F MELAYU VS JAWA!!! SEJARAH YANG HARUS KITA UBAH ~ PEGAWAI JALANAN

Rabu, 15 Desember 2021

MELAYU VS JAWA!!! SEJARAH YANG HARUS KITA UBAH

        


        Sebuah Arca yang sangat terkenal adalah Arca Amoghapasa, Arca yang menjadi bukti tanda persahabat Jawa dan Melayu pada masa lalu.  Arca itu dengan mudah ditemukan oleh pengunjung jika sedang berkunjung ke Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Selain karena penempatan di lokasinya yang strategis, Arca Amoghapasa juga menjadi satu-satunya arca yang diberi sinar lampu, sehingga pasti langsung menyita perhatian siapa pun yang melihatnya.

        Jika kita memerhatikan secara detail Arca Amoghapasa yang ditempatkan pengelola di sisi kanan tidak jauh dari pintu masuk utama museum. Arca yang terbuat dari batu andesit dan berukuran tinggi 163 sentimeter (cm) dan lebar 97-139 cm, ini ditempatkan di atas alas yang dinamakan Prasasti Padang Roco.

        Bagian arca dan alas ditemukan secara terpisah, tetapi aslinya keduanya dulunya merupakan satu kesatuan yang dikirim dari Jawa oleh Kertanegara ke Sumatra. Bagian arca ditemukan sekitar tahun 1880-an di Situs Rambahan yang terletak dekat sungai Langsat, sekitar 10 kilometer arah ke hulu Sungai Batanghari.

        Sedangkan Prasasti Padang Roco baru ditemukan di kompleks Percandian Padang Roco pada 1911. Dalam tulisan huruf Jawa kuno serta bahasa campuran antara Sansekerta dan Melayu kuno di Prasasti Padang Roco, menjelaskan patung ini merupakan hadiah dari Raja Singasari (periode 1268-1292) Kertanegara kepada Raja Melayu (1286–1316), Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang berkuasa di Dharmasraya dikirim pada 22 Agustus 1208 saka atau 1286 masehi.

        Isi Prasasti Padang Roco dibuka dengan kata: “Bahagia!” "Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmana, ksatria, waisa, sudra, dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa." Sedangkan pada bagian belakang arca terdapat tulisan yang disebut dengan Prasasti Amoghapasa bertarikh 1347 masehi, yang tambahan tulisan tersebut dipahat oleh Raja Adityarwan dari Dinasti Mauli selaku penerus penguasa Kerajaan Melayu.

     Arca Amoghapasa menjadi bukti adanya hubungan erat antara Kerajaan Singasari dengan Kerajaan Melayu. Arca Amoghapasa bisa menjelaskan mengapa saat itu Kerajaan Singasari yang berkuasa di Jawa Timur melakukan Ekspedisi Pamalayu untuk menemui penguasa Kerajaan Melayu di Sumatra. Dari berbagai bukti terkini menunjukkan bahwa ekspedisi itu lebih sebagai upaya untuk menjalin kerja sama antardua kerajaan yang berkuasa di Jawa dan Sumatra.

        Misi Kerajaan Singasari mendatangi Kerajaan Melayu, bisa bermacam-macam, termasuk membawa perdagangan, keagamaan, hingga ingin menunjukkan kekuasaannya sebagai penguasa Jawa yang berpengaruh. Jadi bisa dikatakan tidak benar ekspedisi Kerajaan Singasari ke Kerajaan Melayu bersifat untuk penaklukkan. Kita jangan sampai mendefinisikan atau membuat statemen sejarah bahwa Kerajaan Singasari berusaha melakukan ekspansi penaklukan kepada Kerajaan Melayu.


    Walaupun memang ada tafsir sejarah yang menggambarkan Ekspedisi Pamalayu pada pertengahan abad ke-13 dari Jawa Timur ke Sumatra sebagai upaya penaklukan raja Jawa atas kekuasaan Melayu. Akan tetapi faktanya hal itu tidak didukung dengan argumen dan bukti yang kuat. Kedatangan rombongan Kerajaan Singasari ke Kerajaan Melayu bisa jadi untuk menjalin relasi dua penguasa yang memerintah sebuah wilayah untuk saling mendekatkan diri satu sama lain.

        Tidak ada catatan sejarah yang membuktikan antara dua kerajaan itu saling ingin mengalahkan satu sama lain. Sehingga, memang lebih tepat kalau disebut Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin rasa persatuan antara Kerajaan Singasari dan Kerajaan Melayu yang sama-sama beraliran Hindu-Buddha.

    Arkeolog Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono mengatakan, "ditemukannya Arca Amoghapasa menunjukkan kedatangan utusan Kerajaan Singasari ke Dharmasraya untuk menjalin persahabatan. Ekspedisi Pamalayu memang ada muatan Kerajaan Singasari ingin memperbesar pengaruh kekuasaannya di luar Pulau Jawa. Namun, langkah mewujudkan itu tidak melulu dengan mengirim armada perang."

"Patung Amoghapasa itu memberikan bukti tidak ada peperangan dengan Kerajaan Melayu, ekspansi iya, tapi tidak ada penaklukkan sama sekali. Malah semacam ada akulturasi budaya dua kerajaan ini," 

    Kalau kita tarik garis sejarah, sangat mungkin Kerajaan Singasari malah ingin bersekutu dengan Kerajaan Melayu untuk menghadapi serbuan pasukan Mongol dari Dinasti Yuan yang secara agresif memperluas kekuasaannya ke selatan hingga masuk wilayah Nusantara.

    Hal itu tidak terlepas dari upaya Raja Kertanegara yang menolak tunduk terhadap kekuasaan Mongol. Bahkan, dalam sebuah riwayat, Kertanegara sampai menolak utusan utusan Kublai Khan, Meng Khi pada 1289, dan memotong salah satu telinganya, sebelum balik ke negaranya di Cina daratan.

       Sadar dengan risiko yang diperbuatnya pasti akan membuat tentara Mongol dengan armada besar akan menyerbu Singasari, Kertanegara akhirnya berupaya menjalin hubungan baik dengan beberapa penguasa, salah satunya Kerajaan Melayu. Kertanegara sadar posisi Kerajaan Melayu yang menguasai Selat Malaka sangat strategis untuk mengadang kedatangan pasukan Mongol yang ingin ke Jawa.  Sehingga kalau Singasari dapat bersekutu dengan Melayu maka ancaman serbuan prajurit Kublai Khan yang ingin menghancurkan Jawa bisa dicegah di tengah jalan. Jadi Singasari sepertinya ingin benar-benar menyiapkan beberapa tempat untuk menahan serangan dari Mongol, dan Kerajaan Melayu di Sumatra itu salah satunya yang diajak bekerja sama.


       Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Gusti Asnan mengatakan, "Penulisan sejarah Ekspedisi Pamalayu selama ini memang memuat beberapa informasi yang tidak akurat. Sejarah selama ini yang dipercaya tentang kedatangan Kerajaan Singasari ke Dharmasraya adalah untuk menaklukkan Kerajaan Melayu. Versi sejarah itu dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda yang sengaja memuat ajaran adu domba kepada rakyat Indonesia."

        Dan kita ketahui bersama bahwa versi isejarah itu terus diajarkan di sekolah dalam kurikulum pendidikan sejarah sampai tahun 1950-an, karena memang pada awal kemerdekaan RI, sebagian besar literatur masih merujuk kepada warisan Belanda. Sekarang lahir sumber-sumber dan interprestasi baru. Ternyata Ekspedisi Pamalayu tidak ada unsur penaklukkan, yang ada adalah (dua kerajaan) bersama untuk menjaga keamanan laut dari serangan Mongol yang ekspansif ke wilayah selatan.

        Rombongan Kerajaan Singasari yang membawa Arca Amoghapasa untuk diserahkan kepada Kerajaan Melayu menjadi bukti nyata bahwa dua kerajaan tersebut sebenarnya memiliki hubungan persaudaraan yang kuat. Apalagi kala itu pengaruh agama Hindu-Buddha sangat besar di Jawa dan Sumatra, sehingga ada faktor yang membuat kedua kerajaan itu bisa saling bekerja sama.

        Sangat mungkin pula, Kerajaan Singasari dan Melayu memutuskan bersatu untuk menghadapi serbuan pasukan Mongol yang memiliki kekuataan besar. Dari sejarah itu, dapat disimpulkan bahwa, ada sejarah kontradiksi yang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk diwariskan kepada generasi berikutnya bahwa sejak lama antara penguasa Pulau Jawa dan Sumatra maupun Pulau Jawa dan non-Jawa tidak pernah akur, karena saling berperang.

        Mengacu pada hal itu, sudah seharusnya versi baru sejarah hubungan erat antara Kerajaan Singasari dan Melayu diajarkan di sekolah. Tujuannya, adalah agar generasi sekarang ini memahami bahwa rasa persatuan yang terjalin di Nusantara itu sudah dicontohkan sejak lebih dari tujuh abad lalu oleh nenek moyang kita.

        Gusti Asnan menambahkan "Ekspedisi Pamalayu itu digambarkan sangat Kolonial sentris ceritanya, mengandung sejarah pecah belah. Karena itu perlu diadakan rewriting karena Kerajaan Singasari datang membawa misi perdamaian. Karena kalau mau invasi kok malah membawa cenderamata?"

        Bupati Dharmasraya Sutan Riska mengatakan, pada kenyataannya memang belum ada bukti otentik yang mengatakan kehadiran Kerajaan Singasari ke Kerajaan Melayu bertujuan untuk menduduki suatu wilayah. Dia menuturkan, narasi penaklukan yang terbangun dan selama ini dipercaya sebagian kalangan memang perlu diluruskan. “Bagaimana mungkin bisa dikatakan sebagai penaklukan, sedangkan ada pengiriman Arca Amoghapasa. Amoghapasa sendiri melambangkan kasih sayang, bagaimana bisa dikatakan sebagai penaklukan?” ujar Sutan Riska saat peluncuran Festival Pamalayu di Museum Nasional.

        Arca Amoghapasa memiliki prasasti di punggung arca, yang dapat diartikan sebagai matahari terbit yang indah. Prasasti yang ada di balik punggung arcanya pun menjelaskan tentang keindahan dan kebajikan serta harapan-harapan pesan damai. Bisa kita duga bahwa masih adanya narasi yang mengatakan Ekspedisi Pamalayu sebagai sebuah penaklukan Jawa terhadap Sumatra adalah sengaja dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda agar generasi kita tertanam sikap saling bermusuhan. Sama persis dengan sejarah perang Bubat yang dibuat untuk memecah belah Jawa dan Sunda agar mudah bagi Belanda untuk tetap kuat berkuasa di Indonesia.

        Melalui video ini mari kita mengajak masyarakat untuk dapat mempererat kembali persatuan, kesatuan, dan persahabatan yang sebenarnya telah lama dijalin peradaban nenek moyang dari berbagai daerah yang tergabung dalam Nusantara. Tidak hanya sesama kita bangsa Indonesia tapi bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara lainnya, karena persatuan disuatu kawasan yang luas akan melahirkan kekuatan yang luar biasa, baik dibidang pertahanan, ekonomi, sosial maupun budaya. Sudah cukup kita diadu domba oleh kolonial eropa selama berabad-abad, sekarang saatnya kita yang mengubah sejarah di kawasan kita sendiri.

Sumber : republika.co.id

0 komentar:

Posting Komentar