Pertempuran di
Surabaya pada tanggal 10 November 1945, menjadi pertempuran besar terakhir yang
pernah dilakukan rakyat Indonesia melawan pasukan Inggris. sekitar 16.000 rakyat
Surabaya tewas, dan 20.000 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut.
Sedangkan di pihak Inggris dan sekutunya sekitar 2000 orang tewas, dan 2000
lainnya luka-luka. Pertempuran yang tidak seimbang dalam segi peralatan dan
pengalaman kemiliteran membuat banyak rakyat Surabaya meregang nyawa.
Pada saat itu,
tentara inggris dan sekutunya yang menang dalam perang dunia kedua berusaha
melucuti persenjataan Jepang dan membebaskan tawanan yang ditahan oleh Jepang. Pada
tanggal 24 Agustus 1945, terjadi sebuah kesepakatan antara Inggris dan Belanda
yang dimuat dalam Civil Affair Agreement. Kesepakatan itu berisi keinginan
Inggris untuk membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Hal itu
menyebabkan adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan
pasukan sekutu.
Kedatangan pasukan
sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia
Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Namun karena
wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah Allied
Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab untuk wilayah
Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan
Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI
di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke
tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta
mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia. Mereka berusaha menguasai kota-kota
besar, terutama Surabaya yang saat itu merupakan salah satu kota yang penting
untuk dikuasai. Surabaya kala itu adalah kota yang besar dan memiliki pelabuhan
serta pangkalan laut terbesar di Asia.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam AFNEI menjadikan Hotel Yamato
sebagai markas mereka. Hotel Yamato pada masa pemerintahan kolonial bernama
Hotel Oranje, dan kini bernama hotel Majapahit yang berada di Jalan Tunjungan
no. 65. Karena menjadi pemenang pada perang dunia kedua, pada malam hari
tanggal 18 september 1945, orang-orang Belanda di bawah pimpinan
Mr. W.V.Ch. Ploegman, mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan
Pemerintah RI Daerah Surabaya. Bendera itu berkibar di tiang sisi sebelah utara
pada tingkat teratas Hotel Yamato.
Keesokan harinya, para pemuda Surabaya melihat bendera Belanda itu
dikibarkan tanpa izin. Para pemuda menjadi marah karena menganggap Belanda
menghina kedaulatan Republik Indonesia. Dengan cepat, berita pengibaran bendera
Belanda tersebar ke seluruh kota Surabaya. Para pemuda Surabaya lalu memenuhi
Hotel Yamato di Jalan Tunjungan dengan keadaan marah.
Residen Sudirman lalu melewati kerumunan massa dengan didampingi Sidik
dan Hariyono untuk menemui Ploegman. Perwakilan tersebut meminta agar Ploegman menurunkan
bendera yang mereka kibarkan di Hotel Yamato. Bukannya menurunkan bendera
tersebut, Ploegman malah menolak dan mengusir Residen Sudirman. Perundingan di
dalam hotel Yamato menjadi memanas, terutama setelah Ploegman mengeluarkan
pistol untuk mengancam mereka. Perkelahian tidak dapat dihindari, Sidik yang
tersulut emosi lalu mencekik Ploegman hingga tewas. Namun Sidik juga ikut tewas
karena dibunuh menggunakan pedang oleh tentara Belanda yang berjaga disana.
Saat insiden itu, Sudirman dan Hariono berhasil keluar dari dalam Hotel.
Para pemuda diluar hotel yang melihat kejadian tersebut, ikut tersulut emosi.
Mereka lalu terlibat perkelahian dengan tentara Belanda. Beberapa orang
berusaha memanjat tiang untuk menurunkan bendera tersebut. Koesno
Wibowo akhirnya berhasil menurunkan bendera Belanda, ia lalu merobek
bagian biru dari bendera Belanda. Bendera yang telah berwarna Merah Putih
lalu dikibarkan kembali.
3 hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 16 september 1945, rakyat telah
mengepung gudang senjata terbesar milik Jepang. Gudang senjata itu berada di
Don bosco, saat itu gudang Don Bosco dijaga Dai 10360 Butai Kaitsutiro Butai di
bawah pimpinan Mayor Hazimoto. Pasukan Mayor Hashimoto ini terdiri atas satu
detasemen tentara serta pegawai sipil yang berjumlah 150 orang.
Mereka lalu bernegosiasi agar Jepang menyerahkan senjata kepada rakyat
Indonesia. Pada Awalnya Mayor Hazimoto menolak untuk menyerahkannya, pihak
Jepang akan menyerahkan gudang senjata itu kepada pihak sekutu. Para pemuda lalu
melakukan ancaman untuk mendesak Mayor Hazimoto menyerahkan gudang senjata itu.
Mayor Hazimoto akhirnya
tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan persenjataan beserta gedungnya. Naskah
serah terima gudang senjata lalu ditandatangani Hashimoto dan Jasin dengan Bung
Tomo sebagai saksi penyerahan itu. Karena menguasai gudang senjata, Sebelum kedatangan
Inggris dan tentara sekutu, para pemuda Surabaya telah mempersenjatai diri. Para
pemuda Surabaya telah siap menyambut kedatangan tentara Inggris.
Pada tanggal 25 oktober 1945, pasukan AFNEI mendarat di Surabaya
tepatnya di Tanjung Perak yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aubertin Walter
Sothern Mallaby. Mereka datang bukan untuk berperang, mereka datang untuk melucuti
persenjataan Jepang di Surabaya. Namun ternyata, kedatangan tentara Inggris tidak
hanya melucuti persenjataan Jepang. Mereka datang membawa misi mengembalikan
Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan
Hindia Belanda. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) ikut membonceng
bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Tujuan inggris yang
ingin menjadikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, memicu gejolak rakyat
Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan.
Pada tanggal 27 Oktober
melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Pesawat itu membagikan
Selebaran ke berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang
telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn. Isi dari selebaran tersebut
adalah ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu
dalam waktu 48 jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Mallaby yang telah
membuat kesepakatan dengan Mustopo bahwa mereka hanya melucuti persenjataan
jepang, menjadi tidak punya pilihan selain mengikuti perintah atasannya. Kejadian
tersebut menimbulkan rasa kebencian di Surabaya, sehingga munculnya seruan di
radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah Surabaya.
Melihat berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak Inggris tersebut,
semakin meyakinkan bahwa peperangan tidak lagi bisa dihindari. Pada tanggal 27
Oktober tepatnya pada pukul 2 di siang hari, terjadi kontak senjata pertama antara
rakyat melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Akhirnya berbagai pertempuran pecah di Surabaya. Gabungan antara
TKR, polisi, dan juga badan perjuangan, mengadakan serangan serentak ke
pihak Inggris yang ada di kota Surabaya. Mallaby yang hanya memiliki 1 Brigade
pasukan, lalu menyebarkannya pada lokasi-lokasi strategis. Mallaby dan
pasukannya harus melawan semangat juang Rakyat Surabaya yang tidak ingin lagi
dijajah. Karena banyak rakyat yang terbunuh, membuat para pejuang di Surabaya
semakin Kalap untuk mengalahkan pasukan Mallaby. Pertempuran yang terus terjadi
membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan Soekarno untuk mencari solusi dan
meredakan situasi pada saat itu.
Dari perundingan, terjadi kesepakatan bahwa ultimatum yang dikeluarkan
Jendral Hawthorn tidak berlaku, dan inggris mengakui keberadaan tentara
keamanan rakyat dan polisi. Biro kontak antara Indonesia dan Inggris bergerak
cepat untuk menyampaikan kesepakatan tersebut dengan iring-iringan mobil.
Mereka berpacu dengan waktu untuk mengabarkan kesepakatan damai, karena keadaan
Surabaya saat itu masih genting. Di sekitar gedung Internatio, Rakyat meminta
agar Inggris keluar dari Surabaya. saat itu satu kompi pasukan inggris masih
berada di gedung internatio, Mereka dianggap ancaman bagi rakyat.
Iring-iringan mobil biro kontak lalu sampai pada gedung internatio. Biro
kontak menyampaikan kesepakatan kedua negara sehingga para rakyat melakukan
gencatan senjata sementara. Perwakilan biro kontak lalu dikirim untuk berbicara
dengan pasukan inggris yang berada dalam gedung Internatio. Saat sedang
berdiskusi, sebuah granat dilemparkan dari dalam gedung. Insiden tersebut
membuat rakyat kembali marah dan melakukan serangan, pada peristiwa itulah jendral
Mallaby tewas. Kematian Mallaby menjadi pemicu yang mengubah Surabaya menjadi
lautan darah. Inggris kemudian memberikan ancaman akan menuntut balas atas kematian
salah satu petingginya.
