Artileri dan Pasukan Musketir Majapahit
Kesaksian Barbosa tentang adanya musket atau senapan panjang kembali diperkuat oleh kesaksian dari seorang pelawat barat lainnya dari Portugis. Nama pelawat itu adalah Tome Pires. Dalam kesaksiannya yang dituangkan dalam buku The Suma Oriental of the Tome Pires and The book of Francisco Rodrigues (1944:176) Pires mencatat bahwa Raja Jawa Gusti Pate (Gusti Patih) memiliki sekitar empat ribu pasukan musketir. Pasukan ini dia gunakan dalam peperangan dengan raja-raja pesisir yang telah terislamkan utamanya adalah raja Demak.
Meriam-meriam Kesultanan Demak
Pada abad ke 16, saat Majapahit telah terbenam. Mantan bawahan sekaligus saingannya yaitu kesultanan Demak telah muncul dalam panggung politik Jawa sebagai penerus Majapahit namun dalam balutan agama baru, yaitu agama Islam. Tentu saja sebagai penerus Majapahit, Demak juga telah banyak berkenalan dengan berbagai jenis senjata api.
Apalagi dalam rangka perluasan kerajaannya, senjata api merupakan senjata yang penting bagi kesultanan Demak. Claude Guillot dalam karyanya Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII (2008:377) mengatakan dari sumber Portugis dan lokal bahwa meriam banyak digunakan pada tahun 1511 dalam pertempuran merebut Melaka yang berujung kekalahan menyakitkan bagi kesultanan Demak.
Mengenai darimana meriam-meriam itu berasal dan siapa pembuatnya, The Adventures of Mindes Pinto (1663:378), mengabarkan pada kita betapa pentingnya peran Orang Aceh dan Turki dalam pembuatan meriam-meriam Demak. Kemudian ada juga seorang pembelot Portugis bernama Coai Geinal (Khoja Zainal) berperan amat penting sebagai pimpinan pabrik pembuatan senjata api.
K.C.Crucq dikutip dari Claude Guillot dalam karyanya Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII (2008:380) telah melakukan serangkain penelitian serius. Hasilnya kemungkinan Meriam Ki Amuk yang tersimpan di Banten hari ini merupakan satu dari sedikit meriam produksi Demak yang tersisa. Crucq mendasarakan pada catatan Valentijn bahwa Sultan Demak menghadiahkan satu meriam bernama Ki Jimat kepada Hasanudin Banten sewaktu pernikahnnya dengan putrinya. Maka Meriam Ki Jimat sama dengan Ki Amuk dan diperkirakan adalah sekitar tahun 1450 Saka, yang kiranya sesuai dengan pernikahan Hasanudin Banten pada waktu itu.
Artileri-Artileri Kesultanan Aceh
Dari segi persenjataan, Kerajaan-kerajaan Indonesia dari Sumatera juga tidak kalah hebat dalam perkenalan dengan teknologi senjata api. Bahkan berkat perkenalan itu Aceh tampil sebagai satu kerajaan besar di abad ke 17. Kekuatannya sanggup setidaknya membuat negara-negara Eropa seperti Portugis agak keteteran. Aceh yang di abad itu telah terislamisasi banyak mendapat bantuan persenjataan dari Turki (Kesultanan Ottoman) sebagai poros utama dunia Islam.
J.R Verbeek dalam De Geschiedenis van Atjeh Sultanaat in Vogelvlucht mengatakan berkat kerjasama militer dengan Turki meliputi bantuan senjata api. Tak perlu heran, Aceh di masa Sultan Alaudin mampu merontokkan semua kekuatan kerajaan-kerajaan Melayu saingannya. Orang Portugis di Melaka pun ketar-ketir dibuatnya. Tiga kali serangan orang Aceh selama rentang waktu 1537 hingga 1547 sempat membuat Portugis kerepotan.
Kabar yang beredar konon di masa jayanya pada zaman Sultan Iskandar Muda yang termashur, Aceh punya 5000 pucuk meriam. Jumlah itu cukup setidaknya menggambarkan betapa perkasanya kesultanan itu di zamannya. Tapi jumlah itu ternyata dibantah, seorang pengelana Perancis Beaulieu mengabarkan yang dikutip dari buku Kerajaan Aceh (2014:132) karya seorang Indonesianis bernama Denys Lombard jumlah itu telah dilebih-lebihkan. Pada kenyataannya 5000 itu meliputi 1200 meriam berkaliber sedang, 800 meriam besar serta sisanya hanya istinggar. Itu kata Beaulieu dengan nada yang setengah merendahkan kekuatan Aceh dimasa itu, tapi yang jelas sejarah sudah mencatat bahwa Aceh telah membuat penjajah trauma dengan peperangan yang terjadi. Buktinya saat agresi militer Belanda pertama dan kedua, Aceh adalah daerah yang dilewatkan saat itu.
