masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja," kata Marsinah, sebagaimana
tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga Janda
Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud adalah Direktur PT CPS, Yudi Susanto.
Mereka
membawa 12 tuntutan, termasuk menuntut hak kenaikan upah 20% seperti surat
edaran pemerintah. Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap
dan dibawa ke Kantor Koramil Porong. Pada Sorenya, Prakoso kembali ke pabrik
karena dipaksa aparat Koramil. Mogok kerja di hari pertama itu tidak
berpengaruh untuk membuat para buruh berhenti. Karena Yudo Prakoso disibukkan
dengan pemanggilan oleh aparat militer, Akhirnya Marsinah yang memegang kendali
memimpin protes para buruh.
Keesokan
harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT
CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam perundingan, hadir
pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta
perwakilan polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam perundingan itu
menimbulkan ketidaknyamanan. Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan.
Namun di
hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas Untuk
Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso yang dianggap dalang pemogokan, mendapat surat
panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat itu, Prakoso diminta datang ke
kantor Kodim Sidoarjo. Surat itu ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo
Kapten Sugeng. Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama
buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Keesokan
harinya, 12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor
Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat panggilan itu
berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa
bernama Abdul Rozak.
Tiga belas
buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi
Intel Kodim Kamadi. Kamadi lalu meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan
diri dari PT CPS. Alasannya karena tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh
perusahaan. Kamadi dan Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan
13 buruh itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan
aksi mogok kerja. Mereka dianggap telah menghasut buruh lainnya untuk ikut melakukan
protes. Karena berada dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat
pengunduran diri. Emosi Marsinah memuncak saat mengetahui rekannya dipaksa
mengundurkan diri. Dia mendatangi kodim untuk meminta salinan surat pengunduran
diri dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat
kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha
dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi
mogok kerja. Marsinah berupaya
menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya.
Pada
tanggal 6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur
nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak. Setelah libur para buruh kembali
bekerja, tapi tak ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira
Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. Barulah Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan
sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya
divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo. Hasil visum
et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam
tubuh Marsinah.
Luka itu
menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke
dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang
panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung
kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan
kurang lebih satu liter. Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali.
Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil
visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah
berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai
terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek
dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3
sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga perut.
Pada Tanggal 30 September 1993 telah
dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT
CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari
selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan
menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga
termasuk salah satu yang ditangkap.
Setelah 18 hari, baru diketahui mereka sudah mendekam di tahanan
Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi
Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim
untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah
disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Dalam
bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang
bukti proses peradilan berupa balok terasa janggal. Ukuran balok yang digunakan
menyodok bagian vital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban
yakni 3 sentimeter. Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak
sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang. Idries
menegaskan bahwa pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan
tembakan senjata api.
Di pengadilan, Yudi Susanto
divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum
berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi
dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni). Mahkamah
Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti melakukan perencanaan
dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam penelitian Iyut Qurniasari dan
I.G. Krisnadi yang termuat di Jurnal Publika Budaya Universitas Jember berjudul
"Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun
1993-1995". Sembilan terdakwa dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah
hingga kini tak pernah diungkap pengadilan. Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa".
Itulah kisah kematian
marsinah yang masih menjadi misteri hingga saat ini. Sebagai bentuk belasungkawa, Slamet Rahardjo mengangkat kisahnya menjadi sebuah film dengan judul "Marsinah (Cry Justice)”.
Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi
keroncong senior Mus Mulyadi juga
meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Bahkan Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama Marjinal, menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah,
yang didedikasikan khusus untuk perjuangan Marsinah.
Sumber Referensi : inibaru.id
kompas.com
merdeka.com
tirto.id
wartakota.tribunnews.com