F November 2022 ~ PEGAWAI JALANAN

Selasa, 01 November 2022

PERTEMPURAN 10 NOVEMBER!!!

 


Pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, menjadi pertempuran besar terakhir yang pernah dilakukan rakyat Indonesia melawan pasukan Inggris. sekitar 16.000 rakyat Surabaya tewas, dan 20.000 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut. Sedangkan di pihak Inggris dan sekutunya sekitar 2000 orang tewas, dan 2000 lainnya luka-luka. Pertempuran yang tidak seimbang dalam segi peralatan dan pengalaman kemiliteran membuat banyak rakyat Surabaya meregang nyawa.

Pada saat itu, tentara inggris dan sekutunya yang menang dalam perang dunia kedua berusaha melucuti persenjataan Jepang dan membebaskan tawanan yang ditahan oleh Jepang. Pada tanggal 24 Agustus 1945, terjadi sebuah kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement. Kesepakatan itu berisi keinginan Inggris untuk membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Hal itu menyebabkan adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu.

Kedatangan pasukan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Namun karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab untuk wilayah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia. Mereka berusaha menguasai kota-kota besar, terutama Surabaya yang saat itu merupakan salah satu kota yang penting untuk dikuasai. Surabaya kala itu adalah kota yang besar dan memiliki pelabuhan serta pangkalan laut terbesar di Asia.

Orang-orang Belanda yang tergabung dalam AFNEI menjadikan Hotel Yamato sebagai markas mereka. Hotel Yamato pada masa pemerintahan kolonial bernama Hotel Oranje, dan kini bernama hotel Majapahit yang berada di Jalan Tunjungan no. 65. Karena menjadi pemenang pada perang dunia kedua, pada malam hari tanggal 18 september 1945, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman, mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya. Bendera itu berkibar di tiang sisi sebelah utara pada tingkat teratas Hotel Yamato.

Keesokan harinya, para pemuda Surabaya melihat bendera Belanda itu dikibarkan tanpa izin. Para pemuda menjadi marah karena menganggap Belanda menghina kedaulatan Republik Indonesia. Dengan cepat, berita pengibaran bendera Belanda tersebar ke seluruh kota Surabaya. Para pemuda Surabaya lalu memenuhi Hotel Yamato di Jalan Tunjungan dengan keadaan marah.

Residen Sudirman lalu melewati kerumunan massa dengan didampingi Sidik dan Hariyono untuk menemui Ploegman. Perwakilan tersebut meminta agar Ploegman menurunkan bendera yang mereka kibarkan di Hotel Yamato. Bukannya menurunkan bendera tersebut, Ploegman malah menolak dan mengusir Residen Sudirman. Perundingan di dalam hotel Yamato menjadi memanas, terutama setelah Ploegman mengeluarkan pistol untuk mengancam mereka. Perkelahian tidak dapat dihindari, Sidik yang tersulut emosi lalu mencekik Ploegman hingga tewas. Namun Sidik juga ikut tewas karena dibunuh menggunakan pedang oleh tentara Belanda yang berjaga disana.

Saat insiden itu, Sudirman dan Hariono berhasil keluar dari dalam Hotel. Para pemuda diluar hotel yang melihat kejadian tersebut, ikut tersulut emosi. Mereka lalu terlibat perkelahian dengan tentara Belanda. Beberapa orang berusaha memanjat tiang untuk menurunkan bendera tersebut. Koesno Wibowo akhirnya berhasil menurunkan bendera Belanda, ia lalu merobek bagian biru dari bendera Belanda. Bendera yang telah berwarna Merah Putih lalu dikibarkan kembali.

3 hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 16 september 1945, rakyat telah mengepung gudang senjata terbesar milik Jepang. Gudang senjata itu berada di Don bosco, saat itu gudang Don Bosco dijaga Dai 10360 Butai Kaitsutiro Butai di bawah pimpinan Mayor Hazimoto. Pasukan Mayor Hashimoto ini terdiri atas satu detasemen tentara serta pegawai sipil yang berjumlah 150 orang.

