F Februari 2021 ~ PEGAWAI JALANAN

Jumat, 26 Februari 2021

KISAH TRAGIS AJUDAN TAMPAN Yang Rela Menjadi Martir Atasannya SAAT PERISTIWA G30S/PKI!!!

        


        Mengingat kembali ke masa silam dimana indonesia pernah mengalami masa yang kelam. Peristiwa itu bernama Gerakan 30 September (G30S/PKI), merupakan peristiwa yang sangat tragis dan masih menyimpan pilu bagi masyarakat Indonesia. Pada tanggal 30 September 1965 dini hari, PKI di bawah pimpinan D.N Aidit dan Syam Kamaruzzaman melakukan pembunuhan berencana terhadap 7 Jendral yang menjadi Pahlawan Revolusi Indonesia. Aksi pembantaian di lubang buaya menewaskan 6 Jendral TNI AD, dan satu perwira menengah.

        Jendral yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut di antaranya Panglima TNI Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen TNI DI Pandjaitan menjadi korban yang dibunuh di rumahnya. Sedangkan, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, dan Brigjen Sutoyo dibawa hidup-hidup. Jendral yang menjadi target penculikan lain adalah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf TNI Jenderal Abdul Haris Nasution. Pada keadaan malam yang gelap saat penculikan, jendral A.H. Nasution berhasil melarikan diri walaupun keluarganya yang lain menjadi korban penembakan. Selain anggota keluarganya di rumah saat itu, ada seorang ajudan yang sangat setia bahkan harus menjadi korban penculikan. Karena keadaan yang gelap dia ditangkap karena dia mengaku sebagai Jendral A.H. Nasution, sehingga ia dibawa oleh orang-orang yang ingin menculik jendral A.H. Nasution. Nama ajudan tersebut adalah Kapten Pierre Tendean.

                                                Biografi Singkat Kapten Pierre Tendean


        

        Kapten Anumerta Pierre Tendean lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Jakarta. Dia merupakan salah satu korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Kapten Pierre Tendean adalah Putera dari DR. A.L Tendean yang berasal dari Minahasa, sedang ibunya seorang berdarah Perancis bernama Cornel ME. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Dia mengawali sekolah dasarnya di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang. Sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menjadi tentara, namun kedua orangtuanya berharap agar dia dapat menjadi seorang dokter seperti ayahnya. Karena tekadnya yang kuat maka dia dapat bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat di Bandung pada tahun 1958. Sewaktu menjadi taruna, Pierre pernah ikut tugas praktik lapangan dalam operasi militer penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Dari sinilah awal permulaan kisah cintanya dengan seorang gadis asal Deli Sumatera Utara, bernama Rukmini.

        Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, dia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Dia bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Berkat kerja keras dan kemampuannya, Pierre Andreas Tendean dipandang sebagai TNI yang unggul. hal ini terbukti dari berebutnya tiga jenderal untuk menjadikan Pierre Andreas Tendean sebagai ajudan. Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan. Dan akhirnya Jendral A.H. Nasution yang mendapatkan Kapten Pierre Tendean sebagai Ajudannya.

        Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Saat diangkat menjadi ajudan dia menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Dia adalah sosok ajudan termuda Jendral A.H. karena saat itu berusia 26 tahun. Dia menggantikan posisi kapten Manullang yang gugur saat bertugas di Kongo. Tak hanya sebagai ajudan sang Jendral, dia juga menjadi teman akrab bagi putri Jendral A.H. Nasution.
Mengemban tugas sebagai ajudan mengharuskan Pierre ikut ke mana saja Nasution bertugas. Menurut biografi resmi Pierre Tendean dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, kegiatan Nasution yang paling sering di kawal Pierre adalah agenda main tenis. Keluarga Nasution biasanya main tenis dua kali seminggu di lapangan tenis Menteng dan Senayan. Selain kegiatan di dalam kota, Pierre pun harus siaga sewaktu-waktu Nasution dinas ke kota lain. Nasution acap kali menjadi tamu undangan sebagai pembicara dalam konferensi atau seminar nasional. Biasanya, Pierre lah yang sering diminta Nasution untuk mendampingi dalam kunjungan di luar kota.

                                                        Peristiwa G30S/PKI



           Sebelum tanggal 30 september,  Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu. Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution. Pada pagi hari pada 1 Oktober 1965, Pierre sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution. Suara tembakan dan ribut-ribut membuatnya terbangun dan berlari ke bagian depan rumah. keberingasan tembakan gerombolan itu mengenai anak perempuannya, Ade Irma Nasution yang masih berusia 5 tahun. Saat itu Ade baru bangun dan keluar kamar, dan salah satu peluru mengenai dirinya. Nasution sendiri mulanya ingin menyelematkan anaknya, namun oleh istrinya Jonna, dipaksa untuk segera menyelematkan diri. Sementara gerombolan pasukan Tjakrabirawa yang sudah kelabakan karena tidak menemukan Nasution yang sudah melarikan diri, kemudian bertemu dengan Pierre Tendean.
            

Kapten Pierre Tendean mengaku bahwa dia adalah Jendral A.H. Nasution, Kemudian dia diikat kedua tangannya dan dibawa dengan truk ke Lubang Buaya. Di lubang Buaya Pierre besama dengan Brigjen TNI Sutoyo dimasukan ke dalam rumah yang terletak dekat sumur tua. Setelah disiksa secara kejam oleh anggota-anggota G 30 S/PKI berdasarkan giliran paling akhir dibunuh dan dimasukan ke dalam Lubang Buaya bersama Pimpinan TNI AD lainnya. Tendean bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, Pierre dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, ia secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.

        Itulah cerita singkat Kapten Pierre Tendean seorang pahlawan revolusi yang menjadi korban kekejaman PKI. Selain menjadi kisah sedih bagi kedua orangtuanya, kematian Kapten Pierre Tendean juga menjadi pukulan menyakitkan bagi Rukmini. Rencananya pada bulan November 1965 Tendean dan Rukmini akan melangsungkan pernikahan. Namun sayang cinta itu tak pernah sampai karena peristiwa G30S/PKI yang merenggut nyawa Pierre. Rukmini yang mendengar kabar bahwa kekasihnya meninggal tentu saja hancur hatinya. Butuh waktu hingga 5 tahun sebelum dia move on dan menikah dengan pria lain.

 
Penulis         : Riskyrito

Penyunting     : Argha Sena

Referensi        : brilio.net, historia.id, merdeka.com, sosok-tokoh.blogspot.com,                                                   tribunnews.com, Wikipedia.org

Kamis, 25 Februari 2021

BUKAN MITOS! INILAH JAWABAN SECARA LOGIS MENGAPA Presiden Selalu Orang Jawa???



Sejak awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Pemimpin Indonesia adalah orang jawa atau setidaknya memiliki garis keturunan orang Jawa. Mulai dari Soekarno yang berasal dari Blitar, Soeharto dari Bantul, Abdurrahman Wahid dari Jombang, Megawati Soekarnoputri kelahiran Yogyakarta, Susilo Bambang Yudhoyono dari Pacitan, dan Joko Widodo asal Surakarta. Satu perkecualian adalah saat BJ Habibie menjadi presdien menggantikan Soeharto yang mundur dari jabatannya pada 1998. Hingga saat ini, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan itu menjadi satu-satunya presiden Indonesia yang bukan beretnis Jawa. Walaupun demikian, B.J. Habibie yang lahir di Pare-Pare ternyata ibunya masihlah keturunan orang Jawa.

Tentu menjadi sebuah pertanyaan pada sebagian masyarakat, baik dari suku Jawa maupun suku-suku lain yang ada di Indonesia. Indonesia  adalah bangsa yang besar dengar bermacam-macam suku dan budaya, dari Sabang hingga Merauke. Jika meruntut dari keadaan sebelum kemerdekaan ketika masih menjadi nusantara,  Indonesia memiliki kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Sriwijaya, Singosari, Mataram, Samudra Pasai, hingga Tidore. Walaupun memang di dominasi kerajaan besar dari Jawa, tetapi kerajaan lain juga tidak dapat dianggap remeh. Hal ini tentu menjadi pertimbangan bahwa pemimpin Indonesia bisa saja dari daerah lain. Setiap daerah memiliki potensi untuk menduduki jabatan Presiden karena Negara kita adalah Negara demokrasi yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Persepsi yang mengatakan bahwa presiden harus orang Jawa tidaklah selamanya benar, bahkan adapula yang menyangkutpautkan dengan mitos yang ada. Mitos mengenai kepemimpinan biasanya banyak dipercayai orang-orang Jawa seperti Ramalan Jayabaya tentang perkembangan kepemimpinan Indonesia. Selain mitos tersebut, adapula mitos tentang keterkaitannya dengan trah sunan Giri (Dinasti Giri Kedaton) mengenai pemimpin.

Dalam mitosnya,  ketika Ki Ageng Giring yang berkedudukan di Gunung Kidul, suatu ketika pernah mendapatkan bisikan gaib saat Ki Ageng sedang memanjat pohon untuk menyadap getah. Di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi selamanya belum pernah berbuah, namun akhirnya berbuah. "Pada saat itu buahnya hanya satu dan masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bambu di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara. Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang minum air degan itu habis seketika, kelak seanak keturunannya akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa," demikian bunyi bisikan gaib itu. Maka telah dipetiklah kelapa muda itu dan dibawa turun.

Namun karena ada klausul 'harus habis seketika', sedangkan Ki Ageng Giring pada saat itu belum haus-haus amat, maka dia memilih untuk meminum air kelapa itu pada siang harinya. Ki Ageng Giring memutuskan untuk pergi dulu ke hutan, dan kemudian meminum air kelapa itu sekali tenggak. Pada saat Ki Ageng Giring pergi ke hutan demi mendapatkan rasa haus yang teramat sangat, sahabatnya, Ki Ageng Pemanahan tiba di kediaman Ki Ageng Giring. Ki Ageng Pemanahan yang sangat haus setelah berjalan jauh lantas menenggak air kepala 'gaib' , yang rencananya akan diminum oleh Ki Ageng Giring.

Ki Ageng Giring ketika kembali dari hutan hanya bisa meratapi ketika mendapati air degan 'gaib' yang dia petik sudah tidak ada di tempatnya. Dan kemudian Ki Ageng Pemanahan yang ada di situ mengakui dia yang meminum air kelapa muda tersebut. Ki Ageng Giring setelah mendengar perkataan Ki Ageng Pamenahan merasa seakan hancur hatinya, sedih dan sangat kecewa. Lama ia terdiam. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka ia pun mengetahui akan takdir, bahwa sudah takdir Tuhan, Ki Ageng Pamenahan akan menurunkan raja yang menguasai tanah Jawa.

Melalui penyelusuran lebih mendalam, diperoleh informasi yang mengagetkan bahwa ke - 6 Presiden Republik Indonesia, ternyata berasal dari anak keturunan Sunan Giri.

1.   Soekarno Merupakan putra dari Raden Soekemi Sosrodiharjo. Raden Soekemi, berdasarkan buku " Ayah Bunda Ir.Soekarno ", merupakan keturunan Sultan Hamengkubuwono II.

2.   Soeharto, Istrinya bernama Siti Hartinah yang merupakan keturunan dari KGPAA Mangkunegara I. Selain itu juga, berdasarkan buku " Jejak Perlawanan Bengawan Pejuang '', Sumitro Djojohadikusumo menulis bahwa Soeharto pernah mengatakan memiliki kekerabatan dengan keluarga Keraton, yang diduga merupakan keturunan dari Sultan Hamengkubuwono II.