Usaha perdamaian coba dilakukan oleh petinggi Republik Indonesia, Namun
semua usaha itu menemui jalan buntu. Pihak Inggris tidak mau lagi bernegosiasi
dengan petinggi Republik Indonesia. Pada tanggal 7 November 1945, Mayor
Jenderal Eric Carden Robert Mansergh ditugaskan menggantikan Jendral
Mallaby. Mansergh mengancam rakyat Surabaya untuk menyerahkan persenjataan dan
menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Ia
menyampaikan ultimatum terbuka kepada Gubernur Suryo tanpa sopan santun. Ultimatum
itu lalu digandakan dan disebarkan inggris lewat pesawat terbang. Dalam
Ultimatum mengatakan bahwa rakyat Surabaya harus menyerah, jika tidak, Surabaya
akan di Bombardir hingga hancur lebur pada tanggal 10 November 1945.
Para petinggi di Jakarta tidak dapat berbuat banyak karena Inggris tidak
main-main. Berbagai upaya jalan damai telah diusahakan oleh para petinggi,
namun semuanya tidak digubris oleh
Inggris. Disisi lain, rakyat Surabaya yang telah berjuang agar merdeka ikut
naik darah atas ultimatum tersebut. Semangat perlawanan bergelora di Surabaya
bagai tersiram minyak dengan ultimatum itu sebagai pemicunya. Perjuangan
mempertahankan kemerdekaan menjadi satu dengan semangat jihad. Bung Tomo yang
telah mendapat restu dari KH. Hasyim Ashari, berteriak lantang mengobarkan
semangat perlawanan masyarakat Jawa Timur. Bung Tomo menyuarakannya melalui
radio perjuangan di jalan Mawar. Suaranya mengudara pada pukul 11 malam dengan
semboyan MERDEKA ATAU MATI!!.
Pidato Bung Tomo membuat semangat rakyat Surabaya berkobar, mereka siap
melawan Pasukan Inggris walaupun harus berkorban nyawa. Seruan Inggris agar
membawa kain putih sebagai tanda menyerah tidak dipatuhi oleh rakyat Surabaya.
Ribuan pasukan Inggris dengan senjata lengkap kemudian didatangkan ke Surabaya.
Peralatan tempur seperti tank, panser dan Meriam artileri dikerahkan. Tidak
hanya itu, mereka juga didukung kekuatan utama armada laut serta aramada udara
mereka. Namun itu tidak membuat rakyat Surabaya gentar, mereka telah siap
mempertahankan kemerdekaannya.
Pada 10 November 1945, Surabaya di hujani peluru Meriam pasukan Inggris.
Serangan Pasukan Inggris dilakukan melalui udara, darat dan laut. Pada pasukan
darat inggris Sekitar 30.000 pasukan, 1 skuadron tank ringan dan brant carrier,
20 tank Sherman, dan 23 artileri berat. Pada armada lautnya sekitar 3 kapal
fregat, 1 kapal penjelajah, 3 kapal torpedo, 7 kapal pengangkut pasukan, dan
kapal pendarat. Sedangkan armada udara, Inggris mengerahkan 1 squadron mosquito
dan thunderbolt. Kekuatan perang Inggris itu ditambah kapal perang yang berada
di perairan utara Surabaya.
Akibat serangan yang dilakukan oleh Inggris, membuat Surabaya menjadi
luluh lantak. Dengan kekuatan besar itu, Inggris mengira hanya butuh 3 hari
untuk menguasai Surabaya. Namun keperkasaan semangat juang rakyat Surabaya,
membuat Inggris butuh waktu hingga 3 minggu untuk menguasai Surabaya. Sebuah
keberanian yang luar biasa menghadapi peralatan tempur pemenang perang dunia
kedua. Walaupun perbedaan peralatan tempur dan kualitas militer, tidak
sedikitpun menurunkan semangat juang rakyat Surabaya. Pada akhirnya, Surabaya
berhasil dikuasai Inggris setelah mengerahkan semua kekuatan tempurnya.
Walaupun
mengalami kekalahan, namun dari pertempuran tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia siap melawan negara barat yang akan menjajah Indonesia. Mengetahui
perbedaan persenjataan, rakyat Suroboyo mengubah cara berperang secara langsung
menjadi perang gerilya. Para Rakyat Surabaya masih berjuang hingga berakhirnya
agresi militer Belanda II. Dari peperangan 10 November, walaupun memenangkan
pertempuran, Inggris kemudian menjadi negara Netral setelah munculnya gerakan
Non-Blok. Inggris tidak mau lagi menghadapi semangat juang bangsa Indonesia. Banyaknya
pahlawan yang gugur pada 10 november 1945, pemerintah Indonesia menetapkan
tanggal 10 November sebagai hari Pahlawan dengan
didasari Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.
Sumber Referensi :
123dok.com,
channel tvOneNews,
goodnewsfromindonesia.id,
gramedia.com,
id.wikipedia.org,
kompas.com,
0 komentar:
Posting Komentar