F DAERAH PALING SULIT DITAKLUKAN BELANDA!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Sabtu, 19 Maret 2022

DAERAH PALING SULIT DITAKLUKAN BELANDA!!!

 


Indonesia dalam pelajaran sejarah di sekolah, dijajah oleh belanda selama 350 tahun. Walaupun pernyataan tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya. Karena tidak ada satupun wilayah di Indonesia yang benar-benar dijajah selama 350 tahun. Ada yang mengatakan bahwa penjajahan di nusantara dimulai ketika VOC berdiri pada tahun 1602. Sedangkan yang lain mengatakan, penjajahan dimulai pada tahun 1596 ketika De Houtman bersaudara tiba di Banten. Pendapat kedua sulit disebut sebagai penjajahan, karena pada saat itu Cornelis De Houtman datang hanya untuk melakukan perdagangan. Dari awal kedatangan Belanda hingga merdekanya bangsa Indonesia, terdapat salah satu daerah yang sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda yaitu Aceh. Karena hebatnya perlawanan masyarakat Aceh melawan Belanda, perang antara Aceh melawan Belanda dikatakan sebagai salah satu perang terlama di dunia. Awal perselisihan antara Aceh dan Belanda adalah ketika datangnya Cornelis de Houtman dan armadanya.

Awalnya Cornelis de Houtman bersama armadanya tiba pada 27 Juni 1596 di perairan Banten. Penerimaan penduduk disana awalnya bersahabat, tetapi setelah beberapa perilaku kasar yang ditunjukkan awak kapal Belanda, Sultan Banten bersama dengan Portugis mengusir kapal Belanda tersebut. Ekspedisi de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa namun kapalnya ditaklukkan oleh pembajak. Beberapa perilaku buruk juga berujung ke salah pengertian dan kekerasan di Madura. Seorang pangeran di Madura terbunuh, sehingga beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan. De Houtman diharuskan membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal yang tersisa lalu berlayar ke Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot merica pada 26 Februari 1597.

Pada perjalanan yang kedua ke Indonesia, Cornelis de Houtman berlabuh di Aceh. Seperti pada daerah lain, awalnya hubungan para pendatang dari Belanda itu dengan rakyat dan Kesultanan Aceh Darussalam terjalin dengan baik. Sampai kemudian, akibat tingkah laku orang-orang Belanda serta provokasi dari orang Portugis yang dipercaya oleh Sultan Alauddin, membuat munculnya benih-benih pertikaian. Pemimpin mereka, Cornelis de Houtman, juga bertingkah laku buruk sehingga rakyat Aceh pun akhirnya melakukan perlawanan. pemimpin pasukan yang melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah Laksamana Malahayati dikenal juga dengan nama Keumalahayati. Ayah dan kakeknya berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Ia kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan masuk akademi angkatan bersenjata milik kesultanan bernama Mahad Baitul Maqdis.

Laksamana Malahayati dan pasukannya bertugas melindungi pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Pada tanggal 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan kapal Belanda yang mencoba memaksakan kehendaknya untuk melakukan monopoli. Ibrahim Alfian dalam buku Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (1999:67) menyebutkan bahwa dua kapal besar yang datang itu bernama de Leeuw dan de Leeuwin. Frederick dan Cornelis de Houtman bertindak sebagai kapten masing-masing kapal tersebut.

Menyadari situasi yang mulai panas, Frederick dan Cornelis berkoordinasi di atas kapal mereka, mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan datang. Sultan Alauddin lalu memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyerang dua kapal Belanda yang masih bertahan di Selat Malaka itu. Malahayati tidak hanya memimpin pasukan yang didominasi golongan pria, ia juga menggalang kekuatan kaum wanita, terutama para janda yang ditinggal mati suaminya dalam perang di Teluk Haru, sama seperti dirinya.

Pertempuran di tengah laut akhirnya terjadi. Armada Belanda kewalahan menahan ketangguhan pasukan Malahayati yang jumlahnya ribuan, termasuk barisan janda berani mati. Hingga akhirnya, Laksamana Malahayati berhasil mencapai kapal Cornelis de Houtman dan saling berhadapan. Malahayati menggenggam erat rencong di tangannya, sementara Cornelis de Houtman menggunakan pedang sebagai senjatanya. Duel satu lawan satu pun terjadi. Pada satu kesempatan di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam leher Cornelis yang menyebabkan dia tewas pada 11 September 1599.

Armada Belanda akhirnya kalah dengan kehilangan banyak orang. Kemudian mereka yang tersisa ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, termasuk saudara Cornelis, Frederick de Houtman. Malahayati kemudian melakukan perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan itu adalah upaya Belanda untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati. Perdamaian itu terwujud dengan dilepaskannya Frederick de Houtman. Namun sebagai gantinya, Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh.