3.   BJ Habibie, Ibunya bernama RA Tuti Marini Puspowardojo binti Rr. Goemoek binti Raden Ngabehi Tjitrowardoyo, yang berasal dari keluarga priyayi di Purworejo, yang diduga kuat merupakan keturunan dari pendiri kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senapati.

4.   KH Abdurrahaman Wahid ( Gus Dur ), Terhitung sebagai keturunan ke -8 dari Ki Ageng Muhamad Besari.

5.   Megawati Soekarnoputri, Merupakan putri dari presiden pertama Soekarno, termasuk dalam keturunan Sultan Hamengkubuwowno II.

6.   Susilo Bambang Yudhoyono, Merupakan putra dari Raden Soekotjo, beliau adalah keturunan dari Nyai Ageng Ibnu Umar binti Ki Ageng Muhammad Besari.

Padahal tanpa berpatokan pada mitos, kita dapat menebak alasan kenapa selalu orang jawa yang menjadi Presiden. Kita dapat melihat dari jumlah penduduk Indonesia, hampir setengah dari jumlah penduduk di Indonesia merupakan penduduk di pulau Jawa. artinya, pemilih terbesar dalam pemilu, pulau jawa masih pemegang pemilih terbesar, selain itu suku Jawa juga tersebar di banyak Provinsi di Indonesia. Rakyat Indonesia juga terbiasa untuk mengutamakan suku-suku mereka, hal ini semakin memperbesar peluang orang-orang Jawa untuk menjadi Presiden. Walaupun akan ada kemungkinan suatu saat  suku tidak terlalu dipermasalahkan, mungkin suatu saat yang dicari adalah orang-orang yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi tidak perduli dari suku apa.

Selain itu, di Negara Demokrasi seperti Indonesia yang menggunakan Partai Politik sebagai batu loncatan untuk memperoleh suara terbanyak. Partai Politik  yang mayoritas berasal dari pulau Jawa juga dapat dijadikan persepsi mengapa Presiden berasal dari Jawa. Partai Politik tentu memiliki pengaruh kuat untuk memperoleh suara dalam pemilihannya. Apalagi Partai-partai yang telah lama berpolitik di Indonesia mulai dari awal-awal kemerdekaan. Kaum orang tua yang telah lama menjadi pemilih suatu partau tertentu biasanya membuat kaum muda untuk mengikuti pilihan para orangtua. Orangtua biasa keukeuh dengan partai politik yang telah lama dipilihnya, walaupun begitu biasanya kaum yang muda memilih bukan lagi pada partai tetapi melihat siapa calon yang memang pantas untuk mereka pilih. Partai Politik biasanya memilih calon Presiden dari orang-orang yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat sehingga dapat meraih suara maksimal agar dapat menang dalam pemilihan.

Selain pada suku dan Parpol, banyak juga yang menentukan pada agama yang dianut calon tersebut. Tentunya setelah Parpol mengusung jagoan yang akan maju ke RI 1 sebagai pesaing dalam perebutan calon Presiden. Agama juga jadi pengaruh besar dalam memperoleh suara, maka dalam setiap parpol biasanya mengusung agama mayoritas dan minoritas. Hal ini bertujuan mengambil simpati dari setiap agama. Namun patokan dasarnya adalah orang yang memang berasal dari pulau Jawa sehingga dapat memperoleh suara yang banyak dari daerah yang padat penduduk tersebut. Semoga suatu saat akan ada pemimpin dari luar pulau Jawa agar tidak adanya kecemburuan sosial dalam masyarakat Indonesia dari daerah lain. Tentunya yang terpenting adalah kemampuan dalam kepemimpinannya dan bukan lagi hanya karena suku tertentu.


Penulis             : Riskryto

Penyunting       : Argha Sena

Referensi        : detik.com, kompas.com, kompasiana.com, qoura.com

                         

NASIB TRAGIS Sahabat Bung Besar yang Dipenjara Pada Masa Pemerintahannya (ORDE LAMA)


Sebelum terjadinya pemberontakan PKI pada tahun 1965, Presiden pertama Indonesia telah memenjarakan beberapa tokoh besar di Indonesia. Pada tahun 1960-an merupakan salah satu periode buruk dari bangsa Indonesia. Keadaan ekonomi mengalami inflasi besar-besaran. Situasi politik tidak menentu seiring dengan dibubarkannya Konstituante hasil pemilu dan digantikan oleh orang-orang yang Soekarno tunjuk sendiri. Belum lagi, dibubarkannya partai Masyumi, salah satu peraih besar dalam pemilu 1955. Tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjara tanpa bukti yang kuat. Situasi sosial pun cukup mencekam, karena banyak propaganda dan adu domba.

Semua terjadi setelah serangkaian upaya pembunuhan terhadap dirinya, Soekarno menjadi keras pada lawan-lawan politiknya. Tanpa pengadilan dan dasar yang jelas, Soekarno memenjarakan mereka yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Soekarno juga memberedel surat kabar yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Sebelumnya, Mohammad Hatta sudah mundur dari jabatan sebagai wakil presiden. Dwitunggal itu telah lama berpisah. Hatta memilih berdiri di luar pemerintahan. Mengkritisi pemerintahan Soekarno yang makin otoriter lewat tulisan yang cemerlang di berbagai surat kabar. Mereka yang ditangkap Soekarno di antaranya adalah Buya Hamka, Sutan Sjahrir, M Roem, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito dan beberapa lainnya termasuk Buya Hamka. Tuduhan untuk mereka antara lain terlibat percobaan pembunuhan dan membahayakan cita-cita revolusi. Walaupun tuduhan itu tak pernah terbukti.


