F Oktober 2022 ~ PEGAWAI JALANAN

Rabu, 12 Oktober 2022

"SUDISMAN : PKI TIDAK TAHU MENAHU TENTANG G30-S"!!!

     Setelah pemberontakkan PKI yang dilakukan pada tahun 1965 kembali gagal, para petinggi PKI menjadi target utama penangkapan. Para petinggi seperti D.N Aidit, Sjam Kamaruzaman, dan petinggi-petinggi lainnya tertangkap dan dieksekusi tanpa proses pengadilan. Sejak Maret 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadi partai terlarang. Dari petinggi-petinggi yang telah tertangkap dan dieksekusi, masih ada petinggi-petinggi PKI yang belum tertangkap, salah satunya adalah Sudisman. Dia adalah anggota tertinggi keempat dari Politbiro Partai Komunis Indonesia, dan merupakan salah satu dari lima pemimpin senior PKI yang diadili.

    Selama pelarian, Sudisman sempat mencoba mengatur kembali PKI menjadi gerakan bawah tanah setelah para pemimpin senior lainnya ditangkap dan dieksekusi. Dia bertindak sebagai pemimpin PKI untuk waktu yang singkat sebelum penangkapannya. Niat Sudisman untuk memperbaiki partai harus dikubur dalam-dalam. Pada penghujung tahun 1966, tepatnya pada 6 Desember, ia tertangkap di sekitar Tomang. Sudisman kemudian ditahan di dalam sel berukuran 2,20 x 3,60 meter selama lebih dari 7 bulan atau tepatnya 211 hari terhitung mulai 6 Desember 1966. 

       Penjara bukanlah hal baru baginya, waktu muda dia pernah dipenjara pemerintah kolonial karena persdelict. Sebagai sosok petinggi PKI, track record Sudisman tidak bisa dipandang sebelah mata. Bersama Amir Sjarifuddin, ia menjadi bagian dari jaringan kelompok PKI ilegal saat penjajahan Jepang. Keduanya kala itu bergerak di akar rumput bersama rakyat. Sudisman dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik, maka ia dijuluki the king maker. Ia juga dikatakan sebagai “kamus berjalan” yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.

    Ketika PKI bergerak di bawah tanah dan ilegal pada zaman pendudukan Jepang, Sudisman pernah dijatuhi hukuman bui selama 8 tahun. Beruntung, hukuman itu tidak dijalaninya secara penuh karena Jepang terlebih dahulu hengkang dari tanah air pada tahun 1945. Setelah bebas, dia menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur. Ketika organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berdiri pada 10 November 1945, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), Sudisman termasuk menjadi salah satu pendirinya. 

    Ia mendirikan Pesindo bersama Wikana, Ruslan Widjajasastra, Krissubanu, dan lainnya. Pesindo kemudian menjadi organ pemuda yang sangat berpengaruh. Setelah Kongres III Pesindo pada 12 November 1950, Pesindo kemudian berganti nama menjadi Pemuda Rakyat (PR). Organisasi pemuda itu belakangan menjadi onderbouw PKI dan ikut dibubarkan setelah pemberontakkan 1965. 

    Menurut Soe Hok Gie, dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, dalam susunan organisasi yang dibentuk pada 1948 setelah Musso kembali dari Eropa, Sudisman masuk ke dalam struktur PKI di seksi organisasi. Menurut pengakuannya sendiri, seperti terbaca dalam Pleidoi Sudisman: & Statement politiknya menyon[g]song eksekusi (2001), Sudisman menjadi Kepala Organisasi Central Comite (CC) alias pengurus pusat PKl.

    Kedatangan Musso memang mengubah secara dramatis jalan perjuangan PKI. Musso datang bukan hanya untuk mengambil alih PKI, namun juga mendorong PKI mengambil jalan yang lebih radikal dan memuncak pada peristiwa Kudeta Madiun 1948. Setelah pemberontakkan tahun 1948 yang gagal, banyak para petinggi PKI yang dieksekusi termasuk Muso. Namun tidak semua anggota dan petinggi PKI mati terbunuh. Mereka yang berhasil lolos dari pembersihan membangun kembali partai itu. Termasuk Sudisman yang pada tahun 1950, "diangkat sebagai Sekretaris CC PKI.

    Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman dipercaya untuk urusan organisasi sebagai Sekretaris CC PKI. di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman tampaknya begitu dipercaya untuk urusan organisasi. Ketika menjabat sebagai anggota Politbiro PKI, dia juga menjadi Anggota Departemen Organisasi PKI. Di luar urusan partai, Sudisman adalah anggota parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong-Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRGR-MPRS).

   Saat ditangkap setelah pemberontakkan PKI tahun 1965, Sudisman memilih menggunakan pengadilan untuk menjelaskan sikap PKI -- setidaknya mewakili empat kameradnya itu. Dan ia menyadari benar bahwa pledoinya akan menjadi dokumen sejarah. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk memanfaatkan "panggung" Mahmilub dengan sebaik mungkin.

    Ketika persidangan itu berlangsung, ia mengaku sedikit kecewa lantaran persidangan tersebut tidak terbuka untuk masyarakat luas. "Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmillub yang lalu sejak mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio.Walaupun tidak disiarkan oleh RRI, saya yakin bahwa secara "getok-tular", secara berantai akan sampai pada mereka, sebab "mondblad", (suara dari mulut ke mulut), adalah lebih cepat tersiar daripada "staatsblad" (suara pemerintah).

    Dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) tahun 1967, Sudisman memaparkan penjelasannya tentang kejadian 30 September 1965. Dalam sidang itu Sudisman tidak menyangkal keterlibatannya dalam G30S yang menculik dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Di persidangan secara terbuka dia mengatakan: “Saya sendiri terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G30S.” Baginya, gerakan yang tak melibatkan massa rakyat seluruh pendukung PKI se-Indonesia hanyalah sebuah avonturisme (petualangan politik) petinggi partai.

    “Bagaimana pun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi.” Paparan Sudisman tersebut ia beri judul "Uraian Tanggung Jawab" sebagai hasil dari perenungannya selama mendekam dalam tahanan. Ia merasa bertanggung kepada rakyat dan Partai Komunis Indonesia, rakyat yang dimaksud ialah kaum buruh, kaum tani, borjuis kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual revolusioner, dan borjuis nasional yang anti-imperialis dan anti tuan tanah (anti-feodal).

    Sudisman mengatakan dengan jelas: "Saya dengan mereka [Aidit, Njoto, Lukman, Sakirman] membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme – Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme – Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan’ G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI."

    “Para petinggi PKI, Tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam G30S yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa Rakyat.” G30S nyatanya menjadi jalan yang justru menghancurkan PKI. G30S, “telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Kalau sudah jauh dari massa rakyat, yang harusnya jadi pendukung utama PKI, maka habis sudah PKI."

    Ia menampik keterlibatan PKI sebagai organisasi dalam G30S. Akan tetapi, kata Sudisman, "Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI." Baginya sangat jelas: G30S adalah kesalahan fatal yang dari sanalah PKI harus ikut-ikutan memikul akibatnya. Dan untuk semua akibat fatal itu, bagi Sudisman, seluruh pemimpin PKI harus memikul tanggungjawab. 

    "Kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi," demikian Sudisman melakukan otokiritik. Dan sebagai satu-satunya petinggi PKI yang masih hidup, ia memikul tanggungjawab untuk mewakili empat kameradnya yang lain. Sudisman mengatakan: "Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih 'jalan mati'." Ia memilih jalan mati yaitu jalan berlima menunggal jadi satu, jalan yang telah dilalui oleh kawan-kawannya seperti DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman. Jalan itu ia pilih karena setiap jalan yang dilaluinya pasti akan mengarah kepada kematian. Maka dari itu ia memilih jalan pendek dengan hukuman mati seperti teman-teman seperjuangannya. Ia kemudian divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

    Itulah uraian tanggung jawab yang dipaparkan oleh Sudisman, salah seorang dari anggota tertinggi politbiro PKI. Ketika berada dalam persidangan Mahmilub, dia berusaha untuk membersihkan nama baik PKI dengan mengatakan bahwa pemberontakkan itu adalah sebuah petualangan politik. Sudisman dengan yakin mengatakan “Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman.” Dari pernyataannya itu, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa ideologi komunis masih ada di Indonesia dan diharapkan untuk bangkit kembali oleh orang-orang seperti Pak Sudisman. 

Sumber Referensi :

id.wikipedia.org, 

marxists.org, 

suara.com, 

tirto.id, 

VONIS MATI SUBANDRIO KARENA DIDUGA TERLIBAT PKI!!!


    
Setelah terjadinya pemberontakkan G30S di Indoensia, keadaan pemerintahan di Indonesia mengalami kekacauan. Pada 3 Oktober 1965, Presiden Soekarno memerintahkan Letnan Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban usai peristiwa kudeta G30S/PKI. Soeharto kemudian bergerak membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. Kopkamtib dibentuk dengan tujuan utama untuk Memulihkan keamanan dan ketertiban akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem, dan kegiatan subversi lainnya. Tugas lain kopkamtib adalah Mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 

       Tak lama berselang, keluarlah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar sebagai penanda masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Surat ini berisi perintah yang mengintruksikan Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu. Tindakan yang diambil tertujuan untuk mengantisipasi situasi keamanan pada saat itu.

    Setelah Supersemar terbit, PKI kemudian dilarang dan dibubarkan. Soeharto juga mendesak Sukarno memecat sejumlah menterinya yang terindikasi kiri. Sukarno tentu menolaknya, tapi ia juga tak bisa berbuat banyak karena kuasanya sudah terkikis oleh Supersemar. Letjen Soeharto kemudian memerintahkan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal presiden soekarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. 

    Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang. Subandrio adalah salah satu dari menteri-menteri yang sempat meminta perlindungan ke istana. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. 

     Setelah melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud.

    Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. 

    Di lantai atas guest house, yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya yang ada disana akhirnya diciduk pasukan Amirmachmud. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. 

    Tentang penangkapan ini Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1999, hlm. 215) menulis, “Dalam pidato yang menyusul kemudian Soeharto menempatkan para menteri yang ditahan itu dalam tiga macam kategori, pertama, mereka ‘yang mempunyai hubungan dengan PKI/Gestapu dengan indikasi yang cukup’, kedua, mereka yang ‘kejujurannya dalam membantu presiden diragukan’, ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas perderitaan rakyat.”

    Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Subandrio menjadi target penangkapan karena lewat sejumlah pidatonya, Subandrio menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam yaitu membalas teror dengan kontra-teror.

        Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh dikatakan seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Karier politik Subandrio yang cemerlang seketika runtuh setelah G30S terjadi. Subandrio juga dituduh comrade in arm-nya PKI dan terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Di media citranya pun memburuk, Ia dilabeli sebagai Durna yang licik, gembong Orde Lama, bahkan dicap komunis. Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI.

    “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam bukunya yang berjudul Bertarung dalam Revolusi. 

    Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan dekat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak, dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan cukup cemas.

        Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat misalnya Membunuh Subandrio. Bila hal itu terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan akan berakhir. “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.”

    Setelah Subandri ditangkap, Perkara Subandrio lalu disidangkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1 Oktober 1966—bertepatan dengan penetapan Hari kesaktian Pancasila oleh Soeharto. Sidangnya yang digelar di Gedung Bappenas dibarengi unjuk rasa ratusan orang. Terlepas dari kesalahan-kesalahan Subandrio, sebagian kalangan melihat sidang itu sebagai cara Orde Baru menyingkirkan orang-orang Sukarno secara legal. 

    Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S. “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.”

    Pada 25 Oktober 1966, Mahmilub kemudian menjatuhkan vonis mati terhadap Subandrio. Dalam kapasitasnya sebagai kepala BPI, Subandrio dinilai ikut menciptakan situasi yang menguntungkan PKI dengan mengembuskan isu Dewan Jenderal. Ia juga diputuskan bersalah telah memperkeruh suasana usai G30S dengan pernyataannya “teror harus dibalas dengan kontra teror”.

    “Tindak pidana subversi itu dapat terlihat pada perbuatan-perbuatan tertuduh yang dengan maksud-maksud nyata merintangi pemulihan keamanan yang dibebankan pada pundak Pak Harto. Subandrio juga mencoba mengembalikan atau setidak-tidaknya mempertahankan potensi PKI/G30S, mengurangi arti G30S. Semua tujuan dan perbuatan tertuduh itu ternyata paralel dengan kepunyaan PKI,” tulis Kompas (26 Oktober 1966).

    Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.

    Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu Subandrio mengalami depresi. Pada tahun 1978, ketika masih berada dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada tahun 1995 karena alasan kesehatan, kemudian wafat pada 3 Juli 2004.

    Itulah kisah penangkapan yang dilakukan terhadap Subandrio, Seorang tangan kanan Sukarno yang dipenjara pada pemerintahan Soeharto. Subandrio juga sempat dicerca sebagai durna dalam G30S. Awalnya vonis terhadap Subandrio adalah hukuman mati, namun karena desakan Presiden Amerika Serikat dan Ratu Elizabeth vonis Subandrio menjadi penjara seumur hidup. Setelah keluar dari penjara, Subandrio sempat menerbitkan memoar yang berjudul “Kesaksianku Tentang G30S”. Dalam memoar setebal 80 halaman tersebut Subandrio juga membeberkan cacat  yang dimiliki oleh Soeharto sebagai serangan balik atas pemenjaraannya.

Sumber Referensi :

historia.id, 

tirto.id