F PEGAWAI JALANAN: LEGENDA
Tampilkan postingan dengan label LEGENDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LEGENDA. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Desember 2021

LEGENDA ASAL-USUL GUNUNG MERAPI!!!

        


    Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia yang terletak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Klaten, Boyolali, dan Magelang. Ketinggian Gunung Merapi mencapai 2.930 mdpl dan dianggap sebagai gunung api paling berbahaya di Indonesia. Hal ini dikarenakan berdasarakan penelitian para ahli, Gunung Merapi akan mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali. Sejak tahun 1548 Gunung Merapi tercatat mengalami erupsi sebanyak 68 kali.

    Nama Merapi diambil dari penyingkatan antara meru (=gunung) dan api, sehingga secara bahasa Merapi dapat dimaknai sebagai gunung api. Gunung Merapi menjadi gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan Pulau Jawa dari Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, dan Gunung Merapi. Secara geologis, pembentukan Gunung Merapi disebabkan karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak kebawah lempeng Eurasia sehingga memunculkan aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. 

        Sama seperti gunung-gunung lain di Indonesia, Gunung Merapi juga memiliki kisah mitologi tersendiri terkait pembentukaannya. Konon menurut cerita yang beredar di masyarakat, Gunung Merapi adalah penyeimbang Pulau Jawa agar tidak miring. Alkisah, dahulu Pulau Jawa adalah pulau yang miring. Para dewa di kayangan berencana menyeimbangkan Pulau Jawa dengan memindahkan sebuah gunung di laut selatan yaitu Gunung Jamurdipa.

        Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah yang kini ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan bersepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan ke daerah tersebut. Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula hanya berupa gunung biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung berapi. Apa yang menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!

        Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.

     Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk kedua empu tersebut.

    Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut menempa batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.

“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa Penyarikan.

Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.

“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.

“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,” jawab Batara Narada.

“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami penuhi.”

Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.

“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.

“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,” kata Dewa Penyarikan.

“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.

Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu.

“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi.

Melihat keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru, mereka terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu.

“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.

        Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.

       Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.

“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.

Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.

“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru.

“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.

        Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.

        Demikian cerita Asal Mula Gunung Merapi dari Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, Indonesia. Hingga saat ini, kawah Gunung Merapi tersebut masih aktif dan sering mengeluarkan lahar disertai dengan hembusan awan panas. Sejak tahun 1548, gunung berapi ini sudah meletus sebanyak kurang lebih 68 kali.

        Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah bahwa orang yang tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka seperti halnya Empu Rama dan Empu Pamadi. Oleh karena enggan mendengar nasehat para dewa, akibatnya mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa.


Sumber : https://histori.id/, https://phinemo.com/


Selasa, 07 Desember 2021

MELETUSNYA GUNUNG SEMERU!! ISI PERJANJIAN SYEKH SUBAKIR!! SABDO PALON NAGIH JANJI AKHIR TAHUN 2021

       

        Fenomena alam, fenomena sosial yang terjadi di nusantara tidak bisa dilepaskan terhadap kisah-kisah masa lalu yang biasanya di kaitkan dengan fenomena yang terjadi pada saat ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa sebagian cerita itu ada yang cocok dengan kondisi pada zaman modern ini. Akhlak yang dahulu terjaga sekarang mulai memudar karena pengaruh budaya asing yang merusak generasi muda kita, kebebasan yang tidak terkontrol, wabah penyakit dan bencana yang bertubi-tubi menguji kita. Dari kecelakaan pesawat pada awal tahun 2021, wabah covid19, banjir, gempa bumi, tanah longsor, bahkan akhir tahun ini kita dikejutkan dengan meletusnya gunung semeru. Bencana-bencana tersebut sudah meregut korban yang tidak sedikit, kita doakan semoga yang meninggal terutama kerena sakit dan bencana ditempatkan di tempat terbaik disisi Tuhan.  