Buya Hamka



Di akhir dekade 1950-an, Buya Hamka melepaskan jabatannya dari pegawai Kementerian Agama karena ia tergabung dalam partai Masyumi. Tak lama setelah itu, Masyumi pun dibubarkan karena dianggap tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah. Masyumi menentang ide "Kabinet Empat Kaki" karena dianggap memberi ruang berkembangnya ideologi Komunisme.

Hari-hari berkuasanya Komunisme di Indonesia, amat dirasakan oleh Buya Hamka. Ulama besar anggota Muhammadiyah, anggota parlemen dari Masyumi, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dan juga tokoh adat Minangkabau bergelar "Datuk Indomo". Beliau mendekam di dalam penjara selama dua tahun empat bulan  lamanya. Dijemput secara paksa dari rumahnya, dan dipenjara tanpa proses pengadilan.

PKI di tahun-tahun itu mulai merasuki banyak posisi di pemerintahan. Sementara, oposisi terkuatnya yaitu Masyumi, sudah dibubarkan. Di banyak daerah, PKI juga mulai menjalankan ide kesejahteraan ideologi mereka, dengan merebut banyak lahan dari tuan-tuan tanah. Hal ini memicu terjadinya banyak kerusuhan di daerah.

Di Masjid Al Azhar, Buya Hamka tetap mengupayakan sinar Islam tetap bercahaya. Beliau mendirikan majalah Panji Masyarakat, dan menjadi majalah Islam terpopuler saat itu. Ketika memuat tulisan Mohammad Hatta, yang saat itu sudah mundur dari kursi Wakil Presiden, mengkritik kebijakan Presiden Sukarno. Tulisan itu bertajuk "Demokrasi Kita" mendapat sambutan dari masyarakat dan menjadi tulisan yang fenomenal.

Mendapat kritik yang tajam, bahkan dari mantan wakilnya, akhirnya majalah Panji Masyarakat ditutup pemerintah. Karena dengan berbagai desakan, akhirnya dimunculkan kembali majalah dari masjid Al-Azhar, yaitu Gema Islam. Pendirian ini didukung pula oleh unsur tentara, seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal A.H. Nasution. Melalui majalah ini, beliau mengkritik pemerintah dalam beberapa hal, terutama dalam keterlibatan komunis.


Serangan terhadap Buya Hamka pada tahun-tahun itu banyak datang dari PKI. Salah satu koran terpopuler saat itu yang berafiliasi pada PKI, Bintang Timur, menyerang karya Buya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, karya sastra terbesar Buya Hamka, dituduh plagiat. Dalam berbagai edisi, koran itu menuduh cerita dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk menjiplak novel Magdalena, karya penulis Mesir Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Masalah itu membuat nama Buya Hamka dijatuhkan dalam kalangan sastrawan. Di tengah kondisi yang sulit, nama Buya Hamka di kalangan "kiri" sudah buruk. Dituduh plagiat, mengkhianati negara, hingga tuduhan yang membawanya pada penjara. Buya Hamka juga dituduh merencanakan makar terhadap pemerintahan yang sah.

Senin siang, tanggal 23 Januari 1964 atau 12 Ramadhan 1383 H, datang tiga orang polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) menangkap Buya Hamka. Beliau ditangkap dengan alasan melanggar Penetapan Presiden nomor 11 tahun 1963. Isi dari Penpres itu membolehkan kepolisian menangkap siapapun yang dicurigai akan melakukan makar.

Buya Hamka dipenjara di berbagai tempat di wilayah Puncak hingga Sukabumi. Beliau diinterograsi oleh banyak polisi secara bergantian. Pemeriksaan itu cukup menyiksa, dengan kondisi beliau saat itu sudah berusia 56 tahun, hingga tidak tertidur dalam beberapa hari pemeriksaan. Beliau akhirnya bisa istirahat setelah kemudian dipaksa menandatangani sebuah surat pengakuan. Mengakui hal yang tidak pernah ia perbuat sebelumnya.

Beliau juga dijebak dengan berbagai pertanyaan. Termasuk dengan sebuah pernyataan dari seorang sahabatnya, Zawawi, yang ternyata juga membuat sebuah pengakuan palsu karena tidak tahan disiksa. Buya Hamka kemudian mengarang bahwa pernah diadakan sebuah pertemuan untuk merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno di Tangerang. Meski kemudian terbantahkan melalui proses rekonstruksi yang tidak menemukan bukti maupun tempat seperti yang digambarkan.

Fitnah lainnya ialah bahwa Buya Hamka menghasut mahasiswa di IAIN Ciputat (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo (DI/TII), Daud Bereuh (Aceh) dan yang lainnya. Buya Hamka kemudian ditahan selama kurang lebih dua tahun empat bulan. Di tengah masa tahanan, penyakit wasir beliau kambuh. Sehingga beliau meneruskan tahanan di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Rupanya, menurut sebuah kisah, dokter yang merawat beliau di Rumah Sakit Persahabatan merupakan pengagum beliau. Sehingga, beliau terus dinyatakan "sakit" agar tidak harus kembali ke tahanan. Beliau tetap tinggal di rumah sakit dan bisa mendapat perawatan yang lebih manusiawi.

Selama masa tahanan, Buya Hamka diizinkan untuk membawa berbagai buku bacaan. Beliau menghibur diri dengan kisah Ibnu Taimiyah, ulama besar Islam yang pernah mengalami hal serupa. Ditahan oleh rezim yang berkuasa dan mengalami penyiksaan. Beliau melanjutkan proyek penulisan buku Tafsir Al Azhar. Buku tafsir ini  hampir selesai ketika masa tahanannya berakhir. Setelah bebas pada akhir Januari 1966, Buya Hamka kemudian melakukan penyempurnaan dan menerbitkan Tafsir Al Azhar, hingga bagian terakhirnya terbit beberapa waktu sebelum beliau meninggal dunia di tahun 1981. Setelah bebas dari penjara, kemudian hidup di masa pemerintahan Orde Baru, Buya Hamka rupanya tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dahulu pernah menuduh dan memenjarakannya. Bahkan beliau menyalatkan jenazah Soekarno yang telah memenjarakannya. Dan Ia juga memaafkan Pramoedya. Padahal, namanya dihancurkan Pramoedya lewat tulisan di surat kabar Bintang Timur yang merupakan media pro-PKI.


Sutan Sjahrir DKK


Gelombang pemenjaraan, tidak berhenti kepada tokoh-tokoh yang PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang sudah mendapat amnesti, tetapi juga menimpa tokoh-tokoh politik yang tidak terlibat dalam pergolakan daerah. Sutan Sjahrir adalah perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Indonesia yang pertama. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang dianggap terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.

Ironisnya, tahun 1962, Sjahrir ditangkap bekas rekan seperjuangannya sendiri, Soekarno. Sjahrir dipenjara oleh bangsanya sendiri. Bangsa yang dia perjuangkan puluhan tahun untuk merdeka. Kisah penahanannya bermula dari undangan dari Anak Agung Gede Agung pada 18 Agustus 1961. Mantan Menteri Luar Negeri RI dalam kabinet Burhanuddin Harahap ini menggelar upacara ngaben untuk ayahnya, Raja Gianyar.

Maka, datanglah Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Roem, Sultan Hamid II, dan sejumlah tokoh lain untuk memenuhi undangan Anak Agung Gde Agung. Tapi belakangan pertemuan ini disebut sebagai ajang konspirasi subversif oleh Soebandrio, yang kala itu menjabat Menteri Luar Negeri dan Kepala Pusat Intelijen. Pada 16 Januari 1962, Sjahrir ditangkap di rumahnya. Kemudian Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo, dan Sultan Hamid II pun ditangkap. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh Roem dan Prawoto Mangkusasmito juga ditangkap. Hanya Hatta, kolega berpolitik Sjahrir sejak 1920-an di Belanda, yang tak disentuh.

Bersama para tahanan politik lain, Sjahrir ditempatkan di sebuah rumah di Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke Madiun, Jawa Timur.  Di sana mereka diperlakukan dengan cukup baik. Jurnalis Rosihan Anwar, dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, menulis, "Keadaan di penjara Madiun dengan sipir yang bersikap luwes cukup membantu para penghuninya supaya tidak terlalu stress. Ada kolam renang, ada lapangan tenis. Keluarga dan handai taulan gampang berkunjung."

Pada November 1962, dokter keluarga mendapati tensi Sjahrir demikian tinggi. Atas desakan para tahanan, Pemerintah merawat Sjahrir di RSPAD. Himbauan Hatta agar Sjahrir dibebaskan, tidak digubris oleh penguasa. Ketika di RSPAD RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. keadaannya membaik, lalu ia dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan, Jakarta. Pada Februari 1965, ia dipindahkan lagi ke RTM Budi Utomo, tempatnya mengalami stroke kedua. Kesehatan Sjahrir di dalam tahanan terus memburuk. Tidak ada cara lain, dia harus dibawa ke Zurich, Swiss. Dia menjalani perawatan hingga meninggal tanggal 9 April 1966 pada umur 57. Statusnya saat meninggal masih sebagai tahanan. Jenazah Sjahrir dipulangkan dari Swiss. Pemerintah yang telah memenjarakannya selama bertahun-tahun, menerbitkan Keputusan Presiden No. 76/1966 yang menyatakan bahwa Sjahrir direhabilitasi dan ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.

Selain tokoh Buya Hamka dan Sutan Sjahrir, banyak tokoh-tokoh terkenal lainnya yang ikut menjadi korban penangkapan. Tokoh-tokoh tersebut adalah Prawoto Mangkusasmito, Subadio Sastrosatomo, dan Mr Mohamad Roem. Tidak lama kemudian, datang pula Mr Anak Agung Gde Agung. Yunan yang kala itu menjadi korban penangkapan juga, memperhatikan wajah-wajah yang dikenalnya itu, Yunan sampai pada kesimpulan: “Penahanan ini bersifat politik. Sasarannya, para pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Masyumi.” Kelak jumlah tahanan di Mess CPM bertambah menjadi 15 orang dengan masuknya Mochtar Gozali, K.H.M. Isa Anshary, Imron Rosjadi, Hasan Sastraatmadja, Kiai Mukti, E.Z. Muttaqien, Mochtar Lubis, J. Princen, Sultan Hamid II, dan Sholeh Iskandar.



Penulis     : Riskryto

Penyunting : Argha Sena


Sumber : goriau.com, kompasiana.com, liputan6.com, merdeka.com, 

                republika.co.id




Indonesia, Malaysia dan Singapura itu Serumpun! Kesultanan Riau, Lingga, Pahang dan Johor Kesultanan Melayu yang kini dipisahkan!


 

Selain kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, maka dari etnis Melayu juga memiliki kesultanan melayu yang tak kalah terkenalnya. Salah satu  dari kesultanan Melayu yang terkenal adalah kesultanan Johor. Johor merupakan salah satu dari kekuatan politik atau negara yang bersaing ketat untuk memantapkan perannya sebagai ahli waris Malaka, demikian pula ketika kawasan tersebut mulai dikuasai oleh kekuatan kolonial Eropa. Puncak kejayaannya antara akhir abad ke-16 dan awal abad ke-18, kesultanan Johor-Riau menerima sumpah kesetiaan dari masyarakat yang tinggal di seluruh kawasan geografik yang mengagumkan.

Kekuasaan itu meliputi bagian-bagian selatan Jazirah Melayu, Kepulauan Riau (termasuk Singapura masa kini), kepulauan Anambas, Tambelan dan kelompok pulau Natuna, kawasan di sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat, dan Siak di Sumatra tengah-timur. Selain itu, kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah oleh para penguasa Kampar, bendahara Pahang dan Terengganu adalah sekutunya. Di antara para sekutunya di awal abad ke-17, terdapat Champa yang kewibawaannya meliputi Vietnam selatan masa kini. Penguasa Champa sudah memeluk agama Islam dan menjalin hubungan resmi dengan Johor pada tahun 1606 atau sekitarnya. hubungan akrab tersebut dipertahankan selama beberapa puluh tahun lamanya.

Johor awalnya adalah bagian dari kesultanan Malaka, namun Kesultanan Malaka ditaklukan oleh portugis pada tanggal 10 Agustus 1511 dibawah Pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I yang berhasil menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian membangun kesultanan baru di Bintan. Kesultanan ini meliputi Kelantan, Perak Trenggano, Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga, Inderagiri, Kampar, Siak dan Rokan.

Dalam Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah I tahun 1528 di Kampar, Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor. Sultan Alauddin Syah kemudian membangun pusat pemerintahan baru pada kawasan muara Sungai Johor, perlawanan terhadap penaklukan Portugal terus berlanjut.

Kesultanan Johor menjalin hubungan bersahabat dengan VOC sejak awal tahun 1600, dimulai dengan membuat sebuah persekutuan ad hoc antara Sultan Ala’udin Ri’ayat Shah III dengan laksamana Belanda Jacob van Heemskerk (1567-1807). Johor merupakan salah satu di antara kekuatan-kekuatan Asia yang pertama kali mengutus sebuah misi diplomatik ke Republik Belanda di tahun 1603. Tiga tahun kemudian para utusan kedutaan Johor itu kembali dengan selamat menumpang armada Laksamana Matelieff, dua buah perjanjian resmi diratifikasi antara Johor dan VOC di bulan Mei dan September 1606.


Pada masa yang sama, dari kawasan utara Pulau Sumatra, muncul kekuatan baru di Aceh yang mulai melakukan ekspansi wilayah kekuasaan dengan menaklukan beberapa kawasan Melayu dan berusaha mengontrol jalur pelayaran di Selat Malaka. Kesultanan Aceh berusaha menyerang kedudukan Portugis di Malaka, dan juga menyerang kedudukan Sultan Johor. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda menaklukan Johor, Sultan Johor beserta seluruh kerabatnya ditawan dan dibawa ke Aceh. Setelah beberapa tahun di Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah III berjanji tidak akan lagi membantu Portugis yang telah menduduki Malaka, maka Sultan Iskandar Muda membebaskan Sultan Alauddin dan diantar kembali serta dinobatkan kembali sebagai Sultan Johor. Pada tahun 1641, Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugal, dan Belanda mengakui kedaulatan Sultan Johor atas wilayah kekuasaannya dan pada saat bersamaan kawasan muara Sungai Johor kembali muncul sebagai salah satu pelabuhan dagang di Semenanjung Malaya.




Pernah pula terjadi permusuhan antara Kerajaan Jambi dan Johor, masalah antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai perebutan kawasan yang bernama Tungkal. Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda. Dalam usaha untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut penduduk Tungkal untuk memberontak. Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi. Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi memilih untuk berdamai. Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena perkawinan antara Raja Muda Johor (Sultan Hammat Syah) dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.

Antara tahun 1722 sampai 1746, tahta Kesultanan Johor diperebutkan oleh Raja Kecil dan Raja Sulaiman. Konflik perebutan kekuasaan Kesultanan Johor pada tahun 1722 mengakibatkan pewaris tahta yang sah yakni Raja Kecil melarikan diri ke bekas jajahan Johor yakni Siak dan mendirikan kerajaan baru yang dikenal Siak Sri Indrapura.

Dikarenakan Raja Kesultanan Johor bukan pewaris tahta yang sah, maka Raja Pelalawan saat itu, Maharaja Lela II memutuskan memisahkan diri dari Johor. Wilayah kekuasaan Pelalawan ini kelak dituntut oleh Sultan Syarif Ali keturunan Raja Kecil yang berkuasa di Siak Sri Indrapura, karena dianggap masih bagian bekas kekuasaan Johor. Keinginan tersebut ditolak oleh Maharaja Lela II sehingga Siak Sri Indrapura menyerang Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798 yang berakhir pada kekalahan Pelalawan. Sultan Syarif Ali mengangkat adiknya Sayid Abdurrahman sebagai raja Pelalawan sedangkan Maharaja Lela II dinobatkan sebagai "Orang Besar" Kerajaan Pelalawan karena dianggap masih keturunan Kesultanan Johor.

Setelah Kesultanan Siak Sri Inderapura membuat perjanjian dengan Inggris tanggal 31 Agustus 1818, menjadikan Singapura dan Johor berada dalam pengawasan Inggris. Kemudian Belanda menekan Sultan Siak dalam perjanjian tahun 1822 untuk tidak membuat sembarang kerjasama tanpa persetujuan dari Belanda serta wilayah Kepulauan Riau menjadi bagian kolonial Belanda. Pada tahun 1924, wilayah kekuasaan kesultanan Melayu ini di pisah menjadi dua dengan pernjanjian London antara Belanda dan Inggris. Perjanjian wilayah kekuasaan ini menjadikan Riau, Lingga, Pahang dan Johor yang masih dalam satu rumpun harus dipisahkan. Belanda menguasai Pulau-pulau Nusantara yang sekarang menjadi Indonesia dan Inggris menguasai Semenanjung Malaya yang sekarang menjadi Malaysia. Kemudian mereka menempatkan raja bawahan pada masing-masing kawasan, sehingga muncul dualisme kepemimpinan pada bekas wilayah Kesultanan Johor, Sultan Husain yang didukung oleh Inggris di Singapura sedangkan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah yang berkedudukan di Lingga didukung oleh Belanda dari Tanjungpinang.

