F DI/TII VS PKI!!! DI/TII MEMBERONTAK KARENA PEMERINTAH DEKAT DENGAN PKI ~ PEGAWAI JALANAN

Kamis, 28 Juli 2022

DI/TII VS PKI!!! DI/TII MEMBERONTAK KARENA PEMERINTAH DEKAT DENGAN PKI

 


Setelah Indonesia merdeka, pergolakan di dalam negara belum selesai. Beberapa ideologi pernah memberontak kepada negara. Contoh konflik ideologi yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu peristiwa pemberontakkan PKI Madiun, pemberontakkan DI/TII, dan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Dalam konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi tersebut, ada pula ideologi yang dipegang oleh kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.

Pergolakan ini lebih tepat disebut sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kelompok yang melakukan aksinya menginginkan Indonesia menjadi negara yang sejalan dengan menggunakan ideologi yang dipercayai kelompok tersebut. Ideologi sendiri menurut KBBI bermakna kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; serta paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

Pada hasil Pemilu pada tahun 1955, adalah perang ideologi yang berada dalam kekuatan puncaknya, raihan suara yang merepresentasikan kedua pihak yakni Masyumi dan PKI cukup berimbang di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Barat, Masyumi meraih 13 kursi dan PKI 5 kursi. Sementara di Jawa Tengah, PKI meraih 15 kursi, dan Masyumi hanya 6 kursi. Jika raihan suara di kedua provinsi itu dijumlahkan, maka Masyumi meraih 19 kursi dan PKI 20 kursi. Hasil Pemilu 1955 di kedua provinsi itu setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana dua ideologi tersebut mewarnai pilihan masyarakat, dan memetakan kekuatan dua kubu dalam konteks pemberontakan DI/TII.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, sejumlah catatan sejarah juga menerangkan jejak tentang konflik golongan Islam dan kiri, terutama yang melibatkan Kartosoewirjo dan para pejuang yang kelak menjadi pasukan DI/TII. Sebuah insiden di sekitar Perjanjian Linggarjati dicatat Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: “Angan-angan yang Gagal” (1995). Menurutnya, pada Maret 1947 saat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melakukan sidang untuk membahas Perjanjian Linggarjati di Malang, Kartosoewijo beserta laskarnya bergerak dari Jawa Barat menuju Malang.

Mereka dengan tegas dan tanpa kompromi menolak perjanjian tersebut. Langkah ini ia lakukan untuk mencegah laskar sayap kiri yang setuju terhadap perjanjian itu melakukan teror terhadap para politikus yang menolak Perjanjian Linggarjati. “Ketika anggota-anggota Pesindo dalam sidang KNIP mencoba untuk menakuti wakil-wakil rakyat yang menolak persetujuan Linggardjati, dan ketika pertentangan tersebut semakin meruncing. Kartosuwirjo menyuruh pasukannya untuk menempatkan sebuah senapan mesin di atas sebuah rumah yang terletak di seberang gedung tempat KNIP bersidang.

Bung Tomo yang namanya populer dalam pertempuran Surabaya meminta Kartosoewirjo menahan diri. Namun, Kartosoewirjo yang kelak menjadi imam NII itu hanya menatapnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Kartosoewirjo baru melunak setelah Bung Tomo mengatakan tentang kemungkinan Belanda melakukan serangan terhadap sidang tersebut. Dengel menambahkan, dalam dokumentasi yang disusun Majelis Penerangan Negara Islam, terdapat catatan bahwa perjuangan politik umat Islam pada 1947 benar-benar ditekan kekuatan militer yang hampir seluruhnya berada di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan kaum sosialisme.

Pertentangan semakin meruncing ketika Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk Inspektorat Perdjuangan sebagai badan yang mewadahi laskar-laskar perjuangan rakyat. Raden Oni sebagai ketua laskar Sabilillah daerah Priangan menolak badan tersebut. Menurutnya, badan itu mempunyai tujuan untuk membuat umat Islam menjadi sosialis. Dalam dokumen tersebut, tampak pula ketakutan laskar-laskar Islam terhadap integrasi PKI ke dalam tubuh TNI.