Jika kita mengingat tentang kisah yang penuh dengan filsafat ajaran moral dan toleransi, kita pasti teringat tentang kisah Syekh Subakir dan Sabdo Palon yang sudah sangat mahsyur tersebut. Dari kisah ini bisa kita ambil pelajaran berharga tentang musyawarah yang terjadi antara Ulama penyebar Agama Islam dan tokoh yang dianggap mempresentasikan penguasa atau penjaga tanah jawa yang berusaha mempertahankan adat, budaya dan agama yang terlebih dahulu ada di tanah Jawa. Dalam kisah itu diceritakan bagaimana Sabdo Palon sang penjaga tanah jawa memberikan kesempatan kepada Syekh Subakir untuk menyebarkan ajaran Islam, tetapi dengan syarat yang harus dipatuhi. 

Jika syarat tersebut tidak dipatuhi Sabdo Palon mengancam akan membuat goro-goro di masa yang akan datang, dan ternyata banyak masyarakat terutama orang Jawa yang mempercayai semua fenomena buruk yang terjadi tersebut adalah tanda bahwa janji Sabdo Palon akan segera terjadi, masyarakat jawa mengenalnya dengan Sabdo Palon Nagih Janji. 

Di antara ragam Serat Jangka Jayabaya, salah satu versinya bercerita tentang Syekh Subakir dan perannya dalam membangun peradaban bangsa manusia di Pulau Jawa. Hikayat syekh Subakir ini juga tersebut dalam tulisan lontar kuno yang diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak-tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.   

           Syekh Subakir adalah seorang ulama yang berasal dari Persia. Beliau adalah generasi awal Wali Songo, penyebar Islam di tanah Jawa. Beliau dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa ini. Diriwayatkan bahwa proses islamisasi di Jawa mengalami hambatan, disebakan kuatnya orang Jawa dalam memegang kepercayaan lama. Syaikh Subakir datang ke tanah Jawa bersama wali sanga generasi awal, setelah diperintahkan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih di Istanbul, Turki. Kesembilan ulama ini mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli pengobatan, ahli tumbal, dan lain-lain. Wali Sembilan ini dibagi menjadi 3 kelompok dan di tempatkan pada tiga tempat, yakni di bagian barat, tengah dan timur tanah Jawa.  

           Konon, hambatan penyebaran Islam di Jawa pada masa sebelumnya, disebabkan oleh keberadaan bangsa jin yang menempati setiap sudut tanah jawa. Bangsa Jin ini dipimpin oleh Sabdo Palon atau Kyai Semar, yang bersemayam di puncak Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

         Syekh Subakir yang ahli dalam ilmu batin (baca: sakti) segera melakukan pembersihan, dengan menancapkan tumbal yang berupa batu hitam di puncak gunung Tidar. Seluruh Jawa bergolak, seluruh bangsa jin yang menguasi jawa merasakan kepanasan yang teramat sangat, hingga mereka lari tunggang langgang menyeberang ke lautan atau menepi ke sudut terpencil tanah Jawa. Sebagian jin yang lain ada yang harus mati akibat hawa panas dari tumbal yang dipasang Syekh Subakir. Karena itulah, Gunung Tidar dipercayai sebagai Pakunya Tanah Jawa.  

          Melihat hal itu, Sabdo Palon yang telah 9000 tahun bersemayam di puncak Tidar keluar dalam bentuk manusia, berdiri di hadapan Syekh Subakir. Setelah terjadi perdebatan mereka segera adu kesaktian. Konon petempuran antara keduanya selama 40 hari 40 malam, hingga Sabdo Palon merasa kewalahan dan menawarkan gencatan senjata. Sabdo Palon mensyaratkan beberapa point dalam upaya penyebaran Islam di Jawa. Syarat-syarat itupun disetujui Syekh Subakir.



Berikut ini adalah dialog antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar yang kami sajikan dalam bentuk imajiner.

 Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.

Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.

Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.

Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?

Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.

Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.

Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.

Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?

Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.

Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Buda yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?

 Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukuankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?

Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.

Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.

Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.

Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.

Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.

Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.

Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.

Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.

Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.

 Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.

 Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?

 Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat - syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.

 Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namu jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.

Itulah dialog yang terjadi antara Syekh Subakir dan Sabda Palon, artikel ini jangan kita telan mentah-mentah, akan tetapi ada hikmah dan pesan yang dapat kita ambil dari dialog tersebut, bahwa penyebaran agama Islam tidak pernah di lakukan dengan paksaan di tanah Jawa, serta tidak membuang adat dan kebudayaan yang telah ada dan di jalankan oleh masyarakat jawa, asal tidak bertentangan dengan agama.  Mungkin karena dialog ini para ulama menyebarkan agama Islam dengan kearifan lokal sehingga agama Islam dapat di terima oleh masyarakat jawa dan menjadi agama mayoritas yang di anut oleh orang Jawa.

Yang sangat jelas bahwa kisah tersebut mengandung filsafat yang sangat luar biasa dan sangat relevan sampai saat ini, bahwa penyebaran agama tidak boleh dengan paksaan, menyaring segala bentuk faham, ideologi, budaya luar yang masuk ke tanah Jawa agar orang jawa tidak hilang jawanya, yang akan terus mempertahankan adat dan tradisi sampai kapanpun.



Sabtu, 24 Juli 2021

KISAH TOGOG Dewa Malang yang Nasibnya Tidak Sebaik Saudaranya!!!

        

        Togog adalah tokoh wayang yang memiliki julukan sebagai ‘Dewa yang Malang’. Di mana tokoh ini ada di dalam kisah pewayangan purwa yang cukup populer. Dia memiliki mata juling, hidung yang pesek, mulut ndower atau lebar tak bergigi, kepala botak, bahkan rambutnya hanya di tengkuk saja, bergelang, dan memiliki suara nge-bass atau rendah besar. Keris adalah senjata utamanya yang selalu ia bawa ke mana-mana juga dalam menghadapi musuh. Walaupun di pewayangan, hampir tak pernah melihat Togog berkelahi.

           Togog merupakan tokoh pewayangan yang memiliki takdir untuk menemani majikannya yang memiliki hati sombong, keras kepala, otoriter, hiporkit, dan antidemokrasi. Karena suaranya yang rendah dan nge-bass, hampir kata-kata bijaknya tak didengar dan diindahkan oleh majikannya. Itu sebabnya Togog pun ikut kecipratan watak jahat dari majikannya. 

        Di sinilah kenapa Togog memiliki julukan sebagai ‘Dewa yang Malang’. Karena ia tak semujur saudaranya, Semar. Walaupun keduanya sama-sama cucu Sang Hyang Wenang.

        Saat zaman kadewatan, alkisah Sanghyang Wenang telah mengadakan sayembara untuk menjadi penguasa kahyangan. Sayembara ini pun diikuti ketiga cucunya yaitu Batara Antaga atau Togog, Batara Ismaya atau Semar, dan Batara Manikmaya atau Batara Guru. Sayembara itu syaratnya adalah menelang Gunung Jamurdipa dan memuntahkan kembali secara utuh.

        Togog pun menjadi peserta urutan pertama, karena ia adalah yang paling tua. Namun ternyata Togog gagal melakukannya, malah akibatnya ia mengalami robek pada mulutnya. Selanjutnya Semar melakukannya. Ia berhasil menelan gunung tersebut secara utuh, namun Semar gagal memuntahkannya, hingga perutnya membuncit. Karena Gunung tersebut musnah ditelan Semar, akhirnya yang memenangkan sayembara tersebut adalah Batara Guru yang merupakan cucu paling bungsu.

        Karena gagalnya Semar dan Togog, akhirnya mereka ditugaskan turun ke bumi untuk menjadi pamong dan penasihat alias pembisik arti kehidupan kepada manusia agar manusia berbuat kebajikan.



    Naasnya, Semar yang berhasil menelan gunung mendapatkan hadiah berupa menjadi penasihat para ksatria berwatak baik. Sedangkan Togog yang gagal menelannya mendapat hukuman menjadi pamong para ksatria yang berwatak buruk.

        Inilah nasib malang yang dialami Togog. Ia pun harus menemani kaum aristokrat yang berhati busuk dari masa ke masa. Namun kehadiran Togog dalam pewayangan ini hanya sebagai pelengkap penderita saja. Di dalam pementasan wayang, ia selalu gagal membisikan kebaijkan ke orang-orang yang diikutinya. Angkara murka pun terus mengalis, watak budi terapung. Togog pun dianggap gagal sebagai dewa.

        Togog memiliki kemampuan mengingat yang sangat kuat. Apalagi ia sudah mengarungi berbagai tempat. Dengan begitu, ia mendapat tugas sebagai pemandu jalan para raksasa yang diikutinya. Di sini Togog memiliki sifat jelek, yaitu tak memiliki kesetiaan. Terkadang Togog suka berganti-ganti majikan di setiap tempat dan setiap waktu. Togog yang memiliki nama lain Lurah Wijayamantri ini sering mendapat tugas mengantar bala tentara mengarungi negeri. Berpindah tempat dari negeri satu ke negeri lain.

     Pada setiap lakon pewayangan, Togog 'ditakdirkan' untuk mendampingi majikan berhati congkak, keras kepala, mau menang sendiri, hipokrit, otoriter, dan antidemokrasi. Suara-suara bijak dan pesan moral nyaris tak pernah didengar, sehingga dia ikut tercitrakan sebagai tokoh berwatak jahat.

        Tugas togog jelas lebih berat dari pada Semar.  Semar bertugas untuk memomong para kesatria yang pada dasarnya sudah bersifat baik, sedangkan Togog bertugas untuk memberi nasihat, peringatan dan menyadarkan para kesatria yang berwatak buruk.

        Tugas Togog sebenarnya adalah mencegah perilaku, tindakan dan aksi kejahatan.  Togog dalam posisi sebagai pengasuh (batur) dan tidak menjadi kehilangan jati dirinya.

            Uniknya, Togog tetaplah dianggap sebagai sosok yang memiliki kecerdasan sebagai dewata. Meski berada dalam lingkungan tokoh jahat, Togog dianggap tidak lebur dalam perilaku jahat. Togog juga dianggaptidaklebur dalam opini umum.

        Tokoh Togog lebih mudah dikenali dalam pewayangan Jawa. Karena ia memiliki ciri yang sangat khas sekali, yaitu mulutnya yang besar. Di mana mulut itu selalu digunakan untuk menasehati para majikannya, namun tak pernah diindahkan oleh majikannya. Padahal kata-kata yang diucapkan Togog cukup indah. Namun dengan simbol suaranya yang ngebas, bahkan kata-kata bijak pun tak terdengar sama sekali. Inilah nasib malang yang dialami Togog sebagai Dewa yang Malang.

Penyusun     : Argha Sena

Penyunting    :  Argha Sena

Referensi     : 

  1. https://jagad.id/
  2. http://wikipedia.org
  3. https://wayang.wordpress.com/




KISAH DARI TANAH PASUNDAN!!! Percintaan Sangkuriang dan Dayang Sumbi Berakhir Tragis

 
    Kisah mitologi yang tidak kalah menariknya adalah kisah yang bersasal dari tanah pasundan yang menceritakan tentang percintaan tokoh Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang ternyata setatus mereka adalah anak dan ibu. Berikut ini adalah kisahnya. 

Diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan, lalu Sang Hyang Tunggal mengutuk mereka dan menurunkan ke bumi dalam wujud hewan. Sang dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) yang bernama Celeng Wayung Hyang (atau Wayungyang), sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing dengan nama Tumang. Mereka harus turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.

Suatu hari, Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu bersama dengan para pengawalnya. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan), dalam versi lain disebutkan air seni sang raja tertampung dalam batok kelapa. Celeng Wayung Hyang yang merupakan jelmaan sang dewi yang tengah bertapa sedang kehausan. Ia kemudian melihat air yang tanpa diketahuinya adalah air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang tidak menyadari bahwa bayi itu adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh Raja dan diberi nama Dayang Sumbi. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.

Dayang Sumbi sangat bersedih mengetahui kenyataan bahwa para pangeran, raja dan bangsawan yang ditolaknya saling melakukan peperangan untuk memperebutkannya. Dia pun memohon kepada Raja Sungging Perbangkara untuk mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik menenun kain, torompong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah balai-balai. Karena Dayang Sumbi sulit untuk mengambilnya, dia pun berjanji bahwa siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh, bila laki-laki akan dijadikan suaminya, dan jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Ternyata Si Tumang yang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Karena telah berjanji maka Dayang Sumbi pun menepati janjinya untuk menjadikan Tumang sebagai suaminya.

Karena kejadian tersebut diketahui  oleh Raja, maka Dayang Sumbi di asingkan ke hutan dan hanya ditemani olehTumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa. Dayang Sumbi mengira ia bermimpi ketika bercumbu dengan seseorang  yang tidak lain adalah wujud asli si Tumang. Setelah kejadian itu Dayang Sumbi hamil dan akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang kemudian tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.

Suatu hari Dayang Sumbi ingin makan hati menjangan (rusa), maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak tampak hewan buruan seekorpun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang, yang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri, maka si Tumang tidak mau menuruti perintah itu.

Karena kesalnya Sangkuriang kemudian menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panahnya terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk oleh anak panah. Sangkuriang menjadi bingung karena tidak memperoleh hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Oleh Sangkuriang, hati si Tumang itu diberikannya kepada Dayang Sumbi, yang kemudian dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang. Maka Dayang Sumbi pun marah kepada Sangkuriang, kemudian dayang sumbi  memukul kepala Sangkuriang dengan centong (sendok nasi) yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.


Karena kesakitan dan ketakutan, Sangkuriang akhirnya lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang menyesali perbuatannya, berusaha mencari Sangkuriang ke hutan dan memanggil-manggil serta memohonnya untuk segera pulang. Akan tetapi Sangkuriang telah pergi jauh. Dayang Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa sakti dan banyak menimba ilmu. Setelah beberapa tahun, Sangkuriang telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa.

Sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah Sangkuriang di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi berada. Namun Sangkuriang tidak mengenali bahwa wanita cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang Sumbi pun awalnya tidak menyadari bahwa lelaki tampan itu adalah putranya sendiri. Lalu Dayang Sumbi dan Sangkuriang itu saling bermesraan. Saat Sangkuriang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, Dayang Sumbi melihat tanda luka di kepala Sangkuriang. Dayang Sumbi menanyakan asal luka itu kemudian ia mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya. Dayang Sumbi pun menceritakan kepada Sangkuriang bahwa dia adalah ibunya.

Walaupun Sangkuriang telah mengetahui bahwa wanita cantik itu adalah ibunya, ia tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka Dayang Sumbi menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung aliran Sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya karena sangkuriang memiliki kesaktian yang diperolehnya dari banyak guru.

Sangkuriang mulai bekerja, dibuatlah perahu dari sebuah pohon besar yang tumbuh di sebelah timur. kelak, tunggul atau pangkal pohon itu berubah menjadi gunung yang bernama Bukit Tunggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan kelak menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), lewat tengah malam bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi lalu membentangkan helai kain boeh rarang (kain putih hasil tenunannya) di atas bukit di timur, sehingga kain putih itu tampak bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur.

Sementara itu ia pun berulang-ulang memukulkan alu ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Para guriang makhluk halus anak buah Sangkuriang pun ketakutan karena mengira hari mulai pagi, mereka lalu lari menghilang bersembunyi di dalam tanah. Dengan demikian pembuatan bendungan pun tidak terselesaikan. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi gusar dan mengamuk. Perahu yang telah dikerjakannya dengan bersusah payah lalu ditendangnya ke arah utara dan jatuh menangkup menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Di puncak kemarahannya, dinding bendungan yang berada di sebelah barat dijebolnya, kelak lubang tembusan air Citarum ini dikenal sebagai Sanghyang Tikoro. Sumbat aliran Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali, bekas danau ini kelak menjadi lokasi Kota Bandung.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi karena marah dan merasa dicurangi. Dayang Sumbi berlari menghindari kejaran Sangkuriang yang telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di Gunung Putri dan ia pun memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung Berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Itulah kisah tentang Sangkuriang yang juga merupakan legenda asal mula gunung tangkuban perahu. Kisah ini dulu merupakan salah satu legenda yang terkenal dikalangan anak-anak. Namun kini anak-anak lebih suka bermain smartphone mereka daripada membaca seperti anak-anak zaman dulu. Semoga kisah ini menjadi pengetahuan baru tentang legenda yang pernah terjadi di daerah Lembang sekitar 30 km dari kota Bandung.

Penyusun        : Riskyrito

Penyunting      : Argha Sena

Referensi       

  1. popmama.com
  2. ppid.bandung.go.id
  3. wikipedia.org



Rabu, 01 April 2020

Kisah Rahwana yang Banyak Orang Tidak Tahu | Pegawai Jalanan


Rahwana adalah seorang Penjahat yang sudah diketahui banyak orang, karakter antagonis dalam cerita pewayangan.  Sedangkan Rama adalah seorang pahlawan yang memerankan karakter baik dalam kisah-kisah tersebut.  Pemahaman ini sdh meluas dlm masyarakat kita tentunya yang tahu cerita kisah pewayangan Ramayana yang sangat melegenda hingga saat ini. Namun dalam urusan cinta, bisa saja pemahaman ini diperdebatkan dan tidak selamanya kebenaran yang kita yakini adalah benar bagi pemahaman lainnya. 

Kita percaya bahwa manusia itu punya dua sisi (tidak ada yang sepenuhnya hitam, tidak ada yang sepenuhnya putih), seperti Adolf Hitler yang digambarkan kejam tidak punya hati, akan tetapi ada saja sisi baiknya yang dapat kita telusuri. 

Dalam artikel kali ini, Kami ingin mengajak kita semua mencoba melihat dari sisi Rahwana sebagai pribadi yg jatuh cinta.  

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Rahwana hanya mencintai satu wanita, yaitu tentu saja istrinya sendiri, dia adalah Dewi Setyawati namanya. Hingga kemudian dalam kisah tersebut sang dewi meninggal dunia dan kemudian menitis kepada dewi Sinta. Ternyata Cinta di hati Rahwana tak pernah padam, hingga pada akhirnya sang waktu mempertemukannya dengan Sinta, yang sayangnya sudah menjadi istri Rama, seorang raja dari Ayodya, karena telah berhasil memenangkan sayembara yang diadakan pada waktu itu. 

Melihat cinta sejatinya sudah menjadi milik orang lain, Rahwana hanya punya dua pilihan yaitu, merelakannya atau merebutnya dengan taruhan apa pun, bahkan nyawanya sendiri. 
Dan ternyata Rahwana memilih pilihan kedua, yaitu merebut cinta sejatinya dari tangan Rama walaupun dia tahu nyawa yang menjadi taruhan dalam perjuangannya kali ini.

Akhirnya Sinta pun diculik dan dibawa pulang ke Alengka. Selama kurang lebih tiga tahun disekap, ternyata diluar dugaan, Sinta diperlakukan sangat baik, dihormati bak ratu oleh Rahwana. Meskipun kalau dia mau, dia bisa memaksa atau bahkan memperkosa Sinta untuk melepaskan hasrat terpendamnya selama ini, akan tetapi Rahwana tak pernah mau melakukannya. Rahwana sangat tahu, cinta sejati tak butuh dipaksa.

Dia tak pernah menyentuhnya walau hanya menggamit atau menyolek sang dewi sinta. 
Dia menunggu Dewi Sinta sang pujaan hatinya menerima cinta yang tulus tanpa pemaksaan. Menunggu adalah hal terbaik, Rahwana menjaga agar sang dewi tak terluka hatinya.  Agar sang dewi mencintainya sepenuh hati. Rahwana yakin Suatu saat nanti... Walaupun itu entah kapan... Hal itu pasti akan terjadi, itulah keyakinan hati seorang Rahwana. Padahal dia sendiri sudah tahu, bahwa titisan Dewi Setyawati itu terlahir begitu setia pada suaminya, tidak mungkin akan berkhianat kepada suami sah nya.

Konon diceritakan dalam kisah tersebut, Setiap hari Rahwana mendatangi Sinta dengan beragam puisi indah untuk meluluhkan hati sang Dewi Sinta. Dia selalu minta maaf karena telah menculik dan menyekapnya. Semua itu dilakukan agar sinta bersedia menjadi permaisuri, satu-satunya istri terkasih yang Rahwana inginkan. Namun nasib dan waktu menjawab sebaliknya....Sinta selalu menolak ungkapan hati sang Rahwana.

Apa yang datang dari hati, pasti sampai ke hati. Sekejam apa pun Rahwana Dimata manusia, ketulusannya perlahan, pelan tapi pasti mulai dirasakan oleh Sinta. Selama dirinya di Alengka, Rahwana ternyata berubah menjadi baik dan murah senyum sehingga mengubah suasana kerajaan menjadi baik pula dan penuh kedamaian. 

Sinta mulai tergoda dengan suasana dan keadaan itu, akan tetapi di sisi lain dia tak mau mengkhianati suaminya sahnya yaitu Rama. Namun, dia sudah menunggu hampir tiga tahun lamanya, dalam hati dia bertanya  Mengapa Rama tak kunjung juga menyelamatkannya? Apakah suaminya sudah tak mencintainya lagi? Pertanyaan itu selalu terbersit dalam hati Sinta.

Pada satu waktu, dalam diam Rahwana dan Sinta saling bicara. 

"Tidakkah kau juga mencintaiku Sinta? Tidakkah kau mengingatku walau sedikit saja, sebagai pria yg pernah kau cintai sampai mati" ungkap Rahwana kepada Sinta.

"Aku sebenarnya juga mencintaimu. Namun aku sudah terikat dengan Rama.. Jika kamu mencintaiku, tolong relakanlah aku dan kembalikanlah aku.." Jawab Sinta.

Kata-kata Sinta ibarat mantra yang menyihir Rahwana. Sebab, selama hidupnya, hanya kata-kata itulah yang dinantinya. 

"Jika itu maumu, sebagai ksatria, aku akan berduel satu lawan satu dengan Rama.  Jika dia bisa mengalahkanku, maka aku akan mengembalikanmu kepadanya" Rahwana berkata dengan tegas.

Dan akhirnya saat yang mendebarkan itu pun datang juga, membuat cerita klasik ini bertambah seru.

Ketika Rama datang dengan balatentara wanara dibantu hanoman untuk menyelamatkan Sinta, dengan gagah berani Rahwana menyambutnya dengan semangat juang tinggi dan tanpa rasa takut sedikitpun.

Rahwana berkata. 
“Aku sangat mencintai Sinta, Rama! Aku akan melakukan apa pun untuknya. Aku benar-benar mencintainya, bukan sepertimu yang menikahinya hanya karena berhasil memenangkan sayembara. Semua perbuatanku yang kau sebut ‘mengacau’ sebenarnya adalah usahaku dalam rangka mendapatkan cintaku kembali."

Maka Pertarungan dahsyat pun tidak dapat dihindarkan lagi, terjadilah duel maut antara Rama dan Rahwana. Dalam pertarungan itu ternyata, dengan dibantu Hanoman, Rama berhasil mengalahkan Rahwana dan membunuhnya. Akhir pertarungan Rahwana mati dalam keadaan mengejar cinta sejatinya.


Sinta pun kembali jadi milik Rama. Dia lari menghambur ke pelukan Rama. Namun, sambutan Rama justru tak diduga oleh Sinta. Rama curiga, jangan-jangan Sinta telah dinodai Rahwana karena sudah di sekap selama kurang lebih 3 tahun di istana Rahwana.

Berkali-kali Sinta menjelaskan bahwa dirinya masih suci, dan Rahwana tidak pernah sekalipun menyentuh atau menjamahnya. Tapi Rama tak juga percaya begitu saja dengan Sinta, Hingga akhirnya, Sinta nekat membuktikan kesuciannya dengan menceburkan diri ke dalam bara api.  Karena dia masih suci, api tak bisa membunuhnya. Barulah setelah peristiwa itu terjadi Rama mau menerimanya kembali.

Tinggal kemudian sukma Rahwana yang menangis sejadinya karena nestapa cinta. Kenapa takdir tidak memilihnya? Andai dia ikut sayembara, pasti Sinta menjadi miliknya, bukankah kesaktian Rama masih jauh di bawahnya kala itu.  Kenapa pula Sinta memilih pria yang tidak mempercayainya 100 persen? Sementara bagi Rahwana, Sinta ternoda atau tidak, cantik atau tidak dia tetap akan mencintainya dengan tulus tanpa embel2 apapun.
------
Sedangkan disudut lain yg tak terlihat..  ternyata Sinta tersedu pilu karena Rahwana sdh tak ada lagi di dunia yg ditempatinya, tak menghirup lagi udara yg dihirupnya... Sosok yg mencintainya tanpa tapi.

Argha Sena