F PEMBERONTAKAN DI/TII DISELURUH INDONESIA!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Sabtu, 23 April 2022

PEMBERONTAKAN DI/TII DISELURUH INDONESIA!!!

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah pemberontakan yang hendak mendirikan negara dengan dasar syariat Islam di Indonesia, yang disebut dengan Negara Islam Indonesia. Pemberontakan ini kemudian diikuti oleh pemberontakan serupa di Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Pemberontakan dikalahkan dengan kombinasi diplomasi di Aceh dan di padamkan oleh TNI.

Pada dasarnya pemberontakan ini memiliki alasan pemberontakan ini memiliki alasan-alasan yang berbeda untuk tiap daerahnya. Ide mendirikan negara Islam berasal dari Kartosuwirjo yang menyatakan perang melawan Belanda pada Agresi Militer I pada tahun 1947. Dia mendirikan basis-basis pertahanan di Jawa Barat yang mayoritas beragama Islam. Berikut adalah bebrapa pemberontakan Darul Islam di Indonesia.


1.   Pemberontakan DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, di Jawa Barat



Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 . Kartosoewirjo memilih pulang ke kampung mertuanya di Malangbong. Salah satu kecamatan di Garut itu pun jadi basis penting Kartosoewirjo. Pada 1940, ia mendirikan Institut Suffah di Malangbong. Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Suatu Pemberontakan (1995), “Institut Suffah mulanya dimaksudkan untuk memberikan pendidikan umum dan agama, [….] akhirnya ia berubah menjadi suatu lembaga yang memberikan latihan kemiliteran selama pendudukan Jepang” (hlm. 29).  Pemerintah pendudukan Jepang juga memberi latihan kemiliteran secara resmi bagi pemuda Islam. Dari situ, kemudian terbentuk lah milisi bernama Hizbullah.

Menurut van Dijk, Komandan Sabilillah Tasikmalaya yang bernama Oni bertemu Kartosoewirjo. Mereka berdua sepakat agar anggota Sabilillah dan Hizbullah harus tetap di Jawa Barat. Mereka yang ikut pergi dari Jawa Barat harus dilucuti senjatanya (hlm. 76-77). Pada Februari 1948, di desa Pangwedusan, distrik Cisayong, daerah segitiga Garut, Tasikmalaya, dan Malangbong, diadakan suatu pertemuan, yang belakangan disebut Konferensi Cisayong. Tak hanya Hizbullah dan Sabilillah yang hadir, tapi juga Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Disepakati dalam pertemuan itu soal pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) dan pengangkatan Oni sebagai Panglima TII daerah Priangan.Pengaruh Kartosuwirjo semakin besar terutama setelah mendirikan angkatan bersenjata untuk NII bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Meski ada tentara bernama TII, menurut van Dijk (1995:78-79), “negara Islam sendiri belumlah terbentuk. Hanya ditekankan pada suatu hari, bila pemerintah Republik umpamanya digulingkan Belanda.” Setidaknya, lanjut van Dijk, “Kartosoewirjo menahan diri selama lebih dari setahun untuk terang-terangan menolak menentang kekuasaan Republik” (hlm. 78-79).

Agresi Militer Belanda II berupa serangan dadakan atas ibu kota Republik Indonesia pada 19 Desember 1948 yang disertai penawanan para pejabat tingginya kemudian dijadikan dalih oleh Kartosoewirjo untuk memulai suatu negara baru. Ide Kartosuwirjo banyak didukung oleh daerah-daerah lain yang merasa kecewa terhadap Indonesia sehingga berkeinginan untuk melepaskan diri. Hal ini menjadi titik mula pemberontakan DI/TII yang berkembang tidak hanya di Jawa Barat namun menjalar hingga ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.

Pemberontakan ini dilancarkan mulai tahun 1948. Penyebab pemicu pemberontakan Kartosuwiryo adalah penolakan Perjanjian Renville, yang menempatkan daerah Jawa Barat di wilayah kekuasaan Belanda. Penolakannya terhadap Perjanjian Renville diwujudkan dengan menolak pergi dari Jawa Barat yang saat itu dikuasai Belanda. Kartosuwirjo mengubah gerakannya menjadi pembentukan negara bernafaskan Islam. Pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) menjadi bentuk protes terhadap Belanda sekaligus Indonesia yang dinilai terlalu lunak. Kartosuwirjo kemudian diangkat menjadi imam dari NII.

Pada 25 Januari 1949, ada bentrokan antara TNI dari Divisi Siliwangi yang sudah kembali dari Jawa Tengah dengan satuan TII. Gambaran atas kondisi masa ini tergambar dalam film Mereka Kembali (1972). Dalam film itu digambarkan ada tiga pihak yang saling berseteru di Jawa Barat: Belanda, Republik Indonesia, dan pengikut Kartosoewirjo.

Kartosoewirjo bersama pengikutnya harus bergerilya belasan tahun menjaga keutuhan NII, yang dalam buku sejarah Indonesia dianggap DI/TII saja. Dia tidak kalah keras dengan pamannya, pembela rakyat yang dicap komunis dan pernah dibuang ke Boven Digoel oleh pemerintah kolonial. Kartosuwiryo bahkan memerintahkan percobaan pembunuhan atas Presiden Soekarno pada 30 November 1957 di Peristiwa Cikini. Pemberontakan ini baru berakhir setelah Kartosuwiryo tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Rakutak di Jawa Barat. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.


2.   Pemberontakan DI/TII Amir Fatah, di Jawa Tengah



Penyebab pemberontakan ini adalah kekecewaan Amir Fatah akan dominasi “kaum kiri” (sosialis dan komunis) di Tegal dan sekitarnya, wilayah basis kekuatan Amir Fatah. Amir Fatah merupakan tokoh yang membuat lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI dianggap tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepada TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.

Akibatnya, Amir Fatah memberontak pada tahun 1950. Pemberontakan dipatahkan setelah operasi militer di wilayah Banyumas mengalahkan pasukan Amir Fatah. Komandan DI/TII daerah Bumiayu, Jawa Tengah, Wachid bersama 120 orang anak buahnya menyerah. Sedangkan Amir Fatah, pimpinan DI/TII Jawa Tengah, menyerah setelah melakukan pertemuan dengan perwakilan Kabinet Natsir. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia. Pemerintah lalu menumpas gerakan Angkatan Oemat Islam yang dipimpin Kyai Somalangu yang ingin membentuk NII di Jawa Tengah. Operasi ini berhasil setelah Kyai Somalangu beserta anak buahnya ditembak mati di daerah Kroya, Jawa Tengah.


3.   Pemberontakan DI/TII Ibnu Hadjar, di Kalimantan Selatan



Pemicu pemberontakan ini adalah kegagalan para mantan pejuang kemerdekaan asal Kalimantan Selatan untuk diterima di tentara Indonesia saat itu, APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Kebanyakan bekas pejuang ini tidak bisa masuk tentara karena tidak bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka juga kecewa dengan adanya bekas tentara KNIL (Tentara Hindia Belanda) di APRIS. Nama Ibnu Hadjar tak bisa dilepaskan dari organisasi bernama Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT) yang eksis sejak awal 1950. Organisasi ini menghimpun bekas gerilyawan alias pejuang kemerdekaan Republik yang melawan tentara Belanda di sekitar kabupaten Hulu Sungai.

Ibnu Hadjar membentuk “Kesatuan Rakjat Jang Tertindas” (KRjT), dan menyerbu pos tentara di Kalimantan Selatan pada bulan Oktober 1950. Koran Indonesia Berdjuang (20/03/1954) dan Kes van Dijk mencatat semula Ibnu Hadjar hanya memimpin 60 orang saja ketika masih berdiam diri di awal tahun. Setelah serangan ke pos TNI pada bulan Maret 1950, pengikutnya bertambah sekitar 250 orang, dengan senjata hanya 50 pucuk bedil. Letnan Dua TNI yang memimpin sebuah peleton biasanya hanya punya anak buah tak lebih dari 50 orang. Namun, itu tak berlaku untuk seseorang yang menjadi pemimpin gerombolan.

Bulan Oktober 1950, pemerintah masih menyambut damai para gerombolan yang ingin menyerah. Setelah dia dibebaskan dan diminta membujuk kawan-kawan gerombolannya untuk menyerah. Namun Ibnu Hadjar yang sempat tertangkap dan dilepaskan untuk membujuk pemberontak lain menyerah malah kabur ke dalam hutan dan meneruskan pemberontakannya. Pemerintah akhirnya terpaksa menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.


4.   Pemberontakan DI/TII Daud Beureueh, di Aceh



Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Pemicu pemberontakan ini adalah penolakan dihapusnya provinsi Aceh dan digabungkannya wilayah Aceh dengan Sumatera Utara. Peleburan tersebut dianggap sebagai bentuk abai atas perjuangan masyarakat Aceh di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia mulai dari tahun 1945 sampai 1950.

Selain itu, muncul rumor adanya sebuah dokumen rahasia yang diyakini masyarakat Aceh merupakan dokumen rahasia pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo berisikan perintah pembunuhan atas 300 tokoh sentral masyarakat Aceh yang pro terhadap Negara Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Masyarakat Aceh juga mengharapkan Aceh dapat diberikan otonomi khusus dalam menerapkan hukum Islam. Dengan masuknya Aceh menjadi bagian Sumatera Utara tentunya sekaligus merupakan penolakan pemerintah atas keinginan tersebut. hal inilah yang memicu pecahnya pemberontakan DI/TII yang dimulai di Aceh pada tanggal 20 September 1953.

Pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh adalah Tengku Moh. Daud Beureueh. Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.

Pemberontakan DI/TII di asrama Brimob di Langsa, Aceh, dapat digagalkan setelah mendapatkan bantuan pasukan dari Medan. Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)/TNI mulai bergerak di bawah komando Kapten N.H. Sitorus untuk menumpas gerombolan DI/TII di Blangrakal, Aceh. Kesatuan-kesatuan APRI menuju Lapahan, Aceh untuk memerangi pemberontakan DI/TII. Operasi ini mendorong pemberontak melarikan diri. Pemberontakan di Aceh berakhir setelah APRI berhasil mengambil alih Kota Geumpang, Aceh. Kota ini merupakan kota terakhir yang dikuasai kelompok DI/TII. Pangdam Iskandar Muda Kolonel M. Yasin melakukan pendekatan terhadap Daud Beureuh, sehingga Aceh dapat kembali masuk dalam Negara Indonesia. Pemberontakan ini berhasil diselesaikan dengan cara damai setelah dilakukannya “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962, dan dibentuknya kembali Aceh, sebagai provinsi berstatus daerah istimewa. 


5.   Pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, di Sulawesi Selatan



Penyebab pemberontakan ini adalah tuntutan agar para milisi Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar bisa diterima sebagai tentara. Namun mereka tidak lolos syarat dinas militer, dan hanya ditempatkan sebagai Corps Tjadangan  Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar memberontak dan menyatakan sebagai  bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Pada masa awal pemberontakan pasukan Abdul Kahar Muzakkar, Baraka, kini sebuah kecamatan di Enrekang, telah menjadi markas bagi calon Brigade Hasanuddin. Setelah pemberontakan, Kahar Muzakkar bergerak berpindah-pindah. Pemberontakan ini berakhir setelah pada 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI dalam sebuah baku tembak.

 

Dalam penjelasan tersebut dalam setiap daerah yang menjadi tempat pemberontakan Darul Islam memiliki alasan yang berbeda. Alasan-alasan tersebut antara lain berusaha membentuk Negara Islam di Indonesia dengan bersumberkan Al-Quran dan Hadist, penyebab lain adalah pemerintah sangat dekat dengan PKI yang kala itu dikatakan sebagai haluan kiri yang bertentangan dengan syariat Islam, adapula alasan karena Aceh meminta menjadi Daerah Istimewa yang ingin menerapkan Hukum Islam disana, dan alasan-alasan lainnya yang menimbulkan pemberontakan. Dalam catatan lain, pemberontakan ini sangat meresahkan karena gerombolan pemberontak dibeberapa daerah dikatakan sangat bringas dan tidak segan-segan membunuh. Bahkan ada rakyat yang tidak tidur dirumahnya ketika malam, mereka juga diminta menyiapkan makanan ketika malam tiba untuk gerombolan pemberontak. Rata-rata pemimpin pemberontakan ditembak mati karena dianggap mengganggu ketentraman Negara. Namun ada juga pemberontakan yang berakhir damai karena pemerintah dapat menyetujui permintaan yang diharapkan.

 

 

Referensi      : brainly.co.id

  kelaspintar.id

  kompas.id

  wikipedia.org

  tirto.id

 

0 komentar:

Posting Komentar