F PEMBANTAIAN KEJI DAN BIADAB TERHADAP ORANG CINA DI BATAVIA (JAKARTA) 1740!!! ~ PEGAWAI JALANAN

Senin, 27 Juni 2022

PEMBANTAIAN KEJI DAN BIADAB TERHADAP ORANG CINA DI BATAVIA (JAKARTA) 1740!!!

 


 “Setiap tempat bersimbah darah dan kanal-kanal dipenuhi dengan mayat-mayat. Sebagian besar kota diselimuti abu dan lima ribu warga Cina yang terkenal rajin dan penuh pengabdian itu telah tewas.” Demikian kisah memilukan dari sebuah catatan akhir abad ke-18 yang pernah tersimpan di perkumpulan komunitas Cina di Jakarta.

Sebuah kota membutuhkan warga yang menghidupkan kegiatan perekonomian. Salah satu komunitas perintis yang bermukim di dalam tembok kota adalah masyarakat Cina yang kelak menjadi cikal bakal budaya peranakan di kota itu. Bahkan, VOC menunjuk seorang kapitan pertama untuk mengatur masyarakat Cina di Batavia pada awal abad ke-17.

Pada awal abad ke-18 perekonomian dunia yang melesu dengan turunnya harga gula turut mempengaruhi kehidupan Batavia. Pengangguran di Batavia meningkat, sementara itu pendatang dari Cina kian memadati kota tertua di Asia Tenggara itu. Setidaknya 4.000 orang Cina bermukim di dalam tembok kota, sedangkan sekitar 10.000 orang berada di luar tembok kota. 

Gubernur Jenderal VOC—Kongsi Dagang Hindia Timur— Adriaan Valckenier, melakukan kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran itu ke Sri Langka karena di pulau tenggara India itu VOC juga mendirikan benteng dan kota persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang berkembang di Batavia bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri Langka itu dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas.

Komunitas Cina di pinggiran Batavia mulai resah dan mengancam untuk melakukan pemberontakan di kota. Mereka juga mendapat dukungan dari warga Cina dalam tembok kota, melengkapi diri dengan berbagai senjata. Di beberapa tempat, seperti Meester Cornelis—kini Jatinegara—telah dikuasai pemberontak Cina.

Pada 9 Oktober 1740, terjadilah huru hara di dalam tembok Kota Batavia. Para serdadu VOC melakukan perampokan dan pembersihan warga Cina. Permukiman Cina dibakar. Semua warga Cina dalam tembok kota, baik pria, maupun wanita, bahkan anak-anak yang lari berhamburan ke jalanan kota itu dibunuh dengan keji.

Bahkan, beberapa ratus orang Cina yang menjadi  tahanan  di Stadhuis—Balai Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta—dibebaskan, lalu disembelih di halaman belakang gedung itu. Diperkirakan antara 5.000 sampai 10.000 warga Cina telah dibantai. Rumah Kapitan Cina Ni Hoe Kong yang terletak di Roa Malaka—nama jalan itu masih ada hingga kini—dijarah dan dihancurkan. Sang Kapitan yang bertanggung jawab terhadap segala aktivitas orang-orang cina itu ditangkap dan akhirnya wafat dalam pembuangannya di Ambon.

Polemik kian membesar, bahkan turut melibatkan kalangan lokal setelah beredar isu bahwa orang-orang Cina berencana memperkosa perempuan lokal, membunuh para lelakinya, atau menjadikannya sebagai budak (Setiono, 2008:114). Maka, kaum pribumi dari berbagai suku yang ada di Batavia pun bergabung dengan VOC untuk membantai etnis Tionghoa. Valckenier memanfaatkan situasi ini dengan menggelar sayembara. Ia menjajikan hadiah besar untuk setiap kepala orang Cina yang berhasil dipancung (Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, 2005:103).

Dampaknya signifikan. Ratusan orang Cina ditangkap dan disembelih di halaman Balai Kota Batavia, termasuk para tahanan. Pembantaian berlangsung setidaknya hingga 22 Oktober 1740, belum termasuk rangkaian upaya pembersihan setelahnya. Tidak kurang dari 10 ribu orang Cina tewas, dan 500 orang lainnya luka berat, juga lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar baik oleh serdadu VOC maupun kaum pribumi (W.R. van Hoevell, Batavia in 1740, 1840:447-557).

Aksi berdarah yang mirip genosida alias pemusnahan etnis ini kemudian dikenal dengan istilah Chinezenmoord (Pembunuhan Orang Tionghoa), selain Geger Pacinan atau Tragedi Angke dalam ungkapan lokalnya. Angke sendiri konon berasal dari dua kata dalam bahasa Hokkian: ang yang artinya “merah” dan ke yang berarti “sungai” (Alwi Shahab, Betawi: Queen of the East, 2002:103). Dengan demikian, "angke” dapat diartikan “sungai merah”, semerah banjir darah kaum Tionghoa yang dibantai di Batavia pada 1740 itu.

Seorang pelaku pembantaian dan perampokan, G. Bernhard Schwarzen, berkisah dalam bukunya Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751. Ironisnya, dia juga membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam. Menurutnya, baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota. “Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat,” tulisnya. “Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”

Dua tahun kemudian, Gubernur Jenderal Valckenier yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi di Batavia, dijatuhi hukuman penjara di Kastil Batavia selama 9,5 tahun sebelum akhirnya meninggal dan dimakamkan tanpa upacara.

Menurut Mona Lohanda, pemerhati sejarah peranakan Cina dan penulis buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, kerusuhan 1740 meluas hingga ke Jawa. Bahwa tragedi orang-orang Cina bukan hanya berdampak kepada kehidupan di Batavia, tetapi juga berakibat pada ketidakstabilan politik di Kasultanan Mataram.

Bagaimana peristiwa itu meluas hingga ke Jawa? Dampak tragedi Oktober 1740, telah membuat Kasultanan Banten bersiaga dengan tiga ribu prajuritnya untuk menghadang orang-orang Cina yang melarikan diri dari Batavia. Gagal memasuki Banten, para pelarian itu bergerak ke timur. Sejumlah seribu orang bertemu di pantai sisi utara Pati, kota kecil di Jawa Tengah. Akhirnya, sebagai tindakan balasan, mereka bergabung dengan komunitas Cina asal Semarang dan mengepung benteng VOC di kota itu. Tak hanya itu, mereka juga menyerang pertahanan VOC di Rembang, sebuah benteng pinggir pantai. Tampaknya, inilah perlawanan terhebat dan terheroik orang-orang Cina kepada VOC dalam sejarah  peranakan Indonesia yang terlupakan.

Jikalau Raja Kartasura, Susuhunan Pakubuwana II, menyatukan antara kekuatan pemberontakan orang-orang Cina dan kekuatan prajurit keratonnya, mungkin saja VOC bisa hengkang dari Jawa Tengah. Namun, sang raja tampaknya menyia-nyiakan momentum sehingga VOC berhasil menguasai keadaan dengan campur tangan dalam urusan kerajaan. Meskipun konspirasi Cina-Jawa dalam “Geger Pacinan” dapat dipatahkan VOC, perseteruan keluarga itu baru berakhir pada 1755 dengan terbaginya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. 

Usai tragedi kebiadaban itu, tidak ada warga Cina yang kembali ke Batavia. Lalu, VOC memberikan izin tinggal bagi orang-orang Cina di sebelah selatan tembok kota, daerah ladang tebu dan berawa milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali. Kelak, pecinan baru itu dikenal dengan sebutan mirip nama belakang bekas pemiliknya: Glodok. Inilah salah satu cerita paling berdarah, juga perih, dalam sejarah Nusantara.

 

Referensi :

nationalgeographic.grid.id

tirto.id

 

0 komentar:

Posting Komentar