Mereka lalu bernegosiasi agar Jepang menyerahkan senjata kepada rakyat Indonesia. Pada Awalnya Mayor Hazimoto menolak untuk menyerahkannya, pihak Jepang akan menyerahkan gudang senjata itu kepada pihak sekutu. Para pemuda lalu melakukan ancaman untuk mendesak Mayor Hazimoto menyerahkan gudang senjata itu. Mayor Hazimoto akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan persenjataan beserta gedungnya. Naskah serah terima gudang senjata lalu ditandatangani Hashimoto dan Jasin dengan Bung Tomo sebagai saksi penyerahan itu. Karena menguasai gudang senjata, Sebelum kedatangan Inggris dan tentara sekutu, para pemuda Surabaya telah mempersenjatai diri. Para pemuda Surabaya telah siap menyambut kedatangan tentara Inggris.

Pada tanggal 25 oktober 1945, pasukan AFNEI  mendarat di Surabaya tepatnya di Tanjung Perak yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby. Mereka datang bukan untuk berperang, mereka datang untuk melucuti persenjataan Jepang di Surabaya. Namun ternyata, kedatangan tentara Inggris tidak hanya melucuti persenjataan Jepang. Mereka datang membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Tujuan inggris yang ingin menjadikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan.

Pada tanggal 27 Oktober melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Pesawat itu membagikan Selebaran ke berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn. Isi dari selebaran tersebut adalah ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu dalam waktu 48 jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Mallaby yang telah membuat kesepakatan dengan Mustopo bahwa mereka hanya melucuti persenjataan jepang, menjadi tidak punya pilihan selain mengikuti perintah atasannya. Kejadian tersebut menimbulkan rasa kebencian di Surabaya, sehingga munculnya seruan di radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah Surabaya.

Melihat berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak Inggris tersebut, semakin meyakinkan bahwa peperangan tidak lagi bisa dihindari. Pada tanggal 27 Oktober tepatnya pada pukul 2 di siang hari, terjadi kontak senjata pertama antara rakyat melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.



Akhirnya berbagai pertempuran pecah di Surabaya. Gabungan antara TKR,  polisi, dan juga badan perjuangan, mengadakan serangan serentak ke pihak Inggris yang ada di kota Surabaya. Mallaby yang hanya memiliki 1 Brigade pasukan, lalu menyebarkannya pada lokasi-lokasi strategis. Mallaby dan pasukannya harus melawan semangat juang Rakyat Surabaya yang tidak ingin lagi dijajah. Karena banyak rakyat yang terbunuh, membuat para pejuang di Surabaya semakin Kalap untuk mengalahkan pasukan Mallaby. Pertempuran yang terus terjadi membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan Soekarno untuk mencari solusi dan meredakan situasi pada saat itu.

Dari perundingan, terjadi kesepakatan bahwa ultimatum yang dikeluarkan Jendral Hawthorn tidak berlaku, dan inggris mengakui keberadaan tentara keamanan rakyat dan polisi. Biro kontak antara Indonesia dan Inggris bergerak cepat untuk menyampaikan kesepakatan tersebut dengan iring-iringan mobil. Mereka berpacu dengan waktu untuk mengabarkan kesepakatan damai, karena keadaan Surabaya saat itu masih genting. Di sekitar gedung Internatio, Rakyat meminta agar Inggris keluar dari Surabaya. saat itu satu kompi pasukan inggris masih berada di gedung internatio, Mereka dianggap ancaman bagi rakyat.

Iring-iringan mobil biro kontak lalu sampai pada gedung internatio. Biro kontak menyampaikan kesepakatan kedua negara sehingga para rakyat melakukan gencatan senjata sementara. Perwakilan biro kontak lalu dikirim untuk berbicara dengan pasukan inggris yang berada dalam gedung Internatio. Saat sedang berdiskusi, sebuah granat dilemparkan dari dalam gedung. Insiden tersebut membuat rakyat kembali marah dan melakukan serangan, pada peristiwa itulah jendral Mallaby tewas. Kematian Mallaby menjadi pemicu yang mengubah Surabaya menjadi lautan darah. Inggris kemudian memberikan ancaman akan menuntut balas atas kematian salah satu petingginya.