 

Penulis            : Riskyrito

Penyunting      : Argha Sena

Referensi         : anri.go.id, detik.com, kajanglako.com, neliti.com, wikipedia.org

INILAH PENYEBAB MENGAPA BALI tidak Memeluk Islam saat Islam Berjaya di Pulau Jawa!!!

 


Beberapa dari kita mungkin tidak menyadari bahwa pulau jawa hampir sepenuhnya islam kala masih zaman kerajaan. Mulai dari berdirinya kerajaan demak hingga kerajaan Islam lain yang mulai menyebar ke seluruh pulau jawa. Namun yang mengherankan adalah kerajaan di pulau Bali yang saat itu masih menganut agama hindu. Padahal kala itu Islam memiliki kerajaan-kerajaan besar yang selepas runtuhnya kerajaan Majapahit. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar apakah islam tidak pernah berdakwah di Bali ataukah ada masalah lain yang membuat agama Islam tidak berkembang pesat di pulau ini seperti kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa. Adapun kerajaan di pulau Bali saat itu adalah kerajaan Gelgel, sebelum akhirnya di pecah menjadi kerajaan- kerajaan kecil yang tersebar di pulau Bali.

Kerajaan Gelgel

Kerajaan Gelgel adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di Pulau Bali. Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Kerajaan Gelgel menerapkan sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan Kerajaan Majapahit. Masyarakatnya terbagi menjadi Bali Hindu dan Bali Aga. Raja Kerajaan Gelgel yang pertama adalah Dalem Ketut Ngelesir. Ia adalah keturunan dari dinasti Kerajaan Majapahit. Wilayah awal dari Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali. Wilayah ini diperoleh dari penaklukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1434 terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Bali. Pada abad ke-17, wilayah Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Kerajaan Gelgel berakhir pada masa pemerintahan Ki Agung Maruti setelah diserang oleh pasukan Dewa Agung Jamber pada tahun 1687. Kerajaan Majapahit saat itu adalah kerajaan yang besar hingga sampai ke pulau Bali. Hampir semua bidang kehidupan, utamanya setelah ekspansi besar Maha Patih Gajah Mada di Bali pada 1343, terpengaruh oleh kebudayaan Jawa yang dibawa Majapahit. Begitu kentalnya pengaruh tersebut, hingga penyebaran pertama agama Islam di Pulau Bali itu juga tidak terlepas dari campur tangan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mewajibkan kerajaan bawahannya di Pulau Bali untuk menerapkan sistem pemerintahan yang sama dengan kerajaannya, yaitu Manawa Sasana. Sistem ini mengikuti ajaran agama Hindu, sehingga raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam kerajaan.

 Awal Mula Islam di Bali

Masyarakat Muslim di Bali muncul berkat hubungan yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai kerajaan yang dikuasai. Ketika Hayam Wuruk memerintah, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460), putra raja pertama Samprangan Sri Aji Krisna Kepakisan alias Dalem Sri Kresna Kepakisan (memerintah 1352), mendapat undangan berkunjung ke Keraton Majapahit pada 1380-an. Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya dengan mengundang kerajaan-kerajaan yang menjadi sekutunya.. Dalem Ngalesir datang mewakili Kerajaan Gelgel, pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertuanya.

Dalam buku Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) Dhurorudin Mashad menceritakan bahwa ketika kembali ke Gelgel, Dalem Ngalesir mendapat pengawalan dari pemerintah Majapahit. Ia diberi 40 orang pengiring dalam perjalanan pulangnya itu. Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai tentara, sementara sisanya berkerja sebagai juru kapal dan juru masak. Setelah sampai, 40 orang Islam itu tidak ingin kembali ke wilayah Majapahit dan memilih untuk tinggal di Bali. Akhirnya Dalem Ngalesir memberi satu daerah pemukiman khusus di Gelgel. Keempat puluh orang itu pun diperintahkan mengabdi kepada Kerajaan Gelgel, tanpa syarat apapun. Artinya mereka tidak harus berpindah kepercayaan mengikuti agama yang berkembang di Gelgel. Dari sinilah awal mula agama Islam di Bali. Komunitas Muslim pertama di Bali lalu membangun masjid di Gelgel, yang sekarang dikenal sebagai masjid tertua di tanah Bali. Dan Islam mulai berkembang dari daerah yang berpenduduk muslim di Gelgel. Menurut Hassan Ali, dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang juga mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur Bali atau menyerupai corak (style) wantilan (joglo). Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid, menjadikan tempat suci umat Islam di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.



Banyak yang beranggapan Hayam Wuruk ingin mengurangi jumlah populasi Muslim yang terus berkembang di pusat pemerintahannya dengan mengirim orang islam ke Bali. Ia khawatir kaum minoritas itu akan mendominasi daerah kekuasaannya Mengingat Majapahit adalah kerajaan Syiwa-Buddha.

Menurut arkeolog dan epigraf Hasan Djafar, dalam tulisannya “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir” dimuat Pertemuan Arkeologi IV, di bawah kekuasaan Hayam Wuruk banyak penduduk Majapahit yang sudah memeluk Islam. Sebagai bukti, para arkeolog telah berhasil menunjuk pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” ungkap Hasan.

 

Penyebaran Islam Terhalang

Kerajaan Gelgel-Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong (1460/1480--1550) setelah Dalem Ngalesir turun tahta. Masa ini juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara karena kerajaan-kerajaan Islam mulai tersebar di pulau Jawa. Sementara Hindu-Buddha, termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya. Majapahit sendiri mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada 1518 karena upaya mengislamkan kerajaan Majapahit. Akhirnya keruntuhan kerajaan besar itupun tidak lagi dapat dihindari. Momen kehancuran Majapahit lalu dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya.

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mengirim utusan ke Kerajaan Gelgel-Klungkung. Menurut Dhurorudin ekspedisi damai itu bertujuan menjalin hubungan baik sebagai sesama mantan vasal (kerajaan yang dikuasai) Kerajaan Majapahit. “Namun, intinya tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyebarkan Islam,” tulis Dhurorudin. Dalam hal ini kerajaan Demak ingin mengislamkan Bali melalui jalan perdamaian dan bukan melalui penaklukan.

Kerajaan Demak lalu mengirim utusan ke Bali, Namun Dalem Waturenggong tidak ingin kerajaannya di Islamisasikan. Utusan yang telah dikirim lebih memilih bergabung dengan komunitas muslim yang ada di Bali. Dalem Waturenggong mulai menyusun rencana agar dapat menghalangi pengaruh Islam di Bali. Dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan karya Tjokorda Raka Putra disebutkan bahwa setelah menjadi negeri merdeka, Waturenggong segera memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Ia berhasil menguasai ketiga wilayah itu antara tahun 1512 sampai 1520.

Menurut I Made Sumarja, dkk. dalam Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangan Pemukiman Islam di Desa Kecicang Kabupaten Karangasem Provinsi Bali perluasan wilayah Kerajaan Gelgel-Klungkung hingga ke Lombok merupakan usaha lain Waturenggong menghadang penyebaran ajaran Islam di negerinya. Namun selepas Dalem Waturenggong, tidak ada lagi raja yang mampu membangun Gelgel-Klungkung. Kerajaan itu pun akhirnya terpecah dan mulai menunjukkan kemunduran. Akibatnya, kekuasaan mereka di Lombok berhasil diruntuhkan. Penguasa Klungkung selanjutnya memilih menjalin hubungan baik dengan Lombok, bukan menaklukkan dengan paksaan. Setelah itu penyebaran masyarakat Muslim dari Lombok ke Bali mulai gencar terjadi. Meski pengaruhnya di masyarakat tidak dapat menggeser dominasi Hindu, yang telah berabad-abad menjadi kepercayaan utama rakyat Bali.

Alasan Kerajaan Bali Tetap Beragama Hindu

Ringkasan dari buku Robert Pringle (2004) A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Alasan mengapa kerajaan Islam tetap beragama hindu adalah sebagai berikut:

1.      Penduduk Bali sebagian besar berasal dari luar Bali, kemungkinan berasal dari Jawa atau Lombok. Bahasa Bali lebih mirip bahasa Sasak di Lombok daripada bahasa Jawa. Bali tidak pernah putus hubungan dengan Jawa dan juga Kerajaan lainnya. Raja Airlangga adalah “setengah Bali” karena berayah Bali dan beribu Jawa (cucu Mpu Sindok). Bali selalu berada dalam pengaruh Kerajaan di Jawa terutama Majapahit. Bali tidak pernah secara nyata “anti Islam”, walaupun memiliki budaya yang berbeda. Ini sebabnya Bali tidak pernah merasa harus ditundukkan oleh Kerajaan Islam, terutama Mataram di Jawa. Minoritas Islam yang berdagang, terutama di Bali Utara, dan menjadi tentara tetap dapat singgah di Bali.

2.      Sejak runtuhnya Majapahit kemudian Pajang-Jipang-Demak sampai Mataram yang paling kuat, setidaknya ada jeda selama 100 tahun. Saat Majapahit runtuh dan Gelgel menguat, Mataram belum terlalu kuat. Walaupun Mataram dapat mengusir Gelgel dari Blambangan, Gelgel masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.

3.      Ketika Mataram mulai menguat dan Gelgel mulai melemah, datang Belanda yang membuat Mataram harus membagi konsentrasi. Mataram juga dilemahkan oleh konflik-konflik internal.

4.      Mataram menjadi defensive saat kekuatan Belanda menguat, tak lagi memikirkan ekspansi. Mataram justru semakin kehilangan wilayah kekuasaannya seiring dengan menguatnya Belanda. Karena Mataram yang melemah, tidak ada keuntungan yang didapat dari penguasa di Bali untuk memeluk Islam.

Selain itu, Menurut Dhurorudin alasan Gelgel tidak dapat menerima pengaruh Islam di Bali adalah ikatan historis emosional dengan Majapahit. Meski terbebas dari kuasa vasal Majapahit, tetapi penyerangan Demak tidak bisa begitu saja diterima. “Mereka (para pangeran dan mantan pejabat Majapahit) yang lari ke Bali tentu menyebarkan informasi tentang nasib tragis mereka ke penduduk lokal, sehingga ikut menjadi kurang bisa menerima Islam,” tulis Dhurorudin.

Walaupun hingga kini muslim di Bali masih minoritas, namun akulturasi hindu-muslim di Bali terjalin semakin erat. Hal ini dikarenakan sifat saling menghargai untuk memeluk agamanya masing-masing. Islam memang tidak berkembang pesat di Bali selayaknya di Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan dari Kesultanan Demak berupaya mengislamisasikan Bali melalui jalur perdamaian dan bukan karena penaklukan. Selain itu bali juga telah melekat kuat memegang agama warisan turun-temurun sehingga tidak memiliki niat untuk berpindah agama. Selain itu juga banyak faktor lain yang membuat Bali tetap mayoritas dengan agama hindunya.

 

Penulis            : Riskyrito

Penyunting      : Argha Sena

Referensi      :bayudardias.staff.ugm.ac.id, historia.id, kompas.com, wikipedia.org