Karena perjanjian traktat london antara Inggris dan Belanda. Indonesia, yang kala itu sedang dikuasai Inggris, harus dikembalikan kepada Belanda. Konvensi itu menyebutkan bahwa Inggris harus mengembalikan sebagian wilayah Indonesia kepada Belanda, sementara Afrika Selatan, Sri Lanka, dan India tetap dikuasai Inggris. Dalam salah satu perjanjian tersebut, Kedaulatan Aceh tidak boleh diganggu Belanda, tetapi Aceh juga tidak boleh mengganggu keamanan di lautan.

Belanda sangat sering melakukan interupsi kepada pihak Aceh karena mereka sangat ingin untuk menguasai wilayah Aceh. Namun, gerakannya terbatas karena dibatasi oleh traktat London. Belanda mulai melakukan rencana-rencana mereka seperti politik adu domba. Belanda juga mulai bergerak di wilayah perairan Aceh dan juga selat Malaka. Gerakan untuk bisa merebut wilayah Aceh terus dilakukan oleh Belanda. Di tanggal 1 Februari 1858, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak dan Sultan Ismail. dari Perjanjian Siak tahun 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Kemudian Ditandatanganilah Perjanjian London pada tahun 1871 antara Inggris dan Belanda. Isi perjanjian tersebut adalah Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda juga mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Inggris.

Pada 2 November 1871, Traktat Sumatera secara resmi ditandatangani oleh Belanda dan Inggris. Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan Inggris menyatakan jika Belanda memiliki kebebasan untuk memperluas daerah jajahannya di Sumatera. Perjanjian Sumatera 1871 ini dibuat oleh pihak Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London tahun 1824, yang isinya kedua negara telah mengakui kedaulatan Aceh.

Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh.

Perang Aceh melawan Belanda kemudian pecah yang dimulai pada tahun 1873 hingga 1904. Walaupun perang tersebut masih berlangsung hingga 1910, namun setelah tahun 1904 adalah perang kelompok dan perorangan tanpa perintah dari pusat pemerintahan Kesultanan. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler saat itu membawa 3000 tentara dan Sebanyak 168 di antaranya adalah perwira. Perang Aceh Pertama yang terjadi pada tahun 1873-1874, dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 tentaranya dapat dikalahkan, Kohler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar adalah perang saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.

Perang Aceh Kedua kemudian pecah pada tahun 1874-1880, Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang Aceh pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan normal, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga kembali terjadi pada tahun 1881-1896, perang ini dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian menggantikannya menjadi komandan perang gerilya. Perang keempat terjadi pada tahun 1896-1910. perang ini adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar pada tahun 1891 di pedalaman Aceh. Hal ini karena Belanda kewalahan dengan taktik dan semangat perang dari rakyat Aceh. Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan ahli bahasa Arab dan Islam datang ke Aceh. Sebagai orang yang paham tentang Islam, ia mendekati para ulama. Bertepatan dengan kedatangan Snouck Hurgronje, rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam karena kematian Teuku Cik Ditiro. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Setelah melakukan penyamaran selama 2 tahun, Snouck Hourgronje mengusulkan strategi untuk mengalahkan perlawanan rakyat Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Mereka harus menyerang dan menghantam terus kaum ulama. Belanda juga diusulkan untuk menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904).

Taktik perang gerilya Aceh juga ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan. Belanda juga melakukan penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902. Panglima Polim juga meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903 setelah keluarganya diculik. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Tidak hanya penculikkan, Belanda juga melakukan pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen. Pembunuhan ini menewaskan sekitar 75.000 rakyat Aceh atau 15 persen penduduk wilayah itu. Belanda kemudian menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, Cut Nya Dien akhirnya dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Selama perang aceh yang terjadi dari tahun 1871 hingga 1910, diperkirakan sekitar 125.000 orang telah terbunuh.

Walaupun Aceh saat itu telah terpecah belah, mereka masih melakukan perlawanan secara gerilya dalam kelompok. Karena dalam dada mereka tetap mengobar semangat jihad fii sabilillah. Bahkan ketika jepang datang, masyarakat Aceh tetap berperang melawan jepang. Kejadian ini berawal dari kesewenang-wenangan Jepang yang memaksa untuk melakukan Seikerei dan ditolak oleh rakyat setempat karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. setelah indoneisa merdeka, Belanda berupaya untuk menjajah indonesia kembali. Tetapi Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak berani dijamah oleh Belanda ketika kedatangannya yang kedua pada agresi militer I dan II. Bahkan Aceh sempat mambantu Sumatra Utara (Medan) untuk berperang melawan Belanda dalam kedatangannya yang kedua. Hingga saat ini, Aceh adalah daerah yang selalu menegakkan ajaran agama Islam. Aceh juga daerah Istimewa dengan kebijakan otonomi khusus.

Sumber Referensi : id.wikipedia.org

kompas.com

regional.kompas.com

tirto.id

zenius.net

0 komentar:

Posting Komentar