Usaha perdamaian coba dilakukan oleh petinggi Republik Indonesia, Namun semua usaha itu menemui jalan buntu. Pihak Inggris tidak mau lagi bernegosiasi dengan petinggi Republik Indonesia. Pada tanggal 7 November 1945, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh ditugaskan menggantikan Jendral Mallaby. Mansergh mengancam rakyat Surabaya untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Ia menyampaikan ultimatum terbuka kepada Gubernur Suryo tanpa sopan santun. Ultimatum itu lalu digandakan dan disebarkan inggris lewat pesawat terbang. Dalam Ultimatum mengatakan bahwa rakyat Surabaya harus menyerah, jika tidak, Surabaya akan di Bombardir hingga hancur lebur pada tanggal 10 November 1945.

Para petinggi di Jakarta tidak dapat berbuat banyak karena Inggris tidak main-main. Berbagai upaya jalan damai telah diusahakan oleh para petinggi, namun semuanya  tidak digubris oleh Inggris. Disisi lain, rakyat Surabaya yang telah berjuang agar merdeka ikut naik darah atas ultimatum tersebut. Semangat perlawanan bergelora di Surabaya bagai tersiram minyak dengan ultimatum itu sebagai pemicunya. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan menjadi satu dengan semangat jihad. Bung Tomo yang telah mendapat restu dari KH. Hasyim Ashari, berteriak lantang mengobarkan semangat perlawanan masyarakat Jawa Timur. Bung Tomo menyuarakannya melalui radio perjuangan di jalan Mawar. Suaranya mengudara pada pukul 11 malam dengan semboyan MERDEKA ATAU MATI!!.

Pidato Bung Tomo membuat semangat rakyat Surabaya berkobar, mereka siap melawan Pasukan Inggris walaupun harus berkorban nyawa. Seruan Inggris agar membawa kain putih sebagai tanda menyerah tidak dipatuhi oleh rakyat Surabaya. Ribuan pasukan Inggris dengan senjata lengkap kemudian didatangkan ke Surabaya. Peralatan tempur seperti tank, panser dan Meriam artileri dikerahkan. Tidak hanya itu, mereka juga didukung kekuatan utama armada laut serta aramada udara mereka. Namun itu tidak membuat rakyat Surabaya gentar, mereka telah siap mempertahankan kemerdekaannya.

Pada 10 November 1945, Surabaya di hujani peluru Meriam pasukan Inggris. Serangan Pasukan Inggris dilakukan melalui udara, darat dan laut. Pada pasukan darat inggris Sekitar 30.000 pasukan, 1 skuadron tank ringan dan brant carrier, 20 tank Sherman, dan 23 artileri berat. Pada armada lautnya sekitar 3 kapal fregat, 1 kapal penjelajah, 3 kapal torpedo, 7 kapal pengangkut pasukan, dan kapal pendarat. Sedangkan armada udara, Inggris mengerahkan 1 squadron mosquito dan thunderbolt. Kekuatan perang Inggris itu ditambah kapal perang yang berada di perairan utara Surabaya.

Akibat serangan yang dilakukan oleh Inggris, membuat Surabaya menjadi luluh lantak. Dengan kekuatan besar itu, Inggris mengira hanya butuh 3 hari untuk menguasai Surabaya. Namun keperkasaan semangat juang rakyat Surabaya, membuat Inggris butuh waktu hingga 3 minggu untuk menguasai Surabaya. Sebuah keberanian yang luar biasa menghadapi peralatan tempur pemenang perang dunia kedua. Walaupun perbedaan peralatan tempur dan kualitas militer, tidak sedikitpun menurunkan semangat juang rakyat Surabaya. Pada akhirnya, Surabaya berhasil dikuasai Inggris setelah mengerahkan semua kekuatan tempurnya.

Walaupun mengalami kekalahan, namun dari pertempuran tersebut menunjukkan bahwa Indonesia siap melawan negara barat yang akan menjajah Indonesia. Mengetahui perbedaan persenjataan, rakyat Suroboyo mengubah cara berperang secara langsung menjadi perang gerilya. Para Rakyat Surabaya masih berjuang hingga berakhirnya agresi militer Belanda II. Dari peperangan 10 November, walaupun memenangkan pertempuran, Inggris kemudian menjadi negara Netral setelah munculnya gerakan Non-Blok. Inggris tidak mau lagi menghadapi semangat juang bangsa Indonesia. Banyaknya pahlawan yang gugur pada 10 november 1945, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai hari Pahlawan dengan didasari Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.

Sumber Referensi :

123dok.com, 

channel tvOneNews, 

goodnewsfromindonesia.id, 

gramedia.com, 

id.wikipedia.org, 

kompas.com,

RAMALAN PERANG AUSTRALIA VS INDONESIA BEREBUT PULAU PASIR

 


Sosial media baru-baru inj dihebohkan dengan ramalan Nostradamus yang dikait-kaitkan dengan Indonesia. Dalam ramalannya, Nostradamus memprediksi bahwa Indonesia dan Australia akan berperang pada tahun 2037. Australia akan menyerang negara yang ada pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan. Ciri-ciri negara tersebut mirip sekali dengan Indonesia, karena Indonesia memiliki pelabuhan, jembatan, dan tugu peringatan. Netizen kemudian mengaitkan bahwa tempat yang di maksud adalah Surabaya, Karena di Surabaya terdapat Pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Selain itu, di Surabaya juga terdapat jembatan merah, Sedangkan tugu peringatan yang dimaksud adalah tugu pahlawan. Menurut Nostradamus, Indonesia dan Australia berebut supremasi di laut hindia.

Perselisihan semakin membesar hingga menjadi konflik bersenjata yang diikuti perang besar, dalam perang tersebut Indonesia dikatakan akan kalah. Perselisihan antara Indonesia dan Australia akhir-akhir ini kembali terjadi. Terutama saat Indonesia dihebohkan dengan klaim dari Australia tentang pulau Pasir atau Ashmore reef. Pulau yang berada di Samudera Hindia tersebut akankah menjadi pemicu perang yang diramalkan oleh Nostradamus yang mengatakan bahwa Indonesia dan Australia berebut supremasi d laut Hindia.

Ashmore reef terletak sekitar 120 km sisi selatan pulau rote, dan berjarak 320 km dari Australia. Klaim Australia atas pulau tersebut didasarkan pada nota kesepahaman (MoU) nelayan Indonesia dengan Australia pada tahun 1974. Atas klaim pulau tersebut, sejak tahun 2004 telah banyak nelayan NTT yang ditangkap pemerintah Australia saat memasuki kawasan itu.

Masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) kemudian meminta Australia agar segera hengkang dari pulau itu. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, mengatakan telah meminta Negeri Kanguru menunjukkan bukti kepemilikan yang sah atas gugusan Pulau Pasir. Ketua YPTB di Kupang, Ferdi Tanoni, mengatakan “Mereka hanya mengklaim bahwa itu milik mereka, padahal tidak ada bukti yang bisa mereka tunjukkan bahwa itu adalah milik mereka”.

Ferdi juga telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Australia. Hal ini disebabkan karena banyak nelayan NTT yang melaut di wilayah itu dan ditangkap otoritas Canberra. Menurutnya di pulau itu terdapat kuburan leluhur Rote termasuk artefak. Ferdi menambahkan bahwa saat ini Australia melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di kawasan itu. Ferdi mengatakan “Kalau Australia tidak mau keluar dari gugusan Pulau Pasir, kami terpaksa membawa kasus tentang hak masyarakat adat kami ke Pengadilan Commonwealth Australia di Canberra”. “Nelayan Indonesia mengunjungi Ashmore Reef setiap tahun di bawah Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Pemerintah Australia dan Indonesia, yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan wilayah laut yang telah mereka akses secara tradisional selama berabad-abad.”

Persengketaan tentang Pulau Pasir atau ashmore reef antara Indonesia dan Australia telah terjadi sejak lama. Pada tahun 1974, Canberra dan Jakarta menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) soal batas wilayah teritorial. Perjanjian kedua negara lebih menyepakati garis-garis sementara pada bagian timurnya dengan mengikuti arah garis-garis batas landas kontinen, yang letaknya tepat pada garis tengah antara kedua negara. Garis tengah ini berlanjut sampai mendekati pulau-pulau Ashmore dan Cartier, terus berbelok ke arah utara dan menyusur gugusan pulau-pulau tersebut. Dalam kesepakatan tersebut juga mengatur kegiatan nelayan tradisional Indonesia di Australian Fishing Zone (AFZ), terutama di sekitar pulau-pulau Ashmore Reef dan Cartier island. Kesepakatan ini masih terbatas pada hak nelayan Indonesia untuk berlabuh dan mengambil air tawar hanya di East dan Middle island dari gugusan Pulau Ashmore reef.

Adanya kesepakatan batas kedua negara, pada tahun 1983 pemerintah Australia menetapkan kawasan Ashmore sebagai cagar alam nasional (National Nature Reserve) berdasarkan National Park dan Wildlife Conservation Act 1975. Dengan adanya penetapan kawasan perlindungan ini, membawa implikasi pembatasan aktivitas nelayan Indonesia. Sejak tahun 1983 terjadi perubahan perlakuan terhadap nelayan tradisional yang semakin ketat di kawasan perairan tersebut.

Perlakuan pemerintah Australia terhadap nelayan tradisional, kemudian menuai protes pemerintah Indonesia sehingga pada tahun 1989 dilakukan perjanjian bilateral kedua negara. Inti perjanjian tersebut adalah nelayan Indonesia dapat berlayar dan mencari sumber daya laut dengan menggunakan metode tradisional seperti zaman dahulu. Pemerintah Australia melarang jika nelayan Indonesia menggunakan kapal yang bermotor.

Australia melalui aparatnya kemudian melakukan tindakan tegas terhadap nelayan Indonesia yang melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya laut di AFZ, para nelayan tersebut dianggap merusak lingkungan disekitar terumbu karang. Aparat Australia menangkap nelayan, menyita hasil tangkapan, membakar kapal, dan menahan nelayan. Nelayan dianggap memasuki perairan AFZ tanpa mengindahkan peraturan pemerintah Australia, yaitu menggunakan mesin, memasuki wilayah yang dilarang, ataupun mengambil sumber daya laut yang dilarang.

Meski pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia telah melakukan perjanjian bilateral hingga tiga kali untuk mengatasi masalah pelanggaran kedaulatan, akan tetapi masih saja terjadi pelanggaran yang dilakukan nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia yaitu, pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MoU Box 1974 dan Agreed minutes 1989. Selain itu, terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik MoU Box 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Salah satu jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan penyu dan burung beserta telurnya.

Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan juga sering dilakukan. Fasilitas yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui MoU Box 1974 dan Agreed Minutes 1989, yaitu melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat penangkapan yang tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan gil/net.

Pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan masalah lingkungan hidup juga sering dilakukan. Mereka dinilai sering lalai memadamkan api setelah memasak, membuang puntung rokok sembarangan, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumber-sumber air minum. Para nelayan juga dikatakan memanfaatkan kegiatan penangkapan ikan sebagai sarana untuk mengantar dan memasukan imigran gelap ke Australia.

Pemerintah Australia mendefinisikan penangkapan illegal cenderung pada kategori pelanggaran hukum karena memasuki wilayah perairan pengawasan Australia, tanpa izin dari otoritas Australia. Berdasarkan nota kesepahaman antara Indonesia-Australia yang ditandatangani pada tahun 1974, pemerintah Australia masih mengizinkan nelayan tradisional, yaitu nelayan yang menggunakan kapal layar. Pemerintah Australia melarang setiap nelayan Indonesia yang menangkap ikan atau makluk hidup lainnya di Ashmore Reef karena area ini dijadikan cagar alam. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah Australia akan menghukum orang yang melanggar dengan menyita hasil yang telah diperoleh nelayan serta mewajibkan membayar denda atau mengenakan hukum penjara. Sedangkan Perahu kapal yang terbukti bersalah dapat disita dan dibakar.

Menanggapi hal ini, Pemerintah Indonesia menyatakan pulau itu memang milik Negeri Kanguru. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Abdul Kadir Jailani lewat akun Twitternya. "Pulau Pasir merupakan pulau yang dimiliki Australia berdasarkan warisan dari Inggris,". Pulau tersebut dimiliki inggris berdasarkan Ashmore and Cartier acceptance Act, 1933, Dan dimasukan ke dalam wilayah Administrasi Negara Bagian Australia Barat pada tahun 1942.

Australia pada masa penjajahan memang diduduki Inggris, sedangkan Indonesia lebih lama dijajah Belanda. Tidak bisa dipungkiri jika warisan kolonialisme telah lestari mempengaruhi bentuk-bentuk kedaulatan negara sampai saat ini. Dalam geografi Australia, Pulau Pasir tersebut bernama Kepulauan Ashmore dan Cartier. Sebelum Indonesia merdeka, pulau karang dan pasir kecil itu memang telah  menjadi milik Inggris. Sehingga Pulau Pasir atau Ashmore reef tidak pernah masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belanda tidak pernah mengklaim pulau tersebut karena tidak memiliki keuntungan dari segi apapun. Sedangkan inggris perlu memiliki pulau tersebut sebagai jalur pelayaran yang aman. Maka dari itu belanda dan inggris tidak bersengketa masalah pulau Ashmore reef tersebut, dan menyatakan pulau tersebut adalah milik inggris.

Pada Peta AOI (Area of Interest), yang menampilkan gambar wilayah Indonesia secara keseluruhan, terlihat ada lekukan garis batas yang menjorok ke arah dalam sisi Indonesia. Lekukan ini mirip dengan peta Australia. Lekukan itu melewati Pulau Pasir atau Australia menyebutnya sebagai Ashmore and Cartier Islands. Pada peta ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di situs Badan Informasi Geospasial Indonesia, terdapat gambar lekukan yang sama. Garis wilayah Indonesia menjorok ke dalam menghindari Pulau Pasir atau Kepulauan Ashmore dan Cartier. Bahkan di peta ZEE Indonesia, tidak ada nama Pulau Pasir, yang ada yakni Ashmore Reef. Di dekatnya, ada Hibernia Reef yang juga masuk wilayah Australia (meski menjorok ke Indonesia).

Garis batas ZEE Indonesia yang melewati Pulau Pasir ini berbentuk garis putus-putus, melewati Samudra Hindia hingga Laut Timor di selatan Nusa Tenggara Timur atau utara Australia. Jadi menurut peta resmi Indonesia, Pulau Pasir atau Kepulauan Ashmore dan Cartier tidak masuk wilayah Indonesia, melainkan wilayah Australia. Tidak mengherankan jika pemerintah Australia berang karena banyak nelayan yang tidak mengindahkan peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, pemerintah Australia akhirnya menangkap dan menyita kapal milik nelayan yang melanggar perjanjian tersebut.

Itulah pembahasan pulau Ashmore reef yang memang merupakan milik Australia. Jika Indonesia berusaha untuk mengklaim pulau tersebut, maka Indonesia berada pada posisi sebagai penginvasi. Dan jika berperang pun maka Indonesia akan dianggap bersalah karena melanggar perjanjian yang telah dibuat oleh kedua negara. Menanggapi ramalan Nostradamus yang mengatakan bahwa Indonesia dan Australia akan berperang itu tidaklah benar. Bagaimana mungkin seseorang yang hidup pada tahun 1500an meramalkan Indonesia, sedangkan nama Indonesia digunakan pertama kali digunakan secara politik pada tahun 1920an. Terlebih lagi, buku yang ditulis oleh Nostradamus dengan judul Les Propheties telah hilang setelah Nostradamus menghilang. Buku karya Mario Reading yang berjudul Nostradamus: The Complete Prophesies for the Future bisa saja adalah perkiraan Mario Reading melihat perselisihan Indonesia dan Australia yang telah terjadi sejak lama. Jika memang benar terjadi, maka itu hanyalah sebuah kebetulan ataupun itu adalah pengamatan yang telah dilakukan oleh Mario Reading.

Sumber Referensi :

cnbcindonesia.com, 

cnnindonesia.com, 

news.detik.com, 

99.co