Saat pemberontakkan PKI
tahun 1965 meletus, berita tentang PKI beserta ormas-ormasnya sebagai pelaku
penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan di media-media
pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat pemberitaan ini, maka
bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan anti-PKI yang semuanya
tergabung dalam Front Pancasila.
Di Makassar, pada bulan
Oktober gerakan yang tergabung dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan
massa dan perusakan perabot rumah tangga, terhadap orang-orang yang
teridentifikasi mempunyai hubungan dengan PKI. Pengejaran dan penangkapan
terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota
Makassar, akan tetapi menyebar ke daerah-daerah lain seperti Bone, Pare-pare,
Jeneponto, Bantaeng, dan lainnya. Penangkapan anggota dan simpatisan PKI di
Indonesia timur, khususnya Sulawesi Selatan, memang tidaklah semasif dan
seberingas apa yang terjadi di Jawa, Sumatera dan Bali. Namun kekacauan tetap
ada di sejumlah kabupaten disana.
Sebuah kawat dari
Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta kepada Washington juga menyebutkan adanya
kerusuhan di Sulawesi Selatan. Kawat bertanggal 12 November 1965 itu
menyinggung laporan seorang pemuka Kristen-Protestan yang mengatakan bahwa
toko-toko milik keturunan Cina di Makassar menjadi sasaran perusakan. Amuk
massa terjadi di tengah kampanye pengganyangan segala hal terkait Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Brad Simpson,
dokumen tersebut adalah telegram Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Marshall
Green, tentang gambaran umum situasi politik dan keamanan di Sulawesi, Jawa
Tengah dan Jawa Timur terkait pembasmian PKI oleh tentara dan sekutunya.
Pembersihan di beberapa daerah, berkembang menjadi mirip kerusuhan etnis dan
rasialis. Salah satu narasi yang berkembang terkait G30S adalah keterlibatan
dan partisipasi Republik Rakyat Cina pimpinan Mao Zedong dalam aksi penculikan
para jenderal Angkatan Darat.
Warga peranakan Cina dan
propertinya turut menjadi sasaran kemarahan. “Pemuka Kristen Protestan Sulawesi
yang tiba di Jakarta hari itu melaporkan 90 persen toko-toko Tionghoa di
Makassar diserang dan isinya dihancurkan pada 10 November 1965, yang mana
melibatkan hampir seluruh penghuni kota,”.
Menurut catatan Taufik
dalam Kamp Pengasingan Moncongloe
(2009), dalam kerusuhan di Makasar pada 10 Oktober 1965 itu melibatkan pihak
ketiga yang punya kepentingan tambahan selain pembasmian PKI. “Aksi berubah
menjadi penjarahan milik orang-orang Tionghoa dan penghancuran rumah orang
Jawa,”. Dokumen itu menyebutkan juga soal pembantaian orang-orang PKI.
Disebutkan persebaran
kekerasan anti-PKI terjadi di beberapa daerah di Sulawesi. Orang-orang di Bone
dilaporkan masuk ke kamp tahanan dan membunuh 200 orang tahanan PKI. walau tidak
terlalu jelas Bone yang mana yang dimaksud, karena ada nama daerah/wilayah
bernama Bone di berbagai kawasan Sulawesi. Di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
Selatan juga punya daerah bernama Bone (Kabupaten Bone sendiri berada di
Sulawesi Selatan). Di Muna, Sulawesi Tenggara, ada kecamatan bernama Bone. Di
Bone yang terletak di Sulawesi Selatan sendiri terjadi pembantaian terhadap orang-orang
PKI.
“Pembunuhan saat itu
terjadi di Penjara Kodim Watampone, kurang lebih ratusan orang sipil yang
berasal dari Jawa yang menjadi korban. Mereka umumnya karyawan pabrik gula
Arasoe.” Di sana, sentimen anti orang-orang Jawa sempat meningkat pada tahun
1960an. Pada masa-masa genting dan penuh desas-desas itu, ada yang menganggap
orang Jawa identik dengan PKI.
Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966
(2006) menuliskan bahwa “Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan
terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi
standar di berbagai penjuru tanah air kala itu. Dalam peristiwa di Watampone
itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah
mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga
‘terpisah’ dalam potongan-potongan,”.
Soal pembantaian
orang-orang PKI di Bone, Sulawesi Selatan, juga disinggung dalam biografi
presenter Andy F. Noya dalam Andy Noya Kisah Hidupku (2015) yang disusun Robert
Adhi K.S.P. Suatu hari, Corps Polisi Militer (CPM) menitipkan 40 tahanan yang
hendak diproses ke Penjara Watampone, di pusat Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan. Tahanan-tahanan yang berada disana adalah orang-orang yang terkait
PKI.
Kepala Penjara Watampone
kala itu adalah laki-laki Indo-eropa bernama Jopie Klaarwater. Massa anti-PKI
yang tak sabaran akan proses hukum pun mendatangi para tahanan yang dicap PKI
untuk langsung dihakimi. Sebagai Kepala Penjara, Klaarwater tak mengizinkan
melepaskan tahanan yang harus ada di dalam penjara dan menolak massa masuk ke
penjara.
Massa yang lepas kendali
itu tetap ngotot agar dapat masuk ke dalam penjara. Penjara kemudian berhasil
mereka bobol dan tahanan dieksekusi. Tak lupa, Klaarwater dan wakil Kepala Penjara
juga ikut menjadi korban eksekusi. Kepala penjara Indo-Eropa bermarga
Klaarwater itu adalah kakek Andy F. Noya dari pihak ibu. Setelah kejadian itu,
istri Klaarwater, Johanna Blouwer, pindah ke Belanda. Taufik juga menyebut nama
Kepala Penjara adalah Kalwater dan keturunan Belanda (peranakan). Disebutkan
pula Kalwater adalah Ketua Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)
daerah Bone. Bersama Ketua PKI, Bone Andi Mappa, juga Sekretaris Jenderal PKI
Bone Igo Garnida Heri Erianto, Kalwater tewas dibunuh massa.
Selain membunuh
ketiganya, massa juga mendatangi penjara di markas Komando Distrik Militer
(KODIM) dan kantor Kepolisian Resort (Polres) yang menjadi tempat penampungan
orang-orang PKI. Di buku The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68
(2012) yang disusun Douglas Anton Kammen dan Katharine E. McGregor menyebutkan
bahwa “Pembunuhan pertama terjadi di distrik Bone sekitar November 1965.
Dikatakan Kalwater
adalah Ketua SOBSI di Bone dan seorang Indo-Eropa yang juga Kepala Penjara di
Bone. Dia tewas terbunuh oleh gerakan massa yang ingin menghancurkan PKI.”
Kalwater dan Klaarwater
bisa diasumsikan sebagai orang yang sama. Mungkin karena kesulitan lidah lokal
menyebut nama Belanda seperti Klaarwater akhirnya hanya menyebutnya menjadi
Kalwater. baik Kalwater maupun Klaarwater, keduanya mengatakan bahwa dia
bekerja sebagai Kepala Penjara Watampone dan sama-sama Indo-Eropa juga.
Sumber Referensi :
daerah.sindonews.com,
sulsel.idntimes.com,
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar