Bagi masyarakat di luar pulau Jawa
mungkin tidak pernah mendengar tragedi ini, dimana banyak korban berjatuhan.
Tragedi pembantaian di Banyuwangi tahun 1998 adalah peristiwa pembantaian
terhadap orang-orang yang di duga dukun santet. Kejadian pembantaian ini
bermula pada bulan februari tahun 1998, awalnya banyak orang menduga ini hanya
kasus pembunuhan biasa karena belum banyaknya korban yang berjatuhan. Namun
dari sinilah awal rentetan pembunuhan yang berujung pada pembantaian
orang-orang yang dikira dukun santet. Kasus demi kasus ditemukan, yang awalnya
menduga hanya dukun santet, berubah menjadi pembunuhan kiyai-kiyai, guru
mengaji, dukun suwuk (penyembuh), dan tokoh-tokoh masyarakat.
Tragedi
Pembantaian
Pemerintah daerah Banyuwangi mulai
secara serius menangani pembunuhan berantai ini. Bupati Banyuwangi saat itu,
Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo Sidik memerintahkan seluruh jajaran aparat
pemerintahan mulai dari Camat hingga Kepala Desa untuk mendata warga yang
dicurigai memiliki ilmu supranatural untuk dicatat, dan selanjutnya melakukan
pengamanan terhadap warga tersebut. Radiogram ini kembali dikeluarkan pada
bulan September, sebagai penegasan radiogram sebelumnya. Namun tidak ada yang
menduga, bahwa radiogram ini membuat pembantaian semakin meluas dan semakin
banyak korban yang berjatuhan. Radiogram yang berisi catatan orang yang di duga
memiliki kekuatan supranatural dikabarkan bocor kepada orang-orang yang
melakukan pembantaian. Pada akhirnya pembunuhan berantai ini memakan korban 2
hingga 9 orang dalam sehari. Karena hal ini banyak masyarakat yang mencurigai
bahwa pembantaian ini dilakukan oleh anggota TNI dan radiogram yang dikirim
bupati disangkutpautkan untuk mendata orang-orang yang akan dibunuh. Namun
hingga kini kecurigaan tersebut tidak memiliki bukti yang kuat.
Pembantaian semakin mencekam
dengan kemunculan oknum-oknum berpakaian hitam tertutup, yang kemudian disebut
Ninja. Ninja tersebut memakai pakaian serba hitam dan kedapatan memakai handy-talky
dalam beroperasi. Ada dua versi mengenai ninja ini. Ada yang menyebutkan bahwa
ninja tersebut adalah orang yang hanya berkostum hitam dan membawa senjata,
sedangkan yang lain menceritakan bahwa sosok ninja yang mereka lihat adalah
seperti ninja di Jepang
dan mampu bergerak ringan melompat dari sisi ke sisi yang tidak akan bisa
dilakukan oleh manusia biasa. Mereka sangat terlatih dan sistematis. Saat itu, yang
terjadi adalah listrik tiba-tiba mati dan sesaat kemudian terdapat seseorang
yang sudah meninggal karena dibunuh. Korban yang dibunuh akan mati mengenaskan
dengan kondisi tercabik, patah tulang ataupun kepala pecah. Tak hanya sampai
disitu, banyak pula korban yang diseret, dikalungi tali, kemudian dipukuli
hingga tewas.
Sungguh sadis yang mereka lakukan. Gerombolan datang dengan kostum
ninja. Memadamkan lampu. Menggedor dan mendobrak pintu. Lalu menyeret korban.
Mereka aniaya, pukuli, seret, dan bunuh ramai-ramai. Setelah korban sekarat
mereka berteriak-teriak hingga masyarakat berhamburan keluar, lalu mereka pergi
menghilang. Orang-orang muslim laki perempuan tua renta mereka bantai dengan
sadis. Bahkan ada seorang korban yang dibunuh di masjid sedang shalat tahajjud!
Dengan peristiwa itu, kini kaum muslimin di Banyuwangi yang biasanya shalat
tahajjud di mushalla tak berani lagi. Bahkan shalat tahajjud di dalam rumah
saja mereka tak berani lantaran untuk wudlu mereka harus keluar rumah.
Ketakutan yang ditimbulkan dari
rentetan teror oleh Ninja, hingga menyebabkan kepanikan masal saat itu di
Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi memilih tidur di teras rumah, dan warga
bergantian berjaga di kampung-kampung. Mereka mempersenjatai diri dengan alat seadanya.
Berminggu-minggu masyarakat Banyuwangi tidak dapat tidur dengan tenang,
ditambah lagi Indonesia kala itu juga sedang mengalami krisis. Lama-kelamaan,
para Ninja juga mulai meneror di siang hari dan tak segan melakukan pembunuhan.
Bahkan, banyak yang mengatakan bahwa Ninja bisa terbang dan meloncat dari rumah
ke rumah. Malam harinya, loteng-loteng rumah seolah olah digedor-gedor dengan
bunyi yang mengerikan. Postur tubuh para Ninja yang berbadan tegap dan besar,
menambah kesan intimidasi. Polisi sendiri dianggap kesulitan mengatasi aksi
Ninja, hingga para warga kemudian memilih mengungsi di tempat yang lebih aman.
Laporan
Sementara Kasus Santet Banyuwangi-Kesaksian Tragedi Banyuwangi. Tim Pencari
Fakta, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim. November 1998.
Kasus yang terjadi di bulan Juli memakan korban hanya kisaran 5 orang. Di bulan
berikutnya, Agustus meningkat menjadi 47 kasus dan dua kali lipat meningkat
kembali pada bulan September, yakni 80 kasus. Kasus-kasus pembunuhan misterius
semacam ini pada bulan-bulan berikutnya ternyata tak hanya terjadi di
Banyuwangi. Berbagai kota ikut menyusul. Sempat juga terjadi di Jember,
Pasuruan, Situbondo, Bondowoso, dan di tiga kabupaten di Madura, yakni Sumenep,
Sampang, dan Pamekasan.
Berdasarkan
data yang diperoleh Tim Pencari Fakta NU dan Polisi, jumlah korban tewas yang
ditemukan pada masing-masing kota itu, bila diakumulasi semuanya ada 253 orang.
Yakni, 143 orang di 18 kecamatan di Banyuwangi; 55 orang di 14 kecamatan di
Jember; 11 orang di Pasuruan; 2 orang di Sitobondo; 3 orang di Bondowoso; 23
orang di Sumenep; 6 orang di Sampang; dan 5 orang di Pamekasan.
Di
antara banyaknya jumlah korban itu, di dalamnya terdapat orang-orang NU yang
sebagian di antara mereka berlatarbelakang guru ngaji. Salah satunya seperti
korban di Banyuwangi. Di antara 143 orang, 83 orang di dalamnya adalah warga
NU. Mendapatkan berita tersebut, banyak para kyai akhirnya merapatkan barisan.
Isu ‘pun berkembang, dari yang awalnya hanya “pembunuhan terhadap tukang
santet”, menjadi isu baru, yakni “adanya ninja” yang targetnya bukan hanya
tukang santet, melainkan juga para kyai.
Akhirnya,
situasi saat itu semakin runyam. Banyaknya korban yang berjatuhan dan isu
“ninja” yang terus digulirkan menyita perhatian berbagai media nasional. Kasus-kasus
itu menjadi trending topic dan viral. Sehingga tak lagi hanya menjadi kasus
lokal.
Pada akhir Oktober 1998, Polri ‘pun ikut
membentuk Tim Anti-Ninja. Masyarakat ‘pun semakin histeria, terutama yang
berada di Jawa Timur. Begitu takutnya sama ninja, masyarakat Jawa Timur
mencurigai setiap pendatang asing. Di Malang, 24 Oktober pernah terjadi kasus
mengerikan tepatnya di Kecamatan Godanglegi. Hari itu, ada lima orang asing
yang datang ke kecamatan itu. Karena dicurigai ninja, akhirnya lima orang itu
dibantai massa. Di antara kelimanya, ada yang dibakar, dipenggal, dan lalu
diarak mengelilingi kota. Padahal, kelima orang itu identitas sebenarnya belum
diketahui.
Dugaan
dalang Pembantaian
Selain
isu “ninja” yang pernah juga mencuat ke permukaan adalah isu tentang “orang
gila”. Masih pada bulan Oktober, di Kecamatan Genteng, Banyuwangi. Warga di
sana berhasil menangkap orang yang disebut ninja. Mereka menyerahkan orang itu
ke kantor polisi. Tapi, kata Agus Supartomo, Ketua Tim Investigasi KOMPAK Surabaya,
“di kantor polisi, orangnya berubah menjadi tua, dan cengar-cengir berlagak
gila”. Padahal sebelumnya, orang yang ditangkap itu masih muda dan berbadan
besar.
Berawal dari sini, masyarakat mulai curiga terhadap aparat. Bahwa, seolah-olah aparat ingin melindungi para ninja, walaupun tuduhan “ninja diganti orang gila itu” tak dapat dibuktikan. Tapi memang waktu itu tak sedikit orang yang mencurigai aparat sebagai dalang di balik kemunculan fenomena ninja. Terutama ketika lima oknum ABRI yang dicurigai ninja dan berhasil ditangkap warga.
Selain kecurigaan terhadap ABRI, ada juga kecurigaan lain. Yakni, kecurigaan bahwa di balik peristiwa mengerikan di Banyuwangi itu adalah PKI. Pernyataan semacam ini keluar dari seorang intelektual muslim yang sangat terkenal rasional saat itu, Nurchlish Madjid. Katanya, “Banyuwangi yang terletak di Jawa Timur bagian selatan termasuk basis PKI. Cerita itulah yang kemudian membentuk memori kolektif lalu membangkitkan semangat untuk melakukan pembalasan dendam. Usia rata-rata yang dibunuh di atas 60 tahun. Mungkin mereka sudah punya catatan tentang siapa yang harus dibalas.” (Gatra, Gerakan Politik-Membantai Dukun Santet, 17 Oktober 1998).” Kecurigaan seperti itu juga muncul dari K.H. Ma’ruf Amin yang waktu itu sedang memegang jabatan Rais Syuriah PBNU. “Secara fisik mereka sudah hancur, tetapi secara ideologis mereka masih ada,” katanya (Saiful Rahim, Merah Darah Santet di Banyuwangi, 1998).
Namun, soal kecurigaan terhadap PKI, Abdurrahman Wahid -yang akrab dipanggil Gus Dur yang waktu itu sedang menjabat Ketua PBNU- tak sejalan. Gus Dur tak menganggap bahwa dalang di balik peristiwa itu adalah PKI, melainkan Kabinet Reformasi. Menurutnya, operasi itu dilakukan secara terorganisir dan sistematis bahkan menyerupai Operasi Naga Hijau (Surya, Gus Dur: Ada Menteri Terlibat, 20 Oktober 1998).
Katanya, “buktinya tak hanya terjadi di Jawa Timur, tapi merembet ke Jawa Tengah, dan bahkan Jawa Barat. Sasarannya ‘pun jelas. Meskipun mereka berdalih sasaran mereka adalah dukun santet, tapi kenyataannya yang menjadi sasaran adalah guru mengaji, kyai, dan sejenisnya.” (Saiful Rahim, Merah Darah Santet di Banyuwangi, 1998).”
Setelah 24 tahun kasus ini berlalu, masih menjadi misteri siapa yang menjadi dalang pembantaian ini tidak pernah terungkap. Komnas HAM sempat ingin membuka Kembali kasus ini untuk mengurai peristiwa itu, namun dari pihak-pihak lain menyarankan sebaiknya kasus ini ditutup saja. Mengingat karena kejadian ini banyak warga yang menjadi korban salah tangkap. Sampai saat ini pula dalang dari pembantaian ini masih belum ditemukan. Sebagai muslim tentu kita berduka karena banyak ulama, kiyai dan guru ngaji yang menjadi korban kebiadaban ini. Semoga kejadian seperti ini tidak pernah terulang lagi dinegara kita, biarkan negara kita menjadi negara yang aman, damai, maju dan sejahtera rakyatnya.
Referensi :
angelfire.com, detik.com, musabab.com, wikipedia.org, yukbanyuwangi.co.id