“Menurut tulisan DI, sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, semua perwira tentara Republik adalah anggota sayap kiri, dengan demikian, kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima untuk masuk TNI sangat tipis karena kurangnya pendidikan para laskar tersebut. Laskar-laskar Islam juga mengkhawatirkan TNI hanya akan mengambil senjata mereka, dan kemudian mereka segera dipulangkan ke tempatnya masing-masing.

Kekhawatiran laskar-laskar Islam terhadap keberadaan kelompok kiri dalam tubuh TNI secara tersirat juga dicatat Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995). Menurutnya, meski tidak mungkin merinci semua konflik bersenjata antarlaskar maupun merinci semua satuan gerilya dalam pusaran tersebut. Yang jelas pada waktu itu banyak satuan gerilya liar terutama yang jumlahnya kecil dan perlengkapan senjatanya terbatas yang diserap oleh tentara Republik.

Artinya, tidak menutup kemungkinan banyak satuan-satuan gerilya kelompok kiri yang bergabung dengan TNI dan hal tersebut yang dihindari oleh laskar Islam seperti Hizabullah dan Sabilillah. Kemarahan laskar-laskar Islam di Jawa Barat kepada Amir Sjarifuddin memuncak setelah Perjanjian Renville yang mengharuskan TNI untuk mengosongkan wilayah Jawa Barat berdasarkan garis van Mook. Menurut Dengel berdasarkan dokumen Majelis Penerangan Negara Islam, mereka mengungkapkan kemarahannya dengan kalimat “Amir Sjarifuddin la’natoellah” karena dianggap telah berkhianat dengan menjual Jawa Barat kepada Belanda.

Saat Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, Kartosoewirjo beserta laskar-laskar Islam terutama Hizbullah dan Sabilillah justru memilih bertahan di Jawa Barat. Kartosoewijo merasakan simpati yang besar dari para ulama dan rakyat Priangan terhadap kekuatannya ketika terjadi pertempuran antara pasukannya melawan Belanda di Gunung Cupu. Selain meminta perlindungan, para ulama dan rakyat Priangan pun tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya politikus yang tidak hijrah ke Jawa Tengah dan selalu menolak setiap perundingan yang dilakukan antara Republik dengan Belanda.

“Banyak pemimpin-pemimpin umat Islam [di Priangan] kini berbondong-bondong ke tempat-tempat yang dipertahankan Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar oleh tentara Belanda melainkan juga oleh ‘komunis serta sosialis’,”. Catatan Dengel yang menyebutkan "komunis serta sosialis" yang mengejar para ulama dan rakyat Priangan kembali menguatkan situasi permusuhan antara kelompok Islam dan PKI.

Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari tidak sepenuhnya menolak anggapan bahwa aksi-aksi penggarongan terhadap warga sipil dilakukan pasukan DI/TII. Lewat percakapan tokoh-tokoh yang ia bangun, Ahmad Tohari mengakuinya. Namun, ia juga tak sepenuhnya menerima dengan menyertakan narasi tentang kelompok kiri yang ikut melakukan penggarongan dengan mengatasnamakan DI/TII. Sementara pada catatan sejarah yang ditulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995), ia juga menulis bahwa memang aksi-aksi itu tak sepenuhnya dilakukan DI/TII meski tak menyebutnya sebagai kelakuan kelompok kiri. Van Dijk hanya menyebutnya “gerombolan garong”.

“Sebenarnya, beberapa di antaranya tidak lebih dari gerombolan garong yang melanjutkan operasinya dalam situasi revolusioner yang baru. Dalam pengertian kebiasaan Jawa lama, adanya kelompok pemuda gelandangan yang bertualang di daerah pedalaman. Catatan lain disampaikan Holk H. Dengel, Kartosoewirjo menyebut permusuhan pertama antara DI/TII dengan tentara Republik terjadi pada Pertempuran Antralina di Ciawi, Tasikmalaya pada 25 Januari 1949.

DI/TII yang dengan cepat menghimpun kekuatan di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, menganggap semua pasukan yang masuk ke Jawa Barat adalah pasukan liar yang harus taat kepada gerakannya. “Waktu mereka (ja’ni R.I. dlorurot dan komunis gadungan) itu masuk ke daerah de facto Madjlis Islam, maka dengan sombong dan tjongkaknja mereka mengindjak-ngindjak hak dan memperkosa keadilan ‘tuan-rumah’, sehingga terjadilah insiden pertama dengan menggunakan sendjata, jang terkenal dengan nama ‘Pertempuran Antralina’ dan terjadi pada tanggal 25.1.1949,”.

Ia secara jelas menulis “komunis gadungan” terlibat dalam pertempuran tersebut. Artinya bisa jadi kelompok komunis memang banyak berkeliaran di Jawa Barat ketika pemberontakan DI/TII mulai menguat di Jawa Barat. Di penghujung tahun 1949, setelah Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan, digelar Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember. Pada kongres tersebut dibahas pula soal gerakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo.

Seorang anggota kongres mengungkapkan, sengketa antara laskar Islam dengan TNI berakar pada peristiwa perlucutan senjata laskar Jawa Barat di awal perjuangan kemerdekaan. “Pada saat itu perasaan umat Islam sangat terluka. Karena itu kerjasama dengan TNI tidak dapat dipertahankan lagi,”. Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa Front Demokrasi Rakjat (FDR) yang ia sebut sebagai “kaum merah”, mencoba mematahkan tenaga umat Islam dengan mempergunakan TNI.

Uraian-uraian dalam sejumlah buku sejarah tentang Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, juga lewat beberapa teks sastra tentang gerakan tersebut, tak menutup kemungkinan bahwa memang kelompok kiri terlibat dalam memperkeruh suasana keamanan warga sipil. Situasi ini dengan tepat diungkapkan dengan kata "pabaliut” yang berarti kacau balau. Permusuhan tersebut berlanjut ketika situasi berbalik, yaitu ketika pemberontakkan PKI tahun 1965.

Menurut Dengel, para mantan kombatan DI/TII ikut dilibatkan dalam penumpasan G30S tahun 1965. "Sebagian besar anggota gerakan DI/TII pada tahun 1963 oleh pemerintah diberikan amnesti dan setelah terjadi peristiwa G 30 S, banyak dari antara mereka ditarik sebagai penasihat oleh Kodam Siliwangi pada waktu menumpas Gerakan 30 September/PKI,".

Itulah perseteruan antara komunis dan DI/TII yang kemudian berlanjut hingga ke pemberontakan PKI tahun 1965. Kekhawatiran anggota DI/TII terhadap kaum PKI, membuat mereka berpikir bahwa anggota TNI telah banyak disusupi oleh kaum kiri. Karena kekhawatiran itulah mereka tidak percaya kepada TNI dan akhirnya memberontak. Selain itu, banyaknya orang-orang PKI yang menyusup ke dalam anggota DI/TII dan melakukan fitnah disana-sini sehingga rakyat menjadi tidak simpatik dengan perjuangan DI/TII, akhirnya DI/TII berhasil dilumpuhkan oleh gabungan TNI dan Rakyat. Pembersihan tersebut dikenal dengan operasi pagar betis yang merupakan singkatan dari Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam. Walaupun pada akhirnya setelah peristiwa G30S, anggota TNI bersatu dengan mantan anggota DI/TII untuk menumpas anggota PKI pada akhir tahun 1965 sampai tahun-tahun sesudahnya. Pada saat ini kedua kelompok besar tersebut mungkin tidak terlihat lagi, namun keturunan dari kelompok tersebut mungkin masih ada diantara kita dan semoga mereka dapat hidup bedampingan serta saling memaafkan untuk menjaga negeri ini tetap stabil tanpa pertumpahan darah seperti masa-masa kelam dahulu.

 

Sumber Referensi : tirto.id

0 komentar:

Posting Komentar