Orang Aceh sendiri pun sebetulnya sudah terampil menuang meriam sendiri. Tapi sultan pun akan senang apabila ada para pengelana asing yang menghadiahinya meriam. Beberapa hadiah bahkan jadi benda kesayangan Sultan (2014:133). Ada juga satu kebiasaan unik sultan. Senjata dan mesiu akan disembunyikan pada suatu tempat rahasia hingga suatu peperangan tiba. Rupanya Sultan takut sewaktu-waktu senjata api dan mesiu ini digunakan untuk pemberontakan melawan dirinya.
Istinggar sendiri bukanlah meriam tapi senjata api sejenis bedil. Senjata ini banyak tersebar di se-antero Negeri Melayu. Wan Mohd Dasuki dan Siti Radziah dalam Manuskrip Ilmu Bedil sebagai Sumber Etnosejarah Teknologi Senjata Api Melayu (2014:64) sumbu pencucuh istinggar yang berbara tersebut dikepit pada hujung pemegang sumbu. ketika picu ditarik, pemegang sumbu akan menolak sumbu berbara ke lubang penggalak yang berisi ubat bedil. dengan itu ubat bedil akan terbakar dan menghasilkan daya yang membolehkan peluru timah hitam dilepaskan dengan halaju tinggi melalui muncung istinggar.
Matchlock dan Snapang Minangkabau
Tidak jauh dari Aceh, di pantai barat Sumatra, Sumatra Barat adalah rumah bagi orang-orang Minangkabau. Sebagaimana di Aceh, disini orang Minangkabau juga telah berkenalan dengan teknologi senjata api. Matchlock dan Senapan adalah dua senjata api yang umum digunakan disini. Matchlock sebagaimana dicatat William Marsden (2016:517) larasnya dipadatkan dengan baik dan dilubangi dengan tepat, terbukti dengan bagusnya bidikan mereka. Mereka selalu membidik dengan merendahkan larasnya, alih alih menaikkan ujung ke arah sasaran.
Lalu ada Senapan yang berasal dari istilah Belanda. Istinggar yang telah kita jelaskan sebelumnya terkategorikan sebagai Senapan. Tapi dalam teks-teks historiografi Melayu Senapan ini lebih dikenal dengan nama terakul. Terakul adalah salah satu senjata yang terkenal di kalangan pelaut, pedagang dan bajak laut Nusantara. Terakul pada awalnya menggunakan teknologi wheel lock (kancing roda) yang mana kemajuan teknologi ini memungkinkan ia membakar bubuk mesiu secara otomatis tanpa membutuhkan fuze. Terakul berbentuk seperti pistol dan sejatinya merupakan perubahan bentuk dari pemuras yang dikecilkan. Tarkul digunakan dalam perang raja, datu dan sultan-sultan di Filipina melawan Spanyol, dan juga oleh tentara Brunei saat menentang raja Brooke. Terakul juga digunakan di Patani dan Malaka. Berlainan dengan senjata api milik Kesultanan Aceh, Senjata ini diadaptasi dari teknologi senjata api bangsa Eropa terutama portugis saat berhasil menaklukan Melaka pada tahu 1511.
Serupa dengan orang Aceh, orang Minangkabau juga terampil menuang meriam. Meriam ditempa dengan menggulingkan batangan besi yang rata yang memiliki dimensi proporsional. Pengerjaannya dilakukan secara spiral, mengelilingi batang bulat dan memukul-mukulnya sampai bagian-bagian besi tersebut telah menyatu. Senjata-senjata ini terus digunakan hingga abad ke 19 ketika perang Padri meletus di Sumatra Barat. Berkat itu, Belanda sempat kewalahan terutama di masa awal peperangan.
Itulah beberapa senjata api yang digunakan oleh enenk moyang kita dalam peperangan dimasa lalu, sudah sejak lama nenek moyang kita ini sudah mengenal penggunaan mesiu untuk persenjataan. Semoga informasi kali ini bisa bermanfaat untuk kita semua.
Sumber : https://id.wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar