F KISAH TENTARA PKI MENYUSUP KE TUBUH TNI DAN MENYERANG LASKAR HIZBULLAH!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Kamis, 28 Juli 2022

KISAH TENTARA PKI MENYUSUP KE TUBUH TNI DAN MENYERANG LASKAR HIZBULLAH!!!

 


Partai Komunis Indonesia (PKI) dan DI/TII adalah dua kelompok besar yang pernah ada di Indonesia. Kedua kelompok ini kemudian melakukan pemberontakkan terhadap bangsa Indonesia. Terdapat karya sastra yang mengatakan bahwa pemberontakkan DI/TII disebabkan oleh orang-orang PKI. Banyak orang-orang PKI yang menyatakan mereka adalah anggota DI/TII kemudian melakukan kekacauan. Selain itu dikatakan pula, PKI juga menyusup ke tentara republik kemudian menyerang laskar Hizbullah untuk menimbulkan kebingungan.

Kisah itu terdapat Dalam karya sastra karangan Ahmad Tohari berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air (2015). Terdapat pertempuran antara Hizbullah dan golongan komunis. Kisah yang terjadi di Kebumen ini, hanyalah salah satu dari beberapa fragmen tentang narasi permusuhan antara kedua golongan besar tersebut.

Setelah perang kemerdekaan berakhir, sejumlah laskar berusaha untuk disatukan ke dalam tentara Republik. Sebagai anggota laskar Hizbullah, pagi itu Amid, Kiram, dan Jun bergerak menuju Kebumen, mereka bergabung dengan pasukan Hizbullah dari beberapa daerah lain. Terdengar kabar, mereka akan diangkut ke Purworejo untuk dilantik sebagai tentara Republik. Mereka kemudian menunggu di tepi rel kereta api. Pada pukul sembilan pagi, sebuah lokomotif beserta rangkaiannya bergerak mendekati Stasiun Kebumen.

Dalam angan mereka, selangkah lagi akan sah sebagai tentara Republik dengan usia muda. Mereka juga memiliki harapan untuk mendapat pangkat dan gaji. Saat kereta api benar-benar telah begitu dekat, berondongan peluru merajalela dari dalam gerbong. Peluru-peluru tersebut mengarah ke pasukan Hizbullah yang tengah menunggu di samping rel kereta. Karena diserang tibaba-tiba, pasukan Hizbullah banyak yang berjatuhan. Amid, Kiram, dan Jun dengan sigap menjatuhkan diri ke dalam parit. Sebagian laskar Hizbullah berhasil menyelamatkan diri, tapi tak sedikit yang bertumbangan dihantam timah panas. Tiga sekawan dan pasukan yang selamat kemudian melakukan serangan balik. Baku tembak pun terjadi antara kedua kubu itu, sebelum akhirnya  sebuah granat meluncur deras masuk ke dalam gerbong lewat celah jendela dan menghancurkannya.

Pertempuran itu berlangsung selama dua jam, pertempuran akhirnya berakhir setelah granat meluluhlantakkan gerbong beserta isinya. Para penyerang telah kalah melawan laskar Hizbullah. Sebagian pasukan Hizbullah yang selamat menuduh pasukan Republik telah berkhianat. Sebagian lagi tak menganggap tentara Republik sekotor itu, mereka justru menuding orang-orang komunis sisa-sisa peristiwa Madiun 1948 di balik penyerangan tersebut. Kereta yang rencananya akan mengangkut mereka ke Purworejo justru menjadi ular besi pencabut nyawa. Kekecewaan ini membuat sebagian laskar Hizbullah akhirnya bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.

Ahmad Tohari juga menceritakan permusuhan ini ketika pemberontakan DI/TII yang pasukan intinya berasal dari Hizbullah. Pasukan itu terus eksis sampai menjelang keruntuhannya lewat operasi Pagar Betis. Lewat karya fiksi, Ahmad Tohari seolah-olah hendak membuat terang wilayah yang kerap dianggap abu-abu tentang infiltrasi dan penghancuran nama DI/TII oleh kelompok kiri.

Saat aksi-aksi garong, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap rakyat sipil yang dilakukan kelompok bersenjata semakin menjadi-jadi, Ahmad Tohari menyebut kelompok kiri kerap memakai nama DI/TII untuk melakukan aksinya. “Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang Gerakan Siluman (komunis) ibarat tombak bermata dua. Ke arah DI/TII, mereka membuka garis permusuhan, sementara ke arah lain mereka menggunakan nama DI/TII untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap orang-orang dusun”. Saat itu milisi yang dilatih tentara Republik yang mula-mula bernama Pemuda Desa (PD), kemudian berganti nama menjadi Organisasi Keamanan Desa (OKD), lalu menjadi Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR), yang dikerahkan untuk membantu TNI memburu anggota DI/TII, mayoritas dari mereka berasal dari kelompok kiri.”

Dengan situasi kekuatan DI/TII yang kian melemah, membuat Amid, Kiram, dan Jun enggan menyerahkan diri kepada TNI. Mereka yakin sebelum sampai ke pos militer, mereka akan dihabisi para milisi yang telah disusupi oleh orang-orang komunis. Kiram yang paling keras di antara ketiganya mengatakan “Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung, kita sudah habis di tangan OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak disusupi orang-orang Gerakan Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita berniat turun gunung. Bagiku, daripada mati karena menyerahkan diri, lebih baik aku mati bertempur,”.

Kisah tentang milisi desa yang memburu anggota DI/TII yang dihuni orang-orang komunis terdapat juga dalam cerpen berbahasa Sunda karya Ahmad Bakri yang berjudul Dukun Lepus (2002). Jika Ahmad Tohari yang kelahiran Banyumas dan kisahnya berlatar di Jawa Tengah, maka Ahmad Bakri kelahiran Ciamis dan latar ceritanya terjadi di Jawa Barat. Kedua provinsi ini adalah pusat gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo dan Amir Fatah. Dalam cerpen tersebut dikisahkan, suatu waktu seluruh warga Kampung Karangsari dikumpulkan oleh OKD (Organisasi Keamanan Desa).

Ahmad Bakri menulis bahwa “rata-rata bareureum (rata-rata merah/komunis) di balai desa. Saat itu OKD menemukan sebuah dokumen tertulis yang dicurigai berisi daftar warga yang memberikan sumbangan untuk DI/TII, juga karena kampung tersebut dianggap sebagai daerah santri yang banyak bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo. Kisah ini diakhiri dengan pemukulan anggota OKD oleh seorang perangkat desa yang kesal karena sikapnya jemawa dalam memperlakukan warga kampung.

Itulah konflik antara PKI dan DII/TII, dua buah ideologi yang berusaha menjadi ideologi negara. Dalam Karangan Sastra yang ditulis oleh Ahmad Tohari seolah mengatakan bahwa DI/TII dirusak oleh orang-orang PKI yang memnyebabkan DI/TII memberontak. Sedangkan pada keterangan lain saat pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, dikatakan bahwa gerombolan yang sering menyatroni kampung adalah orang-orang DI/TII, bukan komunis. mungkin memang benar orang-orang Kartosoewirjo yang melakukannya, atau mungkin orang-orang komunis yang mengatasnamakan DI/TII seperti dalam cerita Ahmad Tohari. Namun yang jelas setelah Kartosoewirjo tertangkap pada tahun1962, aksi gerombolan berangsur berkurang dan hilang, mereka tak menyimpan ingatan tentang gangguan keamanan yang dilakukan orang-orang komunis.

kisah yang ditulis oleh Ahmad Tohari dan Ahmad Bakri mungkin tidak sepenuhnya salah, karena mereka pasti tidak menulis ceritanya dari ruang hampa atau tanpa rujukan. Mereka pasti terlebih dahulu melakukan riset pustaka atau mungkin menuliskan pengalamannya sendiri saat masa-masa konflik itu berlangsung.

Sumber Referensi : tirto.id

0 komentar:

Posting Komentar